• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Perkembangan Konsep Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah dan Perkembangan Konsep Wilayah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah dan Perkembangan Konsep Wilayah Negara Indonesia

Jatuh bangunnya negara ini tergantung dari bangsa ini sendiri” (Hatta)

Polemik Wilayah Negara di Dalam Sidang BPUPK1

Hal mengenai penentuan wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu

agenda bahasan di dalam Sidang II Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

(BPUPK). Hal yang patut dicermati adalah bahwa para penggagas dan pendiri Negara

Republik Indonesia dengan sangat apik mengemukakan berbagai rupa rasionalisasi

mengenai wilayah negara yang berdasar tidak hanya kepada hukum internasional, namun

juga tetap menggali nilai-nilai sejarah dari bangsa Indonesia itu sendiri. Hal tersebut

mencerminkan satu hal, bahwa bangsa dan negara Indonesia tidak didirikan dengan

sembarangan. Bangsa dan negara Indonesia didirikan oleh para cerdik cendekia yang

padanya tersemat wawasan dan ilmu pengetahuan yang dalam pun luas.

Sidang yang dipimpin oleh Radjiman Wedyodiningrat tersebut dibuka oleh

pertanyaan pimpinan sidang mengenai pencantuman aturan mengenai batas negara di

dalam undang-undang dasar. Soekarno dan Hatta mencapai kebulatan suara tentang hal

ini, yakni menolak aturan mengenai batas negara dicantumkan di dalam undang-undang

dasar. Silang argumentasi kemudian setelah Moezakir menyampaikan pandangannya

mengenai wilayah Negara Republik Indonesia yang pada bagian akhirnya sedikit menyitir

pendapat Hatta mengenai Papua. Pada intinya, pendapat Hatta mengenai Papua adalah

bahwa sebaiknya penyatuan wilayah Papua sebagai juga wilayah Negara Republik

Indonesia tidak menjadi suatu hal yang dituntut oleh bangsa Indonesia, melainkan sebuah

opsi terbuka. Pendapat Hatta tersebut bersandar kepada dua hal, mengenai perbedaan ras

Papua yang relatif lebih dekat dengan Melanesia atau Polinesia serta mengenai proyeksi

kemampuan Negara Republik Indonesia dalam mengelola wilayah yang terlalu luas.

Sehingga, Hatta hanya menuntut wilayah Negara Republik Indonesia hanya sebatas

wilayah yang pernah dijajah oleh Belanda atau wilayah Hindia Belanda saja.

1 Yudi Latif di dalam bukunya yang berjudul Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas

(2)

Silang argumentasi pada sidang yang digelar di Gedung Tyuo Sangi-In tersebut

diperpanjang oleh pendapat yang dikemukakan oleh Yamin dan Kaffar. Pada hakikatnya,

Yamin berpendapat tentang dua hal, yakni penyatuan kawasan Malaka dan penyatuan

Papua sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia. Dalam hal penyatuan kawasan

Malaka ke dalam Negara Republik Indonesia, Yamin mengatakan bahwa ada pertautatan

kesejarahan dan keserumpunan, sehingga berdirinya Negara Republik Indonesia menjadi

momentum yang tepat untuk menyatukan persaudaraan yang sebelumnya terpecah-pecah.

Dalam hal penyatuan Papua, pendapat Yamin berangkat dari akar pemahaman geopolitik,

akar sejarah, serta akar etnografis. Di awal pernyataannya, Yamin mengakui bahwa

memang betul ada beberapa kajian geografis dan etnografis yang menyatakan Papua

berbeda, namun demikian tentu saja isi buku pasti menyesuaikan dengan kehendak

penulis buku. Sehingga, Yamin menjabarkan mengenai Papua sebagai satu kesatuan

lingkungan adat Kerajaan Tidore, yang dengannya jelaslah bahwa Papua adalah

Indonesia. Yamin juga mengemukakan akar kesejarahan mengenai Digul sebagai salah

satu tempat yang menjadi tonggak sejarah bangsa Indonesia, di mana di sana terdapat

saksi-saksi bisu atar pengorbanan-pengorbanan para pendiri bangsa, sehingga dengan

melepaskan Papua sama artinya dengan tidak menghargai sejarah bangsa. Dalam hal

geopolitik, Yamin secara sederhana menggambarkan Papua sebagai pintu utama menuju

pasifik, sehingga menyerahkan Papua kepada asing berpotensi menutup pintu Indonesia

menuju pasifik.

Pendapat Yamin yang terakhir, yang mengenai geopolitik, mendapatkan dukungan

dari perwakilan pemuda Madura, Kaffar. Kaffar memaparkan mengenai pentingnya

mengusai sisi terluar, seperti menguasi Timor Portugis di selatan dan menguasai Papua

di Timur. Namun demikian, di sidang hari berikutnya, Hatta kembali menegaskan

argumennya mengenai wilayah Negara Indonesia yang hanya wilayah Hindia Belanda

saja sekaligus menanggapi hal-hal yang dipaparkan di sidang hari sebelumnya. Hatta

mengingatkan tentang menghindari pola pikir imperialistis. Hatta memandang

menggunakan pendekatan geopolitik dan strategi dalam membahas mengenai wilayah

negara akan menjerumuskan ke dalam tabiat imperialistis, bukan hal yang tidak mungkin

(3)

hanyalah wilayah Hindia Belanda saja. Hatta menegaskan bahwa hal yang demikian pun

tidak mutlak, keikutsertaan Papua dan kawasan Malaka tetap terbuka dengan catatan

wilayah yang dituntut oleh Negara Republik Indonesia hanyalah sebatas wilayah Hindia

Belanda.

Tanggapan selanjutnya dilontarkan oleh Soekarno. Soekarno membuka

pemaparannya dengan sentuhan yang cukup emosional, “Saya bukan seorang imperialis,

bukan. Hidup saya sejak dari umur 18 tahun sampai umur 43 tahun sekarang ini, 25 tahun

lamanya saya abdikan kepada perjuangan melawan imperialisme itu.” Kutipan pembuka

tersebut secara tidak langsung menyiratkan pesan untuk menjawab tanggapan Hatta

tentang kekhawatiran tabiat imperialistis. Pada intinya, Soekarno menyepakati secara

bulat apa yang telah disampaikan oleh Yamin. Soekarno menambahkan bahwa Jepang

sendiri tidak pernah mendefinisikan wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga

menurutnya tidak ada kewajiban moral pun kewajiban hukum internasional yang

mewajibkan Indonesia sebagai ahli waris Belanda. Soekarno juga menerangkan bahwa ia

banyak menerima telegram dari pemuda-pemuda di kawasan Malaka untuk bersatu

dengan Negara Republik Indonesia. Mengenai Papua, lagi-lagi Soekarno menyuarakan

kebulatan pendapat dengan Yamin, ditambah pendapat kesejarahan mengenai kitab

Negarakertagama.

Pendapat-pendapat berikutnya lebih berkutat di seputar pembahasan mengenai

kepatutan hukum internasional yang dipaparkan oleh Agoes Salim dan Maramis.

Keduanya sepakat bahwa mengenai daerah-daerah yang di dalamnya masih ada penjajah

selain Jepang dan Belanda, diserahkan kepada rakyat masing-masing untuk bergabung

dengan Negara Republik Indonesia. Pada akhirnya sidang menghasilkan kesepakatan

melaui jajak pendapat dengan tiga pilihan: wilayah Negara Republik Indonesia meliputi

(1) wilayah Hindia Belanda saja; atau (2) wilayah Hindia Belanda ditambah Malaka,

Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya; atau (3) wilayah Hindia

Belanda ditambah Malaka dan tanpa Papua. Hasil jajak pendapat bulat memilih pilihan

(4)

Perkembangan Konsep Wilayah Negara Republik Indonesia

Gagasan ‘tanah air’ atau ‘tanah tumpah darah’ (daerah tempat darah ditumpahkan/

tanah kelahiran) telah banyak digunakan oleh berbagai kelompok etnik di Nusantara

untuk merujuk kepada daerah asal di mana seseorang dilahirkan. Pada awalnya, ketika

berbagai kelompok etnik di kepulauan Indonesia belum mengenal konsep Indonesia, atau

ketika mereka masih hidup dalam semangat ‘local patriotism’ atau ‘ethno-nationalism’,

konsep ‘tanah tumpah darah’ mungkin mengacu kepada tempat kelahiran dalam bentuk

desa atau kampung atau daerah di mana secara tradisional diklaim sebagai hak milik dari

kelompok etnik tertentu. Istilah ini masih dapat dilacak dari istilah yang begitu tersebar

di Nusantara seperti Tanah Jawa, Tatar Sunda, Negeri Minang, dan sebagainya.

Sebelum terjadinya ekspansi politik yang didasarkan atas etnisitas, masing-masing

kelompok etnik tentunya sudah merupakan suatu kawasan budaya tersendiri. Hal ini

berarti bahwa pada awalnya istilah ‘tanah air’ atau ‘tanah tumpah darah’ atau ‘tanah kelahiran’, dan sebagainya merupakan suatu konsep budaya atau cultural concept. Konsep ini berubah ketika kekuasaan politik yang berbasiskan etnisitas memperluas

kekuasaan politiknya menembus batas-batas kawasan budaya kelompok etnik yang lain.

Ketika kerajaan Majapahit di Jawa mulai melakukan ekspansi menembus batas kawasan

budaya kelompok etnik lain misalnya, kemudian mereka menyebut daerah yang baru

ditaklukkan dan dipengaruhi yang sebagian besar terletak di luar Jawa sebagai Nusantara

sebagaimana disebut dalam kitab Negarakertagama.

Konsep Nusantara selama periode pergerakan nasional di Indonesia ditemukan

kembali (reinvented) dan direinterepretasi (reintrepreted) kembali oleh para tokoh

pergerakan nasional. Istilah ‘tanah air’ pertama kali digunakan oleh Mohammad Yamin

pada tahun 1920 ketika ia menggubah sebuah syair yang berjudul ‘Tanah Air’. Pada awalnya, istilah ‘tanah air’ ditujukan sebagai pujian terhadap tanah kelahirannya dan

tanah asal nenek moyangnya yaitu Sumatra. Pada periode selanjutnya, patriotisme

terhadap tanah kelahiran atau homeland patriotism mengalami evolusi dalam maknanya

dan berubah maknanya menjadi nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Hal ini dapat

(5)

menyepakati sebuah tekat dengan semboyan ‘satu nusa, satu bangsa, satu bahasa dan

menyetujui untuk menggunakan ‘Indonesia Raya’ sebagai lagu kebangsaan. Penggunaan istilah ‘tanah tumpah darah’ dan ‘tanah-air’ menjadi semakin populer ketika para tokoh nasionalis menghubungkannya dengan negara merdeka yang dicita-citakan, yaitu

Indoneia. Istilah-istilah tersebut kemudian digunakan secara ekstensif oleh pers,

nyanyian-nyanyian, karya sastra, pidato-pidato politik, dan sebagainya. Periode

kebangkitan nasional menandai berkembangnya proses ideologisasi dan politisasi dari

konsep budaya ‘tanah-air’ dan ‘tanah tumpah darah’ menjadi konsep wilayah negara.

Dalam kaitannya dengan isu batas wilayah negara, konsep Nusantara dipandang

sama dengan konsep ‘tanah-air’. Jika konsep ‘tanah-air’ cenderung merupakan konsep kultural, maka konsep ‘nusantara’ lebih merupakan konsep politik. Pertanyaan menarik

perlu diajukan, mengapa konsep Nusantara diperlukan? Hal ini berkait erat dengan

kenyataan bahwa Indonesia sering dipandang sebagai warisan kolonial Belanda yang

sistem batas teritorinya didasarkan atas sistem pulau demi pulau (‘island by island’’) dengan luas wilayah laut teritorial seluas tiga mil laut dari garis pantai pada waktu air

surut.

Penemuan kembali konsep ‘nusantara’ dan ‘tanah-air’ dapat melingkupi seluruh kawasan Nusantara yang mencakup baik wilayah daratan maupun lautan atau bahkan

laut-laut dan pulau-pulaunya. Dalam konsep itu tidak memungkinkan adanya ‘enclave’

(dalam bentuk perairan internasional) di dalam wilayah Nusantara. Proses ideologisasi

ini mencapai puncaknya pada tahun 1957 ketika pemerintah mengumumkan Deklarasi

Djuanda. Deklarasi itu berisi klaim untuk melakukan unifikasi wilayah daratan dan lautan

yang ada di Indonesia.

Hal itu berbeda dengan visi negara kolonial mengenai konsepsi batas wilayah laut

tiga mil dari garis pantai pada waktu air surut dari setiap pulau. Visi Nusantara

memandang semua perairan yang ada di dalam dan di antara pulau-pulau yang ada

merupakan wilayah Indonesia sebagai sebuah entitas daratan dan lautan. Secara strategis,

Deklarasi Djuanda memiliki dimensi internal dan eksternal. Secara internal, deklarasi

tersebut dapat digunakan untuk menjustifikasi berbagai kebijakan pemerintah untuk

menindak segala macam kemungkinan yang dilakukan oleh gerakan separatis dan secara

(6)

historis dan kultural untuk menyatukan wilayah daratan dan lautan dalam rangka

menghadapi tekanan-tekanan negara Barat yang tidak sepaham atas klaim yang

dilontarkan oleh pemerintah Indonesia.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep batas wilayah negara yang

digunakan oleh pemerintah Indonesia bukan merupakan warisan dari pemerintah kolonial

Hindia Belanda. Konsep ‘tanah air’, ‘tanah tumpah darah’, ‘nusantara’ merupakan

konsep-konsep yang reinvented dan reinterepreted dari konsep-konsep tradisional yang

berakar dari sejarah Nusantara yang dilakukan oleh para tokoh nasionalis selama masa

pergerakan nasional. Hal tersebut dibuktikan oleh Risalah Sidang BPUPK yang secara

jelas menggambarkan bahwa penentuan wilayah Negara Republik Indonesia tidak semata

disandarkan kepada hukum internasional, namun juga kepada akar kesejarahan, akar

geopolitik, serta akar etnografi sebagai diungkapkan oleh Yamin yang kemudian

didukung oleh Kaffar dan Soekarno. Namun demikian, penghormatan dan kepatutan

terhadap hukum internasional tetap dibuka sebagaimana pendapat Agoes Salim dan

Maramis.

Daftar Pustaka

Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas

Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sulitiyono, S. T. (2010, Januari 11). KONSEP BATAS WILAYAH NEGARA DI

NUSANTARA: KAJIAN HISTORIS. Diambil kembali dari Diponegoro University

Institutional Repository: http://eprints.undip.ac.id/3258/

Elson, R.E. (2008). The Idea of Indonesia: A History. Cambridge: Cambridge

University Press.

Zuhdi, S. (2006, Maret 25). Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia.

Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia. Depok, Jawa Barat, Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Jika dalam suatu ekspresi terdapat operand dengan tipe yang berbeda, C++ akan mengkonversikan salah satu tipe sehingga kedua tipe menjadi sama dengan aturan :.. Jika salah satu

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 1) instrumen lembar validasi ahli. Instrumen ini bertujuan mengetahui kriteria kevalidan tes

Penelitian ini yang menyatakan terdapat pengaruh Information quality terhadap User Satisfaction menginformasikan dengan semakin lengkapnya informasi yang ada, mudahnya

Bulan mei indeks yang diterima petani adalah sebesar 129,68 atau mengalami kenaikan sebesar 0,43, dengan rincian sebagai berikut subsektor tanaman bahan makanan naik

tentang Perusahaan Katering yang Meneglola Makanan Bagi Tenaga Kerja :. ► Harus terlibih dahulu

b) este interzisă deservirea clientului în situaţia în care se observă că acesta prezintă afecţiuni oculare; c) aplicatorul şi părţile de hârtie utilizate ca suport

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kelurahan Jati Rumah Gadang Padang, penurunan kadar kolinesterase terjadi pada 18 responden yang telah menggunakan

Abstrak: Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dampak kegiatan siswa dan hasil belajar dengan penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dalam