• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Gatut P, Yustisia Ditya Sari Pendekatan Netnographi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Gatut P, Yustisia Ditya Sari Pendekatan Netnographi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN NETNOGRAPHI TERHADAP

POLA-POLA KOMUNIKASI SEBAGAI PENENTU

IDENTIFIKASI ORGANISASI DAN

BUDAYA ORGANISASI PADA ORGANISASI

VIRTUAL DI INDONESIA

Oleh :

Gatut Priyowidodo, M.Si., Ph.D, Yustisia Ditya Sari, S.

Sos.,M. I. Kom

Program Studi Ilmu Komunikasi UK Petra, Jalan Siwalankerto 121-131 Surabaya 20236

Email : gatpri@petra.ac.id

Pendahuluan

Demonstrasi sopir taksi konvensional 22 Maret 2016 lalu, menghentakkan kesadaran kita bersama ternyata eksistensi taksi-taksi ride-sharing berbasis online sangat besar pengaruhnya. Bahkan tidak hanya taksi, ojek pangkalanpun menghadapi masalah yang sama ketika gojek sudah mulai menjadi moda transportasi alternatif banyak kalangan. Penghasilan yang mulai menurun, itulah alasan utamanya.

Pertanyaannya, siapa yang menggerakan? Tidak lain adalah pengelola organisasi virtual atua maya yang sadar aplikasi teknologi informasi. Pengelola Uber Taxi, Grab Taxi, Gojek dan lain-lain adalah administrator organisasi yang tidak menempati lahan atau gedung yang luas, tetapi bisa ’seolah-olah’ memiliki aset aramada yang sangat banyak dan menerapkan aturan organisasi dengan disiplin yang ketat.

Meskipun dikendalikan dari jauh, para sopir taxi atau pengojek dengan mudahnya melakukan interaksi dan pola-pola komunikasi yang teratur melalui aplikasi yang ada di telepon cerdas (smartphone)

mereka. Dalam banyak hal mereka bekerja lebih efesien, efektif dan terkoordinasi.

(2)

linier dengan perkembangan terbaru dari kemajuan teknologi informasi. Miller (20011) menyebut teknologi informasi dan organisasi modern adalah atribut yang saling melengkapi. Bahkan sejak lama teoritisi komunikasi organisasi menempatkan bahwa perkembangan media terkini (the new media) memiliki pengaruh besar dalam organisasi (Culnan & Markus, 1987).

Pola komunikasi bermediasi secara kumputer memang berhasil menggeser pola komunikasi konvensional. Tetapi, menurut Dat dan Lengel (1984) dalam teori media richness-nya tetap tidak mampu mengalahkan komunikasi tatap langsung (face to face). Menurut teori tersebut komunikasi face to face sebagai medium komunikasi tetap yang paling kaya di (dalam) hirarki yang diikuti video phone, video conference, telepon, surat elektronik, dukumen pribadi, memo dan surat, dukumen formal seperti bulletin dan lyer.

Itu sebabnya, meskipun manusia kini sudah memasuki abad 21 atau disebut abad digital (digital age) dengan ditandai serangkaian perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, tetap saja komunikasi tatap muka tidak tergantikan. Kemasan teknologi suara (audio) dan teks melalui telepon, telex, telegram, short message service (sms) dan email ternyata tidak cukup. Manusia tetap menginginkan tampilan lawan bicaranya secara visual. Komunikasi interaktif secara visual inilah yang dianggap sebagai bentuk lain dari komunikasi face to face pada era digital ini. Jarak yang jauh tetap memungkinkan siapapun kita, dapat berinteraksi seolah-olah sedang berhadap-hadapan.

Pesan esensial itulah yang ditangkap, bahwa seberapapun besar kemajuan dan kemutahiran teknologi informasi, hakekat berkomunikasi tetaplah sama. Pola-pola komunikasi termodiikasi, tetapi tidak menghilangkan esensi. Morrreale, Spitzberg dan Barge (2006) menyebut bahwa komunikasi sebagai transfer pesan atau informasi, membagi makna pesan, melakukan persuasi dan menciptakan interaksi berkomunikasi tetap ada.

(3)

dalam organisasi harus dapat dikelola secara baik. Pengelolaan pesan yang salah dengan mudah menciptakan distorsi pesan yang bisa berujung pada situasi yang tidak nyaman dalam organisasi. Terlebih jika difokuskan pada organisasi virtual dan bukan konvensional.

Pada organisasi virtual menurut Dat & Lewin (1993), hubungan kerja antara karyawan dan atasan atau pihak manajemen termodiikasi secara baru. Yang pada gilirannya memproduksi dan membentuk budaya organisasi yang merupakan hasil interaksi pola-pola komunikasi antara netizen atau pengguna layanan dan administrator secara baru pula Disadari atau tidak, Indonesia juga sedang mengalami proses transformasi pola-pola komunikasi dari konvensional menuju organisasi virtual tersebut. Bila organisasi baik itu yang bergerak di sektor manufakturing, bisnis pelayanan jasa dan birokrasi pemerintahan tetap ingin eksis, pilihannya satu harus bertumbuh dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi.

Beberapa penelitian terdahulu terkait pola-pola komunikasi dan budaya organisasi pada organisasi virtual dengan pendekatan netnograi belum banyak dilakukan. Penelitian Kozinet (2002) menemukan bahwa pendekatan netnographi yang diadopsi dari metode etnographi sangat cocok sebagai teknik riset pemasaran online guna menangkap apa yang menjadi keinginan konsumen. Penelitian lain dilakukan Jiyao dan Reynolds (2010) dengan menggunakan netnographi yang menganalisis pengumpulan informasi dan kegiatan penjualan pada forum online. Keduanya dikaitkan dengan efektiitas komunikasi, mode persuasi yang didasarkan pada otoritas, emosi dan logika. Sementara studi Brodie, Illic, Juric dan Hollebeek (2013) menemukan bahwa melalui pendekatan netnographi dapat ditelusuri ternyata konsumen dalam memperkuat pengetahuan tetntang suatu merk dapat tergabung dalam komunitas maya tentang brand atau merk tertentu. Demikian pula yang dilakukan Mochazondida (2012) misalnya secara khusus meneliti tetang pariwisata di dunia maya dengan pendekatan netnographi. Temuannya menyatakan jika pendekatan baru ini merupakan pendekatan alternative yang sangat relevan untuk riset pariwista di internet.

(4)

Seperti kajian yang dilakukan Listianingtyas (2013) bahwa karakteristik audiens sangat mempengaruhi persepsi audiens terhadap merek Harley Davidson meskipun secara tidak langsung. Demikian pula riset Saitri (2015) juga terfokus pada strategi permerekan secara personal. Temuannya menyatakan bahwa tokoh Marlo memaksimalkan instagram untuk membangun merek personal dirinya melalui cross collaboration dan efek samping dari buzzer beberapa produk sebelum menjadi aktor ilm.

Berdasarkan fenomena dan penelusuran hasil penelitian terdahulu di atas, sangat jelas tergambar bahwa research gap dari penelitian ini terletak pada tema yang dipilih dan pendekatan yang diambil. Tema tentang pola-pola komunikasi terkait identiikasi iklim dan budaya organisasi pada organisasi virtual dengan menggunakan perspektif netnograi memiliki unsur kebaruan yang sangat signiikan untuk pengembangan lebih jauh kajian komunikasi organisasi. Adapun pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana identiikasi dan budaya organisasi dari netizen terhadap organisasi transportasi berbasis online dan bagaimana pola komunikasi yang dilakukan diantara pihak-pihak yang berkepentingan (sopir, kosumen dan administrator) dalam interaksi kerja mereka. Sementara tujuan penelitiannya adalah memperoleh diskripsi tentang identiikasi organisasi dan budaya organisasi dari netizen dalam hal ini adalah user atau konsumen dari layanan taksi berbasis aplikasi online yakni penumpang taksi Uber, taksi Grab dan gojek. Sopir taksi dan pengendara gojek serta administrator pengelola ketiga layanan moda transportasi online tersebut. Dan kedua, menemukan pola-pola komunikasi terkait relasi kerja antara pengendara dengan administrator dan interaksi antara sopir/pengendara dengan konsumen/penumpang taksi Uber, taksi Grab dan gojek.

TINJAUAN PUSTAKA

Sekurang-kurangnya terdapat empat teori yang dijadikan prespektif dalam penelitian ini .

Organisasi Virtual atau Organisasi Maya

(5)

yang secara maksimal menggunakan aplikasi sebagai sumber keuntungan. Beberapa aplikasi awal sebagai sumber inspirasi adalah aplikasi memori virtual, virtual reality, ruang kelas virtual, tim virtual, dan kantor virtual. Memori virtual memungkinkan programmer untuk menulis kode mengacu penyimpanan yang tidak benar-benar tersedia di komputer. Virtual reality memungkinkan pengguna untuk memperoleh pengalaman visual, auditori dan sensasi yang tidak ada di lingkungan manusia normal. Kelas virtual seolah menghadirkan siswa belajar di kelas seolah-olah benar ada (Hiltz, 1994, dalam Mowshowitz, 2002). Tim virtual memungkinkan manajer untuk memanggil kelompok karyawan yang tidak memiliki hubungan formal satu sama lain (Hammer dan Champy, 1993). kantor virtual memungkinkan karyawan untuk beroperasi di dinamis mengubah lingkungan.

(6)

Pola Komunikasi

Pola komunikasi, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai bentuk representasi dari hubungan elemen-elemen yang kompleks dalam berkomunikasi, bentuk ini yang menjelaskan proses komunikasi terjadi. Sebagaimana rute, memiliki alur yang dapat dijelaskan dan mewakili dari realitas proses komunikasi. Pola komunikasi, setidaknya membantu manusia untuk melakukan penafsiran atas makna yang ada dibalik pesan komunikatif. Pola komunikasi, dibuat secara dinamis, karena seiring komunikasi manusia yang memang tidak statis. Mengikuti kebutuhan dan realitas interaksi manusia itu sendiri, tentu, mengikuti alur zaman.

Mempermudah visualisasi tentang pola komunikasi yang terjadi diantara elemen komunikasi yang terlibat dalam aktivitas komunikasi dapat dilihat melalui gambar di bawah ini :

Gambar 2.1. Pola atau Model Komunikasi

Sumber : Cassata & Asante, 1979; Zalabak, 2009

Pola komunikasi di atas mendeskripsikan aliran pesan dari komunikator ke komunikan yang sangat mengandalkan media. Media menjadi instrument penting agar pesan diterima utuh dan terjadi

(7)

Identiikasi Organisasi

Identiikasi adalah sarana dimana anggota organisasi mendeinisikan dirinya memiliki keterkaitan dengan organisasi (Turner, 1987 dalam Wiesenfeld, dkk 1999). Dengan demikian, identiikasi merepresentasikan relasi sosial dan psikologis yang mengikat antara karyawan atau anggota dengan organisasi, sebuah ikatan yang terus terhubung sekalipun anggota itu sudah dikeluarkan. Sebuah identitas organisasi menurut Dutton dan Dukerich (1991) menyediakan jawaban atas sebuah pertanyaan, apakah sifat alamiah organisasi ? Menurutnya identitas organisasi memiliki peran untuk membimbing, perasaan, keyakinan dan perilaku anggota organisasi.

Identiikasi menjadi sangat esensial bagi keberlangsungan organisasi virtual, ketika organisasi ini menghadapi tantangan khusus menyusul adanya beberapa faktor penyebab. Seperti (1) adanya koordinasi dan kontrol dari aktor yang dapat membubarkan organisasi, (2) kelompok kerja yang dapat berfungsi, (3) penguatan pihak-pihak yang bisa memberi bantuan dan (4) memiliki karyawan yang berkualitas baik. Menurut Dutton (1994) seseorang yang memiliki identiikasi organisasi yang kuat dapat ditilik dari beberpa ciri khusus berikut: (1) menerima tujuan organisasi sebagai tujuan pribadi, (2) mengikuti tujuan atasan dan (3) memiliki rasa loyal dan patuh. Identiikasi organisasi diharapkan berkait erat dengan usaha keras, kemauan ekstra kuat dan kinerja. Dengan karyawan memiliki identiikasi organisasi yang baik, perusahaan dapat menekan ongkos produksi barang dan jasa karena tidak memerlukan supervisi dn monitoring.

Budaya Organisasi

(8)

dan perilaku. Secara umum budaya organisasi menurut Chek (1996) dapat dideinisikan sebagai seperangkat norma pesepsi, pola perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam sebuah perusahaan untuk mengatasi asumsi atau pandangan dasar ini yang diyakini karena telah berjalan baik dalam perusahaan sehingga dianggap bernilai positif dan pantas diajarkan kepada karyawan baru sebagai cara yang tepat untuk berpikir dan bertindak dalam menjalankan tugas.

Robbins (1996) menyatakan bahwa budaya organisasi berawal dari isiologi pikirnya, sekali budaya terbentuk praktek-praktek dalam organisasi bertindak untuk mempertahankannya, misalnya praktek-praktek pengelolaan sumber daya manusia. Tiga kekuatan memainkan bagian sangat penting dalam mempertahankan suatu budaya yaitu praktek seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi. Dari deinisi budaya organisasi yang diajukan oleh Schein (1997) dapat dilihat bahwa perumusan budaya suatu perusahaan didasarkan pada pengalaman perusahaan tersebut dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya yang kemudian biasanya menjadi gambaran ideal bagaimana perusahaan menghadapi masalah-masalah pada waktu yang akan datang. Karena masalah yang dihadapi oleh suatu perusahaan dengan perusahaan lain berbeda serta berbeda pula gambaran atau pandangan ideal dari suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya, maka perumusan budaya antar permasalahan akan berbeda pula. Hofstede, Geert, Michael Harris Bond, dan Chung-Leung (dalam Fuad Mas’ud, 2004) memberikan lima dimensi yang bisa digunakan sebagai kerangka kerja dalam menggambarkan budaya organisasi. Lima dimensi tersebut meliputi : 1. Profesionalisme. 2. Jarak dari manajemen. 3. Percaya pada rekan sekerja 4. Keteraturan. 5. Integrasi.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan netnographi

(9)

virtual), dan tambahan dengan wawancara mendalam (in-depth interview) serta telaah kepustakaan.

Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis situs (site analysis) dan analisis thematic sesuai tahapan analisis studi netnographi dengan menggunakan NVIVO sotware sebagai piranti analisis kualitatif. Tahapan selanjutnya adalah merumuskan dan memunculkan pola-pola komunikasi sebagai penentu identiikasi organisasi dan budaya organisasi virtual di Indonesia.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Identiikasi dan budaya organisasi

Tidak seperti organisasi konvensional pada umumnya, organisasi-organisasi berbasis online atau lebih mudahnya disebut organisasi-organisasi virtual atau maya memiliki pengidentiikasian yang sangat cair. Tempat, bentuk/wujud dan waktu bukan elemen penentu serta sesuatu yang signiikan untuk dipercakapkan ketika proses identiikasi antara anggota dan manajemen sebagai representasi organisasi dilakukan. Pengakuan Budi sang sopir yang sudah setahun bergabung dengan Grab menjelaskan:

“Tidak perlu kami tahu dimana kantornya berada, sebab semua telah dikomunikasikan dengan kami via email. Bahkan juga aturan kerja terkait sharing pendapatan yang kami terima semua diberitahukan kami melalui email”

Sopir yang merupakan ujung tombak pelayanan organisasi kepada penggunanya (user) melihat bahwa keterikatan pada institusi dimana ia bergabung, hanya sebatas penggunaan aplikasi. Tidak ada ikatan seperti sopir taxi konvensional kepada organisasinya. Ia mengatakan:

(10)

Ikatan kepada organisasi sangat lepas, karena meskipun sebagai ujung tombak, sopir merasa organisasi yang menaunginya hanya sebatas kontrak kerja. Tidak ada fasilitas penunjang yang mengidentiikasi keanggotaan yang kuat diantara mereka. Ini diakui Hadi yang sudah bergabung 6 bulan dengan organisasi transportasi berbasis online ini. Lebih jauh ia mengatakan:

“Ikatan tidak ada. Karena saya sopir hanya berpikir naksi online ini tidak merepotkan. Punya mobil, kemudian ikut training. Diberi penjelasan mekanisme pembayaran sudah slesai. Nggak ada jaminan apa-apa. Bahkan kejadian yang tidak mengenakan, bonus saya tiba-tiba direkening hilang. Saya sudah komplain yaa... tanggapannya kurang memuaskan. Mungkin saya juga mau berhenti dulu”

Organisasi transportasi virtual ini, pada intinya menurut para narasumber dipahami karena ada tiga hal yang melingkupi yakni nilai, sistem dan kepercayaan. Nilai dalam perspektif sopir dan juga konsumen diterjemahkan sebagai hal-hal yang mengikat mereka (meskipun sangat longgar) bahwa roda organisasi bisa terlaksana bukan karena aturan tertulis semata tapi keterikatan pada nilai-nilai kepatutan. Kode etik misalnya, tidak seperti yang dirumuskan oleh organisasi-organisasi konvensional, tetapi ketika ada pelanggaran serta merta sanksi diturunkan. Bagi mereka, para sopir ketika kehilang bonus itu berarti ada pelanggaran, yang mungkin saja terlacak oleh manajemen.

Begitu pula halnya dengan kepercayaan. Sederhana saja merumuskan aspek kepercayaan dalam mengudentiikasi organisasi virtual ini. Ketika sang sopir tidak melakukan manipulasi panggilan, itu adalah wujud identiikasi yang bisa mereleksikan budaya organisasi dimana mereka bergabung. Lebih lanjut X sang sopir yang sudah bergabung satu tahun ini mengatakan:

(11)

Pola komunikasi dan Interaksi Kerja Pada Organisasi Berbasis Online

Pola komunikasi terjalin melalui dua mekanisme yakni

langsung dan tidak langsung. Bila dibuat perbandingan, tentu

organisasi berbasis virtual ini lebih mengandalkan komunikasi

bermediasi. Itu kekuatan dari segi bisnis tetapi mungkin ada

sedikit kelemahan dari sisi humanistiknya.

Keputusan-keputusan organisasi diikuti dan disampaikan

melalui email sebagai sarana komunikasi. Itu sebabnya, para

sopir selain harus rajin membuka email agar tidak tertinggal

informasi. Budi usia 55 tahunan mengatakan:

“Yaa...., saya tidak tiap hari buka email. Tapi setiap minggu pasti sebab saya akan tahu berapa besar bonus yang saya terima per minggunya. Pada saat itu bisa juga kami cek beberapa email yang masuk”.

Pola komunikasi bermediasi memang dari segi kelancaran cukup efektif, tetapi ketika ada informasi yang perlu penjelasan tambahan tidak dengan mudah diperoleh. Namun kekurangjelasan tersebut dapat diperoleh bila bertemu dengan rekan sesama sopir dalam aplikasi yang sama.

(12)

8000 pesanan yang harus dilayani oleh para armada Grab. Artinya meskipun sudah melayani transportasi di lima negara ASEAN yakni Malaysia,  Singapura,  hailand,  Vietnam dan  Filipina, Grab tetap berambisi menjadi yang terbesar dijalur transportasi berbasis aplikasi. Indonesia adalah negara yang sangat prospek digarap oleh aplikasi karya startup Anthony Tan ini. Tan yang alumni Harvard Business School untuk Master of Business Administration (MBA) tahun 2011adalah proil anak muda yang berhasil menangkap prospek bisnis yang selaras dengan kemajuan teknologi digital.

Kehebatan Tan ini diakui pula oleh salah satu sopirnya. Ia sendiri merasakan manfaat kehadiran transportasi berbasis aplikasi ini. Lebih lanjut ia berkata:

“Saya sendiri sudah malang melntang jualan properti, toko, rumah, ruko di Kalimantan. Rasanya koq income juga pas-pasan. Tapi sejak bergabung dengan Grab ini, tidak kurang bonus saya per minggu antara 1,850 jt-2.250 jt rupiah. Belum lagi per harinya bersih saya bawa pulang tidak kurang 200 ribu. Hingga saat ini tidak masalah, semua lancar dibayarkan ke rekening saya”

Interaksi kerja sopir dengan manajemen organisasi memang sebatas interaksi pemanfaatan aplikasi. Kesannya memang, tidak ada komunikasi yang berkarakter humanistik. Pertanyaan apapun cukup mudah didapat melalui jawaban-jawaban digital. Ini juga sangat dimaklumi oleh Hadi sang sopir, yang pernah kehilangan bonusnya. Ia mengatakan:

“Hanya sekali kami berjumpa manajemen ketika register dan training. Setelah itu, tidak lagi pernah bertemu. Bahkan dengan sopir yang lainpun juga amat jarang, jika memang sebelumnya tidak kenal. Ketika ngetem pun, mungkin saling tidak tahu. Tahu-tahu no hp dan foto muncul di layar”.

(13)

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang telah dijelaskan di atas,

sekurangnya ada dua kesimpulan yang bisa diambil. Pertama,

identiikasi dan budaya organisasi yang tergambar sangat

terkait erat dengan jenis dan karakter organisasi. Organisasi

yang berbasis aplikasi digital sangat mengabaikan relasi-relasi

humanistik dan emosional. Efektiitas dan eisiensi menjadi

pertimbangan, karena semua hal yang terkait implementasi kerja

diantara sopir dengan manajemen sudah terselesaikan dengan

perangkat tersebut.

Sementara pola interaksi dan komunikasi, meskipun

terbilang tidak mahal untuk ukuran sekarang, tetap saja ketika

ada kendala teknis perlu bantuan keahlian seseorang. Namun

karena sudah terbiasa bersifat mekanistik maka alur pesan yang

terkirim diantara pengelola dengan pihak sopir bahkan juga user,

cukup terwakili dengan itur-itur yang disediakan dalam aplikasi

tersebut.

(14)

namun dengan menggunakan metode yang lain semisal phenomeologi maupun phenomenography.

DAFTAR PUSTAKA

Brodie, R.J. Ilic, A., Juric, B & Hollebeek, L. (2013). Consumer engagement in virtual brand community : An exploratory analysis. Journal of Business Research, 66 (1), 105-114.

Cassata, M.B & dan Asante, M. K. (1979). Mass Communication Principles and Practices. New York: Marcmillan

Culnan, M.J., & Markus, M.L. (1987). ”Information Technologies”

dalam Jablin, F.M., Putnam,

L.L., Roberts, K.H & Porter, L.W (1987). Handbook of Organizational Communication,An Interdisciplinary Perspective. California: Sage Publication Inc.

Dat, R.L. & Lewin, A.Y. (1993). Where are the theories for the new organization form? An editorial essay. Organization Science, 4 (4) p. i-vi

Dat, R.L., & Lengel, R.H. (1986). Organizational information requirements, media richness and structural design. Management Science, 32, 554-571.

Dutton, J.E., Dukerich, J.M & CV. Harquail (1994). Organization images and member identiication. Administration Science Quartely, 39 239-263

Dutton, J.E., & Dukerich, J.M (1991). Keeping an eye on the mirror: he Role of image and identityin organizational adaptation. Academy of Management Journal, 34, 517-554.

Edwardin, L.T.A.S (2006). Analisis Pengaruh Kompetensi Komunikasi, Kecerdasan Emosional, Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada PT Pos Indonesia (Persero) Se Kota Semarang). hesis, Semarang: PPS-Undip

Fuad Mas’ud (2004). Survai Diagnosis Organisasional. Konsep

dan Aplikasi. Badan Penerbit

UNDIP, Semarang

(15)

York: Van Nostrand Reinhold,

Hammer, M., and J. Champy. (1993). Reengineering the Corporation. New York: HarperCollins Publishers.

Hiltz, S.R. (1994). he Virtual Classroom: Learning without Limits via Computer Networks. Norwood, NJ: Ablex.

Hiltz, S.R., and B. Welman. (1997). Asynchronous Learning

Networks as a Virtual Classroom.

Communications of the ACM 40, no. 9: 44–49

Jiyao, X & Reynolds, J. (2010). Applying netnography to market research: the case of online forum. Journal of Targeting, Measurement and Analysis for Marketing, 18, 17-31

Kozinets, R.V. (2013). Netnography Doing Etnographic Research Online. Washington, DC: Sage Publication Ltd

Listianingtyas, B.A (2013). Persepsi Audiens Terhadap tingkatan Merek (Studi Netnography Pada Anggota Grup Harley-Davidson di Situs Jejaring Sosial Facebook Periode November 2010-Januari 2011, thesis, http:// e-journal.uajy.ac.id/780

McQuail, D. (2005). McQuail’s mass communication theory

edition: 5. London: SAGE.

Mochazondida, M. (2012). Netnographic Tourist Research: he Internet as a Virtual Fieldwork Site. Tourism Analysis, 17 (4), 553-555

Morreale, S.P., Spitzberg, B.H & Barge, J.K (2006). Human Communication Motivation, Knowledge and Skill. Belmont, CA: homson Higher Education

Mowshowitz , A. (2002). Virtual Organization Toward a heory of Societal Transformation Stimulated by Information Technology.

Westport, CT : Quorum Books Greenwood Publishing Group, Inc.

Mowshowitz, A. 1994. “Virtual Organization: A Vision of Management in the InformationAge.” he Information Society 10, no. 4: 267– 288.

(16)

Gambar

Gambar 2.1. Pola atau Model Komunikasi

Referensi

Dokumen terkait

a. Kuadran ini menunjukkan faktor yang memengaruhi kepuasan pengguna dan kepentingan penerapan SAKTI yang perlu diprioritaskan untuk ditingkatkan kinerjanya. Komponen

Berikut ini adalah deskripsi data hasil yang terdiri dari :Siklus I : (a) Hasil Observasi Kemampuan Guru Merencanakan Pembelajaran.Adapun hasil observasi

berpikir secara realistis tentang pembuatan media peta tematik tersebut dengan cara mempermudah tata cara pembuatan media peta tematik, contohnya

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada kasus demam typoid. Hasil asuhan keperawatan : Dari kelolaan 5 pasien yang dilakukan selama 3 hari, semuanya

Sedangkan Teknik role playing atau bermain peran adalah suatu teknik pada bimbingan kelompok yang dilakukan dengan cara memainkan peran pada situasi tertentu sehingga

Kedua, berdasarkan metode hermeneutika tersebut, Esack mencapai kesimpulan bahwa kerja sama dengan umat agama lain adalah sesuatu yang tidak dilarang, jika tidak

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan MITRA-SYARIAH yang telah dipenuhi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Investasi Kolektif

Penambahan kitosan berpengaruh terhadap karakteristik vernis, semakin banyak penambahan kitosan pada vernis gelatin akan meningkatkan viskositas, daya rekat dan gloss