• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuan Kebun (Studi deskriptif di PTPN III Desa Sisumut, Kec. Kota Pinang, Kab. Labuhan Batu Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tuan Kebun (Studi deskriptif di PTPN III Desa Sisumut, Kec. Kota Pinang, Kab. Labuhan Batu Selatan)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota Medan merupakan pusat ibukota daerah perkebunan yang besar nan

makmur di daerah Sumatera Utara. Perkebunan yang dimaksud ialah segala kegiatan

pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan

mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait dengan tanaman

perkebunan. Dalam kehidupan masyarakat perkebunan sangat erat hubungannya

dengan suatu sistem yang berlaku, yakni sistem feodalisme. Dalam Dagun

(Mubyarto, 1982). Dikatakan bahwa sistem ini tumbuh kembang di era kolonial, yang

berfungsi untuk mendapatkan keuntungan yang besar melalui eksploitasi para budak

yang dilakukan oleh para bangsawan atau tuan-tuan tanah.

Dalam historis perkebunan-perkebunan besar yang ada di Sumatera Utara

ternyata menyimpan banyak ketegangan yang terjadi. Ketegangan tersebut

menyangkut urusan tanah yang diduduki oleh usaha-usaha

“onderneming”(perkebunan) atas dasar perjanjian pinjam-sewa. Sedangkan, disisi

lain dalam perintisan onderneming atau perkebunan, Inggrislah yang pertama kali

menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap Sumatera. Dimana bagian

sumatera yang pada waktu itu tidak diperdulikan, mulai menjadi penting di awal

(2)

pemodal Jerman dan Inggris telah mengembangkan

onderneming-onderneming teh, karet hingga sawit di sekeliling Pematang Siantar.

Kepentingan-kepentingan Inggris ini ada pada “Rubber Plantation Investment Trust” yang telah

memperoleh daerah-daerah konsesi yang luas dari raja-raja simalungun. Handels

Vereeniging Amsterdam terinspirasi dari contoh para pengusaha onderneming Jerman

dan Inggris yang sukses, dan memulai pengembangan beberapa perkebunan besar

dalam komoditas teh, kelapa sawit, dan serat setelah tahun 1918. Para perintis

onderneming kelapa sawit adalah pengusaha dari Jerman, K. Schadt, yang menanam

pohon-pohon kelapa sawit di atas konsesinya. (Pelzer, 1978: 77)

Berdasarkan sejarah diatas, yang merupakan cikal-bakal perkembangan

perkebunan kelapa sawit di kawasan Sumatera Utara hingga sekarang,

mengakibatkan cukup banyak perubahan pada pola kehidupan ekonomi dan sosial

masyarakat di Sumatera. Pada permulaan abad ke-20 Sumatera Timur atau daerah

Deli bahkan Sumatera Utara dikenal dengan sebutan “daerah dolar”. Sebutan ini erat

hubungannya dengan derasnya keuntungan yang mengalir dari hasil onderneming

yang melimpah ruah. Namun nasib buruh dan penduduknya tidak selalu sejalan

dengan kekayaan para pengusaha onderneming. Para pengusaha onderneming

berperan sebagai raja, tuan, majikan, dan hakim bagi buruh-buruh. Mereka tidak

pernah merasa puas dengan hanya mengeksploitasi hasil bumi, mereka juga

mengeksploitasi para pekerja dengan politik upah murah dan membatasi hak para

(3)

Oleh sebab itu, untuk mencegah masalah sosial yang selalu muncul pada

masyarakat perkebunan, maka pemerintah berkali-kali merevisi perundang-undangan

perkebunan. Ini disebabkan undang-undang yang ada selalu tidak sesuai dengan

kebutuhan perkembangan masyarakat yang setiap waktu selalu mengalami

perubahan. Hal ini karena cakupan perkebunan yang cukup makro dalam kehidupan

sosial masyarakat Indonesia. Adapun berbagai undang-undang yang telah disahkan

dan mengalami revisi oleh pemerintah antara lain:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990

4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992

5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004

6. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014.

Perubahan peraturan perundang-undangan ini tidak terlepas baik dalam hal

tanah maupun tenaga kerja. Permasalahan yang beraspek sosial dan politik sering

cukup ruwet jika menyangkut berbagai “konflik kepentingan” yaitu antara pengusaha

perkebunan dengan pekerja maupun perusahaan perkebunan dengan perkebunan

rakyat. Dalam hal tenaga kerja masalahnya terletak pada peranan ekonomi dan

(4)

memiliki sistem yang bersifat liberal-kapitalistik(mulai 1870) dan tenaga kerja

(buruh) benar-benar hanya dianggap sebagai salah satu faktor produksi meskipun

peranannya sangat penting, namun dihargai jauh lebih rendah ketimbang modal dan

teknologi. Namun peraturan undang-undang nomor 39 tahun 2014 yang berlaku

sekarang, dianggap tidak pro terhadap rakyat, baik masyarakat adat dengan tanah

ulayat, dan kesejahteraan kaum buruh yang ada di kawasan perkebunan. Peraturan

tersebut jauh lebih memberikan keuntungan terhadap pemilik modal (kaum borjuis)

atau pemangku kekuasaan yang ada di setiap perkebunan besar.

Fungsi peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari pembangunan

nasional yang dilaksanakan dalam r angka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

disegala bidang dengan menitikberatkan pembangunan di bidang ekonomi. Hasil

pembangunan harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.

Keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi seyogyanya dapat memperluas

ketersediaan kebutuhan penduduk seperti kebutuhan sandang, papan, dan pangan.

Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dengan adanya pemberdayaaan manusia dengan

baik. Dalam Baehaqi (Dhamantra, 2016). Dikatakan bahwa sektor industri

perkebunan merupakan salah satu faktor yang dapat memicu percepatan

pembangunan nasional. Hal ini terjadi karena dengan berdirinya kawasan industri

perkebunan besar dalam kehidupan suatu masyarakat maka akan membawa dampak

baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal yang sangat mudah dilihat

dari masuknya industri perkebunan adalah keterciptanya lapangan pekerjaan, namun

(5)

perkebunan juga memberikan dampak negatif. Dalam hal ini berupa perubahan yang

terjadi atas berkembangnya sistem feodal yang membatasi masyarakat yang bekerja

di dalam industri perkebunan besar. Sistem feodal tumbuh subur di perkebunan besar

milik Negara, hal ini berfungsi untuk mendapatkan keuntungan (profit) yang

sebesar-besarnya sehingga mengabaikan peran pembangunan nasional dalam bidang

kesejahteraan.

Dalam De Silva (Mubyarto, 1982). Dikatakan bahwa tanah dan tenaga kerja

yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan. Perkebunan sering disebut

“pabrik” pertanian karena proses memproduksi hasilnya berupa output komoditi

perkebunan adalah melalui proses memadukan aneka produksi (input) “modern”

(tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) yang dikenal dengan konsep

manajemen pabrik, dan juga manajemen perkebunan, yang keseluruhannya dibentuk

untuk menghasilkan keuntungan atau profit. Setelah efisiensi penggunaan tanah yang

terus menerus diusahakan, tenaga kerja yang relatif murah pun harus digunakan

seefisien mungkin. Selain itu, suasana perkebunan juga diatur sedemikian rupa agar

buruh hanya menjadi semacam “komponen mesin” yang tidak berharga, sehingga

tidak mungkin terdorong untuk pulang kampung dan pindah mencari pekerjaan lain.

Seiring dengan sifat keterkurungan dari buruh perkebunan, organisasi buruh dan

pengawasannya didesain untuk menghambat mobilitas buruh dan menekan

kenaikan-kenaikan upah. Berkembang di wilayah apapun, perkebunan selalu dipisahkan dari

bagian perekonomian dan masyarakat lain dengan berbagai fasilitas keagamaan

(6)

dilahirkan atau dikirim kesana, ia akan sulit melarikan diri dari dunia perkebunan

yang tertutup, upah ditahan agar tidak naik terlalu tinggi, tetapi dibolehkan turun

serendah mungkin.

Stratifikasi sosial tenaga kerja perkebunan, secara umum dapat dibagi menjadi

empat lapisan kelas sosial, yaitu administratur atau managerial, pegawai staf, pegawai

non-staf, dan buruh kerja perkebunan. Masing-masing memiliki pembagian tugas dan

wewenang yang tegas. Seorang administrator adalah pucuk pimpinan satu unit

perkebunan, dan dibantu oleh penasehat dan kontraktor yang termasuk pegawai staf.

Seorang kontraktor membawahi beberapa kepala bagian, dan seorang kepala bagian

membawahi seorang asisten yang diberi wewenang di lapangan (lokasi perkebunan).

Seorang asisten dibantu oleh beberapa orang mandor yang mengawasi bagian-bagian

produksi dan merupakan pegawai non-staf. Hirarki yang paling bawah adalah

buruh/pekerja perkebunan.

Hubungan masing-masing tingkat kepegawaian tersebut dipisah dengan tegas

dan kaku oleh status dan sistem upah. Seorang buruh/pekerja tidak dimungkinkan

menjadi mandor, karena mandor dipilih atas dasar kedudukan sosialnya di lingkungan

kerja. Demikian pula, pegawai non-staf menjadi pegawai staf jarang terjadi, mobilitas

hanya dimungkinkan melalui jalur pendidikan. Selain itu, hubungan dalam struktur

organisasi perkebunan bersifat feodal nan otoriter. Masyarakat perkebunan telah

mengalami banyak perubahan hingga saat ini. Dalam sisi pengambilan kebijakan,

pimpinan perkebunan masih menggunakan sistem feodal dalam menjalankan struktur

(7)

memperlihatkan bahwa sistem feodal diberlakukan dan dijalankan oleh pimpinan

yang berpendidikan tinggi bersama dengan kalangan staf yang merupakan koleganya.

Di sisi lain, pekerja/buruh kebun dibagi lagi menjadi buruh tetap dan

musiman. Buruh tetap bisa memperoleh fasilitas kebun, seperti tunjangan pokok dan

kesehatan. Seorang buruh laki-laki mempunyai fasilitas kesehatan yang juga berlaku

bagi keluarganya, sedangkan seorang buruh perempuan hanya memiliki fasilitas

kesehatan untuk dirinya saja. Selain pekerja tetap, perkebunan juga membutuhkan

pekerja musiman/borongan yang dibutuhkan pada waktu kegiatan meningkat.

Pekerjaan yang meningkat tinggi pada periode tertentu yang pendek, membutuhkan

jumlah tenaga kerja musiman yang tinggi pula.

Sub-sektor perkebunan merupakan sub-sektor yang secara tradisional

merupakan salah satu penghasil devisa Negara. Hasil-hasil perkebunan yang seperti

kita ketahui selama ini telah menjadi komoditas ekspor, khususnya kelapa sawit atau

CPO (Crude Palm Oil). Di Indonesia sebagian besar tanaman perkebunan diusahakan

oleh perkebunan Negara (inti), sedangkan sisanya diusahakan oleh perkebunan

rakyat, perkebunan inti ialah perkebunan besar milik pemerintah maupun swasta.

Perkebunan inti menguasai 55% dari luas areal perkebunan yang ada di Indonesia,

dengan melibatkan 17.810.600 KK untuk masyarakat yang hidup dan bekerja di

dalam perkebunan, dan perkebunan rakyat menguasai 45% dari luas areal

perkebunan. Dengan produksi mencapai 65% untuk perkebunan inti dan 35%

(8)

Masyarakat perkebunan adalah masyarakat feodal yang dicirikan beberapa hal

seperti adanya kepatuhan dan penghormatan berlebihan yang dilakukan buruh

terhadap pimpinan perusahaan, khususnya PTPN-3. Sikap serta perilaku yang sering

ditunjukkan buruh perkebunan tersebut merupakan suatu budaya yang tercermin dari

masyarakat kolonial masa lalu. Kepatuhan serta penghormatan yang berjenjang

merupakan sikap dasar yang tetap harus dilakukan utamanya pada buruh bawahan

seperti buruh/karyawan biasa. Para buruh di perkebunan harus tunduk dan patuh pada

pimpinan serta aturan perusahaan. Karena sekali mereka diketahui perusahaan

melanggar maka sanksi akan dijatuhkan pada mereka. Biasanya seorang pimpinan

perkebunan adalah orang yang sangat ditakuti dan disegani oleh para bawahan.

Asisten perkebunan akan segan dan takut berjumpa dengan manager jika terdapat

masalah pada bagian kerja yang dia kendalikan. Kendati demikian, hal tersebut juga

berlaku pada tiap lapisan yang ada di bawahnya. Bentuk dari sifat feodalisme yang

terlihat ialah ketakutan akan bertatap muka secara langsung terhadap pimpinan.

Meskipun terkadang para bawahan terpaksa menemui pimpinan karena pemanggilan

terhadapnya dan juga dalam suatu rapat perusahaan.

Karakteristik sosial masyarakat perkebunan yang lain adalah adanya tekanan

struktural yang tetap terjaga. Tekanan struktural merupakan budaya masyarakat

perkebunan yang tetap dilestarikan agar pimpinan perusahaan perkebunan tetap

berwibawa dihadapan buruh. Selain menjaga kewibawaan pimpinan perusahaan

perkebunan, tekanan terhadap buruh/pekerja juga dimaksudkan untuk menjaga

(9)

merupakan tuntutan kerja perusahaan. Jika buruh biasa harus tunduk pada mandor,

maka mandor harus hormat dan patuh pada asisten, sedangkan asisten harus

mengikuti segala perintah asisten kepala (askep) dan asisten kepala harus patuh

terhadap kebijakan manager.

PT Perkebunan Nusantara III – PTPN III (Persero) merupakan salah satu dari

14 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perkebunan yang bergerak dalam bidang

usaha perkebunan, pengolahan, dan pemasaran hasil perkebunan. Kegiatan usaha

Perseroan mencakup usaha budidaya dan pengolahan tanaman kelapa sawit dan karet.

Produk utama Perseroan adalah Minyak Sawit (CPO) dan Inti Sawit (kernel) dan

produk hilir karet. PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) di singkat PTPN-3

dibentuk berdasarkan PP No. 8 Tahun 1996 dalam rangka rekonstruksi Badan Usaha

Milik Negara(BUMN) dibidang perkebunan. PTPN-3 merupakan penggabungan

kebun-kebun di wilayah Sumatera Utara dari eks PTP III, PTP IV, PTP V.

Perusahaan PTPN-3 memiliki visi untuk menjadi perusahaan agribisnis kelas

dunia dengan kinerja prima dan melaksanakan tata kelola bisnis terbaik. Serta misi

perusahaan meliputi:

1. Mengembangkan industri hilir berbasis perkebunan secara

berkesinambungan.

2. Menghasilkan produk berkualitas untuk pelanggan.

3. Memberlakukan karyawan sebagai asset strategis dan mengembangkannya

(10)

4. Menjadi perusahaan terpilih yang memberikan imbal hasil terbaik bagi

para investor.

5. Menjadikan perusahaan yang paling menarik untuk bermitra bisnis.

6. Memotivasi karyawan untuk berpartisipasi aktif dalam mengembangkan

komunitas.

7. Melaksanakan seluruh aktifitas perusahaan yang berwawasan lingkungan.

Adapun tujuan perusahaan sesuai dengan Pasal 3 Anggaran Dasar Perusahaan,

maksud dan tujuan perusahaan adalah melakukan usaha dibidang agrobisnis dan

agroindustri, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya perusahaan untuk

menghasilkan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat.

Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, perusahaan melaksanakan kegiatan

utama sebagai berikut:

1. Pengusahaan budidaya tanaman meliputi pembukaan dan pengolahan

lahan, pembibitan, penanaman dan pemeliharaan dan pemungutan hasil

tanaman serta melakukan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan

dengan pengusahaan budidaya tanaman tersebut.

2. Produksi meliputi pengolahan hasil tanaman sendiri maupun dari pihak

lain menjadi barang setengah jadi dan atau barang jadi serta produk

turunannya.

3. Perdagangan meliputi penyelenggaraan kegiatan pemasaran berbagai

macam hasil produksi serta melakukan kegiatan perdagangan lainnya yang

(11)

4. Pengembangan usaha bidang perkebunan, agrowisata, agrobisnis, dan

agroindustri.

5. Lain-lain dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang

dimiliki perusahaan.

Selain itu, PTPN III akan menjadi perusahaan induk (holding) BUMN

Perkebunan. Ini dikarenakan Perusahaan Holding PTPN – Perusahaan-perusahaan

BUMN yang bergerak di bidang perkebunan berencana membentuk perusahaan induk

(holding).

Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di

dunia yang membutuhkan sumber daya manusia (SDM) memadai yang berkisar 7

juta orang untuk di perkebunan sawit. Di perkebunan besar areal tanah per hectare

membutuhkan tenaga kerja kira-kira 0,4 orang atau KK, sehingga jika ada 10 juta

hectare maka sekarang ini membutuhkan sekitar 4 juta KK secara langsung.

Sementara yang tidak langsung berkisar 0,3 atau sekitar 7-8 juta buruh kerja

perkebunan. (Ridwan, 2015. “Kebun Sawit Butuh 7 Juta Tenaga Kerja”. Sumber

online :

www.infosawit.com/mobile/index.php/news/detail/kebun-sawit-butuh-7-juta-tenaga-kerja)

Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Medan, pada Agustus

2015 pekerja perkebunan yang mengenyam jenjang pendidikan SD ke bawah masih

tetap mendominasi yaitu sebesar 1,83 juta orang (30,70%), sedangkan pekerja dengan

(12)

Sarjana sebesar 465 ribu orang (7,79%). Dengan dominasi pendidikan yang cukup

rendah di perkebunan, dimana pendidikan SD ke bawah lebih dominan. Maka ini

memberikan dampak yang cukup serius bagi pekerja perkebunan yang selalu

terkungkung pada lapisan kelas pekerja bawah yang sulit maju. Mobilitas pekerja

lapisan bawah semakin sulit akibat tingkat pendidikan yang rendah. Kondisi ini

menciptakan sistem feodal yang semakin tumbuh kembang dengan memanfaatkan

kebodohan dan membatasi akses para buruh kerja bawah untuk selalu mengalami

eksploitasi dan penghisapan.

Adapun yang ingin peneliti teliti ialah sistem feodalisme yang ada diantara

sang tuan kebun terhadap para pekerjanya, serta bagaimana sifat sistem feodal yang

berlaku antara sang tuan dengan para pekerja, serta interaksi dalam sistem feodal di

perkebunan saat proses kerja berlangsung sehingga mengetahui kondisi sosial yang

diatur oleh sistem ini di perkebunan PTPN-III Desa Sisumut. Selain itu kondisi

perkebunan besar, terutama seperti di PTPN-III, mengalami kendala berupa

penurunan harga komoditi, rantai pemasaran yang panjang dan perlambatan

perekonomian dunia. Kendala-kendala tersebut mengakibatkan penekanan

perkembangan upah karyawannya, sehingga gap antara upah pekerja di perkebunan

dengan sektor lain (industri) semakin melebar. Demikian pula gap antara upah

maksimum dan minimum menunjukkan peningkatan pula. Ini berarti perkebunan

Negara mengalami “kesulitan” untuk mensejahterakan masyarakat dalam

(13)

1.2. Rumusan Masalah

Untuk sebuah penelitian maka harus memilki batasan-batasan permasalahan

yang harus diamati maupun diteliti sehingga penelitian dapat terfokus dalam

terselesaikannya suatu masalah dan peneliti tidak keluar dari jalur yang ditetapkan.

Oleh karena itu berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana pola budaya feodal `yang terlihat dalam interaksi dan

stratifikasi sosial diantara managerial dengan lapisan bawahnya di

perkebunan PTPN-3 Desa Sisumut ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan

dan menganalisis bagaimana pola hubungan sang manager terhadap bawahannya

yang tersusun dalam struktur organisasi yang memperlihatkan sistem feodalisme

sehingga berdampak bagi kesejahteraan kaum pekerja/buruh di PTPN-3 Desa

Sisumut, Kecamatan Kota Pinang, Kabupaten Labuhan Batu Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ialah sesuatu yang sangat diharapkan ketika sebuah

penelitian telah selesai dilakukan. Adapun yang menjadi manfaat dilakukannya

(14)

1.1.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi

mahasiswa khususnya Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik ( sosiologi ) dan dapat

memberikan kontribusi yang positif terhadap setiap orang atau instansi yang terkait

pada pengetahuan sosial yang membaca penelitian ini. Sehingga dapat memahami

bagaimana sebenarnya sistem dan pola hubungan manejer “sang tuan” dengan

bawahannya, serta juga dapat menambah referensi hasil penelitian bagi peneliti

selanjutnya yang mengkaji persoalan yang terkait dengan penelitian ini.

1.1.2 Manfaat Praktis

Segala bentuk rangkaian kegiatan penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan dan kemampuan berfikir peneliti dalam menyusun karya tulis ilmiah, serta

hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak baik sebagai bahan bagi

peneliti berikutnya yang ingin mengetahui lebih dalam penelitian sebelumnya serta

bagi pihak terkait seperti pemerintah khususnya Pemerintahan Kabupaten Labuhan

Batu Selatan dalam pengambilan kebijakan. Maupun sebagai referensi kepemimpinan

perkebuanan besar seperti BUMN, sehingga dapat memberikan kesejahteraan

(15)

1.5. Definisi Konsep

1. Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial merupakan bentuk pembedaan masyarakat kedalam lapisan

kelas-kelas sosial secara bertingkat atau strata dalam hierarki secara vertikal,

dan tidak merata atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Atau

mengkaji posisi atau kedudukan antar-orang atau sekelompok orang dalam

keadaan yang tidak sederajat.

2. Feodalisme

Feodalisme disini adalah sistem yang ingin peneliti teliti, dimana sistem

feodal diartikan sebagai paham yang menganut orientasi nilai pelayanan yang

berlebihan bagi yang berkuasa, pejabat, birokrat, atau bagi yang dituakan dan

yang ingin selalu dilayani dan dihormati. Disisi lain, Feodalisme dalam

Ensiklopedia Nasional Indonesia (1997) merupakan penjelasan yang berkaitan

dengan pandangan kolot kelanjutan pada tata cara bangsawan keraton.

Dimana pengikut para raja/bangsawan diikat dengan tuan-tuan mereka dan

bersatunya tuan dan hamba atau bawahan dengan atasan. Kehendak gusti yang

dipertuan otomatis harus dijalankan. Sementara disisi lain, dalam struktur

masyarakat Indonesia memiliki istilah priyayi dan wong cilik, inilah bentuk

(16)

3. Tuan

Tuan bagi peneliti merupakan seorang karyawan pimpinan(manager) yang

memberikan pekerjaan dan yang memiliki kekuasaan penuh dan punya

perintah yang kuat dan secara otomatis para pekerja atau buruh harus patuh

dan tunduk terhadapnya. Arti lain, tuan dalam lingkup wilayahnya dianggap

seperti raja yang sangat disegani dan ditakuti.

4. Perkebunan

Perkebunan merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya

manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan

pemasaran terkait tanaman dan diartikan sebagai usaha untuk menciptakan

lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan dan devisa Negara serta dapat

memberi sumbangsih terhadap kesejahteraan masyarakat yang bekerja

didalamnya.

5. Pekerja/Buruh

Pekerja atau Buruh merupakan orang yang bekerja dengan orang lain untuk

mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain dengan memberikan

tenaga atau jasanya terhadap perusahaan atau seseorang yang

(17)

6. Upah

Upah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa

atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan

sesuatu, sehingga perusahaan atau sang manager tersebut mencapai target

yang diinginkannya atas jasa tenaga dan pikiran sang pekerja yang mengabdi

Referensi

Dokumen terkait

Observasi dan orientasi dilaksanakan dengan tujuan agar praktikan dapat beradaptasi dengan seluruh warga sekolah secara baik. Praktikan juga dapat mengetahui

Secara umum output pelaksanaan kegiatan pengawasan kedatangan kapal laut dari luar negeri di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Padang belum seuai dengan SOP karena masih

Salah satu koperasi yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang simpan pinjam penyertaan modal berdasarkan pola bagi hasil dengan mitra usahanya adalah Koperasi Cipaganti

Apakah atasan anda memberikan kepercayaan kepada anda dalam keputusan yang terkait dengan perusahaan Ada beberapa keputusan yang dapat diputuskan sendiri, tetapi

 Setelah mengidentifikasi setiap informasi dari label minuman dan makanan tersebut, peserta didik diarahkan untuk bisa mengeja setiap huruf pada setiap kata yang telah

individuals.” The use of Pictures Word Inductive Model emphasized more on how students recognized the words by looking at the pictures that teacher provided and by using those

Hasil presentase dari kesembilan aspek tersebut jika disesuaikan dengan tabel 2 maka presentase tersebut masuk dalam kategori presentase sangat valid dengan

1.. Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap ruang lingkup paket yang akan dikembangkan. Untuk itu dilakukan penelitian pendahuluan dengan melakukan wawancara