BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kota Medan merupakan pusat ibukota daerah perkebunan yang besar nan
makmur di daerah Sumatera Utara. Perkebunan yang dimaksud ialah segala kegiatan
pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan
mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait dengan tanaman
perkebunan. Dalam kehidupan masyarakat perkebunan sangat erat hubungannya
dengan suatu sistem yang berlaku, yakni sistem feodalisme. Dalam Dagun
(Mubyarto, 1982). Dikatakan bahwa sistem ini tumbuh kembang di era kolonial, yang
berfungsi untuk mendapatkan keuntungan yang besar melalui eksploitasi para budak
yang dilakukan oleh para bangsawan atau tuan-tuan tanah.
Dalam historis perkebunan-perkebunan besar yang ada di Sumatera Utara
ternyata menyimpan banyak ketegangan yang terjadi. Ketegangan tersebut
menyangkut urusan tanah yang diduduki oleh usaha-usaha
“onderneming”(perkebunan) atas dasar perjanjian pinjam-sewa. Sedangkan, disisi
lain dalam perintisan onderneming atau perkebunan, Inggrislah yang pertama kali
menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap Sumatera. Dimana bagian
sumatera yang pada waktu itu tidak diperdulikan, mulai menjadi penting di awal
pemodal Jerman dan Inggris telah mengembangkan
onderneming-onderneming teh, karet hingga sawit di sekeliling Pematang Siantar.
Kepentingan-kepentingan Inggris ini ada pada “Rubber Plantation Investment Trust” yang telah
memperoleh daerah-daerah konsesi yang luas dari raja-raja simalungun. Handels
Vereeniging Amsterdam terinspirasi dari contoh para pengusaha onderneming Jerman
dan Inggris yang sukses, dan memulai pengembangan beberapa perkebunan besar
dalam komoditas teh, kelapa sawit, dan serat setelah tahun 1918. Para perintis
onderneming kelapa sawit adalah pengusaha dari Jerman, K. Schadt, yang menanam
pohon-pohon kelapa sawit di atas konsesinya. (Pelzer, 1978: 77)
Berdasarkan sejarah diatas, yang merupakan cikal-bakal perkembangan
perkebunan kelapa sawit di kawasan Sumatera Utara hingga sekarang,
mengakibatkan cukup banyak perubahan pada pola kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat di Sumatera. Pada permulaan abad ke-20 Sumatera Timur atau daerah
Deli bahkan Sumatera Utara dikenal dengan sebutan “daerah dolar”. Sebutan ini erat
hubungannya dengan derasnya keuntungan yang mengalir dari hasil onderneming
yang melimpah ruah. Namun nasib buruh dan penduduknya tidak selalu sejalan
dengan kekayaan para pengusaha onderneming. Para pengusaha onderneming
berperan sebagai raja, tuan, majikan, dan hakim bagi buruh-buruh. Mereka tidak
pernah merasa puas dengan hanya mengeksploitasi hasil bumi, mereka juga
mengeksploitasi para pekerja dengan politik upah murah dan membatasi hak para
Oleh sebab itu, untuk mencegah masalah sosial yang selalu muncul pada
masyarakat perkebunan, maka pemerintah berkali-kali merevisi perundang-undangan
perkebunan. Ini disebabkan undang-undang yang ada selalu tidak sesuai dengan
kebutuhan perkembangan masyarakat yang setiap waktu selalu mengalami
perubahan. Hal ini karena cakupan perkebunan yang cukup makro dalam kehidupan
sosial masyarakat Indonesia. Adapun berbagai undang-undang yang telah disahkan
dan mengalami revisi oleh pemerintah antara lain:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004
6. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014.
Perubahan peraturan perundang-undangan ini tidak terlepas baik dalam hal
tanah maupun tenaga kerja. Permasalahan yang beraspek sosial dan politik sering
cukup ruwet jika menyangkut berbagai “konflik kepentingan” yaitu antara pengusaha
perkebunan dengan pekerja maupun perusahaan perkebunan dengan perkebunan
rakyat. Dalam hal tenaga kerja masalahnya terletak pada peranan ekonomi dan
memiliki sistem yang bersifat liberal-kapitalistik(mulai 1870) dan tenaga kerja
(buruh) benar-benar hanya dianggap sebagai salah satu faktor produksi meskipun
peranannya sangat penting, namun dihargai jauh lebih rendah ketimbang modal dan
teknologi. Namun peraturan undang-undang nomor 39 tahun 2014 yang berlaku
sekarang, dianggap tidak pro terhadap rakyat, baik masyarakat adat dengan tanah
ulayat, dan kesejahteraan kaum buruh yang ada di kawasan perkebunan. Peraturan
tersebut jauh lebih memberikan keuntungan terhadap pemilik modal (kaum borjuis)
atau pemangku kekuasaan yang ada di setiap perkebunan besar.
Fungsi peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari pembangunan
nasional yang dilaksanakan dalam r angka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
disegala bidang dengan menitikberatkan pembangunan di bidang ekonomi. Hasil
pembangunan harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.
Keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi seyogyanya dapat memperluas
ketersediaan kebutuhan penduduk seperti kebutuhan sandang, papan, dan pangan.
Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dengan adanya pemberdayaaan manusia dengan
baik. Dalam Baehaqi (Dhamantra, 2016). Dikatakan bahwa sektor industri
perkebunan merupakan salah satu faktor yang dapat memicu percepatan
pembangunan nasional. Hal ini terjadi karena dengan berdirinya kawasan industri
perkebunan besar dalam kehidupan suatu masyarakat maka akan membawa dampak
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal yang sangat mudah dilihat
dari masuknya industri perkebunan adalah keterciptanya lapangan pekerjaan, namun
perkebunan juga memberikan dampak negatif. Dalam hal ini berupa perubahan yang
terjadi atas berkembangnya sistem feodal yang membatasi masyarakat yang bekerja
di dalam industri perkebunan besar. Sistem feodal tumbuh subur di perkebunan besar
milik Negara, hal ini berfungsi untuk mendapatkan keuntungan (profit) yang
sebesar-besarnya sehingga mengabaikan peran pembangunan nasional dalam bidang
kesejahteraan.
Dalam De Silva (Mubyarto, 1982). Dikatakan bahwa tanah dan tenaga kerja
yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan. Perkebunan sering disebut
“pabrik” pertanian karena proses memproduksi hasilnya berupa output komoditi
perkebunan adalah melalui proses memadukan aneka produksi (input) “modern”
(tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) yang dikenal dengan konsep
manajemen pabrik, dan juga manajemen perkebunan, yang keseluruhannya dibentuk
untuk menghasilkan keuntungan atau profit. Setelah efisiensi penggunaan tanah yang
terus menerus diusahakan, tenaga kerja yang relatif murah pun harus digunakan
seefisien mungkin. Selain itu, suasana perkebunan juga diatur sedemikian rupa agar
buruh hanya menjadi semacam “komponen mesin” yang tidak berharga, sehingga
tidak mungkin terdorong untuk pulang kampung dan pindah mencari pekerjaan lain.
Seiring dengan sifat keterkurungan dari buruh perkebunan, organisasi buruh dan
pengawasannya didesain untuk menghambat mobilitas buruh dan menekan
kenaikan-kenaikan upah. Berkembang di wilayah apapun, perkebunan selalu dipisahkan dari
bagian perekonomian dan masyarakat lain dengan berbagai fasilitas keagamaan
dilahirkan atau dikirim kesana, ia akan sulit melarikan diri dari dunia perkebunan
yang tertutup, upah ditahan agar tidak naik terlalu tinggi, tetapi dibolehkan turun
serendah mungkin.
Stratifikasi sosial tenaga kerja perkebunan, secara umum dapat dibagi menjadi
empat lapisan kelas sosial, yaitu administratur atau managerial, pegawai staf, pegawai
non-staf, dan buruh kerja perkebunan. Masing-masing memiliki pembagian tugas dan
wewenang yang tegas. Seorang administrator adalah pucuk pimpinan satu unit
perkebunan, dan dibantu oleh penasehat dan kontraktor yang termasuk pegawai staf.
Seorang kontraktor membawahi beberapa kepala bagian, dan seorang kepala bagian
membawahi seorang asisten yang diberi wewenang di lapangan (lokasi perkebunan).
Seorang asisten dibantu oleh beberapa orang mandor yang mengawasi bagian-bagian
produksi dan merupakan pegawai non-staf. Hirarki yang paling bawah adalah
buruh/pekerja perkebunan.
Hubungan masing-masing tingkat kepegawaian tersebut dipisah dengan tegas
dan kaku oleh status dan sistem upah. Seorang buruh/pekerja tidak dimungkinkan
menjadi mandor, karena mandor dipilih atas dasar kedudukan sosialnya di lingkungan
kerja. Demikian pula, pegawai non-staf menjadi pegawai staf jarang terjadi, mobilitas
hanya dimungkinkan melalui jalur pendidikan. Selain itu, hubungan dalam struktur
organisasi perkebunan bersifat feodal nan otoriter. Masyarakat perkebunan telah
mengalami banyak perubahan hingga saat ini. Dalam sisi pengambilan kebijakan,
pimpinan perkebunan masih menggunakan sistem feodal dalam menjalankan struktur
memperlihatkan bahwa sistem feodal diberlakukan dan dijalankan oleh pimpinan
yang berpendidikan tinggi bersama dengan kalangan staf yang merupakan koleganya.
Di sisi lain, pekerja/buruh kebun dibagi lagi menjadi buruh tetap dan
musiman. Buruh tetap bisa memperoleh fasilitas kebun, seperti tunjangan pokok dan
kesehatan. Seorang buruh laki-laki mempunyai fasilitas kesehatan yang juga berlaku
bagi keluarganya, sedangkan seorang buruh perempuan hanya memiliki fasilitas
kesehatan untuk dirinya saja. Selain pekerja tetap, perkebunan juga membutuhkan
pekerja musiman/borongan yang dibutuhkan pada waktu kegiatan meningkat.
Pekerjaan yang meningkat tinggi pada periode tertentu yang pendek, membutuhkan
jumlah tenaga kerja musiman yang tinggi pula.
Sub-sektor perkebunan merupakan sub-sektor yang secara tradisional
merupakan salah satu penghasil devisa Negara. Hasil-hasil perkebunan yang seperti
kita ketahui selama ini telah menjadi komoditas ekspor, khususnya kelapa sawit atau
CPO (Crude Palm Oil). Di Indonesia sebagian besar tanaman perkebunan diusahakan
oleh perkebunan Negara (inti), sedangkan sisanya diusahakan oleh perkebunan
rakyat, perkebunan inti ialah perkebunan besar milik pemerintah maupun swasta.
Perkebunan inti menguasai 55% dari luas areal perkebunan yang ada di Indonesia,
dengan melibatkan 17.810.600 KK untuk masyarakat yang hidup dan bekerja di
dalam perkebunan, dan perkebunan rakyat menguasai 45% dari luas areal
perkebunan. Dengan produksi mencapai 65% untuk perkebunan inti dan 35%
Masyarakat perkebunan adalah masyarakat feodal yang dicirikan beberapa hal
seperti adanya kepatuhan dan penghormatan berlebihan yang dilakukan buruh
terhadap pimpinan perusahaan, khususnya PTPN-3. Sikap serta perilaku yang sering
ditunjukkan buruh perkebunan tersebut merupakan suatu budaya yang tercermin dari
masyarakat kolonial masa lalu. Kepatuhan serta penghormatan yang berjenjang
merupakan sikap dasar yang tetap harus dilakukan utamanya pada buruh bawahan
seperti buruh/karyawan biasa. Para buruh di perkebunan harus tunduk dan patuh pada
pimpinan serta aturan perusahaan. Karena sekali mereka diketahui perusahaan
melanggar maka sanksi akan dijatuhkan pada mereka. Biasanya seorang pimpinan
perkebunan adalah orang yang sangat ditakuti dan disegani oleh para bawahan.
Asisten perkebunan akan segan dan takut berjumpa dengan manager jika terdapat
masalah pada bagian kerja yang dia kendalikan. Kendati demikian, hal tersebut juga
berlaku pada tiap lapisan yang ada di bawahnya. Bentuk dari sifat feodalisme yang
terlihat ialah ketakutan akan bertatap muka secara langsung terhadap pimpinan.
Meskipun terkadang para bawahan terpaksa menemui pimpinan karena pemanggilan
terhadapnya dan juga dalam suatu rapat perusahaan.
Karakteristik sosial masyarakat perkebunan yang lain adalah adanya tekanan
struktural yang tetap terjaga. Tekanan struktural merupakan budaya masyarakat
perkebunan yang tetap dilestarikan agar pimpinan perusahaan perkebunan tetap
berwibawa dihadapan buruh. Selain menjaga kewibawaan pimpinan perusahaan
perkebunan, tekanan terhadap buruh/pekerja juga dimaksudkan untuk menjaga
merupakan tuntutan kerja perusahaan. Jika buruh biasa harus tunduk pada mandor,
maka mandor harus hormat dan patuh pada asisten, sedangkan asisten harus
mengikuti segala perintah asisten kepala (askep) dan asisten kepala harus patuh
terhadap kebijakan manager.
PT Perkebunan Nusantara III – PTPN III (Persero) merupakan salah satu dari
14 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perkebunan yang bergerak dalam bidang
usaha perkebunan, pengolahan, dan pemasaran hasil perkebunan. Kegiatan usaha
Perseroan mencakup usaha budidaya dan pengolahan tanaman kelapa sawit dan karet.
Produk utama Perseroan adalah Minyak Sawit (CPO) dan Inti Sawit (kernel) dan
produk hilir karet. PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) di singkat PTPN-3
dibentuk berdasarkan PP No. 8 Tahun 1996 dalam rangka rekonstruksi Badan Usaha
Milik Negara(BUMN) dibidang perkebunan. PTPN-3 merupakan penggabungan
kebun-kebun di wilayah Sumatera Utara dari eks PTP III, PTP IV, PTP V.
Perusahaan PTPN-3 memiliki visi untuk menjadi perusahaan agribisnis kelas
dunia dengan kinerja prima dan melaksanakan tata kelola bisnis terbaik. Serta misi
perusahaan meliputi:
1. Mengembangkan industri hilir berbasis perkebunan secara
berkesinambungan.
2. Menghasilkan produk berkualitas untuk pelanggan.
3. Memberlakukan karyawan sebagai asset strategis dan mengembangkannya
4. Menjadi perusahaan terpilih yang memberikan imbal hasil terbaik bagi
para investor.
5. Menjadikan perusahaan yang paling menarik untuk bermitra bisnis.
6. Memotivasi karyawan untuk berpartisipasi aktif dalam mengembangkan
komunitas.
7. Melaksanakan seluruh aktifitas perusahaan yang berwawasan lingkungan.
Adapun tujuan perusahaan sesuai dengan Pasal 3 Anggaran Dasar Perusahaan,
maksud dan tujuan perusahaan adalah melakukan usaha dibidang agrobisnis dan
agroindustri, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya perusahaan untuk
menghasilkan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat.
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, perusahaan melaksanakan kegiatan
utama sebagai berikut:
1. Pengusahaan budidaya tanaman meliputi pembukaan dan pengolahan
lahan, pembibitan, penanaman dan pemeliharaan dan pemungutan hasil
tanaman serta melakukan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan
dengan pengusahaan budidaya tanaman tersebut.
2. Produksi meliputi pengolahan hasil tanaman sendiri maupun dari pihak
lain menjadi barang setengah jadi dan atau barang jadi serta produk
turunannya.
3. Perdagangan meliputi penyelenggaraan kegiatan pemasaran berbagai
macam hasil produksi serta melakukan kegiatan perdagangan lainnya yang
4. Pengembangan usaha bidang perkebunan, agrowisata, agrobisnis, dan
agroindustri.
5. Lain-lain dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang
dimiliki perusahaan.
Selain itu, PTPN III akan menjadi perusahaan induk (holding) BUMN
Perkebunan. Ini dikarenakan Perusahaan Holding PTPN – Perusahaan-perusahaan
BUMN yang bergerak di bidang perkebunan berencana membentuk perusahaan induk
(holding).
Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di
dunia yang membutuhkan sumber daya manusia (SDM) memadai yang berkisar 7
juta orang untuk di perkebunan sawit. Di perkebunan besar areal tanah per hectare
membutuhkan tenaga kerja kira-kira 0,4 orang atau KK, sehingga jika ada 10 juta
hectare maka sekarang ini membutuhkan sekitar 4 juta KK secara langsung.
Sementara yang tidak langsung berkisar 0,3 atau sekitar 7-8 juta buruh kerja
perkebunan. (Ridwan, 2015. “Kebun Sawit Butuh 7 Juta Tenaga Kerja”. Sumber
online :
www.infosawit.com/mobile/index.php/news/detail/kebun-sawit-butuh-7-juta-tenaga-kerja)
Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Medan, pada Agustus
2015 pekerja perkebunan yang mengenyam jenjang pendidikan SD ke bawah masih
tetap mendominasi yaitu sebesar 1,83 juta orang (30,70%), sedangkan pekerja dengan
Sarjana sebesar 465 ribu orang (7,79%). Dengan dominasi pendidikan yang cukup
rendah di perkebunan, dimana pendidikan SD ke bawah lebih dominan. Maka ini
memberikan dampak yang cukup serius bagi pekerja perkebunan yang selalu
terkungkung pada lapisan kelas pekerja bawah yang sulit maju. Mobilitas pekerja
lapisan bawah semakin sulit akibat tingkat pendidikan yang rendah. Kondisi ini
menciptakan sistem feodal yang semakin tumbuh kembang dengan memanfaatkan
kebodohan dan membatasi akses para buruh kerja bawah untuk selalu mengalami
eksploitasi dan penghisapan.
Adapun yang ingin peneliti teliti ialah sistem feodalisme yang ada diantara
sang tuan kebun terhadap para pekerjanya, serta bagaimana sifat sistem feodal yang
berlaku antara sang tuan dengan para pekerja, serta interaksi dalam sistem feodal di
perkebunan saat proses kerja berlangsung sehingga mengetahui kondisi sosial yang
diatur oleh sistem ini di perkebunan PTPN-III Desa Sisumut. Selain itu kondisi
perkebunan besar, terutama seperti di PTPN-III, mengalami kendala berupa
penurunan harga komoditi, rantai pemasaran yang panjang dan perlambatan
perekonomian dunia. Kendala-kendala tersebut mengakibatkan penekanan
perkembangan upah karyawannya, sehingga gap antara upah pekerja di perkebunan
dengan sektor lain (industri) semakin melebar. Demikian pula gap antara upah
maksimum dan minimum menunjukkan peningkatan pula. Ini berarti perkebunan
Negara mengalami “kesulitan” untuk mensejahterakan masyarakat dalam
1.2. Rumusan Masalah
Untuk sebuah penelitian maka harus memilki batasan-batasan permasalahan
yang harus diamati maupun diteliti sehingga penelitian dapat terfokus dalam
terselesaikannya suatu masalah dan peneliti tidak keluar dari jalur yang ditetapkan.
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pola budaya feodal `yang terlihat dalam interaksi dan
stratifikasi sosial diantara managerial dengan lapisan bawahnya di
perkebunan PTPN-3 Desa Sisumut ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
dan menganalisis bagaimana pola hubungan sang manager terhadap bawahannya
yang tersusun dalam struktur organisasi yang memperlihatkan sistem feodalisme
sehingga berdampak bagi kesejahteraan kaum pekerja/buruh di PTPN-3 Desa
Sisumut, Kecamatan Kota Pinang, Kabupaten Labuhan Batu Selatan.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ialah sesuatu yang sangat diharapkan ketika sebuah
penelitian telah selesai dilakukan. Adapun yang menjadi manfaat dilakukannya
1.1.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi
mahasiswa khususnya Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik ( sosiologi ) dan dapat
memberikan kontribusi yang positif terhadap setiap orang atau instansi yang terkait
pada pengetahuan sosial yang membaca penelitian ini. Sehingga dapat memahami
bagaimana sebenarnya sistem dan pola hubungan manejer “sang tuan” dengan
bawahannya, serta juga dapat menambah referensi hasil penelitian bagi peneliti
selanjutnya yang mengkaji persoalan yang terkait dengan penelitian ini.
1.1.2 Manfaat Praktis
Segala bentuk rangkaian kegiatan penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dan kemampuan berfikir peneliti dalam menyusun karya tulis ilmiah, serta
hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak baik sebagai bahan bagi
peneliti berikutnya yang ingin mengetahui lebih dalam penelitian sebelumnya serta
bagi pihak terkait seperti pemerintah khususnya Pemerintahan Kabupaten Labuhan
Batu Selatan dalam pengambilan kebijakan. Maupun sebagai referensi kepemimpinan
perkebuanan besar seperti BUMN, sehingga dapat memberikan kesejahteraan
1.5. Definisi Konsep
1. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan bentuk pembedaan masyarakat kedalam lapisan
kelas-kelas sosial secara bertingkat atau strata dalam hierarki secara vertikal,
dan tidak merata atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Atau
mengkaji posisi atau kedudukan antar-orang atau sekelompok orang dalam
keadaan yang tidak sederajat.
2. Feodalisme
Feodalisme disini adalah sistem yang ingin peneliti teliti, dimana sistem
feodal diartikan sebagai paham yang menganut orientasi nilai pelayanan yang
berlebihan bagi yang berkuasa, pejabat, birokrat, atau bagi yang dituakan dan
yang ingin selalu dilayani dan dihormati. Disisi lain, Feodalisme dalam
Ensiklopedia Nasional Indonesia (1997) merupakan penjelasan yang berkaitan
dengan pandangan kolot kelanjutan pada tata cara bangsawan keraton.
Dimana pengikut para raja/bangsawan diikat dengan tuan-tuan mereka dan
bersatunya tuan dan hamba atau bawahan dengan atasan. Kehendak gusti yang
dipertuan otomatis harus dijalankan. Sementara disisi lain, dalam struktur
masyarakat Indonesia memiliki istilah priyayi dan wong cilik, inilah bentuk
3. Tuan
Tuan bagi peneliti merupakan seorang karyawan pimpinan(manager) yang
memberikan pekerjaan dan yang memiliki kekuasaan penuh dan punya
perintah yang kuat dan secara otomatis para pekerja atau buruh harus patuh
dan tunduk terhadapnya. Arti lain, tuan dalam lingkup wilayahnya dianggap
seperti raja yang sangat disegani dan ditakuti.
4. Perkebunan
Perkebunan merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya
manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan
pemasaran terkait tanaman dan diartikan sebagai usaha untuk menciptakan
lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan dan devisa Negara serta dapat
memberi sumbangsih terhadap kesejahteraan masyarakat yang bekerja
didalamnya.
5. Pekerja/Buruh
Pekerja atau Buruh merupakan orang yang bekerja dengan orang lain untuk
mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain dengan memberikan
tenaga atau jasanya terhadap perusahaan atau seseorang yang
6. Upah
Upah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa
atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan
sesuatu, sehingga perusahaan atau sang manager tersebut mencapai target
yang diinginkannya atas jasa tenaga dan pikiran sang pekerja yang mengabdi