• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Tentang Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris Bagi Perkawinan Poligami Oleh Pejabat Yang Berwenang (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 314 Pdt.G 2014 Pa.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Tentang Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris Bagi Perkawinan Poligami Oleh Pejabat Yang Berwenang (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 314 Pdt.G 2014 Pa.Mdn)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEJABAT YANG BERKOMPETENSI UNTUK MEMBUAT SURAT

KETERANGAN AHLI WARIS YANG BERPOLIGAMI MENURUT

KETENTUAN YANG BERLAKU

A. Perkawinan Poligami Dalam Hukum Perkawinan Islam

1. Pengertian Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dalam hal ini dapat dilihat terjadinya gunjingan di dalam masyarakat, bila ada di kalangan mereka yang tidak bersedia berumah tangga, sedangkan syaratnya telah terpenuhi. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahkluk yang mulia.

(2)

Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat terperinci, untuk membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah SWT yang lain. Hubungan manusia laki-laki dengan perempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah SWT sebagai Al-Khaaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya.

Perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dengan adanya ketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab kabul dalam akad nikah yang disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki, dan amat diutamakan disaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu jamaah (walimah).

Selain itu hak dan kewajiban suami isteri timbal balik diatur amat rapi dan tertib, demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri diatur pula bagaimana cara mengatasinya. Selain itu ada pula tuntunan adat sopan santun pergaulan dalam keluarga dengan sebaik-baiknya, agar keserasian hidup tetap terpelihara dan terjamin.53

Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki. Dengan demikian dapat diperolah pengertian bahwa

perkawinan menurut hukum Islam adalah: “suatu akad atau perikatan laki-laki

dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang

53 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Edisi Revisi, (Banda Aceh:

Pena, 2010), hlm. 1-2

(3)

diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi

Allah.”54

Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.55

Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.56

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan. Orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, untuk berpuasa. Orang yang berpuasa akan memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji yaitu perzinahan.57

Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari: pernikahan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan kehidupannya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti mahluk

54 Ibid, hlm. 33 55

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 1

56 Mohd. Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Bumi Aksara, 2010), hlm.70

57

(4)

lain, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki tanpa adanya satu aturan. Oleh karena itu, untuk menjaga kehormatan dan kemualiaan manusia, Allah wujudkan hukum yang sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhoi, dengan upacara ijab-qabul sebagai lambang dari adanya rasa saling meridhoi serta di hadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa kedua pasangan tersebut telah saling terikat. Bentuk pernikahan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri (seks),memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan menjadi laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri di letakkan dibawah naungan naluri keibuan dan kebapakan sehingga nantinya akan menghasilkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan buah yang bagus. Peraturan pernikahan seperti inilah yang diridhoi Allah SWT dan diabadikan Islam untuk selamanya, sedangkan yang lainnya di batalkan.58 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.59

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu : 60

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.

58 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, Terjemahan: Nor Hasanuddin, Dkk, (Jakarta: Pena

Pundi Aksara, 2006), hlm. 477-478

59 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit.,hlm.70 60

Ibid. hlm.70-71

(5)

3) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

4) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

5) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

6) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya di Pengadilan Agama.

7) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah;

c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya satu syarat perkawinan; d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya

Undang-Undang No.1 Tahun 1974; dan

e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974. 8) Yang berhak mangajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau

istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dalam perkawinan itu.

(6)

Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan: 1. Perkawinan dari segi hukum.

Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian.

Oleh Q.IV:21, dinyatakan “…perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”,

disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”.

Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:

a. Cara mangadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan aqad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.

b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.

2. Segi sosial dari suatu perkawinan.

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilain yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting. Dalam Agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi

(7)

pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagai diingatkan oleh Q.IV:1.61

Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia Pasal 1 merumuskannya dengan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:62

Pertama: digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita”

mengandung arti perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat.

Ke dua: digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti

bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda

dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

Ke tiga: dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan

mut’ah dan perkawinan tahlil.

Ke empat: disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

Di samping defenisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam Indonesia memberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti-arti defenisi Undang-Undang tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut:

61 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2011), hlm. 5

62

Ibid.

(8)

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.63

Ungkapan akad yang sangat kuat mitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari

ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang-Undang yang

mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.64

Ungkapan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan

ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa” dalam Undang-undang. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat

Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karna itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.65

Disamping perkawinan itu merupakan suatu perbuatan ibadah, perempuan yang sudah menjadi istri itu merupakan amanah Allah yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Dan ia diambil melalui prosesi keagamaan dalam akad nikah.

Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan di atas dicermati dengan seksama, terdapat garis perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak konfrontatif. Perbedaan-perbedaan yang dimaksudkan ialah:66

63 Tim Redaksi FokusMedia, Op.Cit., hlm. 7 64 Mardani, Op.Cit, hlm. 6

65 Ibid. 66

Ibid.

(9)

Pertama, dalam rumusan undang-undang, tercermin kaharusan ijab kabul

(‘aqdun-nikah) pada sebuah perkawinan seperti tersurat dalam anak kalimat:

“ikatan lahir-batin”. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam meskipun di

dalamnya disebutkan kata “akad yang sangat kuat,” lebih mengisyaratkan

pada terjemahan kata-kata miitsaqan ghalizhan yang terdapat sesudahnya yang tidak menggambarkan pengertian pernikahan, akan tetapi lebih menunjukkan kepada sebutan atau julukan lain dari sebutan akad nikah. Ke dua, kata-kata: “antara seorang pria dengan seorang wanita”, menafikan kemungkinan ada perkawinan sesama pria (gay) atau antara sesama wanita (lesbian) di negara hukum Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara lain beberapa tahun terakhir ini. Di antaranya ialah Negara-negara Belanda, Belgia dan sebagian negara bagian Canada.67 Sedangkan KHI sama sekali tidak menyebutkan dua pihak yang berakad ini sungguhpun dapat diyakini bahwa KHI sangat mendukung peniadaan kemungkinan menikah antara sesama jenis yang dilarang oleh Undang-Undang Perkawinan.

Ke tiga, Undang-Undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yakni

“membentuk keluarga (rumah-tangga) bahagia dan kekal” sementara KHI

yang memuat tujuan perkawinan secara tersendiri dalam Pasal 3 lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti terdapat dalam

kalimat: “Untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya

merupakan ibadah”. Padahal, rata-rata kitab hadist hukum dan fiqih

67 Ibid.

(10)

memasukkan bahasa munakahat (perkawinan) dalam kitab (bab) muamalah tidak dalam kitab (bab) ibadah. Ini menunjukkan bahwa aspek muamalah dalam perkawinan jauh lebih menonjol daripada aspek ibadah sungguhpun di dalamnya memang terkandung pula nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan.

Jadi prinsipnya pergaulan antara suami istri itu hendaklah:

1. Pergaulan yang makruf (pergaulan yang baik) yaitu saling menjaga rahasia masing-masing.

2. Pergaulan yang sakinah (pergaulan yang aman dan tentram).

3. Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling mencintai terutama di masa muda (remaja).

4. Pergaulan yang disertai rahmah (rasa santun-menyantuni terutama setelah masa tua), Qu’ran IV: 19, Qur’an.IV:34, dan Qur’an XXX: 21.68

2. Rukun Dan Syarat Sah Perkawinan

“Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan atau ibadah, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian

pekerjaan itu seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram

untuk shalat”.69

Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.70

“Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi Sesutu itu tidak termasuk dalam rangkaian

68

Ibid

69 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 9 70

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 45-46

(11)

pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat”.71

Atau, menurut Islam, calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam.

“Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan

syarat”.72

Menurut jumhur ulama, rukun perkawinan itu ada lima, dan masing-masing rukun itu mempunyai syarat-syarat tertentu. Syarat dari rukun tersebut adalah:73

1. Calon suami, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam

b. Laki-laki c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak perdapat halangan perkawinan. 2. Calon istri, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuannya e. Tidak terdapat halangan perkawinan

71

Ibid.

72 Ibid.

73 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 62-63

(12)

3. Wali nikah, syarat-syaratnya: a. Laki-laki

b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya. 4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

a. Minimal dua orang laki-laki b. Hadir dalam ijab qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam

e. Dewasa

5. Ijab qabul, syarat-syaratnya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang irham haji atau umrah

f. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.

(13)

Sedangkan mahar (maskawin), kedudukannya sebagai kewajiban perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan. Bila tidak ada mahar, maka pernikahannya menjadi tidak sah. Dasarnya adalah Q.S. an-Nisa’ ayat 4

dan 24: ” Berikanlah maskawin (shadaq, nihlah ) sebagai pemberian yang

wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagai maskawin itu senang hati, maka gunakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap dan

nikmat “. Ayat 24: ” Dihalalkan bagimu (mengawini) perempuan-perempuan

dengan hartamu (mahar), seperti beristri dengan dia, dan bukan berbuat jahat. Jika kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan perempuan itu, hendaklah kamu memberikan kepadanya maskawin (ujur, Faridah) yang telah kamu

tetapkan”.74

3. Pengertian Poligami

Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara

etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi, poligami itu

artinya beristri banyak. Secara terminology, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”.75 Atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari

seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.76

74Mardani, Op.Cit., hlm. 10 75 Zakiah Daradjat (et al), Op.Cit.

76 Selamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.

131

(14)

Poligami terjadi ketika seorang laki-laki yang telah memiliki istri menikah lagi dengan perempuan lain. Dalam Islam sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang laki-laki diperbolehkan menikahi beberapa perempuan hingga empat orang. Hal ini sudah dimaklumi dan lumrah sejak masa-masa awal Islam hingga perkembangan fiqih dikemudian hari. Kebolehan ini di dapatkan dalam Al-Qur’an, hadist dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam sejak awal dan tidak pernah dipermasalahkan mengenai hal itu oleh para ulama. Kebolehan memperisteri hingga empat orang perempan dalam biasanya disandarkan pada surat an-Nisa’(4) ayat 3.77 Al-Qur’an surat

an-Nisa’(4) ayat 3 memberi kelonggaran bagi laki-laki untuk berpoligami

sebanyak-banyaknya empat orang istri. Laki-laki yang telah memiliki empat orang istri haram kawin lagi dengan istri kelima dan seterusnya.

Allah SWT membolehkan berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah.78 Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah An-Nisa’(4) ayat 3 yang artinya sebagai berikut:

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.

77 Dedi Susanto, Kupas Tuntas Masalah Harta Gono-Gini, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,

2011), hlm. 205

78

Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hlm. 129

(15)

Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya”.

Selain ayat di atas yang menyatakan batasan seorang muslim untuk memperisteri empat orang saja, banyak ayat lain dalam Al-Qur’an yang menunjukkan keberadaan isteri dalam bentuk jamak, misalnya pada surat al-Baqarah (2) ayat 187, surat an-Nisa’(4) ayat 24, surat an-Nahl (16) ayat 72 dan banyak lagi lainnya.79

Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi, sebagai berikut:

Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/mudharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul konflik kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunanyang shaleh yang selalu berdo’a untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus

79

Dedi Susanto, Op-Cit., hlm. 206

(16)

bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.80

Dalam hal apa suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya ketika berpoligami? Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan : pangan, pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang berasal dari golongan bawah. Jika masing-masing istri mempunyai anak yang jumlahnya berbeda atau jumlahnya sama tapi biaya pendidikannya berbeda, tentu saja dalam hal ini harus menjadi pertimbangan dalam memberikan keadilan.

Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram untuk menikahi istri untuk yang keempatnya. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya untuk dua orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang ketiganya, dan begitu seterusnya.

Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkan seseorang untuk menikah satu, dua sampai empat wanita, dengan syarat dia mampu untuk berbuat adil. Allah melarangnya kawin lebih dari empat karena melebihi batas jumlah itu akan mendatangkan aniaya seperti yang telah diketahui dengan jelas. Seorang tidak mungkin mampu untuk menahan diri dari

80 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Gita Karya,

1988). hlm. 12

(17)

perbuatan aniaya tersebut meskipun telah mempunyai pengetahuan dan ilmu banyak.81

4. Syarat-Syarat Poligami.

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Bahkan para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.

Dapat dipastikan bahwa poligami dalam pandangan mayoritas ulama klasik adalah dibolehkan. Tidak ada ketentuan dalam Al-Quran atau hadist yang secara tegas melarang dilakukannya poligami, justru sebaliknya beberapa ayat dan hadis yang diriwayatkan atau dikutip ulama menunjukkan bolehnya menikahi perempuan hingga empat orang.82

81

Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hlm. 138

82 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.

215.

(18)

Di Indonesia, perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan berdasarkan atas asas monogami, namun tetap dibuka kemungkinan untuk poligami dengan alasan dan syarat tertentu.83

Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai mana yang disebutkan dalam pasal-pasal berikut:84

Pasal 56 menyebutkan;

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum Selanjutnya Pasal 57 menyatakan;

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.

b. Isteri mandapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Selanjutnya Pasal 58 menyebutkan;

1. Selain syarat utama yang disebut pada Pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu: a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri,

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada

83 A. Bakri Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,

Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata,(Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), hlm. 9.

84

Tim Redaksi FokusMedia, Kompilasi Hukum Islam, Op-cit., hlm. 21-22

(19)

persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.

3. Persetujuan dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59 menyebutkan;

Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang brsangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

5. Poligami Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Prinsip monogami tetap dianut oleh Undang-undang Perkawinan. Prinsip tersebut diungkapkan dengan sebutan: pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, demikianlah kata pasal 3 ayat (1) Undang-undang Perkawinan itu.85

Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kewajiban suami yang beristri lebih dari satu orang secara eksplisit. Ini dapat dimengerti, karena salah satu asas yang ditekankan oleh undang-undang ini adalah monogami (Pasal 3 ayat (1)). Poligami atau beristri lebih dari satu orang hanya dapat dilakukan, setelah pengadilan member izin,

85

(20)

apabila rencana poligami tersebut dikehendaki oleh suami-istri yang bersangkutan.86

Pada dasarnya aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan kemestian campur tangan penguasa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diambil alih seluruhnya oleh KHI. Keberanian KHI mengambil alih aturan tersebut merupakan langkah maju secara dinamis aktualisasi hukum Islam di bidang poligami. Keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami didasarkan atas alasan ketertiban umum. Lagi pula, jika diperhatikan ketentuan Surat an-Nisa’(4) ayat 3 derajat hukum perkawinan poligami adalah kebolehan. Kebolehan itu pun kalau ditelusuri sejarahnya tergantung pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam.87

Dengan demikian poligami:

a. Harus didasarkan pada alasan enumeratif. Tanpa dipenuhi salah satu alasan tidak boleh poligami. Alasanya adalah:

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban;

2) Istri cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan; 3) Istri mandul.

b. Harus memenuhi syarat:

1) Mesti ada persetujuan istri; 2) Mampu berlaku adil;

3) Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan.

Firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ ayat 3 yang artinya sebagai berikut:

86 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 193 87 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum

Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58

(21)

“ Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk

tidak berbuat aniaya”.

Jadi menurut ketentuan ayat tersebut syarat utama yang sekaligus merupakan kewajiban suami terhadap isteri atau isteri-isterinya adalah jaminan keadilan, dari nafkah sehari-hari, tempat kediaman, dan kebutuhan lainnya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam dirumuskan dalam Pasal 82 sebagai berikut:

(1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang, menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

(2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.

(22)

Dasar hukum penetapan kewajiban suami tersebut adalah surat al-Baqarah (2) ayat 233 yang artinya sebagai berikut:88

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan

cara yang ma’ruf”.

Keadilan suami terhadap istri-istrinya merupakan kewajiban yang harus diperhatikan. Hal ini diisyaratkan dalam Firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang (an-Nisa’(4): 129). c. Harus ada izin Pengadilan Agama.

Izin beristeri lebih dari seorang ialah, izin yang diberikan Pengadilan Agama kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, sesuai dengan prosedur dan cara-cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.89

Suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya. Suami didudukkan sebagai pemohon sedangkan pihak istri yang suaminya hendak berpoligami didudukkan sebagai termohon. Bagi

88 Ahmad Rofiq, Op-cit., hlm. 194

89 Lihat Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3, 4,dan 5. Dalam pasal

ini dijelaskan mengenai azas perkawinan, syarat melakukan poligami dan hal yang memperbolehkan kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang.

(23)

Pegawai Negeri Sipil dan ABRI ada peraturan dan persyaratan khusus tersendiri, yang mesti dipenuhi guna kedisiplinan.90

Seorang Suami yang akan melangsungkan perkawinan kedua, ketiga, dan keempat, baru dapat melaksanakan poligami, apabila penetapan Pengadilan Agama yang memberi izin itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.91

Dalam hal ini dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama. Poligami tidak lagi merupakan tindakan individual affairs. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan Negara yakni mesti ada izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama perkawinan itu dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.92

B. Pihak Yang Berwenang Membuat Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW)

Bagi Perkawinan Poligami

1. Pengertian Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) Dan Fungsi Surat

Keterangan Ahli Waris (SKAW)

Berbicara mengenai Surat Keterangan Ahli Waris, maka terlebih dahulu harus dipahami tentang pewarisan. Hak pewarisan, diberikan Allah kepada setiap muslim. Namun, seperti halnya setiap hak, selalu saja ada aturan, adab dan etika. Tidak bisa sembarangan warisan diberikan dari harta orang yang

90

Lihat PP No. 10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP No. 45/1990 tentang Perubahan PP No. 10/1983 dan Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI No. Kep/B/12/III/1972 tentang Peraturan Perkawinan, Perceraian dan Rujuk anggota ABRI.

91 Ahrum Hoerudin, Pengadilan Agama , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 10 92

Cik Hasan Bisri, Op.Cit., hlm. 59

(24)

sudah meninggal dunia. Untuk itu, seperti halnya pemahasan tentang ibadah dan muamalah, hal yang terpenting yang harus dikaji adalah rukun dan syarat sahnya sebuah pewarisan.93

Rukun, secara bahasa yaitu asas, dasar, atau sisi yang kuat dari sesuatu. Secara istilah, rukun artinya sesuatu yang menentukan keabsahan sesuatu, amalan atau yang lainnya, dan ia bagian dari sesuatu atau amalan tersebut. Seperti takbiratul ihram dan Al-Fatihah adalah rukun dari salat.94

Yang dimaksud dengan rukun dalam pewarisan ini adalah hal-hal yang menentukan adanya pewarisan tersebut. Jumlahnya ada tiga, seperti

diungkapkan seorang pujangga Arab dalam syairnya, “ Yang mewarisi, yang

mewariskan, yang diwariskan, ketiganya adalah rukun yang menentukan

diberlakukannya pewarisan.” Jadi rukun waris ada tiga yaitu:95

1. Yang Mewariskan, yakni orang yang meninggal dunia atau dianggap telah meninggal dunia, seperti orang hilang.

2. Ahli Waris, yaitu yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan mayit dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), ikatan pernikahan, atau lainnya. Ahli waris harus masih hidup, atau yang dianggap setara dengan hidup, seperti janin dalam kandungan. Mereka berhak terhadap warisan, meskipuin bisa saja tidak diperbolehkan untuk mengambilnya, karena adanya penghalang. 3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang

ditinggalkan mayit, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya, yang kesemuanya itu harus terbebas dari kepemilikan orang lain.

93 Abu Umar Basyir, Warisan, Belajar Mudah Hukum Waris Sesuai Syariat Islam, (Solo:

Rumah Dzikir, 2006), hlm. 47

94

Ibid.

95

Ibid., hlm. 48

(25)

Ketiga rukun ini harus ada dalam proses pewarisan. Bila salah satunya tidak ada, maka pewarisan tidak dapat atau tidak sah dilakukan. Sedangkan syarat secara bahasa, artinya tanda. Secara istilah, hal yangmenentukan keberadaan sesuatu, amalan dan sejenisnya. Bisa juga hal yang menentukan keabsahan sesuatu, amalan, dan sejenisnya, namun tidak termasuk dalam bagian sesuatu atau amalan tersebut.

Jadi, syarat pewarisan artinya adalah sesuatu atau hal yang menentukan kesempurnaan dan keabsahan pewarisan. Kalau salah satunya tidak ada, maka pewarisan itupun tidak ada.

Syarat-syarat pewarisan itu juga ada tiga yaitu:

1. Meninggalnya seseorang (yang mewariskan) baik secara hakiki maupun secara hukum (contohnya dianggap telah meninggal).

2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu yang mewariskan telah meninggal dunia.

3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.96

Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris.

Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki ataupun secara hukum adalah bahwa seseorang yang telah meninggal dunia dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.

Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, kecuali setelah ia meninggal.

Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris

96 Muhammad Ali Ash.Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok: Fathan Prima Media,

2013), hlm.39-40

(26)

Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.

Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa atau dalam keaadan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninngal maka diantara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.

Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris

Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, isteri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ‘ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

Dalam prakteknya, seorang ahli waris tidak dapat dengan langsung secara otomatis dapat menguasai dan melakukan balik nama harta warisan yang menjadi haknya dengan terbukanya pewarisan (meninggalnya pewaris), melainkan untuk dapat melakukan tindakan hukum terhadap apa yang telah menjadi haknya tersebut harus dilengkapi dengan adanya surat keterangan hak waris.97

97 I. Gede Purwaka, Keterangan Hak Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Berdasarkan

Ketentuan KUH Perdata, Program Spesialis Notariat dan Pertanahan Fakultas Hukum UI, (Jakarta: UI Press, 1999), hlm.3

(27)

Keterangan hak waris disebut juga surat keterangan hak mewaris atau surat keterangan ahli waris. Surat keterangan hak waris merupakan surat bukti waris, yaitu surat yang membuktikan bahwa yang disebutkan diatas adalah ahli waris dari pewaris tertentu.98

Adapun yang dimaksud dengan Surat Keterangan Waris (Verklaring van Erfpacht) menurut R. Soegondo Notodisoerjo adalah: surat keterangan yang dibuat oleh notaris yang memuat ketentuan siapa yang menurut hukum merupakan ahli waris yang sah dari seseorang yang meninggal dunia. 99

Menurut Irma Devita Keterangan Waris adalah surat yang dibuat oleh/di hadapan pejabat yang berwenang, yang isinya menerangkan tentang siapa saja ahli waris dari seseorang yang sudah meninggal dunia. Berdasarkan keterangan warislah maka ahli waris dapat mendapatkan hak-haknya terutama terhadap harta peninggalan pewaris.100

Surat Keterangan Waris dibuat oleh para ahli waris apabila bermaksud untuk melakukan peralihan hak atau turun waris atas suatu warisan sebagai syarat dalam pembuatan akta selanjutnya atau dibuat untuk mengetahui serta menentukan bagian masing-masing ahli waris.101

98 J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998),

hlm. 227

99 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:

Rajawali Pers, 1982), hlm. 57

100 Irma Devita Purnamasari, Op.Cit., hlm. 89 101

Rahmat Nauli, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 5 Mei 2015

(28)

Selanjutnya I Gede Purwaka menyebutkan bahwa Keterangan Hak Waris juga untuk melakukan balik nama atas barang harta peninggalan yang diterima, dari atas nama pewaris menjadi atas nama seluruh ahli waris.102

Tindakan kepemilikan yang dimaksud misalnya:

1. Khusus untuk barang-barang harta peninggalan berupa tanah, maka dapat mengajukan permohonan ke Kantor Pertanahan setempat, yaitu:

a) Melakukan pendaftaran peralihan hak (balik nama) untuk tanah yang sudah terdaftar (bersertifikat) dan

b) Melakukan permohonan hak baru (sertifikat) atas tanah yang belum terdaftar, seperti misalnya tanah girik, tanah bekas hak barat, tanah negara.103

2. Menggadaikan atau dengan cara menjaminkan barang-barang harta peninggalan tersebut kepada pihak lain atau kreditor, apabila ahli waris hendak meminjam uang atau meminta kredit.

3. Mengalihkan barang-barang harta peninggalan tersebut pada pihak lain, misalnya menjual, menghibahkan, melepaskan hak dan lain-lainnya yang sifatnya berupa suatu peralihan hak.

102 I Gede Purwaka, Op.Cit., hlm. 5-6

103 Hal ini sejalan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang telah

memberikan pengaturan bahwa warisan berupa hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum akta pembagian warisannya, didaftarkan peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut.

(29)

4. Merubah status kepemilikan bersama atas barang harta peninggalan menjadi milik dari masing-masing ahli waris dengan cara melakukan membuat akta pembagian dan pemisahan harta peninggalan di hadapan notaris.104

Bangun K.L.T Sibarani juga menerangkan selain dari hal yang telah disebutkan diatas, surat keterangan hak waris juga dapat berfungsi sebagai alat bukti bagi ahli waris untuk dapat mengambil atau menarik uang dari pewaris yang ada pada suatu bank atau asuransi, baik dalam bentuk deposito ataupun tabungan, sekalipun bagi setiap bank atau lembaga asuransi berbeda dalam menetapkan bentuk surat keterangan hak waris yang bagaimana yang dapat diterimanya.105

2. Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW).

a. Pejabat Yang Berwenang Menerbitkan Surat Keterangan Ahli Waris

(SKAW) Bagi Perkawinan Poligami

Hak Perdata yang dimiliki oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini sudah merupakan rahmat dan anugerah serta takdir dari Allah SWT. Dengan demikian tidak ada seorang manusia atau lembaga (pemerintah, swasta, militer,kepolisian) di muka bumi ini untuk menghalangi implementasi hak perdata manusia yang lainnya, baik pengadilan ataupun instansi lainnya. Hak perdata akan berakhir jika yang bersangkutan meninggal dunia atau dicabut oleh suatu putusan pengadilan untuk hak hak perdata tertentu, dan membuktikan seseorang sebagai ahli waris dari siapa merupakan salah satu implementasi dari hak perdata tersebut diatas.106

Berdasarkan Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember

104

I Gede purwaka, Op.Cit., hlm. 6

105 Bangun K.L.T. Sibarani, Notaris/PPAT Kabupaten Deli Sedang, Wawancara tanggal 9

Mei 2015

106

Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 17

(30)

1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan dan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agaria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada saat ini ada 3 (tiga) bentuk (formal) bukti waris dan juga 3 (tiga) institusi yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris yang disesuaikan dengan golongan atau etnis penduduk atau Warga Negara Indonesia. Penggolongan penduduk berdasarkan etnis dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk tersebut merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Padahal dalam rangka pembaharuan hukum dan membangun bangsa yang bermartabat dan beradab aturan seperti itu harus segera kita tinggalkan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan bangsa kita yang sudah merdeka. 107

Ketiga bentuk formal bukti ahli waris dan institusi, yaitu:

1. Golongan Eropa, Cina/Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam ) berdasarkan Surat Keterangan Waris (SKW) yang dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat Keterangan.

2. Golongan Timur Asing (bukan Cina/Tionghoa), berdasarkan SKW yang dibuat oleh Balai Harta Peniggalan (BHP).

3. Golongan Pribumi (Bumiputera) berdasarkan SKW yang dibuat dibawah tangan, bermaterai, oleh para ahli waris sendiri dan diketahui atau dibenarkan oleh Lurah dan Camat sesuai dengan tempat tinggal terakhir pewaris. 108 peraturan khusus mengenai keterangan waris. Dengan tidak adanya suatu

107Ibid., hlm. 17-18

108 Lebih lanjut lihat Surat Direktorat Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri,

tertanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan juncto Pasal 42 ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agaria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

(31)

undang-undang atau peraturan perundang-undangan mengenai keterangan waris di Indonesia, maka sebenarnya masalah keterangan waris di Indonesia mengambang karena tidak mempunyai jangkar .109

Dalam Surat Edaran yang ditandatangani oleh Badan Pembinaan Hukum Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, tertanggal 20 Desember 1969, Nomor: 44 Dp/J12/63/12/69, tentang Keterangan Warisan Dan Pembuktian Kewarganegaraan diatur mengenai kewenangan pejabat Lurah/Kepala Desa dan Camat untuk menyaksikan, membenarkan dan menguatkan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) yang dibuat oleh ahli waris. Surat Keterangan Ahli Waris tersebut demi hukum diakui sebagai alat bukti otentik oleh instansi pejabat Kantor Pertanahan (Agraria) untuk mengurus barang warisan berupa tanah dalam melakukan pendaftaran hak (balik nama) atau permohonan hak baru ( sertifikat).

Selain itu, dalam hal pewarisan notaris juga membuat Surat Keterangan Waris yang merupakan akta di bawah tangan dan bukan merupakan akta notaris. Adapun Surat Keterangan Waris (verklaring van erfrecht) yang di buat oleh notaris adalah keterangan waris yang dibuat bagi ahli waris dari warga/golongan keturunan Tionghoa. Surat Keterangan Waris tersebut dibuat dibawah tangan, tidak dengan akta notaris. Pembuatan Surat Keterangan Waris bagi keturunan Tionghoa oleh notaris, menurut Edison, mengacu pada surat Mahkamah Agung (MA) RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/V/K/1991. Surat MA tersebut telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta, yang menyatakan bahwa guna keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolongan penduduk yang pernah dikenal sejak sebelum merdeka hendaknya Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) untuk Warga Negara Indonesia:

1. Golongan Keturunan Eropah (Barat) dibuat oleh Notaris;

109 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, (Jakarta: Ichtiar

Baru Van Hoeve, 2000), hlm 290

(32)

2. Golongan penduduk asli Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW), disaksikan oleh Lurah/Desa dan diketahui oleh Camat;

3. Golongan keturunan Tionghoa, oleh Notaris;

4. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).110

Syahril Sofyan dalam makalahnya yang berjudul “Peran Jasa Notaris

Dalam Penyelesaian Warisan” mengatakan bahwa Surat Keterangan Hak

Waris (verklaring van erfrecht) pembuatannya disesuaikan dengan kewenangan pejabat yang berwenang membuatnya dan kewenangan pejabat yang menerbitkannya disesuaikan pula menurut penggolongan hukum dan penggolongan penduduk yang berlaku bagi WNI yang bersangkuan. Untuk WNI yang termasuk ke dalam golongan hukum Eropa dan Timur Asing Cina, pembuatan surat keterangan hak warisnya dilakukan oleh Notaris, bagi yang termasuk ke dalam golongan Pribumi (tunduk kepada Hukum Adat) dibuat oleh Camat dan bagi penduduk yang tergolong ke dalam golongan Timur Asing Bukan Cina dibuat oleh Balai Harta Peninggalan. Tetapi tak dapat dipungkiri fenomena kesadaran WNI yang mencari kepastian hukum sekaligus kepastian hak serta kepastian kewajiban mereka dengan memintakan peran Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama untuk menerbitkan keterangan hak warisnya, dan dalam praktek jasa Pengadilan lazimnya diterbitkan dalam bentuk penetapan (beschikking) dan pada umumnya Notaris menerima penetapan atau keputusan hakim (vonnis) yang bersangkutan untuk dilaksanakan dengan atau melalui aktanya dalam pembagian warisan yang bersangkutan, tentu saja sesudah Notaris meyakinkan dirinya bahwa beschikking atau vonnis tadi sudah mempunyai kekuatan pasti (in kracht van gewijsde).111

110

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d9ed1f603631/dasar-hukum-penetapan-waris-dan-akta-waris, diakses pada Juni 2015

111https://library.pancabudi.ac.id/jurnal_files/c6604f3ff6afcf9991c4d02b6369a0e9ee87c7f4_9

._H._Syahril_Sofyan.pdf , diakses pada Juni 2015

(33)

b. Prosedur Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) Bagi

Perkawinan Poligami.

Tidak adanya aturan tertulis yang mengatur perihal pejabat atau instansi mana yang berwenang untuk menerbitkan SKHW itu disatu pihak, sedangkan dipihak lain kebutuhan untuk meminta penerbitan SKHW dalam setiap peristiwa hukum terbukanya warisan yang dipergunakan sebagai dasar untuk melaksanakan balik nama atas harta benda tidak bergerak yang terdaftar milik si peninggal harta cukup besar, mengakibatkan timbulnya kekosongan dalam praktek hukum di Indonesia. Oleh karena itu Mahkamah Agung RI dengan suratnya tanggal 8 Mei 1991 Nomor MA/kumdil/171/V/K/1991 yang ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama seIndonesia berhubungan dengan surat MA RI tanggal 25 Maret 1991 Nomor KMA/041/III/1991, telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan dan Pasal 111 Ayat (1) huruf c angka 4 Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa guna keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolongan penduduk yang pernah dikenal sejak sebelum merdeka hendaknya Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) untuk

(34)

Warga Negara Indonesia itu: Golongan Keturunan Eropah (Barat) dibuat oleh notaris; Golongan penduduk asli Surat Keterangan oleh Ahli Waris, disaksikan oleh Lurah/Desa dan diketahui oleh Camat; Golongan keturunan Tionghoa, oleh notaris; Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).112

Dalam Pasal 111 Ayat (1) huruf c angka 4, peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 menyebutkan surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa:

1. Wasiat dari pewaris, atau 2. Putusan pengadilan, atau

3. Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau

4. Bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli: Surat Keterangan Ahli Waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;

Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa: Akta Keterangan Hak Mewaris dari Notaris;

Bagi Warga Negara Indonesia keturunanTimur Asing lainnya: Surat Keterangan Hak Waris dari Balai Harta Peninggalan.

112

(35)

Untuk memperoleh Surat Keterangan Ahli Waris dari Kelurahan harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi yaitu Surat Keterangan Kematian dari Kelurahan, Akta Kematian dari Kantor Catatan Sipil, Surat Nikah orang tua ahli waris, Kartu Keluarga, fotocopy KTP semua ahli waris untuk selanjutnya pihak Kelurahan memeriksa berkas berkas tersebut. Apabila persyaratan administrasi belum terpenuhi maka berkas dikembalikan untuk dilengkapi apabila persyaratan administrasi sudah lengkap maka dilakukan pemprosesan pada seksi Pemerintahan dan diproses serta ditandatangani oleh Lurah dan Camat.

Adapun bentuk dan proses pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahap pertama

Para ahli waris membuat surat keterangan warisan dalam bentuk surat dibawah tangan. Surat keterangan warisan tersebut kemudian ditandatangani oleh orang tua yang hidup terlama dan seluruh ahli waris.

2. Tahap kedua

Kemudian surat keterangan ahli waris tersebut dibawa ke kantor Kelurahan/Kepala Desa setempat untuk memohon ditandatangani oleh pejabat Lurah/Kepala desa. Surat Keterangan itu diberi nomor tanggal dan cap,

dengan kata kata yang berbunyi “Disaksikan dan Dibenarkan oleh kami

Lurah/Kepala Desa…”

(36)

3. Tahap ketiga

Selanjutnya Surat Keterangan Ahli Waris tersebut dibawa ke kantor Kecamatan setempat untuk memohon tanda tangan pejabat Camat. Surat keterangan warisan tersebut kemudian diberi nomor, tanggal dan cap dengan kata kata yang berbunyi “Dikuatkan oleh kami Camat “.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penyakit ginjal kronik (CKD), terjadi kehilangan atau kerusakan progesif terhadap fungsi nefron, yang mana merupakan akibat dari gangguan atau penyakit ginjal primer,

Adapun pendapatan rumah tangga secara rata-rata adalah Rp.397,906.54/kapita/bulan.Beberapa model penguatan kelembagaan yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi dan

Ungkapan di atas merupakan ungkapan yang menggunakan bahasa kasar. Hal ini dapat ditunjukkan melalui kata “dasar”. Penulis meneuliskan ungkapan tersebut dengan tujuan

bahwa dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun

Tapi, orang-orang beriman adalah orang-orang yang kepada siapa Allah Ta’ala berfirman bahwa mereka tidak hanya membelanjakan dari harta yang berlebih, namun untuk dapat

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemanfaatan Batu Sungai Batupapan Kecamatan Telluwanua Kabupaten Luwu sebagai bahan campuran Laston Lapis Pondasi (AC-BC) dengan

Sistem kerja yang mengikat kaum kuli dengan kontrak membuat mereka menjadi teralienasi dari obyek dan proses produksi.. Pekerjaan yang diciptakan oleh para pemodal

Pada indikator ketiga yang berhubungan dengan kemampuan siswa dalam memodifikasi prosedur untuk menangani faktor-faktor dalam pemecahan masalah, terdapat 2 orang siswa yang mampu