• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Anak Enuresis (Effectiveness of Rational Emotive Behavior Therapy To Improve Self-Esteem In Enuresis Children)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Anak Enuresis (Effectiveness of Rational Emotive Behavior Therapy To Improve Self-Esteem In Enuresis Children)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Enuresis

1. Pengertian Enuresis

Mengompol atau enuresis adalah kegagalan untuk mengontrol buang air kecil setelah seseorang mencapai usia normal (lima tahun) untuk mampu melakukan kontrol (Nevid, 2005). Seorang anak mengalami enuresis bila memenuhi semua ciri-ciri yang termaktub dalam DSM-IV-TR (APA, 2000) yaitu: a. Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pada pakaian (baik

disengaja maupun tidak disengaja).

b. Usia kronologis anak minimal lima tahun (atau berada pada tingkatan perkembangan yang setara).

c. Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali selama bulan bulan atau menyebabkan perubahan yang signifikan secara klinis yang menyebabkan kesulitan dalam lingkungan sekolah, akademis (kerja) ataupun penurunan fungsi di bagian area lain yang penting.

d. Gangguan ini tidak memiliki dasar organik.

(2)

siang hari dicapai terlebih dahulu sebelum tidak mengompol pada malam hari. Dengan demikian anak-anak yang mengompol memang lebih sering ditemukan pada kasus nocturnal enuresis atau mengompol di malam hari. Sejumlah penelitian ditemukan bahwa anak-anak dengan nocturnal enuresis kurang ekspresif, kurang memiliki achievement-oriented, memiliki self-image yang negatif (Sumiati, 2007). Pada penelitian ini yang difokuskan adalah mengompol pada malam hari.

2. Penyebab Enuresis

Bernard-Bonnin (2000) menjelaskan bahwa penyebab dari enuresis terbagi menjadi dua yaitu fungsional dan organik. Penyebab fungsional diantaranya micturition deferral (anak tidak kencing hingga sore hari), infeksi saluran kencing ketidakmampuan menahan kencing ketika terlalu bergembira, tekanan emosional, urge syndrome (sindrom tidak dapat menahan kencing ketika dorongan muncul). Penyebab organik yang berkaitan dengan enuresis seperti kelainan pada organ.

(3)

apabila anak beraktivitas berlebihan sebelum tidur, maka malam harinya ia akan tertidur lelap, sehingga bila terasa ingin buang air anak menjadi sulit untuk bangun. (2). lingkungan misalnya berada pada ruangan yang ber AC atau udara yang dingin. (3). emosi misalnya punya adik baru, pindah rumah dan lain-lain (http://kolomkesehatan.blogspot.com, posted; 20 Juli 2010).

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa enuresis dapat disebabkan dari berbagai faktor, yaitu faktor fisik termasuk kelelahan, lingkungan, emosi dan latihan toilet training yang keliru.

3. Anak Enuresis

Allen dan Marotz (2010) menyebutkan bahwa anak adalah individu sejak pra kelahiran hingga usia 12 tahum. Enuresis atau peristiwa anak mengompol disebut sebagai gangguan setelah usia 5 tahun atau usia yang setara berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka dalam penelitian ini yang disebut anak adalah individu yang berusia 6–12 tahun.

Batasan usia ini disebut Hurlock (1980) sebagai late childhood atau anak di fase akhir masa anak. Fase ini disebut juga sebagai fase usia sekolah yaitu anak-anak berada pada usia sekolah. Anak-anak-anak di usia sekolah seharusnya tidak berada dalam fase mengompol lagi.

(4)

antusias. Memasuki usia sekolah, anak mengarahkan energinya dan ketrampilan intelektualnya. Bahaya dalam tahap ini meliputi perasaan tidak kompeten dan tidak produktif. Anak-anak pada usia ini yang mengalami enuresis berjuang mengatasi fase ini lebih berat. Perasaan rendah diri karena enuresis dan juga karena tugas dari tahapan perkembangan yang harus dilaluinya.

Herbert (2005) mengungkapkan anak-anak yang enuresis sekitar 30 persen adalah mereka yang hiperaktif, agresif dan berespon negatif terhadap disiplin, memiliki toleransi frustrasi yang rendah, dan resisten terhadap penyesuaian pada lingkungan baru. Selain itu mereka sering menjadi tidak asertif, dependen, dan berprestasi rendah. Herbert (2005) menyatakan rasa cemas seringkali berhubungan dengan mengompol di tempat tidur, anak-anak yang mengompol di tempat tidur juga cenderung menjadi anak-anak yang mudah cemas dan gugup.

Anak-anak ini seringkali diejek oleh saudara-saudaranya dan mungkin juga oleh orang tuanya. Selain itu mereka cenderung mengalami masalah seperti diejek, digoda, dan mendapatkan kekerasan dari teman (bullying) di sekolah. Keluarga juga akan merasa kebingungan, frustrasi, merasa gagal dan marah. Kondisi demikian merupakan salah satu dari pencetus adanya kekerasan fisik dalam keluarga.

(5)

enuresis pada anak usia prasekolah di RA Al Iman Banaran Gunung Pati Semarang.

Hjalmas (2002) menemukan bahwa anak-anak enuresis lebih merasa “sendiri” dengan masalahnya, yang menurutnya dan teman-temannya adalah

berupa rahasia yang memalukan. Thunis (2001) menemukan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami enuresis. Beberapa penelitian yang dilakukan Hagglof dkk di tahun 1997 dan 1998 juga menunjukkan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang rendah. Unalacak (2004) melakukan penelitian pada anak-anak usia 7-12 tahun yang tinggal di Zonguldak Turki menemukan bahwa anak-anak enuresis mengakibatkan masalah-masalah psikologis, seperti harga diri yang rendah. Ng dan Wong (2004) melakukan penelitian di Hongkong menemukan bahwa anak-anak dengan enuresis memiliki harga diri yang rendah, pencapaian sekolah yang rendah dan kesulitan memiliki teman. Dursun dkk (2014) menyebutkan bahwa enuresis mengakibatkan pengaruh psikis pada anak-anak seperti perasaan yang berbeda, mengisolasi diri secara sosial dan mengurangi harga diri.

B. Harga Diri

1. Pengertian Harga Diri

(6)

mendefinisikan harga diri atau self-esteem sebagai penilaian yang dibuat oleh individu terhadap dirinya dan biasanya dipertahankan dengan cara menghargai diri sendiri, memperlihatkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukan keyakinan individu tentang kemampuan, makna, keberhasilan dan nilai dari diri. Secara singkat harga diri diartikan sebagai pendapat seseorang mengenai diri atapun nilai dari yang dimiliki yang ditunjukkan melalui sikap individu terhadap dirinya sendiri.

(7)

Lebih lanjut Fennel (dalam Sarandria, 2012) menyebutkan bahwa esensi dari harga diri rendah ada pada keyakinan dasar atau core belief individu yang negatif secara global tentang dirinya (“me as a person”). Perasaan-perasaan

inferioritas merupakan hasil dari tuntutan-tuntutan yang berlebihan (Ellis, 2007). Berdasarkan beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi seseorang tentang dirinya sendiri, baik positif maupun negatif dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, berhasil dan berharga yang diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari. Dalam hal ini esensi dari harga diri rendah ada pada keyakinan dasar individu yang negatif akan keseluruhan dirinya.

2. Aspek-aspek Harga Diri

Mengacu pada Self-Esteem Inventory oleh Coopersmith yang dibuat pada tahun 1967, Pelish (2006) menyebutkan aspek-aspek harga diri pada anak-anak, sebagai berikut;

a. Harga diri secara umum atau general-self: yaitu penilaian individu terhadap kemampuannya secara umum.

b. Harga diri dalam lingkungan sosial yaitu penilaian kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.

(8)

d. Harga diri berkaitan dengan akademis/sekolah yaitu berkaitan penilaian kemampuan dalam belajar dan kepatuhan individu pada setiap kegiatan di sekolah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan harga diri berkaitan dengan penilaian individu terhadap kemampuannya secara umum, seberapa besar kedekatan anak dengan orangtua dan penerimaan orangtua terhadap anak, kemampuan dalam belajar dan kepatuhan individu pada setiap kegiatan di sekolah serta kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.

3. Karakteristik Individu dengan Harga Diri Tinggi dan Rendah

Branden mengungkapkan (2001) bahwa individu yang mempunyai harga diri rendah sering menunjukkan perilaku yang kurang aktif, tidak percaya diri dan tidak mampu mengekspresikan diri. Sebaliknya individu yang mempunyai harga diri yang tinggi cenderung penuh keyakinan, mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

4. Perkembangan Harga Diripada Anak Enuresis

(9)

pada anak-anak seperti perasaan yang berbeda, mengisolasi diri secara sosial dan mengurangi harga diri.

5. Hubungan antara Harga Diri dengan Irrational Thinking/Beliefs

Burger (dalam Mruk, 2006) menjelaskan salah satu yang mengembangkan harga diri anak adalah orangtua. Senada dengan pendapat Murk, VanZyl and Dayze (2006) mengungkapkan harga diri dipengaruhi latar belakang keluarga. Santrock (2007) mengungkapkan selain orangtua yang mempengaruhi harga diri adalah teman sebaya. Ia juga mengungkapkan dukungan emosional dan persetujuan sosial dapat mempengaruhi harga diri anak. Pendapat Santrock tersebut di atas didukung oleh Papalia (2008) bahwa harga diri anak bukan bawaan sejak lahir, namun terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya.

VanZyl dan Dayze (2006) merangkum dari beberapa penelitian menemukan bahwa harga diri yang rendah secara khusus dipengaruhi oleh terutama perilaku pengasuhan orangtua dan hubungan yang negatif antara anak dengan ayah atau dengan ibunya, penilaian yang buruk dari keluarga. VanZil dan Dayzel (2006) memaparkan bahwa keluarga baik dari ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain memberikan label-label yang negatif pada anak, yang akan terinternalisasi ke alam bawah sadar anak. Label-label negatifnya seperti “bodoh”, “malas”, “tidak ada

(10)

seperti inilah yang akhirnya mempengaruhi proses berpikir dan menghasilkan irrational thinking/ beliefs (VanZil dan Dayze, 2006).

Ellis (dalam Salameh 2011) mengungkapkan bahwa irrational beliefs adalah faktor penyebab utama yang menyebabkan gangguan perilaku dan emosional. Pada masa kanak-kanak individu dipengaruhi oleh orangtua dan other significant yang membentuk thinking dan beliefs-nya (Ellis dalam Salameh, 2011). Anak-anak enuresis memiliki irational thought pada dirinya. Hal ini diungkapkan juga oleh Basavanthappa (2007) bahwa anak-anak yang mengalami gangguan seperti phobia, enuresis, enkopresis, dll memiliki seperti kekhawatiran yang tidak realistik tentang peristiwa yang akan terjadi, pada apa yang telah dilakukannya dan juga kemampuan yang dimilikinya. Jongsma dkk (2014) bahkan mengembangkan teknik menggali irratonal thought pada anak enuresis.

(11)

C. Rational Emotive BehaviorTherapy (REBT)

1. Pengertian Rational Emotive Behavior Therapy

REBT merupakan salah satu terapi kognitif dan perilaku yang dikembangkan oleh Albert Ellis. Ellis (dalam Dobson, 2010: Palmer 2011: Komalasari, 2011) mengembangkan pendekatan ini mendapatkan inspirasi dari Epictetus, seorang filsuf Yunani yang mengatakan bahwa “Orang tidak terganggu oleh peristiwa, tetapi oleh pemahaman yang didapatnya dari peristiwa tersebut”.

Pada awalnya di tahun 1955 pendekatan ini disebut dengan Rational Therapy (RT), kemudian Ellis mengubah namanya menjadi Rational-Emotive Therapy (RET) pada tahun 1961 dan selanjutnya Ellis mengantinya menjadi Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) (Palmer, 2011; Komalasari dkk 2011).

Ellis (dalam Dryden & Neenan 1999) menyebutkan bahwa REBT berasumsi bawa pikiran, emosi dan perilaku manusia merupakan proses psikologis yang saling berinteraksi. Selanjutnya Ellis (dalam Wade & Travis, 2007) menyatakan bahwa orang yang berada dalam kondisi emosional yang tidak menyenangkan seringkali melakukan generalisasi secara berlebihan. Mereka juga sering melakukan catastrophize, yaitu individu mengubah masalah kecil menjadi musibah.

(12)

“seandainya”. Kesalahan berpikir ini akan berkembang menjadi irrational

thinking.

Dryden dan Neenan (1999) menyebutkan irrational thinking adalah pikiran-pikiran yang tidak dapat dibuktikan, perlawanan diri, tidak logis, dan lebih menekan pada emosi yang terganggu. Irrational thinking membawa individu pada kesulitan dan hambatan dalam dirinya bahkan menjadi individu yang tidak sehat secara emosi ataupun kepribadiaanya.

REBT membantu individu mengganti pemikiran yang irasional menjadi rasional. Untuk membantu pemikiran individu yang irasional menjadi rasional, REBT menggunakan beberapa teknik yang melibatkan pikiran dan juga emosi serta teknik yang berkaitan dengan perilaku. REBT kemudian mendorong individu tersebut berperilaku dalam keseharian selanjutnya seperti yang diajarkan kepadanya.

Barbara (1995) mengungkapkan REBT dapat digunakan pada klien yang bervariasi, meliputi anak-anak, remaja, orang yang lebih tua, yang kurang berpendidikan, yang mengalami depresi, ataupun yang memiliki gangguan kepribadian. Demikian pula individu dengan borderline intelligence atau mild retardation dapat menggunakan REBT. Menurut Barbara (1995) mereka cukup mampu dan memahami proses emosi yang terjadi pada mereka. Sebagai contoh mereka memahami “Saya tidak baik” akan membuat mereka “merasa sedih”.

(13)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah terapi kognitif dan perilaku yang berasumsi bahwa pikiran, emosi dan perilaku manusia merupakan proses yang saling berinteraksi, sehingga kesalahan berpikir (irrational thinking) akan menyebabkan munculnya gangguan emosi dan perilaku, untuk itu kesalahan berpikir yang irrasional akan diubah menjadi rasional.

2. Konsep Irrational Thinking / Irrational Belief dalam Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

Konsep yang penting dalam REBT adalah belief system individu. Belief system adalah cara-cara berpikir yang terorganisir yang berkaitan dengan pengalaman dan realita seseorang (Ivey dkk, 2009). Selanjutnya Ivey dkk (2009) mengungkapkan bahwa ucapan seseorang secara konstan menceritakan pandangan dirinya secara personal, mengungkapkan belief system yang dimilikinya. Gunduz (2013) menyebutkan bahwa dasar dari pendekatan REBT bahwa individu terlahir dengan kecenderungan memiliki keyakinan rasional dan keyakinan irasional yang merupakan sumber dari reaksi-reaksi emosi individu.

(14)

pernyataan-pernyataan irasional individu. Menurut Ellis (dalam Ivey dkk, 2009) ungkapan individu yang berkaitan dengan “seandainya”, “sebaiknya”,

“seharusnya”, “tidak sama sekali” merupakan indikator irrational thinking.

Jadi REBT berusaha menyadari pandangan irrational tersebut dan mengubahnya. Ellis (dalam Corey, 1995) menyebutkan manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengondisian awal. Dengan tegas Ellis (dalam Corey, 1995) mengatakan bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu “melatih dirinya sendiri untuk mengubah atau

menghapus keyakinan-keyakinan yang menghambat diri sendiri. Selanjutnya menurut Ellis (2007) keyakinan irasional dapat diubah dengan cara: menilai konsep-konsep utama dalam kehidupan individu, memahami irrational beliefs yang mendasari kehidupannya, merekonstruksi pikiran rasional dan membuat pandangan individu tersebut untuk mengubah perilaku yang baru dan lebih rasional.

(15)

membuat tiap orang berpikir apa yang terjadi atau apa yang akan terjadi berdasarkan kenyataannya inilah proses inferences. Selanjutnya seseorang itu memberikan arti atau makna pada apa yang terjadi. Pada saat evaluation ini seseorang memberikan penilaian berdasarkan apa yang dsadarinya, namun bisa juga di luar kesadarannya. Pada saat seseorang melakukan proses inferences dan evaluation inilah dapat membuat seseorang memiliki irrational thought atau rational thought. Irrational thought selanjutnya menjadi irrational beliefs, dan membentuk belief system dalam dirinya (Ivey dkk, 2009).

Dobson (2010) mengatakan terapis klinis membantu individu untuk melepaskan core belief yang irasional yang ada dalam diri individu. Selanjutnya Dobson (2010) juga menjelaskan bahwa irrational beliefs yang telah terganti dengan rational beliefs harus diterapkan individu dalam perilakunya sehari-hari agar menjadi konsisten berkembang menjadi perilaku barunya.

Ellis (dalam Prout dan Brown (2007) menjelaskan 4 bentuk irrational thinking yang akan menimbulkan masalah emosional individu sebagai berikut:

i. Demands adalah tuntutan atau ekspektasi yang tidak realistis dan absolut terhadap kejadian atau individu, yang dapat dikenali dengan kata-kata seperti, “harus”, “sebaiknya” dan “lebih baik”.

(16)

iii. Low frustration tolerance adalah tuntutan untuk selalu berada dalam kondisi nyaman sehingga menjadi tidak toleransi terhadap ketidaknyamanan. Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat dan merasa sudah tidak tahan lagi.

iv. Global evaluation of human worth, yaitu penilaian terhadap diri sendiri dengan membuat atribut pada dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak menyukai dirinya.

3. Langkah-langkah Rational Emotive Behavior Therapy

Sebelum melakukan REBT, Ellis (dalam Corey, 1995) memberikan gambaran tentang apa yang akan dilakukan terapis dalam REBT:

a) Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irrasional yang telah mendorong banyaknya gangguan tingkah laku.

b) Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya. c) Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.

d) Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasionalnya.

e) Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan itu akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan perilaku di masa mendatang.

(17)

g) Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irrasional dapat diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris.

h) Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara berpikir sehingga klien dapat mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan datang yang telah mengekalkan cara-cara mereka merasakan dan berperilaku yang merusak.

Dryeden (2006) merumuskan panduan untuk untuk melakukan REBT dalam bukunya First Steps in REBT. Dalam panduan tersebut menyebutkan beberapa langkah dalam REBT yang di dalamnya terkandung proses ABCDE yaitu:

a) Memilih dan Menilai Masalah.

b) Menetapkan masalah dan menentukan tujuan.

c) Memahami proses pikiran-pikiran, mengajarkan hubungan antara A, B dan C serta menilai keyakinan irrasional.

d) Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional Proses D-E. e) Membantu klien untuk mempertahankan keyakinannya yang rasional dan

menghilangkan keyakinannya irrasional.

4. Teori A-B-C-D-E dalam REBT

(18)

membuat perubahan-perubahan dalam dirinya dengan mengkonfrontasikan pandangan hidup mereka, menerangkan kepada mereka bagaimana gagasan-gagasan mereka menjadikan mereka terganggu, menyerang gagasan-gagasan-gagasan-gagasan irasional mereka di atas dasar-dasar logika dan mengajarkan mereka bagaimana berpikir logis dan mendorong mereka untuk mampu mengubah dan menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya. Ellis (dalam Gladding, 2012: Palmer 2011, Dobson 2010, Ellis dan Dryden, 1997; Corey, 1995) mengatakan salah satu cara untuk mengubah dan menghapus keyakinan irasional adalah dengan menggunakan teori A-B-C-D-E dari REBT.

Teori ABCDE yang dikembangkan Ellis (dalam Ellis dan Dryden, 1997) adalah sebagai berikut:

A = activating event, yaitu peristiwa yang memicu. Hal ini berkaitan dengan seluruh peristiwa yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain.

(19)

C = consequences yaitu berkaitan dengan emotional and behavioral consequence, konsekuensi perilaku dan emosi terutama ditentukan oleh kepercayaan seseorang tentang peristiwa tersebut. Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan keyakinan (belief) yang rasional maupun yang irasional.

D = disputing, mendebatkan atau mempertentangkan keyakinan yang menyebabkan gangguan.

E = effective, pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan perilaku.

Pada awalnya proses REBT adalah ABC, namun kemudian Ellis menambah DE sehingga menjadi proses ABCDE (Ellis dan Dryden, 1997). Proses ABC ini dilakukan untuk melakukan analisa fungsional dari pikiran-pikiran atau keyakinan-keyakinan individu apakah rasional atau irasional (Dobson 2010). Melalui proses ABCDE, REBT membantu individu belajar bagaimana mengenali dirinya terkait antara pikiran, perasaan dan perilakunya. Secara skematis proses tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini.

(20)

5. Teknik-teknik Rational Emotive Behavior Therapy

REBT menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif dan perilaku (Gladding 2012, Dobson 2010, Froggrat 2005, Corey 1995: Salameh 2004). Proses tersebut akan sangat efektif jika semua bentuk tadi dilakukan (Walen dkk dalam Gladding, 2012).

A.Teknik Kognitif

Teknik Kognitif meliputi: 1) Pertentangan (disputing)

Pertentangan atau disputing ini meliputi cognitive disputation, rational analysis, double-standard dispute, catastrophe scale, rational role reversal (devil’s advocate), refra ming. Pertentangan kognitif melibatkan penggunaan pertanyaan langsung, alasan yang masuk akal dan persuasi.

2) Pengajaran

Pengajaran melibatkan tindakan meminta individu mempelajari gagasan dasar dari REBT, dan memahami bagaimana pikiran terhubung dengan emosi dan tingkah laku. Prosedur ini bersifat instruktif dan mengarahkan serta umumnya dikenal sebagai rational emotive education (REE).

B.Teknik Afektif

Teknik Afektif meliputi:

(21)

2) Humor, digunakan dengan harapan membantu individu dalam melewati proses terapi dan menghilangkan rasa takut.

3) Latihan menghadapi rasa malu. Teknik ini digunakan agar indiviu berani menghadapi situasi yang membuat ia malu dan memberikan tolerasi dan menerimanya sebagai bagian situasi yang tak menyenangkan yang pernah terjadi.

C.Teknik Perilaku

Teknik perilaku meliputi:

1) Teknik Reinforcement (penguatan), digunakan untuk mendorong individu ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan cara memberikan reward ataupun punishment

2) Latihan Asertif, merupakan teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien agar secara terus-menerus menyesuaikan diri dengan tingkah yang diinginkannya. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri individu

3) Mempertentangkan perilaku (behavioral disputation). Pertentangan tingkah laku melibatkan berperilaku dalam suatu cara yang merupakan kebalikan dari cara yang biasa digunakan individu termasuk bermain peran dan menyelesaikan tugas tugas-tugas, di mana biasanya klien benar-benar melakukan aktivitas yang dahulunya dianggap mustahil untuk dilakukan. Terkadang pertentangan tingkah laku dapat berupa biblioterapi yaitu membaca buku yang dapat membantu individu bangkit.

(22)

5) Tugas-tugas (homework assignments) Tugas-tugas diberikan terkait dengan proses terapi.

6) Teknik social modelling merupakan teknik untuk membentuk perilaku-perilaku baru klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara meniru, mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial.

Ellis dan Dryden (dalam Geldard & Geldard, 2013) mengatakan bahwa fungsi ahli terapi adalah sebagai seorang guru, yaitu mengarahkan dan mengajari klien suatu model spesifik untuk mengubah pemahaman.

D. Rational Emotive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Harga Diri Anak Enuresis

(23)

Harga diri anak bukan bawaan sejak lahir, namun terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya (Papalia, 2008). Pada masa kanak-kanak individu dipengaruhi oleh orangtua dan other significant yang membentuk thinking dan beliefs-nya (Ellis dalam Salameh, 2011). VanZil dan Dayzel (2006) memaparkan bahwa keluarga baik dari ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain memberikan label-label yang negatif pada anak, yang akan terinternalisasi ke alam bawah sadar anak. Label-label negatifnya seperti “bodoh”, “malas”, “tidak ada apa-apa”, „tidak berharga” dan sebagainya. Label-label negatif ini yang akhirnya

merupakan informasi bagi anak di dalam pikirannya. Proses informasi yang seperti inilah yang akhirnya mempengaruhi proses berpikir dan menghasilkan irrational thinking/ beliefs (VanZil dan Dayze, 2006).

Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan yang signifikan antara harga diri yang rendah dengan irrational beliefs. Seperti penelitian McLennan (1987), penelitian Slavinskiene dan Matulaitiene (2012), penelitian Baugteyfouni dkk (2014), penelitian Esmaeili dkk (2015).

Dryden (2006) dan Ellis (dalam Salameh, 2006) menunjukkan adanya kaitan antara harga diri dan irational thought/irational beliefs dapat diatasi dengan REBT. Burnet (dalam Tarmidi & Hawadi, 2009) mengungkapkan juga bahwa program cognitive behavior therapy dan rational emotive threapy berpengaruh terhadap peningkatan harga diri (self-esteem) dan konsep diri.

(24)

bukunya First Steps in REBT, Dryden (2006) menyebutkan beberapa langkah dalam REBT yang di dalamnya terkandung proses ABCDE yaitu:

1. Memilih dan Menilai Masalah.

2. Menetapkan masalah dan menentukan tujuan.

3. Memahami proses pikiran-pikiran, mengajarkan hubungan antara A, B dan C serta menilai keyakinan irrasional.

4. Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional Proses D-E. 5. Membantu klien untuk mempertahankan keyakinannya yang rasional dan

menghilangkan keyakinannya irrasional.

Pada langkah pertama yaitu memilih dan menilai masalah, terapis REBT melakukan analisa pikiran irrasional individu untuk mengetahui bentuk irational thought yang dimilikinya. Ellis (dalam Prout dan Brown,2007) menjelaskan 4 bentuk irrational thinking / irrational beliefs yang akan menimbulkan masalah emosional individu sebagai berikut:

a. Demands adalah tuntutan atau ekspektasi yang tidak realistis dan absolut terhadap kejadian atau individu, yang dapat dikenali dengan kata-kata seperti, “harus”, “sebaiknya” dan “lebih baik”.

b. Awfulising adalah cara melebih-lebihkan konsekuensi negatif dari suatu situasi sampai pada level yang ekstrim sehingga kejadian yang tidak mengguntungkan menjadi kejadian yang sangat menyakitkan.

(25)

apa yang diinginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat dan merasa sudah tidak tahan lagi.

d. Global evaluation of human worth, yaitu penilaian terhadap diri sendiri dengan membuat atribut pada dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak menyukai dirinya.

Ellis (dalam Salameh 2011) mengungkapkan bahwa irrational beliefs adalah faktor penyebab utama yang menyebabkan gangguan perilaku dan emosional. Jadi pada saat melakukan analisis irrational thought maka perlu menganalisis juga perilaku apa saja yang terganggu dari irrational thought tersebut. Analisis irational thought individu dapat dilakukan dengan menggunakan analisis fungsional dengan ABC dari Proses ABCDE Ellis (Dobson, 2010). Pada saat ini individu menceritakan diri dan masalahnya, sedangkan terapis melakukan analisis. Setelah diketahui bentuk irational thoughtnya, maka masuk pada tahapan/langkah kedua yaitu menetapkan masalah sampai tujuan terapi tercapai yaitu terbentuknya rational thoughtnya. Teori ABCDE yang dikembangkan Ellis (dalam Ellis dan Dryden, 1997) adalah sebagai berikut:

A = activating event, yaitu peristiwa yang memicu. Hal ini berkaitan dengan seluruh peristiwa yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain.

(26)

seseorang ada dua macam yaitu keyakinan yang rasional dan keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan yang rasional merupakan cara berpkir atau sistem keyakinan yang tepat dan masuk akal, bijaksana dan menjadikan orang itu produktif. Keyakinan yang tidak rasional adalah keyakinan atau sistem berpikir yang salah, tidak masuk akal, emosional dan membuat orang tidak produktif.

C = consequences yaitu berkaitan dengan emotional and behavioral consequence, konsekuensi perilaku dan emosi terutama ditentukan oleh kepercayaan seseorang tentang peristiwa tersebut. Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan keyakinan (belief) yang rasional maupun yang irasional.

D = disputing, mendebatkan atau mempertentangkan keyakinan yang menyebabkan gangguan.

E = effective, pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan perilaku.

(27)
(28)

Berikut alur penelitian:

Tabel 2.2

Skema Paradigma Penelitian

Effective

Harga diri yang rendah

(Hagglof, 1998) Thunis 2001, Unalacak, 2004)

Anak dengan Enuresis

Memiliki pikiran irrasional / Irrational Thought (Dryden, 2006) Didasari oleh inferences, evaluation dan core belief

(29)

E. Hipotesis

Gambar

Tabel 2.1  Proses
Tabel 2.2 Skema Paradigma Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, kemunculan NDD Islamic Wedding Organizer sebagai bentuk dari adanya fenomena praktik ekonomi bisnis kreatif berbasis syariah, peneliti

dkk., (2015) yang menyatakan bahwa perbedaan jumlah dan ukuran ikan dalam populasi di Perairan dalam suatu populasi dapat disebabkan oleh pola pertumbuhan, migrasi

Berdasarkan pendapat diatas dengan menggunakan pendekatan yang tepat dalam mendayagunakan kemampuan atau potensi masyarakat, maka dapat dijadikan input

Daerah penghasil ternak babi adalah Bali, Maluku, Sulawesi Utara (Minahasa), Sumatera Utara (Tapanuli), Jawa Barat (Karawang).. Persebaran

Pembahasan pada dasarnya akan memberikan kesimpulan tentang bab – bab yang sebelumnya telah dibahas meliputi isi dari uraian – uraian maupun hasil dari penelitian di Bank BRI

kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan. 33 Tahun 2004) adalah suatu sistem keuangan pemerintahan dalam Negara kesatuan, yang mencakup

Oleh yang demikian, apabila sebahagian individu dalam sekolompok masyarakat menolak pemberian vaksin, maka imuniti kelompok tidak tercapai dan boleh mengakibatkan penularan

Begitu pula penggambaran penciptaan nabi Adam yang Allah ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi