• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

A. Sejarah Lahirnya dan Perkembangan Pidana Denda di Indonesia

Sekalipun telah diadakan usaha-usaha pembaruan dan perbaikan untuk

mengurangi berlakunya pidana perampasan kemerdekaan, namun merupakan

suatu kenyataan bahwa pada pidana perampasan kemerdekaan akan melekat

kerugian-kerugian yang kadang kala sulit untuk dihindari dan diatasi, bilamana

ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai.

Ditinjau dari segi filosofis, maka terdapat hal-hal yang saling bertentangan,

yang antara lain adalah sebagai berikut: 40

1. Bahwa tujuan penjara yang pertama adalah menjamin pengamanan

narapidana, dan tujuan yang kedua adalah memberikan kesempatan kepada

narapidana untuk direhabilitasi;

2. Bahwa fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan dehumanisasi

pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi

narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, yaitu berupa

ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya

secara produktif di dalam pergaulan masyarakat.

Oleh sebab itu, sekalipun penjara diusahakan untuk tumbuh sebagai

instrumen reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai

(2)

lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan, pengendalian narapidana

tidak dapat ditinggalkan dengan begitu saja.

Di samping kerugian yang bersumber pada hakikat pengertian tersebut,

maka kerugian yang cukup memprihatinankan terlihat dari apa yang dikemukakan

oleh seorang sosiolog bernama Clemer sebagaimana telah dikutip oleh Muladi :

berdasarkan pengamatannya di penjara-penjara dengan sistem keamanan

maksimum di Amerika Serikat, maka dapat disimpulkan bahwa kita harus melihat

kehidupan penjara lebih daripada sekedar hanya merupakan dinding-dinding dan

ruji-ruji, sel-sel dan kunci-kunci.41

Penjara harus berlaku di suatu masyarakat, di mana penjara sebagai suatu

sistem sosial informal yang disebut sebagai subkultur narapidana. Subkultur

narapidana ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual

dari masing-masing narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut

ke dalam masyarakat narapidana yang oleh Clemmer disebut sebagai

“Prisonisasi”. Dikatakan bahwa di dalam proses prisonisasi ini narapidana baru

harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku baru harus

membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat

narapidana. Ia juga harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku dan nilai

dari masyarakat narapidana tersebut.42

Di samping faktor-faktor universal, terdapat pula faktor-faktor lain yang

menentukan, sehingga orang menjadi terpenjara. Hal ini meliputi lamanya pidana

yang harus dijalani, stabilitas kepribadian terpidana, hubungan yang

41 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan dalam Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 142.

42

(3)

menerus dengan orang-orang di luar penjara, penempatannya di dalam

kelompok-kelompok kerja, sel dan lain sebagainya.

Makin lama pidana penjara tersebut dijalani, maka kecenderungan untuk

terpenjara menjadi semakin besar pula. Yang kemudian seseorang yang menjadi

terpenjara secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak

pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.43

Pidana penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh

penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari sebab di tempat inilah

penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui

pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan personel yang paling baik

pun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara

tersebut.

Pada masa sekarang ini maksud dijatuhkannya pidana perampasan

kemerdekaan adalah, bahwa dengan pidana itu dapat dilakukan pembinaan

sedemikian rupa sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya

diharapkan terpidana akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Untuk

pelaksanaan pembinaan tersebut diperlukan waktu yang cukup. Selain itu program

pembinaan dan metode pembinaan akan tergantung pada waktu yang tersedia,

yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil akhir dari pembinaan.44

Waktu yang singkat dalam hal pidana perampasan kemerdekaan jangka

pendek akan menghambat usaha pencapaian tujuan tersebut. Pidana perampasan

kemerdekaan jangka pendek tidak mendukung kemungkinan untuk diadakannya

43 Ibid.

44

(4)

rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan lain pihak bahkan dapat menimbulkan

apa yang disebut “Stigma” atau “Cap Jahat”45

.

Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif

yang berturut-turut menimbulkan stigma lagi. Karena suatu kejahatan maka

seseorang secara resmi dipidana, sehingga ia kehilangan pekerjaannya dan

selanjutnya akan menempatkannya di luar lingkungan teman-temannya, dan

kemudian stigmasisasi menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang

benar/baik-baik.

Stigmasasi ini mungkin merupakan hasil daripada pembinaan atas

kejahatan, sehingga stigma tersebut juga merupakan hasil daripada reaksi-reaksi.

Stigma tersebut juga merupakan hasil dari pada reaksi-reaksi. Stigma ini terjadi

melalui pihak ketiga dan dalam hal ini media massa berperananan besar di dalam

stigmatitasi dengan menyebutkan nama seseorang atau bahkan hanya dengan

menyebutkan nama depan/ inisialnya saja di dalam surat kabar. Secara psikologis,

stigmatisasi ini menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana,

karena dengan demikian publik akan mengetahui bahwa yang bersangkutan

adalah seorang penjahat, dengan segala akibatnya.

Hal lainnya yang dapat lebih memperburuk keadaan pidana perampasan

kemerdekaan jangka pendek adalah panjang dan lamanya waktu dari mulai tahap

penyidikan untuk sampai kepada putusan hakim. Seringkali antara masa tahanan

yang telah dijalani terpidana dengan lamanya pidana yang dijatuhkan oleh Hakim

45

(5)

tidak terpaut lama, bahkan tidak jarang pula begitu putusan dijatuhkan terpidana

sudah harus dikeluarkan dari lembaga atau tempat yang bersangkutan di tahan.

Masalah terkait pembinaan dapat diatasi dengan memulai pembinaan sejak

awal masa penahanan, akan tetapi hambatan di dalam masa pembinaan tersebut

ialah belum adanya kepastian tentang kesalahan terdakwa, sehingga program

pembinaan tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

Satu-satunya keuntungan dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan

jangka pendek ialah, bahwa dengan jangka waktu yang pendek berarti penderitaan

agak berkurang, baik terhadap terpidana sendiri maupun terhadap keluarganya.

Akan tetapi apabila ditinjau dari segi masyarakat akan terasa menguntungkan,

karena biaya yang diperlukan lebih sedikit apabila dibandingkan dengan pidana

perampasan kemerdekaan yang berjangka waktu panjang.46

Dengan demikian sampai saat ini keberadaan pidana perampasan

kemerdekaan akan tetap ada atau sulit dihindari, meskipun kerugian-kerugian

yang melekat padanya pada masa mendatang keberadaan pidana perampasan

kemerdekan tetap merupakan pendukung sistem peradilan pidana. Yang penting

adalah seberapa jauh penggunaan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibatasi,

sehingga terdapat keserasian, keselarasan dan keseimbangan penggunaannya

dengan pidana non kemerdekaan. Penjatuhan pidana denda sebagai alternative

dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakan jenis pidana

46

(6)

pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para hakim, khususnya dalam praktek

peradilan di Indonesia.47

Pidana denda adalah termasuk jenis pidana yang tertua di dunia, di samping

pidana mati. Dalam hukum Adat dikenal pidana berupa pembayaran baik kepada

penguasa (Kerajaan) maupun sebagai pengganti kerugian kepada korban. Bentuk

pembayaran ini mulai dari bentuk uang sampai bentuk “in natura”, seperti ternak,

hasil kebun, dan lain sebagainya.

Perkembangan pidana denda dipandang lebih ringan daripada pidana

penjara, apalagi jika dibandingkan dengan pidana mati. Pasal 13 KUHP sendiri

telah mengatakan demikian. Ada kecenderungan bahwa di banyak negara

sekarang ini dan untuk masa yang akan datang, terjadi perkembangan daripada

pidana denda. Pidana denda sudah tidak lagi merupakan pidana kelas dua setelah

pidana kebebasan atau pidana hilang kemerdekaan.

Y.E. Lokollo dengan mengacu pada beberapa kepustakaan mengatakan

bahwa perkembangan pidana denda tidak saja mengenai banyaknya penggunaan

pidana dalam penjatuhan pidana, akan tetapi juga mengenai besarnya minimum

dan maksimum denda. Dikemukakannya pula lebih lanjut bahwa penyebab

perkembangan pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara

tajam tingkat kesejahteraan masyarakat di bidang materiil, kemampuan fnansial

pada semua golongan masyarakat. Sebagai akibat membaiknya tingkat

47

(7)

kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap perubahan watak (karakter)

dari kriminalitas.48

Penggeseran di dalam pemidanaan yang menampilkan pidana denda

mengganti posisi pidana kebebasan, berorientasi pada pertimbangan

meningkatnya kesejahteraan dan kemampuan financial pada semua golongan

masyarakat tersebut.49

Kebenaran alasan ini memang dapat diterima, namun bagaimanakah

gambaran di negara kira, negara Indonesia? Apakah keadaan di Indonesia sejauh

ini dapat digambarkan dalam pendapat di atas? Bukankah pencurian atau

perampokan maupun penipuan yang terjadi lebih disebabkan oleh keadaan dan

kebutuhan ekonomi yang mendesk bagi sementara masyarakat (dalam arti tingkat

kesejahteraan dan kemampuan financial masyarakat yang masih rendah). Bahkan

banyak terjadi akhir-akhir dasawarsa ini tindak pidana pencurian, perampokan

didahului dengan pembunuhan. Bukankah keadaan seperti ini karena desakan

kebutuhan finansial untuk menghidupi keluarga atau dirinya sendiri.

Kurangnya lapangan kerja yang berdampak kurangnya pendapat seseorang

cenderung meningkatkan kriminalitas. Bahkan tidak mungkin bagi seorang

pekerja karena kurangnya pemenuhan hidupnya yang paling minim sekalipun,

akan berbuat hal-hal yang dianggap terecela dalam masyarakat. Hal ini berkaitan

dengan menghangatnya permasalahaan di kalangan pegawai negeri yang korupsi

kecil-kecilan atau menerima suap yang tak lain adalah untuk mencukupi biaya

48Ibid., hlm. 47.

49

(8)

hidup yang tidak tercukupkan dari gaji yang diterimanya. Begitulah gambaran

yang terjadi atau mungkin terjadi di sekitar kita.

Tentunya di samping gambaran di atas, ada pula tindak pidana yang

dilakukan oleh orang-orang yang tingkat kemampuan finansial dan

kesejahteraannya sudah melebihi dari cukup yang melakukannya hanya karena

nafsu keserakahan seperti yang terjadi dalam kasus Bank Duta, kasus- kasus lain

yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah ataupun kasus-kasus manipulasi lainnya.

Pidana mati adalah suatu pidana yang ditujukan kepada jiwa orang, pidana

penjara penjara dan kurungan kepada kebebasan orang, sedangkan pidana denda

tertuju kepada harta benda orang berupa kewajiban membayar sejumlah uang

tertentu. Diantara jenis-jenis pidana yang terdapat di dalam KUHP (WvS) jenis

pidana denda merupakan pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara, mungkin

setua pidana mati.50

Sebelum menjadi sanksi yang mendukung semua pemidanaan (KUHP),

pidana denda telah dikenal secara luas hampir setiap masyarakat, termasuk

masyarakat primitif, walaupun dengan bentuknya yang primitif, dan tradisional

Indonesia. Pada zaman kerajaan Majapahit, sanksi pidana denda biasanya

dikenakan pada kasus-kasus penghinaan atau pencurian dan pembunuhan binatang

pemeliharaan yang menjadi kesenangan raja.

Apabila denda tidak dibayar, maka orang yang bersalah harus menjadi

hamba atau budak dengan menjalankan apa yang diperintahkan tuannya. Bila

utang benda dapat dilunasi maka setiap saat ia dapat berhenti menjadi hamba. Dan

50

(9)

tidak berhak menetapkan berapa lama orang yang bersalah itu menghamba untuk

melunasi utang bendanya adalah raja yang berkuasa.

B. Faktor-Faktor yang Mendorong Perluasan Pidana Denda

Apabila kita perhatikan perkembangan hukum pidana dewasa ini di

Indonesia, terutama hukum pidana khusus maupun ketentuan-ketentuan pidana

dalam berbagai perundang-undangan lainnya, terdapat suatu kecenderungan

memperluas penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Caranya baik dengan

meningkatkan jumlah pidana denda maksimum yang diancamkan, kemungkinan

kumulasi pidana penjara atau kurungan denda (yang dimungkinkan dalam

KUHP), maupun dengan mengancamkan pidana denda secara mandiri

sebagaimana tercantum misalnya dalam UU Darurat RI No. 7 Tahun 1955

Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang masih berlaku sampai saat ini.51

Kecenderungan-kecenderungan tersebut tentu saja didorong oleh berbagai

faktor dan situasi yang memerlukan penelitian yang lebih luas dalam kerangka

mempelajari permasalahan pidana pokok ini. Namun berbagi literatur dan hasil

penelitian tim pengkajian hukum tentang penerapan pidana denda, dapat

dikemukakan beberapa faktor pendorong meningkatkan dan berkembangnya

pidana denda. Y.E. Lokollo mengemukakan bahwa penyebab perkembangan

pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara tajam tingkat

kemampuan finansial dan kesejahteraan masyarakat di bidang materi. Sebagai

(10)

akibat membaik nya tingkat kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap

perubahan watak (karakter) dari kriminalitas.52

Selanjutnya perkembangan pidana denda ini didorong pula oleh

perkembangan delik-delik khusus dalam masyarakat di bidang perekonomian

yang erat pula kaitannya dengan apa yang disebut sebagai “white collar crime

dan “professional crime”, yang dapat menghasilkan keuntungan materiil dalam

jumlah yang besar. Apabila si pelaku hanya dikenakan pidana penjara, maka ia

masih mempunyai kemungkinan untuk menikmati hasil kejahatan tersebut. Dalam

hal inilah pidana dapat didayagunakan untuk mengejar kekayaan hasil dari tindak

pidana yang dilakukan terpidana. Tentu saja untuk maksud ini harus didukung

oleh sarana-sarana untuk melaksanakan keputusan pidana denda yang dijatuhkan

oleh hakim.

Faktor ini erat kaitannya dengan perkembangan dalam pidana yang

menyangkut subyek hukum dalam hukum pidana. Dimana dalam KUHP

sekarang pada dasarnya hanya orang yang dapat menjadi subyek hukum pidana.

Dalam “Memory van Toelichting” Pasal 51 Nederlandache W.v.S (pasal 59

KUHP) dikatakan: “suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan

fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”. Tetapi dalam

perkembangan selanjutnya tidak dapat dihindarkan lagi kemungkinan badan

hukum (korporasi) melakukan tindak pidana dan tanggung jawab tidak terlepas

dari pertanggungjawaban pihak pengurusnya.53

52Ibid.

53

(11)

Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah semakin tidak disukainya pidana

penjara atau kurungan, karena dinilai seringkali tidak efektif terutama bagi tindak

pidana tertentu seperti tindak pidana ekonomi maupun narkotika. Kurang

disukainya pidana penjara ini juga bertolak dari susut pandang “Cost and Benefit

yang berkaitan dengan masalah efisiensi. Semakin banyak penghuni penjara

berarti semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh negara, sedang uang

negara berarti uang rakyat juga. Jumlah biaya yang dikeluarkan tidak sebanding

dengan output yang diperoleh dari pidana perampasan kemerdekaan itu.

C. Pengaturan Pidana Denda di Indonesia

1. Pengaturan Pidana Denda Dalam KUHP

Di dalam Pasal 10 KUHP, pidana pokok terbagi atas :

1) Pidana Mati

2) Pidana Penjara

3) Pidana Kurungan

4) Pidana Denda

5) Pidana Tutupan

Pidana Denda merupakan suatu bentuk pidana tertua yang lebih tua daripada

pidana penjara. Mungkin setua dengan pidana mati.54Pembuat undang-undang tidak menentukan suatu batas maksimum yang umum, namun setiap pasal dalam

KUHP ditentukan batas maksimum pidana denda yang dapat dijatuhkan oleh

Hakim. Berbeda halnya dengan batas maksimum umum pidana denda yang dapat

(12)

dijatuhkan oleh Hakim. Berbeda halnya dengan batas maksimum umum pidana

denda, maka dalam KUHP ada ditentukan satu batas minimum yang umum pidana

denda yang tertulis dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu : Banyaknya denda

sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.55

Oleh karena, ancaman-ancaman hukum terhadap tindak pidana

menyebabkan orang mati karena kesalahan, menyebabkan orang luka brat karena

kesalahan dan menyebabkan karena kesalahannya, kebakaran, peletusan atau

banjir, dalam Pasal 359, 360 dan 188 KUHP terlalu ringan sehingga perlu

diperberat. Kemudian diundangkanlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 yang

dalam pasal 1 ditentukan bahwa :

Ancaman hukuman dalam pasal-pasal 359, 360 dan 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinaikkan sehingga pasal-pasal tersebut seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 359 :

Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.

Pasal 360 :

(1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.

(2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah.

55

(13)

Pasal 188 :

Barangsiapa menyebabkan karena kesalahannya kebakaran, peletusan atau banjir, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau hukuman denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, jika terjadi bahaya umum untuk barang karena hal itu, jika terjadi bahaya kepada maut orang lain, atau jika hal itu berakibat matinya seseorang.

Kemudian, dikarenakan jumlah-jumlah pidana denda dalam

Perundang-undangan pidana, baik dalam KUHP yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari

1918 maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan

sebelum tanggal 17 Agustus 1945 adalah terdapat ancaman-ancaman hukuman

denda yang tidak seimbang lagi dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan,

berhubung ancaman-ancaman hukuman denda itu sekarang menjadi terlalu ringan

jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada masa kini, sehingga jumlah

ancaman hukuman denda itu perlu dinaikkan. Sebagai ukuran diambil

pertimbangan bahwa semua harga barang sejak tanggal 17 Agustus 1945 rata-rata

telah meningkat sampai 15 kali harga pada waktu itu. Oleh karena itu, maksimum

jumlah hukuman denda itu dilipatgandakan dengan 15 kali dalam mata uang

rupiah. Sehingga, diundangkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang No. 18 Tahun 1960, yang dalam pasal 1 ditentukan bahwa :

(14)

Jadi, mengingat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 18

Tahun 1960 ini maka batas minimum yang umum denda itu sekarang menjadi 15

x 25 sen = Rp . 3,75

Ayat (2) :

Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda dalam

ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana

ekonomi.

Jadi, diantara peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sebelum tanggal

17 Agustus 1945 ada beberapa aturan yang telah diperberat ancaman dendanya,

yaitu tindak pidana yang telah digolongkan tindak pidana ekonomi sehingga tidak

perlu lagi dinaikkan jumlah dendanya.

Pidana denda mempunyai sifat perdata mirip dengan pembayaran yang

diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang

merugikan orang lain. Perbedaannya ialah denda dalam perkara pidana dibayarkan

kepada negara atau masyarakat dalam perkara perdata kepada orang pribadi atau

badan hukum. Pidana denda dalam perkara pidana juga dapat diganti dengan

pidana kurungan jika tidak dibayar. Selain itu, denda tidaklah diperhitungkan

sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan

sebagaimana dalam perkara perdata. Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun

terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban.

Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi

kasus dengan putusan Hakim, minimum umum satu hari dan maksimum enam

(15)

bulan dalam hal gabungan (concursus), residivis dan delik jabatan menurut pasal

52 dan 52 bis (pasal 30 ayat 5 KUHP).

Berdasarkan ketentuan pasal 30 KUHP tersebut, pidana denda dalam KUHP

adalah hanya berbentuk uang dan tidak boleh berbentuk barang, hanya saja

apabila denda tersebut tidak dibayar oleh terpidana baik karena ketidakmampuan

atau ketidakmaunya, maka pidana denda itu dapat diganti ke dalam bentuk pidana

kurungan yang disebut dengan hukuman kurungan subsider atau pengganti.

2. Perumusan Pidana Denda dalam Rancangan KUHP

Perumusan pidana denda dalam KUHP yang berlaku sekarang dapat

digambarkan dengan anggapan pidana denda digolongkan dalam kelompok

pidana ringan dalam delik pelanggaran dan disamping itu ada juga anggapan

bahwa pidana denda kurang efektif jika dibandingkan dengan pidana perampasan

kemerdekaan sebagai pidana yang berat. Oleh karena itu, perumusan pidana denda

dalam rancangan KUHP pada hakikatnya merupakan untuk mencari jalan keluar

untuk menyeimbangkan dengan bentuk-bentuk pidana lainnya.

Di dalam konsep Rancangan KUHP Nasional tahun 2012 susunan kelompok

pidana pokok berdasarkan berat ringannya adalah sebagai berikut:

1) Pidana Penjara;

2) Pidana Tutupan;

3) Pidana Pengawasan;

4) Pidana Denda;

(16)

Perumusan pidana denda dalam konsep Rancangan KUHP Nasional tahun

2012 terdapat dalam Buku I mengenai ketentuan Umum.

Pasal 80

(1) Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.

(2) Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).

(3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. Kategori I Rp . 6.000.000,00 (enam juta rupiah);

b. Kategori II Rp . 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);

c. Kategori III Rp . 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. Kategori IV Rp . 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);

e. Kategori V Rp . 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan f. Kategori VI Rp .12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(4) Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya.

(5) Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan:

a. Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V;

b. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI.

(6) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV.

(7) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pidana denda sebagai salah satu sarana dalam politik criminal tidak kalah

efektif dengan jenis pidana lainnya, oleh karena itu dalam KUHP ini jenis pidana

denda ayat 2 dipergunakan jumlah besarnya upah maksimum harian.

Dalam ketentuan ayat 3, pidana denda dirumuskan secara kategoris.

Perumusan secara kategoris ini dimaksudkan agar :

a. Diperoleh apa yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk

(17)

b. Lebih mudah melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan ekonomi

dan moneter.

Mengingat pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanya

pidana denda, maka wajar apabila ancaman maksimum pidana denda yang

dijatuhkan pada korporasi lebih berat daripda ancaman maksimum pidana denda

yang dijatuhkan pada orang perseorangan. Untuk itu telah dipilih cara menentukan

maksimum pidana denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana yaitu

kategori lebih tinggi berikutnya.

Dalam hal rumusan tindak pidana dalam suatu Perundang-undangan tidak

mencantumkan ancaman pidana denda terhadap korporasi, maka perlu ketentuan

ayat (5) ini, dengan minimum pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat

(6).

Dalam Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa penjatuhan pidana denda itu

harus mempertimbangkan kemampuan terpidana. Sedangkan dalam ayat (2)

menyatakan bahwa dalam penilaian kemampuan terpidana wajib memperhatikan

apa yang dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan

kemasyarakatannya.

Pasal 82 ayat (1) menyatakan Pidana denda dapat dibayar dengan cara

mencicil dalam jangka waktu sesuai dengan putusan hakim. Sedangkan dalam

ayat (2) nya menyatakan apabila pidana denda tidak dibayar penuh dengan jangka

waktu yang ditetapkan maka untuk pidana denda yang tidak dibayar tersebut dapat

diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. Menurut pasal 83 ayat (1) jika

(18)

yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana kerja sosial, pidana

pengawasan, atau pidana penjara, dengan ketentuan pidana denda tersebut tidak

melebihi pidana denda Kategori I.

Lamanya pidana pengganti diterapkan di dalam Pasal 83 ayat (2) yaitu :

a. Untuk pidana kerja sosial pengganti, berlaku ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4);

b. Untuk pidana pengawasan, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1

(satu) tahun;

c. Untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling

lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4

(empat) bulan, jika ada pemberatan pidana denda karena perbarengan atau

karena adanya faktor pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 134.

Perhitungan lamanya pidana pengganti berdasarkan ayat (3) didasarkan pada

ukuran untuk setiap pidana denda Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) atau

kurang, disepadankan dengan:

a. Satu jam pidana kerja sosial pengganti;

b. Satu hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti

Berdasarkan Pasal 83 ayat (4), jika setelah menjalani pidana pengganti, sebagian

pidana denda dibayar maka lamanya pidana pengganti dikurangi menurut ukuran

yang sepadan sesuai dengan ketentuan ayat (3).

Sesuai dengan Pasal 84 ayat (1) yang mengatakan jika pengambilan

(19)

kategori I yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama sebagaimana yang diancamkan untuk tindak pidana yang

bersangkutan. Sedangkan jika pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak dapat

dilakukan maka untuk korporasi sesuai dengan Pasal 85 dikenakan pidana

pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.

Jadi, jelaslah bahwa pengaturan masalah denda dalam KUHP berbeda

dengan pengaturan pidana denda dalam Rancangan KUHP tersebut dapat

dikatakan cukup mendetail. Hanya saja permasalahan pidana denda dalam

Rancangan KUHP ini pada dasarnya merupakan permasalahan untuk mencari

jalan keluar atas kelemahan-kelemahan dalam pengaturan pidana denda menurut

KUHP.

Sehingga pola pidana denda ini secara singkat dapat dirumuskan sebagai

berikut :

1) Pidana denda mempergunakan sistem kategori karena apabila menyebutkan

jumlah uangnya selalu akan terjadi perubahan nilai uang.

2) Pidana denda akan diberikan gengsi yang lebih tinggi.

3) Suatu delik yang diancam penjara dimungkinkan untuk diancam pidana

denda.

4) Minimum pidana denda adalah tiga juta rupiah, sedangkan maksimumnya

adalah denda kategori 6 (untuk korporasi).

(20)

Bobot Tindak Pidana Pidana Denda

1. Sangat Ringan

2. Ringan

3. Sedang

4. Berat

5. Sangat Serius

Kategori 1 : Rp . 6.000.000,-

Kategori 2 : Rp . 30.000.000,-

Kategori 3 : Rp . 120.000.000,-

Kategori 4 : Rp . 300.000.000,-

Korporasi :

Kategori 5 : 1.200.000.000,-

Kategori 6 : 12.000.000.000,-

Berdasarkan konsep Rancangan KUHP itu Hakim dapat menetapkan dalam

putusannya berapa lama terpidana harus membayar dendanya dengan cara

mengangsur (mencicil).

3. Pengaturan Pidana Denda di luar KUHP

Di dalam pasal 30 KUHP, kedudukan pidana denda terlihat sangat ringan

dimana dirumuskan bahwa minimum dari pidana denda adalah 25 sen dan

maksimum pidana pengganti denda hanya 6 bulan kurungan. Sedangkan, dalam

hal pemberatan hukuman (samenloop/recidivis) paling lama hanya 8 bulan pidana

kurungan.

Kedudukan dari pidana denda yang seperti ini mungkin yang menyebabkan

tidak populernya jenis pidana denda dibandingkan dengan jenis tindak pidana

(21)

perkembangan pidana selanjutnya pidana di luar KUHP terdapat kecenderungan

untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda. Hal ini terlihat misalnya:

1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,

supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.56

Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang ini tertera dalam Pasal 5 yaitu:

Pasal 5

(1) Dipidana dengan penjara singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau

b. Memberi sesuatu kepada kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima pembe rian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Undang-undang ini memuat sanksi denda yang cukup berat. Hal ini

memperlihatkan kesungguhan untuk mncegah/ memberantas tindak pidana

korupsi dengan kesadaran bahwa tindak pidana korupsi merupakan perbuatan

(22)

yang sangat tercela walaupun jumlah yang dikorup tidak seberapa misalnya

kurang dari Rp . 5.000.000,- (lima juta rupiah) maka sanksi pidana penjaranya

paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp . 50.000.000,- (lima puluh

juta rupiah).57

Selain itu, pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan (pasal 18

ayat (1) huruf (b), sesuai dengan rumusan pasal 18 ayat (3) maka jika tidak

dibayar atau terpidana tidak mempunyai harta benda, diganti dengan pidana

penjara. Dalam hal ini, jika Penuntut Umum membuat pidana tambahan berupa

uang pengganti harus memuat permintaan bahwa jika uang pengganti tidak

dibayar maka diganti dengan pidana penjara yang lamanya dimuat dalam putusan

pengadilan.58

Mengenai sanksi, meskipun ditentukan bahwa korporasi dimuat sebagai

subjek dalam tindak pidana korupsi tentang pengenaan sanksi hanya dapat

dijatuhkan sanksi denda.

2. Undang- undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang

Pencucian uang adalah Setiap Perbuatan yang menempatkan, mentransfer,

mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,

membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau

surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau

patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan

57 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, (Jakarta : Djambatan, 2004)., hal 78.

58

(23)

atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta

kekayaan yang sah.

Didalam Pasal 3 menyatakan bahwa setiap orang yang menempatkan,

mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,

menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan

mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian

Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).59

Pasal 4 menyatakan setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan

asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang

sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganyamerupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

Ketentuan dalam Pasal 5 menyatakan bahwa setiap orang yang menerima

atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,

penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau

patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara

59

(24)

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah). Menurut Pasal 7 penjatuhan pidana pokok terhadap korporasi

adalah pidana denda paling banyak yaitu Rp. 100.000.000,00 (seratus miliar

rupiah).

3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan

manusia serta makhluk hidup lain.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis

dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang

meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,

dan penegakan hukum.

Pada Pasal 98 ayat (1) menyatakan bahwa pidana denda yang diberikan

kepada setiap orang yang dengan sengaja mengakibatkan baku mutu udara

ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup paling sedikit Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) dan

paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).60 Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka ataupun bahaya kesehatan manusia, maka menurut

(25)

Pasal 98 ayat (2) akan dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,-

(empat miliar rupiah dan paling banyak Rp. 12.000.000.000,- (dua belas miliar

rupiah). Akan tetapi apabila perbuatan tersebut malah mengakibatkan orang luka

berat atau mati, maka sesuai ayat (3) dikenakan pidana denda paling sedikit Rp.

5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,-

(lima belas miliar rupiah).

Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang

karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku

mutu air, baku mutu air laut atau kriteria kerusakan lingkungan hidup maka akan

dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah). Apabila perbuatan

tersebut mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia maka pada

ayat (2) mengatakan bahwa pidana denda yang dikenakan paling sedikit

Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,-

(enam miliar rupiah). Pada ayat (3) dikatakan jika perbuatan tersebut

mengakibatkan luka berat atau` kematian maka dikenakan pidana denda paling

sedikit Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp

9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Pasal 100 mengatakan setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah,

baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana denda paling

banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 101 mengatakan bahwa

setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke

(26)

perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)

huruf g, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Berbeda dengan Pasal 102 yang mengatakan setiap orang yang melakukan

pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4),

dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pada Pasal 103, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak

melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan

pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling

banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Di dalam Pasal 104 mengatakan

bahwa setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media

lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana

dengan pidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Menurut Pasal 105 bahwa Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal

69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana denda paling sedikit

Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp

12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Sedangkan Pasal 106 mengatur

tentang orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d,

dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar

(27)

4. Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan

narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf

pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Dalam pasal 3 Undang-undang ini dijelaskan bahwa tujuan daripada

pengaturan di bidang psikotropika ini adalah :61

a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan

dan ilmu pengetahuan.

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.

c. Memberantas peredaran gelap psikotropika.

Pasal- pasal yang memuat ketentuan pidana denda dalam undang-undang ini

adalah

a. Pasal 59 yang mengatakan bahwa:

(1) Barangsiapa :

a) Menggunakan psikotropika golongan I

b) Memproduksi dan/ atau menggunakan dalam proses produksi

psikotropika golongan I

c) Mengedarkan psikotropika golongan I

d) Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan

ilmu pengetahuan; atau

e) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/ atau membawa

psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

tahun, paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

(28)

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan pidana

denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi,

maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi

dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar

rupiah).

b. Pasal 62 mengatakan bahwa barangsiapa secara tanpa hak,

memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa psikotropika dipidana dengan

pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

c. Pasal 65 memberikan hukuman pidana denda paling banyak Rp.

20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) bagi barangsiapa yang tidak melaporkan

penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah.

5. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Peraturan mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika terdiri dari beberapa pasal, yaitu:62

a. Pasal 111 yang pada ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit

Rp.800.000.000,- ( delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.8.000.000.000,- ( delapan miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak

62

(29)

atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.

b. Pasal 112 pada ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp.

800.000.000,- ( delapan miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak atau

melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan

Narkotika Golongan I bukan tanaman.

c. Pasal 113 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit

Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak

atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan I.

d. Pasal 114 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit

Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak

atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

Narkotika Golongan I.

e. Pasal 115 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,-

(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan

miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I.

f. Pasal 116 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

(30)

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak

atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang

lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain..

g. Pasal 117 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau

melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan

Narkotika Golongan II.

h. Pasal 118 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak

atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan II.

i. Pasal 119 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak

atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

Narkotika Golongan II.

j. Pasal 120 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

(31)

melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Narkotika Golongan II.

k. Pasal 121 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak

atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang

lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain.

l. Pasal 122 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau

melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan

Narkotika Golongan III.

m. Pasal 123 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau

melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Narkotika Golongan III.

n. Pasal 124 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit

Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak

atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

(32)

o. Pasal 125 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau

melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito

Narkotika Golongan III.

p. Pasal 126 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp

600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau

melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain

atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain.

q. Pasal 128 ayat (1) memberikan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000,00

(satu juta rupiah) untuk Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup

umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak

melapor.

r. Pasal 129 memberikan pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum:

1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika

untuk pembuatan Narkotika;

2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor

(33)

4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika

untuk pembuatan Narkotika.

6. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis

berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk

nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri

atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.

Sedangkan Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan,

seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi,

kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

Beberapa pasal yang memuat ketentuan pidana denda dalam Hak Cipta

adalah:63

a. Pasal 112 memberikan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga

ratus juta) untuk setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)64 dan/atau Pasal 5265 untuk

63 Tim Mahardika, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Yogyakarta: 2015, hlm. 68.

64 Pasal 7 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2015 Tentang Narkotika berbunyi:

“ Informasi manajemen Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan informasi eleronik Hak Cipta sebagaimana dimaksud Pada ayat (2) yang dimiliki Pencipta dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak.

65 Pasal 52 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta berbunyi:

(34)

Penggunaan Secara Komersial.

b. Pasal 113 pada ayat (1) memberikan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-

(seratus juta rupiah) untuk setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan

pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)

huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial. Sedangkan ayat (2) mengenakan

pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk

setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau

pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,

dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial. Menurut Pasal 113

ayat (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta

atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,

dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara dikenakan pidana denda paling

banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ayat (4) menyatakan

bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana pidana

denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

c. Pasal 114 mengancam memberikan pidana denda paling banyak

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk setiap orang yang mengelola

tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan

(35)

pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang

dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1066.

d. Pasal 115 mengancam hukuman denda paling banyak Rp. 500.000.000,- bagi

setiap orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli

warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan,

Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1267 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk Penggunaan Secara Komersial baik dalam media elektonik maupun non

elektronik.

e. Pasal 116 ayat (1) mengenakan pidana denda paling banyak Rp. 100.00.000,-

(seratus juta rupiah) untuk setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan

pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)68 huruf e untuk Penggunaan Secara Komersial. Pada ayat (2) mengenakan

pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk

66 Pasal 10 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Narkotika berbunyi:

“Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya.”

676767Pasal 12 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Narkotika berbunyi:

(1) Setiap orang dilarang melakukan penggunaan secara komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribuan, dan/atau komunikasi atas potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya.

(2) Setiap orang dilarang melakukan penggunaan secara komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribuan, dan/atau komunikasi atas potret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang potret dua orang atau lebih, wajib meminta persetujuan dari orang yang ada dalam potret atau ahli warisnya.

68

Pasal 23 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Bebunyi :

“ Hak Ekonomi pelaku pertunjukan sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin atau , melarang pihak lain untuk melakukan :

a. Penyiaran atau komunikasi atas pertunjukan pelaku pertunjukan. b. Fiksasi dari pertunjukannya yang belum difiksasi.

c. Penggadaan atas fiksasi pertunjukannya dengan cara atau bentuk apapun. d. Pendistribusian atas fiksasi pertunjukan atau salinannya.

(36)

setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b, dan/atau

huruf f, untuk Penggunaan Secara Komersial. Sedangkan pada ayat (3)

mengancam dikenakan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu

miliar rupiah) untuk Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan

pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)

huruf c, dan/atau huruf d untuk Penggunaan Secara Komersial. Berbeda

dalam ayat (4) yang mengancam dikenakan pidana denda paling banyak

Rp.4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) untuk setiap orang yang memenuhi

unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk

Referensi

Dokumen terkait

Photodioda adalah salah satu jenis dioda yang bekerja berdasarkan intensitas cahaya, jika photodioda terkena cahaya maka photodioda bekerja seperti dioda pada umumnya,

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

Top-down view orthoimage is one of the most fundamental products of photogrammetry, and is one of the most important and popular spatial data sources in modern

[r]

Orang yang meminta perlindungan kepada selain Allah berarti telah berbuat ….. Hidayah Allah yang membedakan antara manusia dan makhluq lainnya

Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,