1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Gagal jantung (GJ) merupakan sindrom klinis kompleks yang diakibatkan oleh adanya kerusakan struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel atau pemompaan darah. 1,2 GJ merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia.1,2,3,4
Di Amerika utara dan Eropa, risiko menderita GJ diperkirakan 1:5 pada usia 40 tahun. Prevalensi keseluruhan diperkirakan meningkat oleh karena perkembangan terapi untuk gangguan fungsi jantung seperti Infark Miokard (IM), penyakit jantung katup, dan aritmia, sehingga memungkinkan pasien untuk hidup lebih lama. 2,3
GJ merupakan masalah kesehatan yang umum dijumpai dan mengakibatkan
tingginya angka kesakitan dan kematian. Di Amerika serikat, diperkirakan 5 juta
orang menderita GJ, dan hampir 550.000 kasus baru ditemui setiap tahunnya.
Kondisi ini muncul saat jantung tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh. Hal ini diakibatkan adanya kerusakan yang mengganggu kemampuan
ventrikel untuk mengisi atau memompakan darah. Diperkirakan GJ bertanggung
jawab terhadap 290.000 kematian per tahunnya. Angka survivalnya sangat jelek,
dengan 50% pasien bertahan >5 tahun. Identifikasi penyebab dan diikuti dengan
pengobatan yang agresif sangat penting untuk memperbaiki angka survival ini. 5
Di Indonesia, usia pasien GJ relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.4 Berdasarkan data dari Kementrian kesehatan pada tahun 2014, prevalensi penyakit GJ di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang. Prevalensi gagal jantung memperlihatkan pola eksponensial yang meningkat seiring usia dan mengenai sekitar 6 – 10% individu diatas 60 tahun 4,6,7
GJ merupakan penyebab tersering rawat inap pada pasien – pasien diatas usia 65 tahun, yang menyebabkan tingginya angka rawatan di rumah sakit di Amerika Serikat per tahunnya. GJ merupakan diagnosis primer pada >1 juta kasus rawat inap tiap tahunnya. Rawat inap oleh karena perburukan pada pasien – pasien dengan GJ kronis
2
berkaitan dengan tingginya angka mortalitas dan morbiditas baik pada saat perawatan maupun paska perawatan dan turut meningkatkan beban biaya perawatan pasien – pasien GJ.6 Penelitian oleh Gheorghiade dkk (2015) melaporkan tingginya tingkat rehospitalisasi dan mortalitas dalam 60 - 90 hari paska perawatan pasien – pasien GJ yang dirawat inap oleh karena perburukan dari gagal jantung kronis yakni berkisar 30% dan 15 % masing – masingnya. Patofisiologi yang mendasari timbulnya kejadian ini tampaknya berkaitan dengan peningkatan persisten dari tekanan pengisian jantung/filling pressure pada saat pasien pulang dari rawat inap. Gejala – gejala kongesti dapat timbul kembali bahkan lebih berat walaupun hanya dipicu dengan peningkatan tekanan pengisian yang minimal. Peningkatan tekanan pengisian ini dapat dipresipitasi oleh berbagai hal, antara lain: terapi dekongesti yang tidak adekuat, ketidapatuhan menjalani terapi yang diberikan, peningkatan tekanan darah, perburukan fungsi ginjal serta aritmia.8
Kebanyakan model prediksi untuk pasien – pasien GJ adalah terutama terdiri dari usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, data klinis, penanda biokimia, parameter gangguan fungsi ginjal, hiponatremia, gangguan elektrokardiogram (pemanjangan durasi QRS, QRS low voltage, fibrilasi atrium), evaluasi fungsi jantung berdasarkan temuan echocardiografi ( fraksi ejeksi ventrikel kiri < 45%, diameter atrium kiri atau disfungsi ventrikel kanan ), klasifikasi kapasitas fungsional berdasarkan New York Heart Association (NYHA), gangguan berjalan 6 menit maupun komorbid yang dijumpai seperti hipertensi, penyakit paru
obstruktif kronis, diabetes atau penyakit ginjal.9
Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa GJ kongestif harus dianggap sebagai suatu model neurohormonal, dimana progresifitas GJ terjadi akibat ekspresi berlebihan dari molekul aktif biologik yang dapat mengeksresikan zat racun pada jantung dan sirkulasi.1 Sejak ditemukannya aktivasi sitokin inflamasi pada pasien dengan gagal jantung kongestif, hingga saat ini terdapat kecendrungan penelitian untuk mengembangkan pengetahuan tentang kontribusinya terhadap progresifitas gagal jantung kongestif.2,10
Aktivasi sistem neurohormonal vasoaktif awalnya akan mempertahankan sirkulasi homeostasis. Aktivasi dari sistem syaraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung, denyut jantung, dan vasokonstriksi sistemik, yang akan
3
segera meningkatkan tekanan darah. Aktivasi sistem Renin Angiotensin aldosteron (RAAS) langsung menginduksi vasokonstriksi sistem ginjal dan mengaktivasi sistem lainnya (misalnya Arginin vasopressin, aldosteron) yang berkontribusi dalam mempertahankan volume intravaskular. 11
Bukti dari penelitian eksperimental dan klinis mengindikasikan bahwa mediator inflamasi berperan penting dalam patogenesis GJ kongestif yang mengakibatkan remodelling jantung dan gangguan pembuluh darah perifer.1 Beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan sitokin inflamasi seperti tumor necrosis faktor (TNF) , interleukin (IL)-1 and IL-6 pada pasien GJ, bersamaan dengan kegagalan miokardium itu sendiri.10,12 Dijumpai bukti kuat bahwa mediator-mediator ini terlibat dalam proses remodeling seperti hipertropi, fibrosis dan apoptosis. Beberapa sitokin ini juga dapat memberikan informasi prognostik yang berguna pada GJ.1,10,12,13
C-Reactive Protein (CRP) adalah protein fase akut, merupakan marker inflamasi
sistemik non spesifik. Kadarnya meningkat sebagai respon terhadap infeksi, inflamasi maupun kerusakan jaringan. CRP merupakan satu faktor resiko independen yang kuat untuk memprediksi terjadinya kejadian kardiovaskular di masa depan termasuk kejadian miokard infark, penyakit vaskular perifer, strok iskemik dan sudden cardiac death pada individu yang sebelumnya tidak diketahui adanya riwayat penyakit
kardiovaskular.12,13,14 Penelitian yang dilakukan oleh Gottdiener dkk pada tahun 2000 menunjukkan peranan high sensitivity C-Reactive Protein (hsCRP) sebagai prediktor independen dan kuat dalam memprediksi perkembangan GJ.15 Penelitian oleh Anand IS dkk dalam Valsartan Heart Failure Trial (Val-HeFT) menunjukkan bahwa high sensitive- CRP (hsCRP) dapat digunakan sebagai prediktor independen terhadap
morbiditas dan mortalitas pada penderita GJ.16
Terapi yang adekuat dapat menurunkan kadar plasma dari TNF dan CRP pada pasien GJ, sehingga strategi untuk menurunkan kadar CRP mungkin efektif dalam memperbaiki bioavailibilitas nitrit oksida dan fungsi endotel, faktor ini dapat menjadi potensial pada penanganan GJ.15
Di Indonesia, penelitian tentang hsCRP pada pasien GJ belum ada dilaporkan saat ini khususnya di RS.H. Adam Malik Medan. Pada penelitian ini saya akan menggunakan hsCRP sebagai parameter menilai angka kematian dalam 90 hari pada pasien GJ.
4
1.2Perumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh nilai hsCRP dengan tingkat mortalitas 90 hari pada pasien GJ?
1.3Hipotesis
Ada pengaruh nilai antara hsCRP dapat dengan tingkat mortalitas 90 hari pada pasien GJ.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui pengaruh nilai hsCRP dengan tingkat mortalitas 90 hari pada pasien GJ
1.4.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui prognosis jangka pendek pada pasien GJ
2. Untuk mengetahui akurasi hsCRP dalam memprediksi mortalitas 90 hari pada pasien GJ
1.5Manfaat Penelitian
1. Memprediksi angka kematian dengan mudah dan praktis dengan hsCRP pada pasien GJ yang dirawat di rumah sakit
2. Memfasilitasi pembuatan keputusan dan stratifikasi risiko untuk tatalaksana segera dan membentuk strategi jangka panjang sebagai tindakan preventif sekunder pada pasien GJ
3. Sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya
1.6Kerangka konseptual
Gambar 1.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Gagal Jantung rawat inap <48 jam
Mortalitas 90 hari High sensitivity C-Reactive
Protein