• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berang-berang dalam sosial masyarakat Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berang-berang dalam sosial masyarakat Sumatera Barat"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Berang-berang dalam sosial masyarakat Sumatera Barat

Aadrean1) 2)* dan Muhammad Yunis3)

1) Graduate School of Natural Science and Technology, Kanazawa University, Japan 2) Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Padang, Indonesia

3) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang, Indonesia * email korespondensi: aadrean@fmipa.unand.ac.id

Abstrak

Berang-berang merupakan salah satu hewan yang memiliki hubungan dan peranan dengan kehidupan manusia. Peranannya itu berupa konflik, pemanfaatan, serta mitos dan cerita. Tulisan ini menjelaskan seperti apa berang-berang di dalam masyarakat Sumatera Barat, secara deskriptif berdasarkan informasi-informasi yang dikumpulkan secara non-sistematis sejak tahun 2008. Masyarakat menganggap berang-berang sebagai salah satu hama bagi perikanan. Berang-berang juga dikenal sebagai hewan memiliki batu mustika yang berkhasiat bagi pemilik batu. Kuciang aie, salah satu nama lokal bagi berang-berang, juga memiliki makna kiasan tersendiri bagi masyarakat Sumatra Barat. Berbagai mitos dan cara-cara unik penanganan konflik dengan berang-berang juga dijelaskan di dalam tulisan ini.

Kata kunci: Konflik, Mitos, Kearifan Lokal, Konservasi

Pendahuluan

Berang-berang (SubFamili: Lutrinae) adalah mamalia yang hidup di daerah lahan basah dan menjadi indikator lingkungan perairan yang sehat. Sebagai pemangsa puncak, hewan ini berada di rantai makanan paling atas, dan sangat terpengaruh terhadap faktor lingkungannya (Foster-Turley and Santiapillai, 1990). Berang-berang memiliki hubungan dengan kehidupan masyarakat. Hubungan itu dapat berupa konflik, pemanfaatan dan sebagai sumber cerita bagi masyarakat. Penggunaan berang-berang sebagai hewan yang membantu untuk menangkap ikan telah digunakan sejak zaman dulu di Asia dan Eropa (Gudger, 1927) dan baru-baru ini masih berlangsung di Bangladesh (Feeroz et al., 2011). Di Jepang, berang-berang telah menjadi cerita rakyat (Yanagita, 1986), dan menjadi salah satu bentuk inspirasi sebagai monster dan siluman (Ando et al., 2007).

Dari 13 jenis berang-berang yang ada di seluruh dunia, terdapat 4 jenis yang hidup di Indonesia (Corbet and Hill, 1992). Di daerah Sumatera Barat sedikitnya ada 2 jenis berang-berang

(2)

yaitu Lutrogale perspicillata dan Aonyx cinerea (Aadrean, unpublished). Beberapa penelitan tentang ekologi dan biologi berang-berang di Sumatera Barat telah dilakukan (Aadrean, 2011; Aadrean et al., 2010) namun belum ada tulisan yang menjelaskan tentang hubungan berang-berang di dalam masyarakat.

Pada masyarakat terdapat banyak informasi berharga yang bisa dikumpulkan walaupun kadang tidak bisa dijelaskan secara ilmiahnya. Berbagai pengetahuan dan kepercayaan pada masyarakat bisa menginspirasi perkembangan ilmu pengetahuan. Walaupun tidak ada ilmiahnya, sebagai unsur sosial budaya tentunya bisa dipelajari. Tulisan ini akan memberikan informasi tentang bagaimana berang-berang itu di dalam budaya masyarakat, pemahaman lokal, pemanfaatan, cerita dan mitos.

Metoda Penelitian

Data sosial masyarakat ini merupakan data sampingan yang dikumpulkan sejak penelitian berang-berang pertama kali dilakukan di Padang Pariaman tahun 2008, kemudian dilanjutkan dengan penelitian West Sumatra Otter Project tahun 2009-2010. Kemudian informasi pelengkap juga didapatkan dari beberapa kontributor melalui media sosial Facebook dalam menambahkan informasi tentang berang-berang dari daerah masing-masing. Serta catatan insidental sampai Juli 2015. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan disajikan secara deskriptif.

Hasil

Nama lokal berang-berang

Berang-berang dalam bahasa lokal di Sumatera Barat secara umum disebut dengan barang-barang. Pengucapan barang itu bervariasi sesuai dengan dialek lokal, diantaranya yaitu: barang-barang, borang-borang, baghang-baghang, boghang-boghang, beghang-beghang, babarang-barang, babaghang. Selain itu sebagian masyarakat mengenal berang-berang dengan nama kuciang aie, dan ada juga masyarakat menyebutnya musang aie. Tapi istilah musang aie ini belum bisa diklarifikasi lebih jauh apakah hewan yang dimaksud adalah berang-berang atau bukan.

Pada beberapa lokasi yang disurvei seperti Padang Pariaman dan Padang Panjang, masyarakat mengatakan bahwa ada dua jenis berang-berang, yaitu barang-barang dan kuciang aie. Kedua jenis itu berbeda ukuran, yang satu besar dan yang satu lagi itu berukuran kecil. Masyarakat mempercayai bahwa ada jenis yang tidak punya anus dan mengeluarkan kotorannya melalui muntah, sedangkan jenis yang satu lagi itu buang kotoran secara normal. Namun informasinya

(3)

bervariasi, tidak ada informasi yang jelas manakah yang barang-barang dan yang manakah kuciang aie. Antara satu lokasi dan lokasi yang lainnya itu berbeda pemahamannya.

Konflik Masyarakat dengan Berang-berang

Konflik Perikanan

Informasi dari masyarakat mengatakan bahwa berang-berang itu menyerang kolam ikan dengan cara bergerombol dengan jumlah sampai 20 ekor. Hewan ini punya kemampuan untuk mendeteksi keberadaan ikan melalui bau di air. Masyarakat mempercayai bahwa berang-berang menangkap ikan dengan cara bekerjasama. Mereka memiliki pembagian tugas dan tim yang bagus. Ada sekelompok berang-berang dewasa bertugas sebagai tukang tangkap ikan di kolam, lalu setelah dapat ia akan melemparkan ikan ke luar untuk dimakan oleh anggota lain serta berang-berang yang masih kecil. Salah satu diantara mereka yang berukuran lebih besar menjadi raja atau ketua yang memimpin kelompoknya.

Untuk mengatasi dan mengurangi serangan dari berang-berang, masyarakat melakukan beberapa cara. Selain dilindungi secara teknis dengan cara dipagari dan dijaga, ada juga cara-cara unik lainnya yang dilakukan oleh masyakat. Diantaranya yaitu; penanaman serai wangi di pinggir kolam, pakai ranting bambu di dalam kolam, dan dengan membakar kotoran berang-berang. Penanaman serai wangi dimaksudkan agar menyamarkan bau ikan sehingga berang-berang tidak bisa mendeteksi keberadaan ikan di dalam kolam. Penggunaan ranting bambu bertujuan agar berang-berang tidak leluasa berenang untuk menangkap ikan (Gambar 1). Pembakaran kotoran berang-berang dipercaya dapat membuat berang-berang takut untuk datang ke kolam itu.

Konflik di Sawah

Berang-berang juga dikenal oleh petani sebagi salah satu hama di sawah. Hewan ini merusak dan mematahkan rumpun padi (Gambar 2). Bentuk kerusakannya berupa patahnya rumpun padi seakan-akan dipijak atau dilindas. Rumpun padi yang dirusak biasanya berada dekat dengan lokasi kotorannya. Masyarakat meyakini bahwa berang-berang akan mulai datang merusak rumpun ketika padi pada tahap menyiang sampai pada tahap padi bunting. Masyarakat mempercayai bahwa berang-berang merusak rumpun padi itu untuk menggosok-gosokkan pinggulnya yang gatal, setelah itu berang-berang akan mengeluarkan kotorannya melalui muntah karena berang-berang tak punya anus.

Sebagian masyarakat juga meyakini bahwa rusaknya rumpun padi oleh berang-berang, hal ini disebabkan karena si petani telah melakukan pantangan-pantangan tertentu. Hal ini dijelaskan

(4)

lebih lanjut di bagian mitos dan cerita.

Rusaknya rumpun padi ini diatasi masyarakat dengan cara memagari rumpun dengan pagar jala di pinggir pematang. Cara yang lebih murah yaitu dengan menggunakan dan pandan duri yang ditancapkan di pangkal rumpun padi (Gambar 3). Selain daun pandan duri ada juga masyarakat yang menggunakan pelepah dan lidi kelapa dan enau yang ditancapkan dekat rumpun padi. Hal ini diyakini bisa mencegah rumpun dirusak oleh berang-berang karena takut tertusuk duri atau lidi.

Mitos dan cerita

Masyarakat mempercayai bahwa berang-berang memiliki batu mustika, atau dalam bahasa minang disebut dengan mantiko. Siapa yang memilikinya akan mendapatkan kekuatan seperti kekuatan berang-berang yang mampu berenang dengan hebat serta bisa menahan napas di dalam air dengan lama. Batu itu berada di dalam perut berang-berang dan dikeluarkan ketika mereka buang kotoran. Ketika buang kotoran, batu itu keluar bersamaan dengan kotorannya lalu berang-berang itu akan mencari dan mengambilnya kembali. Itulah sebabnya kotoran berang-berang itu seperti diacak-acak (Gambar 4).

Sebagian masyarakat juga percaya bahwa rumpun padi dirusak berang-berang karena beberapa pantangan yang dilanggar. Pantangan-pantangan itu tidak ada hubungan langsung dengan berang-berang, namun hanya berupa aktifitas dalam keseharian manusia saja (Tabel 1). Jika pantangan-pantang tersebut dilanggar, maka sebagai hukumannya, berang-berang akan merusak rumpun padi di sawah yang ia miliki atau yang sedang digarap.

Istilah Kuciang Aie

Istilah kuciang aie juga digunakan oleh masyarakat sebagai kiasan. Kiasan ini digunakan sebagai istilah negatif untuk orang yang tamak, curang, penipu, licik dan licin. Ketika petani ikan sudah susah payah memelihara ikan, si Kuciang Aie ini mengambil ikan seenaknya. Begitu juga dengan orang yang memiliki sifat ini. Namun orang yang bersifat kuciang aie ini susah dijerat, ia pandai memanfaatkan situasi dan kondisi. Istilah kuciang aie ini ada juga digunakan untuk laki-laki yang suka main perempuan atau playboy.

Diskusi

Konflik Berang-Berang dengan Masyarakat

Konflik berang-berang dengan masyarakat terjadi hampir di seluruh lokasi di dunia terutama konflik berang-berang dengan masyarakat perikanan. Untuk di Indonesia, konflik berang-berang

(5)

dengan perikanan sudah terjadi sejak lama. Meijard (2004) merangkum catatan zaman belanda sejak tahun 1930-an yang telah mencatat tentang konflik manusia dan berang-berang di daerah Jawa. Departemen perikanan air tawar di Jawa Timur saat itu telah mengembangkan cara penangkapan berang-berang yang efektif untuk pemusnahan berang-berang. Masyarakat juga telah mengenal penggunaan bambu yang dimasukkan ke dasar kolam sebagai tempat sembunyi bagi berang-berang.

Mitos Berang-Berang

Secara umum, mitos sengaja diciptakan dan dihidupkan dengan tujuan untuk membangun sistem nilai yang beredar di masyarakat (Yunis, 2010), yang dalam hal ini mitos batu mustika berang-berang mungkin dimunculkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membasmi berang-berang yang dianggap sebagai hama. Begitu juga dengan mitos rusaknya rumpun padi karena melakukan pantangan. Mitos-mitos itu dimuncul sebagai upaya pendidikan karakter generasi. Sama juga halnya dengan, istilah Kuciang Aie yang juga memiliki tujuan tujuan pendidikan agar tidak menjadi sosok yang dimusuhi banyak orang.

Dengan adanya mitos tersebut, diharapkan adanya kepedulian dan tidak melakukan tindakan-tindakan tersebut. Karena adanya tujuan dan hikmah tersirat yang ada di dalamnya. Sebagaimana falsafah orang Minangkabau, Alam Takambang Jadi Guru, fenomena-fenomena alam dijadikan sebagai sumber inspirasi (Navis, 1984). Hal ini merupakan kearifan lokal, yang bisa mengubah lingkungan sebagai sarana pendidikan. Baik itu pendidikan karakter, serta pewarisan sistem nilai pada masyarakat.

Dari mitos-mitos tersebut, secara ilmiah memang tidak ada kaitan dan hubungannya. Akan tetapi mengacu kepada falsafah orang Minangkabau Alam Takambang Jadi Guru dalam artian segala fenomena alam dijadikan panduan atau referensi dalam bertindak. Sehingga tindakan berang-berang merusak padi dijadikan sebagai doktrin dan hukuman bagi masyarakat yang tidak patuh terhadap sistem nilai. Karena adanya doktrin ini masyarakat menjadi takut melanggar pantangan tersebut.

Tindak Lanjut Berikutnya

Selama penelitian ini dilakukan, belum ditemukan adanya pemanfaatan berang-berang yang digunakan sebagai alat bantu untuk menangkap ikan. Pemanfaatan berang-berang hanya dalam bentuk batu mustika saja. Akan tetapi dalam dunia perdukunan atau pengobatan tradisional, masih terbuka kemungkinan adanya bagian tubuh berang-berang dipergunakan. Oleh karena itu butuh

(6)

penelitian lanjutan untuk memastikan hal ini.

Dengan adanya informasi yang telah beredar di masyarakat ini, maka diperlukan penelitian lanjutan berupa pembuktian kebenaran ilmiah dari informasi yang beredar tersebut. Serta mengkuantifikasi konflik dan menghitung seberapa banyakkah serangan yang dilakukan berang-berang terhadap kolam dan seberapa besar efeknya terhadap usaha perikanan. Setelah itu, masyarakat akan membutuhkan pengembangan teknologi berdasarkan kearifan lokal yang bisa meningkatkan dan melindungi usaha perikanan serta ramah terhadap berang-berang.

Dari segi pendidikan, masyarakat membutuhkan penyuluhan agar masyarakat mendapatkan informasi yang benar, karena banyak informasi salah yang beredar di masyarakat. Promosi tentang manfaat positif dari berang-berang juga perlu ditingkatkan. Serta mencari titik temu, dan jika memungkinkan berang-berang ini dimasukkan sebagai bagian dalam budaya masyarakat, sehingga berang-berang bisa tetap terlestarikan sebagaimana budaya dilestarikan oleh masyarakat.

Dalam bidang konservasi, pemanfaatan mitos dan budaya setempat juga bisa menjadi salah satu cara alternatif. Sebagaimana efektifnya cerita mitos hutan dan lubuk larangan (Pawarti et al, 2012), cerita-cerita seperti tersebut juga bisa dicoba diterapkan dalam konservasi satwa liar termasuk berang-berang.

Ucapan terima kasih

Terima kasih banyak kepada Rufford Small Grants yang telah mendanai West Sumatra Otter project tahun 2009-2010.

Daftar Pustaka

Aadrean, 2011. Ekologi makan berang-berang cakar kecil (Aonyx cinereus) di area persawahan kabupaten Padang Pariaman. Tesis Pascasarjana Biologi Andalas University.

Aadrean, Salmah, S., Salsabila, A., Rizaldi, Janra, M.N., 2010. Tracks and other signs of otters in rice fields in Padang Pariaman, West Sumatra: a preliminary study. IUCN Otter Spec. Gr. Bull. 27, 6–11.

Ando, M., Yoshiyuki, M., Han, S., Kim, H., 2007. Extinction of the Japanese otter : lessons from its extinction. Presented in: IUCN/SSC X Th International Otter Colloquium Korea.

Corbet, G.B., Hill, J.E., 1992. The Mammals of The Indomalayan Region: A Systematic Review. Natural History Museum Publications. Oxford University Press., New York.

Feeroz, M.M., Begum, S., Hasan, K., 2011. Fishing with otters: A traditional conservation practice in Bangladesh. IUCN Otter Spec. Gr. Bull. 28(A) 28, 14–21.

(7)

Foster-Turley, P., and Santiapillai, C. 1990. Action plan for Asian otters,. In Foster-Turley, P., Macdonald, S., and Mason, C. Otters: An Action Plan for Their Conservation. Gland, Switzerland: IUCN/SSC Otter Specialist Group.

Gudger, E.W., 1927. Fishing With the Otter. The American Naturalist. 61(674), 193–225.

Meijaard, E. 2014. A Review of Historical Habitat and Threats to Small-Clawed Otters on Java. IUCN Otter Spec. Group Bull. 31 (1): 40 - 43

Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : PT. Grafitipers.

Pawarti, A., Purnaweni, H., dan Anggoro, D. D. 2012. Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampuang Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Semarang 11 September 2012.

Yanagita, K., 1986. The Yanagita Kunio Guide to the Japanese Folk Tale. Asian Folklore Studies, Nagoya.

(8)

Gambar dan Tabel

Gambar 1. Ranting bambu untuk mencegah berang-berang leluasa berenang menangkap ikan

(9)

Gambar 2. Salah satu pojok sawah di dekat lokasi kotoran. Terlihat rumpun padi dirusak oleh berang-berang

(10)

Gambar 3. Daun pandan duri untuk melindungi rumpun padi agar tidak dirusak berang-berang

(11)
(12)

Tabel 1. Beberapa pantangan penyebab kenapa berang-berang merusak rumpun padi. Serta perkiraan tujuan dan hikmah dari pantangan tersebut. Kumpulan informasi dari beberapa petani sawah di daerah Lubuk Alung

Dalam bahasa Minangkabau Maksudnya dalam Bahasa

Indonesia Tujuan dan hikmahnya Mambangihan anak sadang

makan Memarahi anak yang sedang makan

Mendidik karakter orang tua Mangipeh kasue jo salimuik Mengipasi (membersihkan) kasur

dengan kain selimut

Kasur jaman dahulu pakai kapuk, untuk menghindari berterbangan, menjaga kesehatan

Manokok-nokok an puntuang Memukul-mukulkan puntung api (agar padam)

Menghindari kebakaran Mangauak pariuak Mengambil sisa nasi di periuk

dengan tangan

Meletakkan sesuatu pada tempatnya

Mamijak tungku Memijaki tungku api di dapur Menghindari bahaya Makan barimah Makan nasi berserakan ke luar

piring

Gambar

Gambar dan Tabel
Gambar 2. Salah satu pojok sawah di dekat lokasi kotoran. Terlihat rumpun padi dirusak oleh  berang-berang
Gambar 3. Daun pandan duri untuk melindungi rumpun padi agar tidak  dirusak berang-berang
Gambar 4. Kotoran berang-berang terpencar seperti telah diacak-diacak

Referensi

Dokumen terkait

Analisis bivariat pada penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil di Rumah Sakit Royal

Tradisi copy paste juga selalu dipandang negatif oleh masyarakat cendekiawan, tak selamanya anggapan itu benar, terbukti dengan sosial media masyarakat saling

Faktor-faktor yang dimasukan dalam model penelitian, yang diduga akan berpengaruh terhadap intensitas penggunaan modal ventura, adalah (1) pengalaman usaha, (2) tingkat

Tilankäyttö sivun taitossa viestivät siitä, että kyseessä on merkittävä tapahtuma ja syntyy mielikuva, että media haluaa osoittaa ottavansa tilanteen vakavasti. Kuviin ja

bahwa untuk menentukan rencana pembangunan dalam waktu 20 tahun yang akan datang, perlu disusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang ( RPJP ) Kota Pontianak sebagai

Menurut Rohmah dan Sugiarto (2008), proses oksidasi akan berlangsung berkali-kali sehingga dengan memperpanjang waktu kontak berarti akan memberikan waktu kontak

KEPALA DINAS KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL SEKRETARIS KEPALA SEKSI PRASARANA DAN SARANA KEOLAHRAGAAN KEPALA SEKSI PRASARANA DAN SARANA KEPEMUDAAN KEPALA BIDANG

lima tahunan, termasuk Rencana Strategis dan/atau Rencana Kerja dan Anggaran Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disahkan oleh Dewan Komisaris sebagaimana