• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kota Surabaya merupakan Kota terbesar kedua di Indonesia, dari data

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kota Surabaya merupakan Kota terbesar kedua di Indonesia, dari data"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang

Kota Surabaya merupakan Kota terbesar kedua di Indonesia, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surabaya tahun 2013, disebutkan jumlah penduduk Kota Surabaya sebesar lebih dari 3 juta jiwa, terdiri dari 31 kecamatan dan 112 kelurahan, dengan wilayah seluas 32.637.75 hektar. Kota Surabaya, selain memiliki banyak aset, juga kota yang berkembang pesat sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, pariwisata, perdagangan dan industri. Salah satu sumber daya (aset) dari sektor pariwisata yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di Kota Pahlawan ini adalah Kebun Binatang Surabaya (KBS).

Objek wisata satwa yang berlokasi di Jalan Stail No.1 Surabaya tersebut merupakan kebanggan Bangsa Indonesia karena tercatat sebagai kebun binatang terbesar se-Asia Tenggara, di dalamnya dihuni ±300 spesies satwa yang berbeda-beda, terdiri dari ±4300-an jenis binatang. Area lahan KBS yang luasnya sekitar 15 hektar dengan luas taman 85.000 meter persegi, bersertifikat hak guna pakai. Penyerahan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (Kemenhut RI), pengelolaan KBS sepenuhnya diserahkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui surat keputusan bernomor S.387/Menhut-IV/2013 yang ditandatangani Menteri Zulkifli Hasan pada 3 Juli 2013.

Potensi pendapatan dari aset dan pengelolaan KBS dinilai cukup besar. Sejak tahun 1980-an, lahan dan satwa di KBS dibidik dan diperebutkan berbagai investor, sebelum akhirnya aset lahan dan satwa di KBS diserahkan

(2)

Pemkot Surabaya. Perseteruan yang cukup panjang antara pengusaha untuk menguasai aset KBS telah diketahui masyarakat Surabaya. Mulai dari dikuasainya KBS oleh perkumpulan kebun binatang pada tahun 1981 hingga terbentuknya Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya (PTFSS) pada tahun 2003. Berlarut-larutnya konflik di KBS, membuat Kemenhut RI mencabut izin konservasi PTFSS dan membentuk tim manajemen sementara.

Pada tahun 2010, Menteri Kehutanan membentuk Tim Pengelola Satwa (TPS) kebun binatang. Namun, upaya campur tangan pemerintah pusat ini belum juga bisa menghentikan perseteruan. Apalagi media massa dari dalam dan luar negeri ramai memperbincangkan banyaknya satwa langka yang mati karena diduga tidak terawat.

Bahkan, belakangan diketahui ratusan satwa yang dilindungi oleh negara ini ditukar oleh pengelola KBS ke sejumlah kebun binatang lainnya. Sehingga, munculnya persepsi publik adanya permainan mafia tanah dan mafia satwa untuk menjadikan aset KBS sebagai lahan properti komersial mendorong Pemkot Surabaya mengambil sikap pada Tahun 2013. Pemkot Surabaya, melalui Walikota Tri Rismaharini mengirimkan surat izin pengelolaan KBS kepada Presiden RI dengan tembusan Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk meminta izin mengelola KBS.

Dalam pengelolaannya, Pemkot Surabaya membentuk Perusahaan Daerah Taman Satwa (PDTS) sebagai badan usaha. Permohonan ijin Pemkot Surabaya untuk mengelola KBS dan konservasi satwa akhirnya diterbitkan Presiden SBY di

(3)

tahun 2014. Langkah-langkah Pemkot Surabaya dalam pengelolaan aset KBS mengundang dukungan sekaligus perhatian nasional dan internasional, langkah tersebut sebagai bukti awal keseriusan Walikota yang berprestasi sebagai Walikota paling inspiratif 2013 (versi majalah Forbes Indonesia) dan Walikota terbaik 2014 (World Mayor) untuk mengelola aset KBS. Harapan Pemkot Surabaya, KBS tidak hanya difungsikan sebagai hutan dalam kota, tetapi juga dapat difungsikan sebagai lahan ekonomis. Jika pengelolaan KBS maksimal, maka bisa mendatangkan pendapatan yang lebih besar dan berkontribusi pada Pendapantan Asli Daerah (PAD) dan pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya.

KBS merupakan aset milik daerah yang dimanfaatkan sebagai fasilitas publik, lokasinya berada di jantung kota. KBS, selain sebagai objek wisata, juga berfungsi sebagai hutan kota yang disebut Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pengelolaan aset milik daerah dijelaskan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3, bahwa barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau perolehan lainnya yang sah.

Pengertian barang milik daerah juga dijabarkan secara spesifik dalam lampiran peraturan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah, baik yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah. Dalam hal ini, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya, ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya.

(4)

Penetapan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, menuntut pemerintah daerah untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Khususnya yang terkait dengan pengelolaan keuangan pada masing-masing daerah yang dapat berjalan secara efektif dan efisien, dan dapat meningkatkan PAD, dengan menghimpun sumber-sumber dana potensial guna mendukung biaya operasional pemerintah daerah. Pengelolaan aset daerah harus ditangani dengan baik agar aset tersebut dapat menjadi modal bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengembangan kemampuan keuangan daerah tersebut. Jika tidak dikelola dengan semestinya, aset tersebut justru menjadi beban bagi pemerintah, karena sebagian dari aset tersebut membutuhkan biaya perawatan atau pemeliharaan dan juga dapat mengalami depresiasi (penurunan nilai) seiring berjalannya waktu.

Optimalisasi pengelolaan aset daerah merupakan suatu keharusan bagi pemerintah daerah untuk mendongkrak dan menunjang pertumbuhan perekonomian di Kota Surabaya. KBS merupakan salah satu aset penting Pemkot Surabaya sekaligus icon Kota Surabaya. Berdasarkan berbagai dinamika yang ada, suatu keharusan bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan dan memaksimalkan atau mengoptimalkan pengelolaan KBS ke depan. Suatu keniscayaan jika pengelolaan KBS mendatangkan dampak yang positif terhadap pertumbuhan perekonomian Kota Surabaya, karena KBS sebagai fasilitas publik yang berorentasi pada benefit (manfaat) bukan hanya pada profit (ketuntungan). Perlu adanya suatu strategi untuk mengembangkan potensi yang ada, demi keberlangsungan PDTS KBS ke depannya.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini berdasarkan fakta atau realita dan isu kekinian tentang pengelolaan Kebun Binatang Surabaya (KBS). Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Perusahaan Daerah Taman Satwa (PDTS) sebagai badan usaha, yang meiliki wewenang untuk keberlangsungan KBS ke depan. Rumusan malasah ini didasarkan pada upaya Pemkot Surabaya untuk memaksimalkan atau mengoptimalkan pengelolaan KBS dengan menentukan opportunity cost sebagai langkah awal dalam menentukan strategi pengembangan KBS ke depannya.

1.3 Keaslian Penelitian

Keaslian dari penelitian ini merupakan penerapan Land Development Analysis (LDA) dan Discounted Cash Flow (DCF) sebagai alat analisis utama. Pada landasan penelitian terdahulu (tesis dan jurnal) metoda yang sering digunakan adalah metoda: Travel Cost (TC): Hedonic Pricing (HP): Contingent Valuation (CM): dan Contingent Ranking (CR), dapat dilihat Tabel.1 berikut.

Tabel 1.1

Penelitian-Penelitian Terdahulu

Peneliti Objek Penelitian Pendekatan Penelitian Bedate, Herrero dan

Sanz (2009)

Patio Herreriano de Arte Contempora´neo Espan˜ol, Valladolid, Spanyol

Contingent Valuation dan Hypothetical Bias,

Twerefou dan Ababio (2012)

Taman Nasional

Kakum,Ghana, Afrika Travel Cost Method El-Bekkay,

et al, (2013)

Souss Massa National Park (SMNP), Maroco

Contingent Valuation,dan Travel Cost Method

Putri (2013) Objek wisata Goa Gong, Kab. Pacitan Indonesia

Travel Cost Method dan Contingent Valuation

(6)

Pada Tabel 1.1 merupakan tabel yang menunjukkan bahwa rata-rata dalam melakukan penilaian terhadap objek wisata atau fasilitas publik menggunakan 4 (empat) pendekatan di atas untuk mendapatkan nilai ekonomi dari dari suatu objek wisata. Tabel 1.2 beberapa data yang menunjukkan kelemahan dan kelebihan pada masing-masing pendekatan penelitian terdahulu. Metoda yang dipakai dalam pendekatan di atas memiliki kelebihan dan kelemahan pada masing-masing metoda yang diterapkan dan dapat dilihat pada Tabel 1.2 sebagai berikut:

Tabel 1.2

Kelebihan dan Kelemahan Penelitian terdahulu

Metoda Kelebihan Kelemahan

Hedonic Pricing

Menggunakan observasi tentang rumah atau properti, perilaku pasar tenaga kerja untuk mengestimasi nilai dari perubahan kualitas lingkungan.

Hanya menghitung use values, memerlukan data pasar yang luas dan asumsi harga pasar untuk menangkap nilai barang lingkungan.

Travel Cost

Menggunakan perilaku turis dan wisatawan yang diobservasi.

Hanya menghitung use values. membutuhkan waktu dan biaya yang mahal mengumpulkan data yang cukup dan akurat. Contingent

Valuation

Satu-satunya metoda yang dapat mengestimasi use values dan non-use values.

Butuh waktu dan biaya mahal untuk aplikasi dan berpotensi bias karena kuesionernya. Contingent

Ranking

Pertanyaan lebih mudah dijawab dibandingkan dengan contingent valuation.

Sulit untuk ditabulasi dan memerlukan jumlah sampel yang besar.

Sumber: Putri, 2013

Tabel 1.2 (Kelemahan dan kelebihan) pada 4 (empat) metoda di atas dapat dibandingkan dengan metoda land development analysis dan discounted cash flow yang digunakan pada usulan penelitian ini, dapat dilihat pada Tabel 1.3 berikut ini:

(7)

Tabel 1.3

Kelebihan dan Kelemahan

Metoda Kelebihan Kelemahan

Land

Development Analysis

Menghasilkan nilai akurat atau mencerminkan estimasi harga pasar, dan proyeksi pendapatan bersih selama jangka waktu investasi.

Hanya diterapkan pada tanah yang luas dan data pasar sulit diperoleh, dan pada daerah yang sudah berkembang.

Discounted Cash Flow

Memberikan informasi rinci, potensi pertumbuhan pendapatan operasional bersih, harga properti, tingkat imbal hasil investasi, tingkat kapitalisasi pendapatan awal dan terminal (ketika dilakukan penjualan properti di akhir waktu investasi).

Rumit dalam pelaksanaannya karena penilai harus estimasi pendapatan, biaya, tingkat hunian selama periode proyeksi, hasil bersih properti di akhir investasi dan tingkat imbal hasil investasi yang wajar, mendiskonto pendapatan menjadi nila bersih sekarang. Sumber: Supardi, 2009: 10-12 (diolah)

Tabel 1.2 dan 1.3 pada masing-masing metoda memiliki kelebihan dan kelemahan, maka perlu melihat pada kelebihan pada masing-masing metoda sebagai pertimbangan dalam melakukan analisis pada data yang diolah. Penggunaan metoda dalam meganalisis data dapat memberikan ketepan untuk menghasilkan nilai yang akurat dan mencerminkan nilai pasar. Penerapan metoda Land Development Analysis (LDA) dan Discounted Cash Flow (DCF) adalah menentukan pendapatan yang mengindikasikan pendapatan tertinggi dan terbaik dari simulasi yang pendapatan tanah komersial yang dikembangkan di atasnya menjadi properti komersial (apartemen, hotel, pusat perbelanjaan dll.).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah adanya penerapan metoda Land Development Analysis (LDA) dan Discounted Cash Flow (DCF),

(8)

sebagai metoda mengestimasi nilai ekonomi dari suatu objek wisata yang dikelola oleh pemerintah atau mengestimasi real property yang tidak terdapat pembanding di pasar real property, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini.

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terkait dengan estimasi nilai ekonomi pada objek wisata yang bukan berorentasi pada profit semata (benefit), dengan metoda Land Development Analysis (LDA) dan Discounted Cash Flow (DCF) untuk oprtimalisasi dalam pengambilan kebijakan.

2. Menjadi bahan pertimbangan Pemerintah Kota Surabaya dalam mengembangkan dan mengoptimalkan pengelolaan Kebun Binatang Surabaya untuk meningkatkan pendapatan daerah dan memperkecil pengeluaran pemerintah untuk subsidi.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah menentukan Opportunity Cost (OC) Kebun Binatang Surabaya. Opportunity cost tersebut diperoleh dari pendapatan simulasi LDA dengan dibandingkan penggunaan saat ini (value in use), dan merencanakan strategi yang tepat untuk mengurangi/mendekati opportunity cost dari hasil analisis.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: Bab I merupakan pengantar, mencakup penjelasan tentang latar belakang, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II menguraikan tinjauan pustaka dan alat analisis, mencakup tentang tinjauan pustaka, landasan

(9)

teori, cara penelitian dan alat analisis. Bab III merupakan analisis data dan pembahasan, yang menjelaskan tentang analisis tinjauan ekonomi Kota Surabaya, analisis kawasan lahan, analisis Highest and Best Use (HBU), Land Development Analysis (LDA) dan analisis Discounted Cash Flow (DCF). Bab IV berisikan kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

a) Responden pengguna mobil MPV merek Toyota Avanza sebesar 88,6% membeli dengan cara kredit. b) Responden pengguna MPV merek Toyota Innova jumlah terbanyak membeli dengan cara

berdasarkan lama diagnose, mayoritas telah didiagnosa lebih dari 3 tahun (63.4%).Rata-rata pemantauan klinik secara mandiri responden terhadap kondisi kesehatannya adalah

Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT).

merupakan tungau parasit memiliki bentuk tubuhnya panjang membulat dengan ukuran 580 μm x 150 μm. Ukuran kepala lebih kecil dari tubuhnya, bagian mulut terdapat

kekuatan bending kayu komposit polyester diperkuat serat pandan wangi dengan filler serbuk gergaji kayu terjadinya kecenderungan peningkatan kekuatan bending pada variasi

Pembibitan sukun dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan baik menggunakan bahan trubusan atau bagian pucuk dari tanaman dewasa sebagai eksplan yang kemudian dilakukan

- Tim konsultan memberikan petunjuk teknis dan perintah kepada kontraktor pelaksana dan senantiasa memberikan informasi kepada Pengguna Jasa tentang rencana

Konsekuensi yang diharapkan klien dapat memeriksa kembali tujuan yang diharapkan dengan melihat cara-cara penyelesaian masalah yang baru dan memulai cara baru untuk bergerak maju