• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Pengkomposan Limbah Ternak Sapi Perah Dengan Variasi Bulking Agent Dan Tinggi Tumpukan Dengan Aerasi Pasif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kinerja Pengkomposan Limbah Ternak Sapi Perah Dengan Variasi Bulking Agent Dan Tinggi Tumpukan Dengan Aerasi Pasif"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Ka jia n L in gk ung an 775

Kinerja Pengkomposan Limbah Ternak Sapi Perah Dengan Variasi Bulking

Agent Dan Tinggi Tumpukan Dengan Aerasi Pasif

Joko Nugroho1, Nurul Rahmi 2, Peni Setyowati1

1Jurusan Teknik Pertanian, Fak. Teknologi Pertanian, UGM, Jl. Flora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281, telp/fax: 0274-563542, email: jnugr@hotmail.com 2Jurusan Teknik Pertanian, Fak. Teknologi

Pertanian, UGM, Jl. Flora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281 ABSTRAK

Pengkomposan pada limbah kotoran ternak banyak dilakukan para peternak. Aerasi pasif dipilih sebagai alternatif untuk menghemat biaya dalam penggunaan energi penggerak blower. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis bulking agent dan tinggi tumpukan bahan kompos pada proses pengkomposan dengan aerasi pasif. Bahan utama yaitu limbah kotoran ternak sapi perah, dan jenis bulking agent yang digunakan adalah limbah kayu yang berupa serbuk gergaji ukuran kecil dan sedang (serutan kayu). Kotak komposter berukuran luas 40 x 40 cm2 dan tinggi 85 cm. Kadar air awal pengkomposan adalah 60%. Tinggi tumpukan kompos adalah 45 cm, 65 cm dan 86 cm. Pengkomposan dilakukan selama 4 minggu. Hasil eksperimen menunjukkan suhu bahan mampu mencapai di atas 45oC dan ketinggian tumpukan bahan yang baik untuk pengkomposan pasif adalah lebih dari 45 cm. Nilai pH untuk semua percobaan berkisar 6 - 8. Degradasi bahan organik untuk ketinggian 45 cm, 65 cm dan 85 cm masing-masing adalah 12,7%, 29,8% dan 25,6%. Penggunaan bulking agent serbuk gergaji menunjukkan pengomposan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan serutan kayu.

Kata Kunci: limbah ternak sapi perah, kompos, aerasi pasif, kualitas PENDAHULUAN

Sektor peternakan sapi menghasilkan limbah padat yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan apabila limbah tersebut tidak dikelola dengan benar. Limbah tersebut berupa kotoran padat dan limbah cair (urine dan cuci/sanitasi kandang). Salah satu cara penanganan limbah padat tersebut ialah dengan memprosesnya sebagai kompos. Kandungan unsur hara dan bahan organik kompos dapat meningkatkan kesuburan tanah dan diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Dalam jangka waktu pendek, penggunaan kompos dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan meningkatkan aktivitas biologis tanah. Dalam jangka waktu panjang, kompos dapat mengembalikan kesuburan dan produktivitas lahan. Penggunaan kompos limbah kebun berpotensi mengurangi pupuk buatan sampai dengan 50% serta dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah (Ruskandi, 2006).

Pengkomposan adalah pengolahan limbah padat yang mengandung bahan organik

biodegradable (dapat diuraikan organisme). Pengomposan dapat dipercepat dengan cara

mengatur faktor yang berpengaruh terhadap proses tersebut. Faktor-faktor tersebut yaitu perbandingan karbon-nitrogen, ukuran partikel bahan, macam/jenis campuran bahan, kelembaban, aerasi, suhu, macam dan kemampuan jasad renik yang terlibat, penggunaan inokulan, penambahan bahan fosfat dan destruksi dari jasad renik patogen. Perbandingan C/N dalam campuran pertama berkisar antara 20-30. Jika perbandingan jauh lebih tinggi, proses oksidasi karbon menjadi karbondioksida akan memakan waktu yang lebih lama, sebaliknya jika perbandingan C/N rendah maka nitrogen yang ada akan dibebaskan sebagai amonia. Kadar air dalam bahan mempengaruhi reaksi biologis dalam tumpukan kompos. Kandungan air dibawah 30% dapat menghambat proses tersebut. Sedang kandungan air yang terlalu tinggi mencegah gerakan udara dalam tumpukan, hara akan tercuci dan volume udara berkurang, akibatnya

(2)

Ka jia n L in gk ung an 776 aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau

tidak sedap.

Jumlah udara yang cukup ke semua bagian tumpukan kompos diperlukan untuk memasok oksigen pada organisme dan mengeluarkan karbondioksida yang dihasilkan. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S. Areasi pada

kompos dilakukan dengan tiga cara, yaitu secara alami atau berasal dari tumpukan, pasif dan aktif (Fernandes et al dalam Barrington dkk, 1994). Kebutuhan oksigen pada proses pengkomposan bisa disuplai dengan beberapa cara yaitu dengan pengadukan, pembalikan, pemberian udara secara aktif atau pasif. Pemberian udara secara aktif dilakukan dengan memberikan aerasi menggunakan blower udara yang dialirkan ke seluruh bagian kompos. Sedangkan pemberian udara secara pasif didasarkan pada gerakan aliran udara karena konveksi. Panas yang timbul akibat proses dekomposisi bahan akan menyebabkan aliran konveksi, udara panas akan ke atas, selanjutnya udara dingin akan masuk lewat bawah. Udara dingin ini akan memberikan suplai oksigen.

Tinggi tumpukan bahan dalam pengomposan juga mempengaruhi panas yang tersimpan. Suhu ini yang akan berpengaruh terhadap pengomposan dan menjadi indikator aktivitas mikroba. Semaikin tinggi suhu, maka akan semakin banyak komsumsi oksigen, yang berarti proses dekomposisi bahan semakin cepat. Hal ini sesuai dengan peryataaan Keener et al (2000) bahwa keterlibatan mikroorganisme selama pengomposan didasarkan dari temperatur massa, yang menunjukkan tahapan berbeda dari proses.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pengomposan limbah padat ternak sapi perah dengan cara aerasi pasif. Sedang secara khusus tujuan penelitian ini yaitu mengkaji pengaruh tinggi tumpukan bahan dan bulking agent pada pengomposan aerasi pasif pada limbah padat sapi perah, dan mengetahui karakteristik perubahan suhu, pH, kadar air, degradasi bahan organik, dan penyusutan berat bahan selama pengomposan aerasi pasif pada limbah padat sapi perah.

METODOLOGI

A. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan April - November 2010 berlokasi di Laboratorium Teknik Pangan dan Pascapanen, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

B. Bahan dan Alat yang digunakan

Limbah padat sapi perah yang digunakan dalam penelitian berasal dari sapi perah yang dipelihara di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kadar air awal sekitar 80,8%. Serutan kayu dengan kadar air awal 13,9% yang digunakan sebagai bahan tambahan diperoleh dari perusahaan mebel di daerah piyungan, Bantul, Yogyakarta. Sedangkan serbuk gergaji juga diperoleh dari tempat yang sama.

Komposter sistem aerasi pasif dibuat seperti pada Gambar 1. Bahan terbuat dari kayu dengan ketebalan 1 cm. Ukuran kotak komposter adalah panjang x lebar (40 cm x 40 cm), sedangkan tingginya dibuat 4 variasi yaitu 45 cm, 65 cm dan 85 cm. Sisi dalam dari komposter dilapisi plastik untuk mencegah penyerapan air dari kompos oleh dinding kayu. Pada sisi bawah dipasang kawat kasa ukuran 1 cm x 1 cm, untuk menahan massa kompos. Rancangan komposter ini memungkinkan udara masuk secara bebas dari sisi bawah. Pada salah satu sisi dibuat lubang untuk pengukuran suhu dibeberapa tempat dengan jarak setiap 10 cm. Pada sisi atas dibiarkan terbuka untuk menghindari pengembunan karena penguapan dari bahan yang dapat menaikkan kadar air di sisi atas.

(3)

Ka jia n L in gk ung an 777

Gambar 1. Skema komposter dengan sistem aerasi pasif

Pengukuran suhu dilakukan dengan thermometer digital, dan dilakukan pada posisi di tengah. Variasi suhu sepanjang dinding komposter tidak dilakukan pengukuran. Sedangkan keasaman bahan kompos di ukur dengan pH meter, yaitu dengan memasukkan 1 gr sampel ke dalam 10 ml aquades. Selanjutnya dilakukan pengadukan agar merata dan dilakukan pengukuran pH. Kadar air diukur dengan cara gravimetri, yaitu dengan mengoven sampel bahan pada suhu 105oC selama 24 jam, kemudian kadar air dihitung bedasarkan berat sampel sebelum

dan sesudah dioven. Kandungan bahan organik ditentukan dengan memasukan sampel kering ke dalam oven pada suhu 600oC selama 3 jam, kandungan bahan organik dihitung dari banyak

bahan awal kering dikurangi berat abu. Degradasi bahan organik ditentukan dengan menghitung penurunan bahan organik selama pengomposan dengan asumsi bahan kandungan mineral dalam bahan kompos tetap.

C. Rancangan Percobaan

Percobaan ini dilakukan dengan membuat variasi tinggi tumpukan (45 cm, 65 cm dan 85 cm) dan jenis bulking agent (serutan kayu dan serbuk gergaji). Pengomposan dilakukan selama 4 minggu, pada setiap minggu dilakukan pengadukan. Sampel diambil sebelum proses pengadukan. Eksperimen dibuat ulangan sebanyak 3 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh kadar air awal

Penelitian diawali oleh penelitian pendahuluan untuk mengetahui kadar air yang tepat untuk mengawali pengomposan. Gambar 2. menunjukkan suhu kompos pada tiga variasi kadar air awal. Limbah padat sapi perah dan serutan kayu dengan ketinggian tumpukan bahan 50 cm dengan kadar air 50% s/d 70%. Suhu kompos mengalami kenaikan yang cepat pada 24 jam pertama. Suhu maksimum untuk variasi kadar air 50%; 60%, dan 70%. adalah 43,0oC, 47,0oC

dan 42oC. Suhu kompos pada kadar air 60% selalu di atas suhu pada kadar air di atas atau

(4)

Ka jia n L in gk ung an 778 adalah pada kisaran 60%. Sedangkan pH maksimum untuk variasi kadar air 50%; 60% dan 70%.

adalah 8,4; 8,6 dan 8,8. Nilai pH ketiga variasi menunjukkan kondisi yang basa, sehingga dikatakan bahwa pengomposan berlangsung dengan baik.

Gambar 2. Suhu kompos dengan variasi kadar air awal B. Pengaruh Tinggi Tumpukan

1. Suhu

Suhu kompos pada variasi tinggi tumpukan dapat dilihat pada Gambar 3.(a). Suhu maksimum pada tinggi tumpukan 45cm, 65 cm dan 85 cm masing masing adalah 43,1oC; 43,2oC

dan 42,1oC. Sepertinya tinggi tumpukan tidak menghasilkan perbedaan suhu rata rata pada

kompos. (a) 0 10 20 30 40 50 0 120 240 360 Su h u ( oC) Waktu (jam) 50% 60% 70% 0 10 20 30 40 50 0 168 336 504 672 Su h u ( 0C) Waktu (jam) 45 cm 65 cm 85 cm

(5)

Ka jia n L in gk ung an 779 (b)

Gambar 3. Suhu dan kadar air bahan pada variasi ketinggian tumpukan selama pengomposan 2. Kadar air

Kadar air bahan sangat menentukan kinerja pengkomposan, sehingga kadar air awal pada eksperiment ini ditetapkan sebesar 60% (Gambar 3.(b).). Kadar air akhir pada variasi ketinggian tumpukan 45 cm, 65 cm dan 85 cm masing-masing adalah %, % dan %. Ketinggian tumpukan 45 cm menunjukkan penurunan yang paling banyak, dibandingkan dengan kedua tinggi tumpukan lainnya. Hal ini disebabkan oleh ketebalan tumpukan yang paling sedikit, sehingga penguapan pada sisi atas dan bawah adalah yang paling banyak, sebaliknya fenomena yang berkebalikan terjadi pada ketinggian tumpukan 65 cm. Kadar air akhir dari ketiga perlakuan tersebut masih masuk dalam standar kualitas kompos.

3. pH

Perubahan pH dan penyusutan berat selama pengomposan terlihat pada Gambar 4. Nilai pH awal pada semua bahan diatas 7, sehingga tidak diperlukan penambahan kapur untuk menaikkan nilai pH. Penurunan pH kompos yang biasanya terjadi pada beberapa bahan kompos tertentu tidak terjadi pada bahan limbah padat kotoran sapi ini. Hasil antara yakni sebagai asam organik cepat berubah menjadi hasil lanjut, sehingga pH naik sejak awal pengkomposan. Semua perlakuan variasi ketinggian tumpukan menunjukkan bahwa nilai pH lebih dari 8, hal ini menunjukkan proses pengomposan berlangsung dengan baik. Kenaikan pH disebabkan oleh keluarnya gas amonia menyebabkan kondisi menjadi basa, sedangkan gas amonia itu sendiri merupakan hasil metabolisme pemecahan protein yang berlangsung secara aerobik.

4. Penyusutan berat

Penyusutan berat total yang ditunjukkan oleh Gambar 4.(b) memperlihatkan bahwa ketinggian tumpukan 45 cm menyebabkan kehilangan bobot yang paling banyak (28,5%). Kemungkinan besar, adalah karena kehilangan kadar air yang tinggi akibat penguapan. Sebaliknya tinggi tumpukan 85 cm mengalami penyusutan berat yang paling sedikit (21,1%). Kehilangan berat sangat berkaitan dengan tinggi tumpukan bahan. Bila dibandingkan dengan aerasi pasif, maka kehilangan bobot ini sangat sedikit dan hampir separuhnya. Pada sistem

0 10 20 30 40 50 60 70 0 168 336 504 672 K ad ar A ir ( % w b ) Waktu (jam) 45 cm 65 cm 85 cm

(6)

Ka jia n L in gk ung an 780 aerasi aktif, pada umumnya pada akhir pengkomposan selama 4-5 minggu maka bahan kompos

lazimnya mengalami kehilangan bobot hampir mencapai 50%.

(a)

(b)

Gambar 4. Kehilangan berat pada kompos pada variasi tinggi tumpukan 5. Degradasi bahan organik

Degradasi bahan organik untuk ketinggian tumpukan 45 cm, 65 cm dan 85 cm masing-masing adalah 12,7%, 29,8%, dan 25,8%. Ketinggian tumpukan 45 cm menunjukkan degradasi bahan organik yang paling sedikit, sebaliknya ketinggian 65% menunjukkan degradasi bahan organik yang paling banyak. Sehingga disimpulkan bahwa meskipun kehilangan bobot pada tumpukan 45 cm adalah paling banyak, namun sebaliknya degradasi bahan organiknya paling sedikit. Kandungan air pada kompos adalah 60%, sehingga sebagian besar kehilangan bobot adalah karena penguapan. Ketinggian 85 cm menghasilkan degradasi bahan organik yang lebih

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 168 336 504 672 pH Waktu (jam) 45 cm 65 cm 85 cm 0 5 10 15 20 25 30 45 cm 65 cm 85 cm P en yu sut an B er at (% )

(7)

Ka jia n L in gk ung an 781 rendah dibandingkan ketinggian tumpukan 65 cm, hal ini disebabkan ketinggian lebih dari 65 cm

menyebabkan aliran udara akibat aliran udara dari bawah terhambat.

C. Pengaruh Bahan Bulking Agent

Suhu kompos dengan variasi bahan bulking agent ditunjukkan oleh Gambar 5. Suhu maksimum pada kompos dengan bulking agent serbuk gergaji adalah 47,5oC. Hal ini

menunjukkan bahwa campuran serbuk gergaji dan kotoran sapi menghasilkan struktur yang lebih baik bila dibandingkan dengan serutan kayu. Gumpalan kompos sebagai akibat campuran serbuk gergaji menghasilkan ruang pori yang lebih baik. Sebaliknya campuran kotoran sapi dan serutan kayu diduga menghasilkan ruang pori yang terlalu besar, sebagai akibatnya aktifitas mikrobia menjadi lebih sedikit dan suhu bahan kompos lebih rendah.

Degradasi bahan organik pada campuran kotoran sapi dan serbuk gergaji adalah 46,2%, yang menunjukkan nilai degradasi 16,4% lebih tinggi bila dibandingkan dengan serutan kayu. Hal ini didukung oleh aktifitas mikrobia yang ditunjukkan oleh perubahan suhu bahan. Penyusutan berat bahan menunjukkan bahwa penggunaan serbuk gergaji meningkatkan penyusutan berat kompos 30,4% atau 7,4% lebih tinggi dari penggunaan serutan kayu.

Gambar 5. Suhu kompos pada variasi bulking agent (tanda panah adalah saat pembalikan) KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa pengkomposan limbah padat kotoran sapi bisa dilakukan dengan sistem aerasi pasif. Tinggi tumpukan yang paling optimum adalah 65 cm. Apabila tinggi tumpukan terlalu rendah maka panas hilang akan cukup banyak sehingga proses pengkomposan tidak efektif, selain itu kompos menjadi kering. Sedangkan apabila tinggi kompos terlalu tinggi maka, suplai udara tidak cukup banyak sehingga hasilnya menurunkan kualitas. Bahan bulking agent kompos dari serbuk gergaji lebih memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan serutan kayu. Porositas dari agregat kompos menjadi faktor penentu utama dari pengkomposan ini.

0 10 20 30 40 50 60 0 168 336 504 672 Su h u ( oC) Waktu (jam) serutan kayu serbuk gergaji

(8)

Ka jia n L in gk ung an 782 REFERENSI

Barrington, S dkk. 2003. Compost Convective Airflow Under Passive Aeration. Bioresource

Technology 86 (2003) 259-266

de Bertoldi, M., Vallini, G., Pera, A., 1983. The Biology of composting: a review. Waste manage. Res.1, 157-176 dalam M.P. Bernal et al., 2008. Composting of animal manure and chemical criteria for compost maturity assessment. Bioresources Technology 100,pp

5445-5448.

Fernandez, L., Sartaj, M., 1997. Comparative Study of Static Pile Composting Using Natural,

Forced, and Passive Aeration Methods. Compost Science and Utilization 5 (4), 65-77

Haug, R.T., 1993. The Practical Handbook of Compost Engineering. Lewis Publisher, Boca Raton, FL

Harold, G.B. 1965. Composting. World Health Organization. Geneva

Keener., H.M., Dick, W.A, Hoitink, H.A.J., 2000. Composting and beneficial utilization of composted by-product materials. In: Dick, W.A. (Ed.) Land Application of Agricultural, Industrial, and Municipal By-Products. Soil Science Society of America, Inc., Madison, pp.

315-341 dalam M.P. Bernal et al., 2008. Composting of animal manure and chemical

criteria for compost maturity assessment. A review. Bioresour. Technol. 100. pp 5445-5448 Kulcu, R dan O., Yaldiz. 2003. Determination of aeration rate and kinetics of composting some

agricultural wastes. Bioresource Technology 93. pp 49-57

Misra, R. V. dan Roy, R. N. ____. On–Farm Composting Methods.

www.fao.org/organicag/doc/On_farm_comp_methods.pdf. Diakses 10 November 2010 Miyatake, Fumihito., Iwabuchi, Kazunori. Effecy of Compost temperature on oxygen uptake rate,

specific growth rate and enzymatic activity of microorganisms in dairy cattle manure.

Bioresource Technology 97 (2006) 961-965

Solano, M.L., Iriarte, F., Ciria, P., Negro, M.J., 2001. Performance Characteristic of Three

Aeration Systems in The Composting of Sheep Manure and Straw. Journal of Agricultral

Gambar

Gambar 2. Suhu kompos dengan variasi kadar air awal
Gambar 3. Suhu dan kadar air bahan pada variasi ketinggian tumpukan selama pengomposan  2
Gambar 4. Kehilangan berat pada kompos pada variasi tinggi tumpukan  5.  Degradasi bahan organik
Gambar 5. Suhu kompos pada variasi bulking agent (tanda panah adalah saat pembalikan)

Referensi

Dokumen terkait