• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi dan Kualitas Limbah Pertanian sebagai Pakan di Kabupaten Bandung dan Bogor untuk Pengembangan Budidaya Ternak Sapi Perah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi dan Kualitas Limbah Pertanian sebagai Pakan di Kabupaten Bandung dan Bogor untuk Pengembangan Budidaya Ternak Sapi Perah"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI DAN KUALITAS LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI

PAKAN DI KABUPATEN BANDUNG DAN BOGOR UNTUK

PENGEMBANGAN BUDIDAYA TERNAK SAPI PERAH

MEGA PRATIWI SARAGI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi dan Kualitas Limbah Pertanian sebagai Pakan di Kabupaten Bandung dan Bogor untuk Pengembangan Budidaya Ternak Sapi Perah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

MEGA PRATIWI SARAGI. Potensi dan Kualitas Limbah Pertanian sebagai Pakan di Kabupaten Bandung dan Bogor untuk Pengembangan Budidaya Ternak Sapi Perah. Dibimbing oleh ERIKA BUDIARTI LACONI dan SRI MULATSIH. Limbah pertanian adalah pakan lokal yang potensial untuk mendukung pengembangan peternakan sapi perah, terutama di daerah basis pertanian seperti Kabupaten Bandung dan Bogor. Salah satu masalah yang dihadapi peternakan rakyat untuk mengembangkan usaha peternakan sapi perahnya adalah pakan. Potensi limbah pertanian sebagai pakan belum sepenuhnya dimanfaatkan, karena kurangnya informasi terutama tentang kualitas dan kuantitas, serta berapa penambahan populasi yang dapat didukung oleh pakan asal limbah pertanian. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang jenis limbah pertanian yang banyak digunakan sebagai pakan, menganalisis kualitas nutrien, mengestimasi produksi nutrien, dan juga menentukan kapasitas pengembangan populasi sapi perah berdasarkan pakan dari limbah pertanian di Kabupaten Bandung dan Bogor.

Kecamatan-kecamatan yang terpilih untuk mengembangkan peternakan sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor dalam penelitian ini adalah kecamatan yang memiliki populasi sapi perah >100ST. Sehingga terpilihlah 11 kecamatan di Kabupaten Bandung, yaitu: Pangalengan, Pasirjambu, Kertasari, Cilengkrang, Arjasari, Ciwidey, Cimenyan, Rancabali, Cileunyi, Cicalengka dan Cangkuang dan 12 kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu: Cibungbulang, Cisarua, Ciawi, Cijeruk, Pamijahan, Caringin, Cibinong, Megamendung, Kemang, Dramaga, Sukaraja, dan Rumpin. Kabupaten Bandung memiliki 5 jenis limbah pertanian utama yang berpotensi untuk dijadikan pakan, yaitu: jerami padi, jerami jagung, limbah wortel, limbah kubis, dan limbah buncis. Peternak Kabupaten Bogor biasa menggunakan 3 jenis limbah pertanian sebagai pakan, yaitu: jerami padi, jerami jagung, dan daun dan tangkai singkong. Kualitas limbah pertanian di kedua kabupaten ini cukup baik berdasarkan kandungan SK, PK, dan TDN karena sebagian besar yang digunakan adalah limbah segar atau dilayukan kecuali jerami padi yang dikeringkan.

Kecamatan-kecamatan yang terpilih untuk pengembangan sapi perah di Kabupaten Bandung mampu memproduksi 256 420.04 ton tahun-1, 20 567.14 ton tahun-1, dan 108 279.43 ton tahun-1 untuk BK, PK, dan TDN dari limbah pertanian. Kabupaten Bogor dapat memproduksi 187 710 ton tahun-1, 9668.88 ton tahun-1, dan 95 057.03 ton tahun-1 untuk BK, PK, dan TDN, berturut-turut. Kabupaten Bandung diestimasi dapat menambah populasi sapi perah hingga 12 843.17 ST atau 58.32% dari populasi sapi perah tahun 2012 dan Kabupaten Bogor hingga 1521.36 ST atau 22.56% dari populasi sapi perah tahun 2012. Sesuai dengan status potensi ternak dan KPPTR, teridentifikasi kecamatan-kecamatan terpilih yang belum mampu mengembangkan ternak sapi perah berbasis hijauan asal limbah pertanian yaitu Kecamatan Cangkuang, Cicalengka, dan Cimenyan di Kabupaten Bandung dan Kecamatan Rumpin untuk Kabupaten Bogor.

(6)
(7)

SUMMARY

MEGA PRATIWI SARAGI. Potentiality and Quality of Agriculture Residues as Feedstuffs at Bandung and Bogor District, West Java, to Support Dairy Cattle Program Development. Supervised by ERIKA BUDIARTI LACONI and SRI MULATSIH.

The agricultural residues products are potential local feedstuffs to develop Indonesian livestock, especially in the agriculture based region such as Bandung and Bogor Districts. Built dairy cattle program based on feed from agriculture waste were a sustainable agriculture program. This study was conducted by gathered primary and secondary data, analyzed feed sample nutrient and estimated carrying capacity of dairy cattle. Results showed, Bandung and Bogor Districts had ability to add their dairy cattle population using agriculture residues as feed. Bandung had 5 potential agriculture residues, they were; paddies straw, corn straw, carrot residues, cabbage residues and string bean plant residues. Bogor farmers usually used paddies straw, corn straw, and cassava residues as feed. Agriculture residues in Bandung and Bogor contain CP 4.45-21.91% and TDN 37.65-65.32%. The feed at Bandung produced: 256,420.04 ton year-1, 20,567.14 ton year-1, 108,279.43 ton year-1 for DM (dry matter), CP (crude protein), TDN (total digestible nutrient), respectively. These numbers of nutrients could support dairy cattle population expansion up to 12,843.17 AU or 58.32% from Bandung factual dairy cattle population in 2012. Meanwhile, Bogor produced 189,710 ton year-1, 9668.88 ton year-1, and 95,057.03 ton year-1 for DM, CP, and TDN, respectively. Bogor District could carry additional dairy cattle population up to 1,521.36 AU or 22.56% from Bogor factual dairy cattle population in 2012. Dairy cattle development program in Bandung and Bogor Districts will determinable as the districts can manage technique-economic, social-culture problems, and use potential local feed. For technique-economic solutions: using appropriate technology and increase the number of livestock possession. For social-culture solutions: make farming and livestock inline, create new educational farmers and increase livestock function for farmers. The last is using local feed such as agricultural residues to support dairy cattle program development.

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

POTENSI DAN KUALITAS LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI

PAKAN DI KABUPATEN BANDUNG DAN BOGOR UNTUK

PENGEMBANGAN BUDIDAYA TERNAK SAPI PERAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)
(13)

Judul Tesis : Potensi dan Kualitas Limbah Pertanian sebagai Pakan di Kabupaten Bandung dan Bogor untuk Pengembangan Budidaya Ternak Sapi Perah

Nama : Mega Pratiwi Saragi

NIM : D251120101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Erika Budiarti Laconi, MS Ketua

Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A. MS MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini. Tesis yang berjudul Potensi dan Kualitas Limbah Pertanian sebagai Pakan di Kabupaten Bandung dan Bogor untuk Pengembangan Budidaya Ternak Sapi Perah ini mencoba memberikan informasi tentang potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Bandung dan Bogor untuk melakukan penambahan populasi sapi perah.

Topik penelitian ini pernah penulis presentasikan di forum International Students Conference of Ibaraki University ke-IX pada tanggal 1-3 Desember 2013 di Ibaraki, Jepang dalam program yang berkaitan dengan kegiatan Pascasarjana winter course yang bekerja sama dengan Ibaraki University, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Udayana (UNUD), dan Universitas Gajah Mada (UGM). Dalam kesempatan tersebut Penulis mempresentasikan paper berjudul Potentiality and Quality of Local Feedstuffs in Bandung Regency, West Java, for Sustainaibility Beef and Dairy Cattle Development Program. Sebagian dari topik tesis ini, berjudul Potentiality and Quality of Agriculture Residues as Feedstuffs at Bandung District to Support Dairy Cattle Program Development sedang menunggu penerbitan di Jurnal Media Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi untuk mendukung perkembangan peternakan di Kabupaten Bandung dan Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan serta sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

(16)
(17)

DAFTAR ISI

Identifikasi dan Kualitas Limbah Pertanian yang Berpotensi 5 Identifikasi dan Pengumpulan Sampel Pakan 5

Evaluasi Kualitas Nutrien Bahan Pakan 5

Kuantitas Produksi Nutrien Limbah Pertanian yang Berpotensi

sebagai Pakan 6

Potensi Komoditi Limbah Pertanian sebagai Pakan 6 Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Berdasarkan Kebutuhan Nutrien Ternak 6

Analisis Location Quotient (LQ) 8

Peubah yang Diamati 11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Gambaran Umum 11

Kependudukan dan Geografis Kabupaten Bandung 11

Kependudukan dan Geografis Kabupaten Bogor 12

Pertanian dan Peternakan di Kabupaten Bandung dan Bogor 14 Daerah Potensial Pengembangan Peternakan Sapi Perah 17 Peternakan Rakyat Sapi Perah Kabupaten Bandung dan Bogor 21 Identifikasi Limbah Pertanian yang Berpotensi sebagai Pakan 25 Kualitas Limbah Pertanian yang Berpotensi sebagai Pakan 27 Produksi Nutrien Limbah Pertanian yang Berpotensi sebagai Pakan 30 Potensi Limbah Komoditi Pertanian sebagai Pakan 34 Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) dan

Potensi Sapi Perah 36

Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bandung

(18)

DAFTAR TABEL

1 Struktur ternak ruminansia Jawa Barat(%) 7

2 Kebutuhan nutrien harian ternak sapi perah (ekor hari-1) 7 3 Keragaan ternak ruminansia Kabupaten Bandung tahun 2012 9 4 Keragaan ternak ruminansia Kabupaten Bogor tahun 2012 10 5 Kepadatan sapi perah, kepadatan ruminansia dan kepadatan

penduduk berdasarkan wilayah tiap kecamatan terpilih di Kabupaten

Bandung 18

6 Kepadatan sapi perah, kepadatan ruminansia dan kepadatan

penduduk tiap kecamatan potensial di Kabupaten Bogor 20 7 Deskripsi umum peternak sapi perah responden 23 8 Deskripsi umum peternakan sapi perah Kabupaten Bandung dan

Bogor 24

9 Jenis limbah pertanian untuk pakan sapi perah tiap kecamatan

terpilih 25

10 Proporsi limbah tanaman pertanian yang dapat dijadikan pakan

ternak 26

11 Komposisi nutrien bahan pakan limbah pertanian (100%BK) 27 12 Estimasi produksi BK limbah pertanian di kecamatan terpilih di

Kabupaten Bandung 30

13 Estimasi produksi BK limbah pertanian di kecamatan terpilih di

Kabupaten Bogor 31

14 Estimasi produksi PK limbah pertanian di kecamatan yang cocok

untuk mengembangkan sapi perah di Kabupaten Bandung 32 15 Estimasi produksi PK limbah pertanian di kecamatan yang cocok

untuk mengembangkan sapi perah di Kabupaten Bogor 32 16 Estimasi produksi TDN limbah pertanian di kecamatan yang cocok

untuk mengembangkan sapi perah di Kabupaten Bandung 33 17 Estimasi produksi TDN limbah pertanian di kecamatan yang cocok

untuk mengembangkan sapi perah di Kabupaten Bogor 34 18 Potensi limbah komoditi pertanian sebagai pakan di Kabupaten

Bandung dan Bogor 34

19 Estimasi kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia (KPPTR) berdasarkan seluruh komoditi limbah yang digunakan di

Kabupaten Bandung dan Bogor 36

20 Nilai KPPTR efektif kecamatan terpilih dan kelebihan nutrien di

Kabupaten Bandung dan potensi ternak 37

21 Nilai KPPTR efektif kecamatan terpilih dan kelebihan nutrien di

Kabupaten Bogor dan potensi ternak 39

DAFTAR GAMBAR

1 Peta Kabupaten Bandung 12

2 Peta Kabupten Bogor 13

(19)

4 Pemeliharaan sapi peternak rakyat Kabupaten Bandung 22 5 Sampel jenis limbah pertanian yang digunakan sebagai pakan 28 6 Korespondensi KPPTR dan Potensi Ternak (LQ) Kabupaten Bandung 40 7 Korespondensi KPPTR dan Potensi Ternak (LQ) Kabupaten Bogor 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Borang kuisioner 49

2 Kepadatan sapi perah, kepadatan ruminansia dan kepadatan penduduk

tiap kecamatan di Kabupaten Bandung 54

3 Kepadatan sapi perah, kepadatan ruminansia dan kepadatan penduduk

tiap kecamatan di Kabupaten Bogor 55

4 Estimasi produksi BK limbah pertanian terpilih tiap kecamatan di

Kabupaten Bandung 56

5 Estimasi produksi BK limbah pertanian terpilih tiap kecamatan di

Kabupaten Bogor 57

6 Estimasi produksi PK limbah pertanian terpilih tiap kecamatan di

Kabupaten Bandung 58

7 Estimasi produksi PK limbah pertanian terpilih tiap kecamatan di

Kabupaten Bogor 59

8 Estimasi produksi TDN limbah pertanian terpilih tiap kecamatan di

Kabupaten Bandung 60

9 Estimasi produksi TDN limbah pertanian terpilih tiap kecamatan di

Kabupaten Bogor 61

10 Produksi tanaman pertanian Kabupaten Bandung 62

11 Produksi tanaman pertanian Kabupaten Bogor 63

12 Rincian KPPTR tiap kecamatan di Kabupaten Bandung berdasarkan

produksi BK 65

13 Rincian KPPTR tiap kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan

produksi BK 66

14 Rincian KPPTR tiap kecamatan di Kabupaten Bandung berdasarkan

produksi PK 67

15 Rincian KPPTR tiap kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan

produksi PK 69

16 Rincian KPPTR tiap kecamatan di Kabupaten Bandung berdasarkan

produksi TDN 70

17 Rincian KPPTR tiap kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan

(20)
(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya, akan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Namun, potensi kekayaan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Salah satu kendalanya adalah kurangnya informasi tentang sumberdaya ini. Sebagai Negara Agraris, penduduk Indonesia sebagian besar bekerja pada bidang pertanian dengan jenis komoditi pertanian yang beragam. Besarnya jumlah dan variasi komoditi pertanian Indonesia juga akan menghasilkan sisa atau limbah pertanian yang besar pula. Limbah pertanian adalah bahan pakan lokal yang potensial untuk mendukung pengembangan peternakan Indonesia. Sektor peternakan mempunyai peranan penting untuk mendukung pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan cara memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat serta penyediaan lapangan kerja. Namun, tingginya kebutuhan protein hewani, termasuk kebutuhan akan susu sapi dan hasil olahanya, tidak diikuti dengan peningkatan produksi dan populasi sapi perah.

Kabupaten Bandung dan Bogor di Jawa Barat merupakan daerah sentra pertanian dan peternakan karena didukung oleh aspek agroklimat, pasar, dan kultur masyarakat yang sesuai. Pertanian merupakan sektor unggulan di kedua kabupaten ini. Pada tahun 2010, sebanyak 18.91% penduduk Kabupaten Bandung bekerja di sektor pertanian. Dimana luas wilayah pertanian Kabupaten Bandung sebesar 48.6% dari total seluruh wilayahnya (Bapeda Kab Bandung 2011). Kabupaten Bandung merupakan salah satu pemasok utama komoditas beras dan sayuran bagi daerah sekitarnya seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi serta pasar lokal baik Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat maupun Kabupaten Bandung sendiri. Kabupaten Bogor menitik-beratkan pengembangan sektor pertaniannya pada komoditas padi. Pada tahun 2011, luas lahan untuk sawah seluas 48 185 ha atau sekitar 20.93% dari total luas wilayah Kabupaten Bogor (BPS Kab Bogor 2011). Selain mendukung pengembangan sektor pertanian, kondisi agroklimat, dilihat dari rataan suhu dan curah hujan, juga mendukung ternak untuk dapat berproduksi secara optimal. Ditambah pula dukungan dari aspek pasar, program pemerintah dan kultur sosial masyarakatnya.

Berdasarkan alasan tersebut salah satu jenis ternak yang dapat dikembangkan di kabupaten ini adalah sapi perah penghasil susu. Sebanyak 70% dari kebutuhan susu nasional masih berasal dari impor. Ketergantungan akan barang impor riskan terhadap inflasi nilai tukar dan berbagai fluktuasi negara asal susu yang berpotensi merugikan. Oleh sebab itu, populasi sapi perah perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor susu.

(22)

Selatan dapat dikatakan sebagai sentra ternak ruminansia (BPS Jabar 2011), diantaranya adalah Kabupaten Bandung dan Bogor. Kabupaten Bandung memiliki populasi sapi perah sebesar 31 937 ekor atau sekitar 20 006 ST pada tahun 2012 (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Bandung 2013). Sementara, di Kabupaten Bogor terdapat 9487 ekor sapi perah atau 6744 ST (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Bogor 2013).

Salah satu permasalahan pengembangan peternakan sapi perah di daerah adalah ketersediaan sumber pakan, terutama hijauan. Biaya pakan pada peternakan ruminansia mencakup 65-80% dari total seluruh biaya produksi (Devendra dan Sevilla 2002). Tidak hanya kuantitas pakan saja yang penting diperhatikan namun kualitas dan kontinuitasnya juga harus dipertimbangkan untuk menunjang keberhasilan suatu usaha peternakan. Secara umum, ketersediaan pakan dan kandungan nutriennya adalah pembatas produksi ruminansia di Asia (Devendra dan Sevilla 2002) termasuk Indonesia. Ketersediaan hijauan adalah aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia dan sumber hijauan lokal adalah salah satu solusinya. Limbah pertanian dapat dikatakan sebagai bahan pakan hijauan lokal sumber serat. Bahan baku pakan lokal adalah setiap bahan yang merupakan sumberdaya lokal Indonesia yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Sukria dan Krisnan 2009). Menurut Suparjo et al. (2012), laju pertumbuhan dan produktivitas ternak sangat dipengaruhi oleh faktor pakan. Hal ini mencakup imbangan kebutuhan protein/asam amino dan energi yang terkandung dalam ransum ternak. Sehingga penting untuk mengetahui potensi aktual bahan pakan lokal di Indonesia tidak hanya berpatokan pada total kuantitas segar namun lebih tepatnya berdasarkan kualitas nutrien dalam total bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan total nutrien tercerna (TDN).

Kabupaten Bandung dan Bogor memiliki potensi untuk mensinergiskan sektor pertanian dan peternakan berbasis agroekologi yang akan menghasilkan nilai tambah pada kedua sektor. Menurut Devendra dan Thomas (2002), interaksi positif antara bidang pertanian dan peternakan membawa ke sebuah sistem yang berkelanjutan. Pemanfaatan limbah tanaman pertanian sebagai sumber serat bagi sapi perah merupakan salah satu usaha untuk menciptakan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bandung dan Bogor.

(23)

tentang potensi bahan pakan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan bagi usaha budidaya peternakan sangat penting untuk diketahui dan diakses oleh masyarakat terutama masyarakat peternak. Ketersediaan informasi memungkinkan percepatan pengembangan bidang peternakan dan akhirnya untuk tercapainya pemenuhan kebutuhan susu sapi nasional untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Penelitian ini berupaya menyediakan informasi tentang kualitas dan kuantitas nutrien pakan asal limbah pertanian yang potensial untuk digunakan sebagai sumber serat dan mengestimasi kapasitas peningkatan populasi serta potensi ternak sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor. Penelitian ini juga memaparkan strategi-strategi untuk mengatasi beberapa permasalahan yang ada di peternakan rakyat sapi perah Kabupaten Bandung dan Bogor.

Perumusan Masalah

Sektor peternakan mempunyai peranan penting dalam mendukung peningkatan taraf hidup masyarakat. Dilihat dari tingginya kebutuhan protein hewani dan penyediaan lapangan kerja. Namun, sektor ini rentan terhadap masalah ketersediaan pakan. Perlu adanya strategi untuk menciptakan ketahanan pakan Indonesia untuk menciptakan ketahanan pangan terutama protein hewani. Sehingga penting untuk mengetahui potensi bahan pakan lokal termasuk bahan pakan dari sisa usaha pertanian di daerah. Pertanian adalah sektor andalan Jawa Barat sehingga hasil sampingannya juga sudah pasti besar pula. Provinsi Jawa Barat juga merupakan salah satu sentra pengembangan peternakan di Indonesia, termasuk Kabupaten Bandung dan Bogor. Suhu lingkungan yang sejuk dan tanah yang subur membuat sektor pertanian menjadi sektor unggulan di kabupaten ini. Kondisi ini juga mampu mengoptimalkan produktivitas ternak sapi perah, karena ternak berada pada kondisi fisiologis yang nyaman. Jadi dapat dikatakan, dengan berbagai faktor pendukung yang dimiliki oleh kabupaten ini maka peternakan sapi mempunyai potensi besar untuk dikembangkan lagi.

(24)

Tujuan

1. Mengidentifikasi berbagai jenis limbah pertanian di Kabupaten Bandung dan Bogor.

2. Menganalisis kualitas nutrien limbah pertanian yang potensial sebagai pakan. 3. Mengestimasi potensi produksi nutrien dari limbah pertanian di Kabupaten

Bandung dan Bogor.

4. Mengevaluasi kapasitas peningkatan populasi ternak ruminasia (KPPTR) untuk sapi perah, berdasarkan sumbangan nutrien asal limbah pertanian sebagai sumber hijauan yang terdapat di kecamatan-kecamatan potensial dan yang mempunyai potensi ternak sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor. 5. Merumuskan strategi pengembangan sapi perah di Kabupaten Bandung dan

Bogor.

Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini:

1. Informasi potensi kualitas, kuantitas pakan dan analisis pengembangan ternak sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor.

2. Acuan pengembangan peternakan sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor.

Hipotesis

1. Kabupaten Bandung dan Bogor, sebagai daerah sentra pertanian yang didukung agroklimat yang baik, mampu menyediakan pakan ternak asal limbah pertanian yang cukup, baik kuantitas dan kualitasnya.

2. Kabupaten Bandung dan Bogor masih berpotensi untuk melakukan pengembangan ternak sapi perah berdasarkan ketersediaan pakan berbasis sumberdaya lokal.

2 METODE PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data

(25)

1. Anggota kelompok peternak sapi perah rakyat.

2. Peternak yang telah menggunakan limbah tanaman pertanian sebagai pakan ternak.

Penelitian dilakukan dari bulan Juni hingga November 2014, sementara wawancara dilakukan dari bulan Juni sampai Juli 2013. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Bapeda, BPS, dan Dinas peternakan dan perikanan. Jenis-jenis data yang dikumpulkan antara lain:

a. Informasi mengenai karakteristik daerah yang ada hubungannya dengan topik, yaitu antara lain: jumlah penduduk, tipe iklim, suhu, kelembaban, populasi ternak, jumlah limbah pertanian yang berpotensi untuk digunakan sebagai pakan.

b. Informasi mengenai karakteristik responden yang ingin digali.

c. Manajemen peternakan, antara lain: jumlah dan jenis pakan yang diberikan oleh peternak, mekanisme penyediaan dan pemberian pakan.

d. Analisis kualitas nutrien bahan pakan ternak berupa kandungan bahan kering (BK), Abu, protein kasar (PK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) serta total digestible nutrient TDN dengan menggunakan perhitungan.

e. Data konversi bahan pakan potensial berdasarkan proporsi untuk digunakan sebagai pangan dan sebagai pakan.

Metode Analisis

Analisis Data Deskriptif (Mattjik dan Sumertajaya 2000)

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menggambarkan kondisi peternakan, produksi limbah pertanian dan daya potensi pengembangan populasi ternak sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor (Mattjik dan Sumertajaya 2000).

Identifikasi dan Kualitas Limbah Pertanian yang Berpotensi sebagai Pakan

Identifikasi dan Pengumpulan Sampel Pakan

Limbah tanaman pertanian yang potensial digunakan sebagai pakan diidentifikasi berdasarkan sisa panen komoditi pertanian yang paling sering digunakan sebagai pakan oleh peternak sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor. Bahan pakan ini diambil sebagai sampel kemudian ditimbang bobot segar dan dikeringkan dalam oven suhu 60 oC. Sampel kering udara digiling untuk analisis kualitas nutriennya.

Evaluasi Kualitas Nutrien Bahan Pakan (AOAC 2005)

Kualitas sampel pakan ternak diketahui dari hasil analisis kandungan BK, Abu, PK, SK, dan LK dengan metode analisis proksimat (AOAC 2005) serta BETN dengan perhitungan. Nilai TDN dihitung menggunakan persamaan 1 yang dikembangkan oleh Owens et al. (2010).

(26)

Produksi Nutrien Limbah Pertanian yang Berpotensi sebagai Pakan

Nilai konversi limbah tanaman pertanian dari satu komoditi ditentukan dengan menimbang bobot tanaman yang dapat dimanfaatkan (kecuali akar dan batas sabit saat panen) kemudian dipisahkan antara bagian yang digunakan ternak dan yang dapat digunakan oleh pangan dan lainnya. Bobot perbagian tanaman dikonversi kedalam persen (%) bagian yang bermanfaat untuk dikonsumsi. Data ini yang kemudian dipakai untuk menentukan besar produksi nutrien asal limbah pertanian. Data sekunder produksi komoditi pertanian yang diperoleh dari BPS adalah produksi segar bagian yang digunakan untuk pangan, sehingga harus dikonversi untuk menentukan seberapa besar bagian yang dapat digunakan untuk pakan ternak atau produksi limbah segar. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan 2.

Produksi limbah = ..…(2)

Produksi nutrien limbah pertanian dihitung berdasarkan produksi BK, PK, dan TDN di suatu wilayah pada tahun tertentu dengan perhitungan pada persamaan 3, 4, dan 5.

Produksi BK = produksi limbah segar x kandungan BK………....(3)

Produksi PK = produksi BK x kandungan PK……….………..(4)

Produksi TDN = produksi BK x kandungan TDN……….(5)

Keterangan:

Produksi nutrien (BK/PK/TDN) dan limbah segar = ton tahun-1

Kandungan nutrien (BK/PK/TDN) = %

Potensi Komoditi Limbah Pertanian sebagai Pakan

Potensi tiap komoditi pertanian yang biasa dijadikan pakan di Kabupaten Bandung dan Bogor berbeda tergantung jumlah produksi baik BK, PK, dan TDN. Persamaan 6 berikut dapat digunakan untuk menentukan potensi tiap limbah pertanian yang biasa digunakan sebagai pakan di tiap kabupaten.

Potensi BK/PK/TDN limbah =

……(6)

Keterangan:

Potensi BP/PK/TDN limbah = %

Produksi BK/PK/TDN = ton tahun-1

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminanasia (KPPTR) Berdasarkan Kebutuhan Nutrien Ternak

(27)

Tabel 1 Struktur ternak ruminansia Jawa Barata (%) tersebut. Kebutuhan nutrien asal hijauan yang digunakan pada penelitian ini dipenuhi dari limbah pertanian dengan batasan untuk penggunaan jerami padi sebesar 25% bagi ternak sapi perah (Drake et al. 2002). Pembatasan penggunaan jerami padi dilakukan karena kandungan lignin dan silika yang terkandung dalam bahan. Sementara untuk jenis limbah pertanian lainnya tidak dibatasi penggunaannya. Proporsi hijauan:konsentrat yang digunakan adalah 70:30. Nutrien yang mampu disuplai dari jerami padi berbeda tiap kabupaten sesuai dengan kandungan nutrien jeraminya. Nutrien yang disediakan dari limbah lain adalah kebutuhan nutrien yang harus dipenuhi dari hijauan dikurangi dari suplai nutrien dari jerami.

Tabel 2 Kebutuhan nutrien harian ternak sapi perah (ekor hari-1)

Suplai Nutrien BK PK TDN

Total kebutuhan nutrien pakana 12.4 kg 11.9% 68%

Nutrien dari hijauan (kg) 8.68 0.78 5.40

Nutrien dari jerami (kg) Bandung 3.10 0.21 1.17

Bogor 3.10 0.14 1.49

Nutrien dari limbah lainnya (kg) Bandung 5.58 0.58 4.24

Bogor 5.58 0.64 3.91

a

Sesuai NRC Dairy Cattle (2000); sapi FH bobot 454 kg (small breed cow) periode mid laktasi dengan produksi susu 10 liter/hari

Nilai KPPTR digunakan untuk mengestimasi seberapa besar penambahan populasi ternak sapi perah yang masih dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan nutrien dari limbah pertanian yang belum termanfaatkan sebagai pakan (70% dari total produksi limbah pertanian). Perhitungan KPPTR menggunakan persamaan 7. KPPTR (sapi perah) = p o k i lim h p ni n

k h n n i n l hij n n k pi p h………..(7)

Keterangan:

Kebutuhan nutrien = kebutuhan BK/PK/TDN yang dipenuhi dari hijauan untuk sapi perah dalam 1 tahun (ton tahun-1). Dibedakan antara kebutuhan dari jerami dan limbah lainnya

(28)

Analisis Location Quotient (LQ) (Hendayana 2003)

Analisis potensi ternak ditentukan dengan Metode Location Quotient (LQ). Metode ini digunakan untuk menunjukkan kecamatan basis ternak sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor. Daerah yang memiliki nilai LQ di atas 1 memiliki keunggulan komparatif baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Kecamaan yang mempunyai potensi sapi perah dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

Xi = populasi sapi perah kecamatan

X = populasi ternak ruminansia di suatu kecamatan Yi = populasi sapi perah kabupaten

Y = populasi ternak ruminansia di kabupaten

LQ> 1 = kecamatan tersebut basis peternakan sapi perah di kabupaten LQ< 1 = kecamatan tersebut non-basis peternakan sapi perah di kabupaten

Seluruh populasi ternak ruminansia harus dikonversi ke dalam satuan ternak (ST) untuk menyama-ratakan satuan yang digunakan. Total populasi ruminansia harus dikonversi ke dalam bentuk ST karena data yang diperoleh dari BPS masih dalam satuan ekor. Struktur ternak ruminansia dapat dilihat pada Tabel 1. Penghitungan populasi ruminansia dalam ST menggunakan rumus sebagai berikut:

Populasi rumianasia (ST) = populasi (ekor) x struktur ternak x konversi ST Keterangan:

Populasi (ekor) = sumber dari data BPS

Struktur ternak = dalam % (sumber dari BPS; Tabel 1)

(29)

Tabel 3 Keragaan ternak ruminansia Kabupaten Bandung tahun 2012a

Kecamatan Populasi Ternak (ST) Total

Sapi Perah Sapi Potong Kambing Domba

Ciwidey 786 42.35 82.63 554.89 1465.87

Diolah dari dataDinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung (2013)

(30)

Tabel 4 Keragaan ternak ruminansia Kabupaten Bogor tahun 2012a

Pamijahan 787.59 129.87 591.50 1280.55 2789.52

Cibungbulang 1109.60 48.70 351.71 929.38 2439.38

Ciampea 34.12 31.76 213.45 513.41 792.75

Tanjungsari 3.55 1719.33 330.88 712.26 2766.02

Jonggol 0.00 1964.24 551.24 1210.90 3726.39

Cileungsi 1.42 3045.53 637.46 619.86 4304.27

Klapanunggal 0.00 719.92 401.50 379.26 1500.67

Gunung Putri 0.00 212.45 174.41 194.08 580.93

(31)

Peubah yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

1. Jenis pakan dari limbah pertanian yang biasa digunakan di Kabupaten Bandung dan Bogor.

2. Kualitas nutrien bahan baku pakan yang diperoleh dari poin 1.

3. Kuantitas nutrien dalam BK, PK, dan TDN limbah pertanian di kecamatan terpilih.

4. Kapasitas daya tampung dan peningkatan populasi ternak sapi perah berdasarkan ketersediaan nutrien PK dan TDN asal limbah pertanian dan potensi ternak sapi perah pada level Kabupaten Bandung dan Bogor.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

Kependuduk dan Geografis Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebanyak 3 351 048 jiwa terdiri dari 1 703 535 laki-laki dan 1 647 513 perempuan. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Bandung adalah 1762.40 km2, dengan rata-rata kepadatan penduduk 3435.67 jiwa km-2 (BPS Kab Bandung 2013). Kondisi geografis wilayah Kabupaten Bandung yang terletak pada koordinat 107o 22‟–108o 5‟ Bujur Timur dan 6o41‟–7o19‟ Lin ng S l n dan kabupaten ini terletak di wilayah dataran tinggi. Wilayah Bandung berada di antara bukit-bukit dan gunung-gunung yang mengelilingi Kabupaten Bandung, seperti di sebelah utara terletak Bukit Tunggul dengan tinggi 2200 m, Gunung Tangkuban Parahu dengan tinggi 2076 m yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Purwakarta dan di sebelah selatan terdapat Gunung Patuha dengan tinggi 2334 m, Gunung Malabar dengan tinggi 2321 m, serta Gunung Papandayan dengan tinggi 2262 m dan Gunung Guntur dengan tinggi 2249 m, keduanya berbatasan dengan Kabupaten Garut. Batas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bandung adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Sumedang. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi.

(32)

tanah maupun air permukaan. Dengan aspek hidrologis seperti ini, Kabupaten Bandung cukup potensial untuk dapat mengembangkan sektor pertanian, sektor peternakan, sektor industri dan sektor-sektor lain yang sangat bergantung pada suplai air (BPS Kab Bandung 2013).

Kependuduk dan Geografis Kabupaten Bogor

Berdasarkan data BPS Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 17 kelurahan, 413 desa, 3882 RW (rukun warga) dan 15 561 RT (rukun tetangga). Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk sebesar 5 077 210jiwa yang terdiri dari 2 604 870 pria dan 2 472 340 wanita pada tahun 2012. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah 2663.82 km2, dengan rata-rata kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 2745.05 jiwa km-2. Terdapat 2 193 981 orang angkatan kerja dengan

1 995 032 mempunyai status bekerja dan sisanya menganggur. Sebanyak 1 012 098 orang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai dan 204 468 rumah

tangga bekerja sebagai petani (BPS Kab Bogor 2013).

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta dan secara geografis terletak antara 6.19o-6.47o LS (Lintang Selatan) dan 106o1'-107o103' BT (Bujur Timur). Tipe morfologinya bervariasi, dari daratan yang relatif rendah di bagian Utara hingga dataran tinggi di bagian

Gambar 1 Peta Kabupten Bandung

(33)

Selatan. Luas wilayah Kabupaten Bogor sekitar 5.19% dari luas seluruh Provinsi Jawa Barat dengan batas wilayah yaitu:

Sebelah Utara : Kota Depok Sebelah Barat : Kabupaten Lebak Sebelah Barat Daya : Kabupaten Tangerang Sebelah Timur : Kabupaten Purwakarta Sebelah Timur Laut : Kabupaten Bekasi Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi Sebelah Tenggara : Kabupaten Cianjur

Rataan suhu udara di Kabupaten Bogor pada tahun 2012 adalah 25.1-26.3 o

C, dengan suhu minimal 19 oC pada bulan September dan suhu tertinggi 35.4 oC pada bulan Oktober. Rataan kelembaban udara 70% dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3500–4000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari (Pemerintah Prov Jabar 2013). Tingginya curah hujan di Kabupaten Bogor membuat kabupaten ini terkenal dengan sebutan Kota Hujan. Kabupaten Bogor menjadi daerah sentra pertanian didukung oleh ketersediaan sumberdaya air yang cukup.

Gambar 2 Peta Kabupaten Bogor

(34)

Pertanian dan Peternakan di Kabupaten Bandung dan Bogor

Provinsi Jawa Barat dikenal sebagai daerah sentra pertanian dan peternakan. Kabupaten Bandung dan Bogor memiliki potensi yang mendukung sektor pertanian dan peternakan. Kabupaten ini mempunyai kekuatan SDA (Sumber Daya Alam) dan SDM (Sumber Daya Manusia) di bidang pertanian yang memadai, sehingga pertanian dianggap sebagai sektor andalannya (bussines core). Sementara di bidang peternakan, terdapat daerah-daerah pengembangan sapi perah yang utama di Provinsi Jawa Barat yaitu Pengalengan, Lembang, Garut, Bogor, dan Sukabumi. Kabupaten Bandung dan Bogor dapat dikatakan sebagai barometer perkembangan usahatani sapi perah di Jawa Barat (Siregar dan Praharini 1993).

Upaya untuk meningkatkan nilai tambah dari usaha pertanian di Kabupaten Bandung dan Bogor adalah dengan diterapkanya suatu sistem pertanian yang berkelanjutan (sustainable), dengan meminimalkan limbah yang terbuang percuma. Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak adalah salah satu cara untuk membangun sebuah sistem pertanian yang berkelanjutan. Menurut Jaleta et al. (2013) penggunaan limbah pertanian untuk pupuk dan pakan untuk ternak adalah 2 fungsi utama dalam program konservasi pertanian. Peternak tradisional tidak bisa mengandalkan kebun rumput untuk memenuhi kebutuhan pakannya, karena kepemilikan lahan yang terbatas dan rumput tidak tersedia sepanjang tahun. Salah satu cara agar usaha peternakan rakyat tetap dapat bertahan adalah dengan memanfaatkan limbah pertanian sebagai sumber hijauan pakannya. Idealnya untuk tetap memenuhi kebutuhan hijauan pakan sapi di tengah semua keterbatasan maka solusi terbaik adalah dengan cara “m mp ” pada lahan yang tidak ditanami tanaman pertanian dan memanfaatkan bahan limbah pertanian (crop residue). Namun, untuk kasus di Kabupaten Bandung dan Bogor yang memiliki keterbatasan ketersediaan lahan untuk menggembala (grazing), maka yang paling mungkin adalah dengan solusi penggunaan limbah pertanian sebagai pakan. Sebenarnya, terdapat 4 sumber pakan yang berpotensi dimanfaatkan oleh usaha peternakan skala kecil menurut Devendra dan Sevilla (2002), yaitu hijauan pakan dari lahan pastura, limbah pertanian, hasil sampingan industri pertanian dan pakan non-konvensional. Kabupaten Bandung dan Bogor dikenal sebagai daerah sentra pertanian dengan potensi limbah pertanian yang besar pula, sehingga pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber hijauan pakan merupakan solusi terbaik. Solusi ini dapat mengatasi 3 permasalahan sekaligus, yaitu penyediaan pakan, menekan kompetisi lahan untuk mendukung pertambahan populasi sapi perah, dan menciptakan sistem pertanian berkelanjutan.

(35)

ruminansia di daerah ini hanya mengkonsumsi BK sebesar 3 kg dan PK 20 gr perharinya. Nilai ini jauh dari kebutuhan minimal persatuan ternak yang harus dipenuhi dari hijauan yaitu 6.5 kg untuk BK dan 0.5 kg untuk PK perharinya (McDonald et al. 2002). Hal ini ironis dengan potensi pakan asal limbah pertanian yang melimpah di kedua kabupaten tersebut. Limbah pertanian dapat menjadi salah satu solusi permasalahan hijauan di Jawa Barat dengan mempertimbangkan ketersediaan (availability) dan daya akses (accessibility).

Gambar 3 menunjukkan bahwa populasi komoditi peternakan di Kabupaten Bandung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 2012. Ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bandung fokus dalam mengembangkan sektor peternakannya. Sektor peternakan Kabupaten Bandung memiliki populasi ternak ruminansia pada tahun 2012 tercatat sebanyak 31 937 ekor sapi perah, 28 067 ekor sapi potong, 234 795 ekor domba, dan 24 979 ekor kambing. Sementara itu untuk ternak kecil/unggas tercatat sebanyak ayam buras 1 863 970 ekor, ayam petelur 414 930 ekor, ayam pedaging 2 443 390 ekor, dan itik 389 739 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Bandung 2013). Peternakan ruminansia di kabupaten ini didominasi oleh peternakan rakyat. Kabupaten Bandung masih terus melakukan pengembangan di sektor peternakan namun menemukan berbagai kendala. Hal ini, dapat dilihat dari pencapaian target populasi ternak di tahun 2012 yang belum bisa mencapai 100%. Pencapaian target peningkatan populasi ternak di Kabupaten Bandung terutama untuk ternak sapi perah dan sapi potong masing-masing adalah 85.18% dan 74.49% (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Bandung 2013). Namun sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 2011 dimana capaian populasi ternak sapi perah Kabupaten Bandung melebihi target yang ingin dicapai.

Salah satu komoditi ternak yang dikembangkan di Kabupaten Bandung dan Bogor adalah sapi perah. Hal ini didukung oleh berbagai faktor keunggulan yang

Sapi Perah Sapi Potong Domba Kambing

Gambar 3 Populasi ruminansia (ekor) di Bandung Tahun 2007 s/d 2012

(36)

dinilai sebagai pendukung pengembangan usaha peternakan yang dimiliki oleh kabupaten tersebut. Kabupaten Bandung memiliki kecocokan suhu lingkungan yang relatif rendah yaitu dengan rataan 12 ºC-24 ºC dan kelembaban 78% pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau (BPS Kab Bandung 2012). Sapi perah mempunyai temperatur kritis 21-27 ºC (Williamson dan Payne 1993) dan kelembaban ideal 60-80% (Soetarno 2003). Sementara di Kabupaten Bogor, komoditi sapi perah menjadi komoditi peternakan yang penting untuk dikembangkan dan sangat didukung oleh pemerintah seperti adanya KUNAK dan pasar yang baik.

Terdapat 5 faktor pendukung pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan sumber serat di Kabupaten Bandung dan Bogor sesuai potensi yang dimilikinya. Faktor pendukung ini juga dapat dikatakan sebagai aspek kekuatan program optimalisasi pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan dalam usaha penambahan populasi sapi perah di kabupaten ini. Faktor-faktor tersebut yaitu; a) potensi kuantitas produksi limbah pertanian yang besar, b) limbah pertanian merupakan sumber serat yang baik untuk ternak ruminansia, c) biaya yang dibutuhkan minimalis, d) dapat membantu mengurangi kerusakan lingkungan yang mungkin timbul dari limbah pertanian yang tidak diolah, dan e) penyediaan hijauan yang tidak berkompetisi dalam hal penggunaan lahan.

Potensi kuantitas limbah pertanian, kualitasnya sebagai sumber serat yang baik, dan tentang minimalisasi kompetisi penggunaan lahan akan dijelaskan pada bahasaan berikutnya. Selain 3 faktor yang akan dibahas nantinya, faktor harga juga membuat limbah pertanian menjadi pilihan yang baik untuk dijadikan pakan dalam usaha mendukung penambahan populasi ternak sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor. Limbah pertanian adalah pakan yang diperoleh hampir tanpa biaya. Di kabupaten ini, biasanya peternak dapat menggunakan secara bebas limbah pertanian sisa panen, tanpa harus membayar apapun kepada petani. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar peternak adalah petani atau petani jarang memanfaatkan limbah pertaniannya, sehingga peternak dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan. Sebagian besar peternak membawa sendiri limbah pertanian ke kandangnya, tanpa menyewa pekerja lain untuk melakukan hal tersebut. Biaya menjadi salah satu faktor pembatas penting bagi kegiatan peternakan rakyat di Indonesia pada umumnya. Kebanyakan dari peternak tidak mempunyai kapasitas biaya yang memadai. Ternak dijadikan sebagai investasi masa depan sehingga fokus mereka bukan pada produksi harian ternak. Hal ini membuat peternak lebih memilih memberikan pakan seadanya pada ternaknya dari pada mengeluarkan biaya lebih untuk meningkatkan produksi. Bagi peternak yang terpenting adalah agar ternak-ternak dapat bertahan sampai nanti, saat akan dijual jika memerlukan uang.

(37)

pengolahan dan pemanfaatan limbah. Kebutuhan peningkatan produksi pertanian untuk menciptakan ketahanan pangan tampaknya bertentangan dengan kebutuhan untuk mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan (Lemaire et al. 2013). Konsekuensi dari usaha peningkatan produktifitas pertanian adalah besarnya kebutuhan input sistem. Selain itu, juga berdampak pada penurunan kualitas lingkungan karena terjadinya kontaminasi air, merosotnya level air tanah, peningkatan konsentrasi gas yang mengakibatkan efek gas rumah kaca, erosi tanah, dan berkurangnya biodiversitas (Franzluebbers et al. 2011). Ditambah lagi kebiasaan petani di Indonesia yang meninggalkan sisa hasil pertanian tanpa perlakuan atau dibakar yang dapat menambah potensi kerusakan lingkungan.

Integrasi antara residu pertanian dengan usaha peternakan adalah strategi terbaik untuk mensinergikan keharusan produksi pertanian dan peternakan yang tinggi dengan perbaikan kualitas lingkungan. Bahan pakan limbah pertanian merupakan bahan pakan lokal yang potensial digunakan untuk pengembangan peternakan lokal, terutama peternakan rakyat. Di sisi lain peningkatan produksi peternakan sangat dibutuhkan karena peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kebutuhan protein asal ternak, dan juga peningkatan daya beli masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kebutuhan akan susu sapi dan produk turunannya di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan adalah suatu bentuk sinergi yang baik untuk meningkatkan produksi pertanian, peternakan dan perbaikan kualitas lingkungan (Lemaire et al. 2013).

Daerah yang Cocok untuk Pengembangan Peternakan Sapi Perah

Kabupaten Bandung dan Bogor adalah daerah di Jawa Barat bagian Selatan yang masing-masing terdiri dari 31 dan 40 kecamatan. Penelitian ini hanya berfokus pada kecamatan yang memiliki populasi sapi perah diatas 100 ST. Ini mengindikasikan bahwa peternak dan masyarakat kecamatan ini sudah mampu berternak sapi perah dengan baik. Sehingga nantinya penambahan populasi yang direncanakan diharapkan dapat berjalan baik. Terpilihlah 11 kecamatan di Kabupaten Bandung dan 12 kecamatan di Kabupaten Bogor yang dinilai cocok untuk mengembangkan peternakan sapi perah. Kecamatan-kecamatan yang terpilih di Kabupaten Bandung adalah Pangalengan, Pasirjambu, Kertasari, Cilengkrang, Arjasari, Ciwidey, Cimenyan, Rancabali, Cileunyi, Cicalengka, dan Cangkuang. Sementara itu, kecamatan terpilih di Kabupaten Bogor yaitu Cibungbulang, Cisarua, Ciawi, Cijeruk, Pamijahan, Caringin, Cibinong, Megamendung, Kemang, Dramaga, Sukaraja, dan Rumpin. Fokus pengembangan peternakan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah penambahan populasi sapi perah pada kecamatan-kecamatan yang terpilih dengan memanfaatkan limbah pertanian sebagai sumber hijauan.

(38)

Cimenyan berstatus sangat padat. Kecamatan Cilengkrang adalah wilayah yang memiliki kepadatan ternak tertinggi, baik ternak sapi perah maupun ruminansia, namun kepadatan penduduknya masih dalam kategori sedang. Berbeda dengan kecamatan Cimenyan yang memiliki status kepadatan yang sangat tinggi baik ternak maupun penduduknya. Perlu perhatian atau pola strategi khusus jika ingin menambah populasi ternak di Kecamatan Cimenyan, agar usaha lebih efisien dan tidak mengakibatkan kerugian.

Tabel 5 Kepadatan sapi perah, kepadatan ruminansia, dan kepadatan penduduk berdasarkan wilayah tiap kecamatan terpilih di Kabupaten Bandunga

Kecamatan

Pangalengan 52.95 57.48 728.30 Sangat padat Sangat padat Rendah

Pasirjambu 13.18 16.26 341.67 Sedang Sedang Rendah

Kertasari 20.71 24.69 440.55 Padat Padat Rendah

Cilengkrang 54.32 102.68 1636.85 Sangat padat Sangat padat Sedang

Arjasari 14.68 26.23 1447.01 Sedang Padat Sedang padat >20-50, sedang >10-20 ST km-2 dan jarang <10; Kepadatan penduduk: padat >2000, sedang 1000-2000, dan rendah <1000 jiwa km-2

Dalam rencana pengembangan usaha peternakan sapi perah dan komoditi lainnya harus memperhatikan kepadatan penduduk untuk menghindari kompetisi dalam hal penggunaan lahan dan input lainnya. Peningkatan populasi sapi perah pada kecamatan-kecamatan yang telah memiliki status kepadatan ternak yang padat, harus memperhatikan keterbatasan penyediaan lahan untuk hijauan agar tidak terjadi kompetisi penggunaan lahan dengan manusia. Salah satu strategi penyediaan pakan di daerah yang padat penduduk dan ternak adalah dengan memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan. Penambahan lahan untuk rumput budidaya tidak mungkin dilakukan. Dengan kata lain, pemanfaatan sisa usaha pertanian untuk pakan tidak membutuhkan lahan khusus karena lahan yang dipakai untuk memproduksi pakan memanfaatkan lahan yang sama untuk memproduksi pangan.

(39)

peternakan dengan komoditi sapi perah. Kecamatan-kecamatan yang menjadi sentra usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Bandung menurut kecocokan wilayah dengan kebutuhan adaptasi fisiologis sapi perah yang terbatas, adalah: Kecamatan Pangalengan, Kertasari, Pasirjambu, Arjasari, dan Cilengkrang (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Bandung 2013). Ketiga kecamatan sampel ini dipilih untuk merepresentasikan kawasan peternakan sapi perah di Kabupaten Bandung. Walaupun Kecamatan Ciwidey tidak termasuk dalam daerah yang menjadi fokus pengembangan peternakan sapi perah menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung, namun produk olahan peternakan menjadi daya tarik tersendiri di kecamatan yang terkenal dengan berbagai objek wisatanya ini. Ditambah potensi pertanian yang besar di Kecamatan Ciwidey. Tabel 5 memperlihatkan bahwa kecamatan yang menjadi sentra usaha peternakan sapi perah mempunyai kepadatan penduduk di bawah rataan kepadatan penduduk Kabupaten Bandung atau masuk dalam kepadatan penduduk kategori sedang, padahal Kabupaten Bandung termasuk dalam kategori penduduk yang padat. Rataan kepadatan sapi perah berdasarkan wilayah Kabupaten Bandung juga masuk dalam kategori sedang. Sementara status kepadatan seluruh ruminansianya masuk dalam kategori padat, dengan populasi sapi perah 33.49% (Tabel 3) dari seluruh total populasi ruminansia. Dengan kondisi ini maka sistem pemeliharaan ternak secara intensif lebih diusulkan mengingat keterbatasan lahan, agar tidak terjadi persaingan penggunaan lahan dengan manusia.

Tabel 6 menjelaskan kepadatan sapi perah, ruminansia, dan kepadatan penduduk tiap kecamatan terpilih berdasarkan luas wilayah di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki rataan kepadatan penduduk yang masuk dalam kategori padat, yaitu 2 745.05 jiwa km-2 (BPS Kab Bogor 2013). Kepadatan penduduk adalah hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor, terutama kaitannya dengan perencanaan penggunaan lahan. Sebanyak 8 kecamatan dari 12 kecamatan yang potensial pengembangan sapi perah di Kabupaten Bogor termasuk dalam daerah berstatus penduduk yang padat. Salah satu kendala pengembangan peternakan di daerah adalah kurangnya peruntukan lahan khusus peternakan oleh pemerintah. Sebagian besar status kepadatan sapi perah di kecamatan terpilih di Kabupaten Bogor masuk dalam kategori jarang. Kecamatan Cibungbulang, Ciawi, dan Cijeruk masuk dalam kategori padat baik sapi perah, ruminansia dan penduduk.

(40)

Tabel 6 Kepadatan sapi perah, kepadatan ruminansia, dan kepadatan penduduk tiap kecamatan potensial di Kabupaten Bogor

Kecamatan

perah Ruminansia Penduduk

Cibungbulang 33.97 74.69 3955.51 Padat Sangat padat Padat

Cisarua 17.10 37.19 1841.42 Sedang Padat Sedang

Sumber: BPS Kab Bobor (2013); a Kepadatan ternak berdasarkan wilayah: sangat padat >50, padat >20-50, sedang >10-20 ST km-2 dan jarang <10; Kepadatan penduduk berdasarkan wilayah: padat >2000, sedang 1000-2000, dan rendah <1000 jiwa/km-2

Jika dibandingkan antara kecamatan-kecamatan yang terpilih untuk mengembangkan sapi perah, Kabupaten Bogor mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bandung. Status kepadatan ruminansia kedua kabupaten ini relatif sama. Namun Kabupaten Bandung memiliki kepadatan sapi perah yang lebih tinggi. Sapi perah adalah komoditi peternakan yang paling kecil populasinya dibandingkan ruminansia lainnya di Kabupaten Bogor (Tabel 4). Di Kabupaten Bandung, komoditi sapi perah merupakan komoditi peternakan yang populasinya paling tinggi dibandingkan dengan populasi ruminanisia lainnya (Tabel 3). Keberhasilan program peningkatan populasi sapi perah di 2 kabupaten yang berbeda status kepadatan ini, bergantung pada keefektifan pemanfaatan input-input yang tidak membuat kompetisi penggunaan lahan semakin tinggi. Salah satunya adalah pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan.

(41)

Peternakan Rakyat Sapi Perah Kabupaten Bandung dan Bogor

Sapi perah menjadi komoditi peternakan andalan yang terus dikembangkan di Kabupaten Bandung dan Bogor karena kecocokan kondisi lingkungan dan ditambah lagi kebutuhan susu nasional yang masih tinggi. Sementara ini, Indonesia bergantung pada impor susu sapi untuk menutupi sekitar 70% dari kebutuhan susu nasional, sehingga usaha sapi perah mempunyai potensi pasar yang besar pula. Produksi susu Kabupaten Bandung tahun 2011 adalah sebesar 77 062 240 liter (BPS Kab Bandung 2012) sementara produksi susu Jawa Barat sebesar 294 376 676 liter. Ini berarti Kabupaten Bandung berkontribusi 26% dari total produksi susu sapi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat sendiri adalah produsen susu nasional terbesar kedua setelah provinsi Jawa Timur (Deptan 2013). Menyadari potensi lingkungan yang mendukung dan tingkat kebutuhan masyarakat yang tinggi, Kabupaten Bandung menetapkan bahwa salah satu tujuan pemapanan sub-sektor peternakannya adalah untuk meningkatkan populasi ternaknya (BPS Kab Bandung 2012). Sementara itu Kabupaten Bogor mampu memproduksi 11 198 708 liter pada tahun 2011 (BPS Kab Bogor 2012). Produksi susu sapi Kabupaten Bogor ini termasuk sudah baik mengingat sebagian besar peternakan Kabupaten Bogor masih dikelola secara tradisional. Jika Kabupaten Bogor mampu meningkatkan mutu peternakan sapi perahnya, maka sapi perah dapat menjadi komoditi unggulan. Realisasi peningkatan mutu peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor harus dengan sinergi antara semua potensi yang dimilikinya.

(42)

Gambar 4 Pemeliharaan sapi peternak rakyat Kabupaten Bandung Kepemilikan sapi perah masing-masing peternak rakyat masih kecil, yaitu rata-rata dibawah 5 ekor dengan produksi di bawah 10/liter/ekor/hari. Ketidakmampuan produksi susu nasional memenuhi permintaan karena dihambat oleh faktor skala usaha yang kecil, kemampuan produksi susu yang rendah, harga jual yang tidak memadai dan biaya produksi yang relatif tinggi (Rusdiana dan Wahyuning 2009). Pemeliharaan sapi perah dilakukan secara intensif. Ternak tidak bisa digembalakan karena keterbatasan lahan. Peternak Kabupaten Bandung dan Bogor membangun kandang sederhana di belakang rumah bahkan ada yang menyatu dengan rumah mereka. Deskripsi umum peternak sapi perah di Kabupaten Bandung dan Bogor dapat dilihat pada Tabel 7. Peternak sapi perah di Kabupaten Bandung berada pada usia produktif yang dapat mendukung pelaksanaan usaha sapi perah yang baik. Peternak yang tidak produktif mempengaruhi kualitas sumberdaya pekerja dan juga menentukan kesuksesan usaha peternakan, sehingga dapat mempengaruhi profit (Santoso et al. 2013). Sebagian besar peternak responden di Kabupaten Bandung, adalah peternak lama, yang sudah menjadi peternak lebih dari 5 tahun dan melanjutkan kegiatan beternak dari orang tuanya. Sehingga kegiatan peternakan rakyat yang ada di kabupaten ini adalah kegiatan peternakan berdasarkan pengalaman tanpa dasar pendidikan yang kuat, termasuk masalah manajeman peternakaan dan pakan. Sebagian besar dari para peternak yang terpilih memiliki pendidikan terakhir SD. Lemahnya basis pendidikan peternak membuat peternak sulit untuk diintroduksi teknologi baru. Hal ini juga dapat menjadi hambatan pengembangan peternakan di Kabupaten Bandung, jika tidak ditangani dengan baik.

(43)

hasil data kuisioner, dimana sebanyak 80% dari total responden menjadikan beternak sapi perah sebagai pekerjaan sampingannya. Sebagian besar peternak ini mempunyai pekerjaan utama sebagai petani padi, sayur, dan buah. Hal ini jugalah yang menyebabkan sebagian besar peternakan rakyat di Kabupaten Bandung menjadikan peternakan hanya sebagai pekerjaan sampingan. Ternak sapi di daerah ini mempunyai fungsi sebagai investasi dan penambah pendapatan harian dari hasil penjualan susu, namun pendapatan harian dari menjual susu kurang diutamakan. Sehingga peternak rakyat kurang berusaha untuk meningkatkan produksi hariannya karena lebih menganggap ternak sebagai investasi.

Tabel 7 Deskripsi umum peternak sapi perah responden

Deskripsi Peternak Jumlah (%)

Peternak di Kabupaten Bogor didominasi oleh golongan usia produktif dan berpendidikan akhir S1, membuat peternak di kabupaten ini sebenarnya cenderung lebih terbuka terhadap kehadiran informasi dan teknologi baru. Golongan usia muda berkaitan erat dengan produktivitas kerja dan pendidikan tinggi berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia untuk usaha peternakan yang lebih berkualitas. Walaupun pekerja kandang yang melaksanakan kegiatan harian dominan adalah lulusan SD, namun pemilik peternakan tetap berandil besar dalam pengambil keputusan-keputusan dalam penentuan kesuksesan usaha peternakannya. Keunggulan ini seharusnya dapat mendukung pembangunan sektor peternakan, terutama komoditi sapi perah di Kabupaten Bogor agar dapat mengejar ketertinggalan dari segi populasi. Sama dengan peternak Kabupaten Bandung, peternak rakyat yang ada di kabupaten Bogor juga merupakan peternak lama yang menjadikan kegiatan peternakan sebagai usaha sampingan.

(44)

adalah ketersediaan hijauan pakan pada saat kemarau, apalagi kepemilikan lahan rumput budidaya yang terbatas. Biasanya mereka mencukupi kebutuhan pakan tersebut dengan cara mencari hijauan pakan di luar desa, makin panjang musim kemarau berlangsung makin jauh jarak area pencarian hijauan, tetapi tidak sampai ke luar kabupaten. Sebaiknya peternak dikenalkan dengan teknologi pengawetan pakan, agar masalah pakan di musim kemarau tidak terus berlanjut. Terutama untuk bahan hijauan asal limbah pertanian yang ketersediaannya tidak kontinu. Tabel 8 juga menunjukkan bahwa status reproduksi betina sapi perah daerah ini normal, dilihat dari umur pertama dikawinkan dan lama waktu yang dibutuhkan untuk indukan dikawinkan lagi. Sebagian besar bibit diperoleh dari pembelian dari berbagai tempat bahkan dari luar Provinsi Jawa Barat. Menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Bandung (2013), sebagian besar peternak tidak melakukan pembesaran pedet betina sendiri untuk tujuan sebagai induk pengganti. Peternak berpendapat bahwa pembesaran pedet untuk pengganti induk membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang lama, sehingga tidak sebanding dengan hasilnya.

Tabel 8 Deskripsi umum peternakan sapi perah Kabupaten Bandung dan Bogor

Deskripsi Ternak Jumlah (%)

2 kali hijauan 3 kali konsentrat 0.00 7.69

Ketersediaan Pakan

Anakan sendiri 30.00 69.23

Beli 63.33 30.77

Anakan sendiri dan beli 6.67 0.00

(45)

lainnya. Hal ini telah diungkapkan oleh Indraningsih et al. (2011), bahwa peternak rakyat tetap mempertahankan kebiasaanya dalam melakukan kegiatan peternakan. Sebagian besar bibit sapi perah di peternakan rakyat Kabupaten Bogor diperoleh dari anakan sendiri. Budiarsa dan Juarini (2009) melakukan penelitian di peternakan rakyat Kabupaten Bogor dan menemukan bahwa jumlah anak sapi berkorelasi negatif dengan keuntungan usaha peternakan. Perkembangan pedet dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya, tipe pejantan, bobot lahir dan bobot umur 120 hari (Talib et al. 2000). Bobot lahir dan bobot umur 120 dipengaruhi oleh manajeman pemeliharaan dan pakan. Jika gagal dalam menejemen peternakan maka akan gagal mencapai performa produksi yang optimal. Manajeman pemeliharaan dan pakan yang diterapkan seadanya di peternakan rakyat sapi perah Kabupaten Bogor dikhawatirkan akan menghasilkan performa replacement stock yang tidak optimal. Jadi pemeliharaan anakan sendiri sebagai pengganti induk dinilai kurang ekonomis dan efektif karena memberikan beban biaya tersendiri dan belum siap diterapkan bagi peternakan sapi perah rakyat dengan manajemen pemeliharaan ternak yang seadanya. Peternakan rakyat lebih baik melaksanakan spesialisasi usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu saja dari pada harus digabung dengan usaha lainnya seperti usaha pembesaran pedet untuk pengganti induk.

Identifikasi Limbah Pertanian yang Berpotensi sebagai Pakan

Tabel 9 menjelaskan tentang jenis komoditi pertanian yang limbahnya sering digunakan sebagai pakan sapi perah sesuai dengan pengamatan di lapangan. Terdapat 5 limbah komoditi pertanian yang sering digunakan sebagai pakan di Kabupaten Bandung, yaitu; padi, jagung, buncis, kol, dan wortel. Sementara di Kabupaten Bogor ada 3 jenis, yaitu: padi, jagung, dan singkong. Kendala pemanfaatan limbah pertanian yaitu ketidak-optimalan penggunaan jenis pakan ini karena kekurangan informasi tentang daerah mana saja yang memproduksi bahan ini beserta kualitas nutrien dan estimasi berapa ternak yang dapat ditampung. Selain itu, kebiasaan peternak dalam menggunakan limbah pertanian yang terbatas pada jenis tertentu saja, membuat pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan juga tidak optimal. Variasi jenis limbah pertanian yang digunakan di Kabupaten Bandung lebih banyak dibandingkan dengan Kabupaten Bogor.

Tabel 9 Jenis limbah pertanian untuk pakan sapi perah tiap kecamatan terpiliha

Kabupaten Kecamatan Jenis Limbah Tanaman Pangan

Bandung

Ciwidey Padi, Jagung, Kol, dan Buncis

Pasirjambu Padi, Wortel, dan Kol

Pangalengan Padi, Jagung, Wortel dan Kol

Bogor Cibungbulang Padi, Jagung

Cisarua Padi, Singkong

a

Berdasarkan data primer (kuesioner)

(46)

biasanya mendapatkan sisa hasil panen pertanian tersebut dari petani. Bagi petani, h l ini inil i l ih p k i i p p ni h „m ny l ik n‟ m l h lim h pertaniannya dan menguntungkan pula bagi peternak karena mendapat pakan untuk ternaknya terutama pada saat sulit mendapatkan rumput untuk pakan. Pola ini dinilai dapat menguntungakan baik petani maupun peternak. Selain itu juga dapat membantu menciptakan pertanian yang berkelanjutan karena dari pola ini dapat menurunkan angka limbah pertanian yang terbuang percuma dan bahkan dapat menggangu ekosistem lingkungan.

Karakteristik peternak Bandung dan Bogor umumnya sama dengan karakteristik sebagian besar usaha ternak ruminansia yang ada di Indonesia sekarang. Usaha peternakan yang dilakukan memanfaatkan sumber daya yang tersedia tanpa biaya atau setidaknya dengan biaya minimum terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan pakan (Tawaf dan Daud 2010). Utamanya, peternak di sini memang menggunakan rumput gajah sebagai pakan hijauan, namun ketersediaan rumput gajah terbatas dan tidak kontinu. Limbah pertanian dan rumput lapang yang tumbuh liar di lahan yang tidak digarap kemudian dapat menjadi pilihan. Hal ini dinilai sesuai dengan fokus pertanian saat ini yaitu mengarah kepada pertanian berkelanjutan dengan meminimalkan limbah yang tidak termanfaatkan untuk menghasilkan produk yang lebih bernilai.

Data hasil wawancara yang diperoleh menyatakan bahwa seluruh peternak responden di Kabupaten Bandung memberi makan ternaknya dengan cara merumput di kebun atau pekarangan dan memberi rumput potongan serta sesekali memberikan hasil sampingan pertanian. Sebagian besar responden mengatakan ketersediaan pakan di daerah ini cukup. Ketersediaan pakan didukung dari melimpahnya ketersediaan limbah pertanian di daerah ini. Melihat potensi pertanian di Kabupaten Bandung yang besar, seharusnya bisa menyediakan pakan untuk populasi ternak yang lebih besar lagi.

Masing-masing komoditi pertanian memiliki proporsi bagian yang dapat digunakan sebagai pakan yang berbeda-beda. Besarnya proporsi untuk pakan tergantung pada besarnya bagian edibel yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Data proporsi limbah tanaman pertanian yang dapat dijadikan pakan ternak dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Proporsi limbah tanaman pertanian yang dapat dijadikan pakan ternaka

Komoditas Bagian untuk pakan Proporsi (%)

Bagian pangan Bagian pakan

(47)

daerah memiliki sumber hijauan yang lebih baik (McDonald et al. 2002). Jerami padi adalah bahan pakan alternatif yang ketersediaannya melimpah terutama di daerah basis pertanian. Jerami padi sudah digunakan secara luas untuk ruminansia di Indonesia. Sekitar 80% dari produksi beras dunia berasal dari petani skala kecil yang ada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Sarnklong et al. 2010). Tingginya produksi padi menghasilkan jerami padi yang tinggi pula. Kim et al. (2009) menyatakan bahwa, menurut estimasi sisa komoditi padi di seluruh dunia, sekitar 731 juta ton atau sekitar 40% dari total keseluruhan sisa tanaman pangan sumber karbohidrat yang ada di dunia. Jerami padi adalah sisa tanaman pangan yang mempunyai produksi terbesar dibandingkan dengan sisa komoditi tanaman sumber karbohidrat yang penting bagi manusia lainnya, seperti: jagung, gandum, tebu, barley, oat, dan sorgum.

Kualitas Limbah pertanian yang Berpotensi sebagai Pakan

Kualitas nutrisi dari suatu tanaman pakan ditentukan oleh kesukaan dan jumlah yang dapat dikonsumsi per ekor ternak, tingkat degradasinya di dalam saluran pencernaan, efisiensi penggunaan dan pemanfaatannya di dalam produk akhir, serta untuk tanaman sumber energi kualitas lebih ditentukan pada komposisi kimia bahan pakan (Donkin et al. 2013). Dalam penelitian ini, kualitas nutrisi ditentukan dari kandungan bahan makanan atau komposisi kimia yang terdapat di dalam bahan pakan limbah pertanian. Selama ini, peternak memberikan limbah pertanian dengan takaran kuantitas yang tidak formal seperti menggunakan ember atau bakul. Peternak tidak mengetahui bagaimana kualitas nutrien yang diberikan ke ternak dan juga peternak tidak mengetahui seberapa banyak bahan pakan itu harus diberikan. Komposisi bahan pakan asal limbah pertanian dapat dilihat pada Tabel 11. Sampel pakan yang dianalisis adalah limbah pertanian yang diidentifikasi sebagai pakan ternak yang paling banyak digunakan di peternakan rakyat terpilih di Kabupaten Bandung dan Bogor saat dilakukan survei.

Tabel 11 Komposisi nutrien bahan pakan limbah pertanian (100% BK)a

Kab Jenis Pakan Abu PK LK SK BETN TDN

Hasil Analisa Lab ITP (Ilmu dan Teknologi Pakan), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2013)

(48)

kecukupan nutrien ternak yang diberi jenis pakan ini. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan kombinasi limbah pertanian secara optimal. Perlu diperhatikan untuk tidak menggunakan hanya satu limbah pertanian saja dan perlu ditambahkan bahan pakan penguat (konsentrat), dan sumber vitamin dan mineral lainnya. Pada penelitian ini, estimasi pengembangan populasi dilakukan dengan mempertimbangkan kontribusi nutrien dari pakan konsentrat guna memenuhi kebutuhan perharinya sesuai rekomendasi NRC sapi perah (2000). Jadi, walaupun kualitas limbah pertanian yang digunakan sebagai sumber hijauan pakan rendah, ini dapat diimbangi dengan konsentrat yang diberikan sehingga diharapkan tidak akan mengganggu produksi. Sesuai dengan Djajanegara (1999), yang menyebutkan bahwa, jika jerami padi dan limbah pertanian lainnya diberikan sebagai sumber pakan hijauan utama pada ternak ruminansia, maka harus diimbangi dengan pemberian konsentrat yang berkualitas baik agar tercapai performa produksi yang baik pula. Kombinasi yang tepat dengan konsentrat akan mengoptimalkan pemanfaatan potensi limbah pertanian di Kabupaten Bandung dan Bogor.

Gambar

Tabel 1 Struktur ternak ruminansia Jawa Barata (%)
Tabel 3  Keragaan ternak ruminansia Kabupaten Bandung tahun 2012a
Tabel 4 Keragaan ternak ruminansia Kabupaten Bogor tahun 2012a
Gambar 1 Peta Kabupten Bandung   Sumber: pn-balebandung.go.id
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kawalan keselamatan komputer iaitu perlindungan ke atas sistem komputer dan maklumat daripada diceroboh atau dimasuki secara tidak sah, kerosakan data kerana pencerobohan,

Adapun kekurangan yang ada pada perusahaan ini adalah terjadinya rangkap jabatan yang setiap fungsi hanya dilakukan oleh satu manajer, tidak adanya pelatihan karyawan, tidak

PENILAIAN KINERJA GURU KELAS/MATA PELAJARAN LAMPIRAN A S22aA. Waktu penilaian JANUARI s/d DESEMBER

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa uji t menunjukkan bahwa arus kas operasi berpengaruh signifikan terhadap arus kas masa depan, disebabkan karena arus kas

[r]

Bandawasa sebagai kota kabupaten daerah tingkat II Banda- wasa, Propimi Jawa Timur terletak di jalur jalan antara Kota Besuki dengan Jernber dan antara Jember dengan

Teman-teman seperjuangan penulis ; Desy, Steffie, Bunga, Evelyn, Sandy, Bima, Anda, Alya, Nora, Mitha, Robby, dan teman-teman penulis lainnya yang telah memberikan pendapat,

Data yang dikumpulkan merupakan data primer, yaitu data berasal dari penelitian perubahan makroskopis dan mikroskopis hepar tikus wistar dari kelompok kontrol dan