• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFILING IMPURITIES KRISTAL METAMFETAMINA DARI CLANDESTINE LABORATORY DI KALIDERES JAKARTA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFILING IMPURITIES KRISTAL METAMFETAMINA DARI CLANDESTINE LABORATORY DI KALIDERES JAKARTA BARAT"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PROFILING IMPURITIES KRISTAL

METAMFETAMINA DARI CLANDESTINE

LABORATORY DI KALIDERES JAKARTA BARAT

LAPORAN KERJA PRAKTIK

DI PUSAT LABORATORIUM FORENSIK

MABES POLRI

Oleh:

Muhammad Achyaruddin Wahid

105116036

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN KOMPUTER

UNIVERSITAS PERTAMINA

(2)

Kata Pengantar

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Tiada kata terindah yang patut diucapkan untuk memanjatkan syukur selain Alhamdulillah atas nikmat kesehatan dan kesempatan yang telah Allah SWT berikan selama ini sehingga penulis masih bisa mengerjakan laporan kerja praktek ini yang menjadi salah satu syarat untuk lulus dalam mata kuliah kerja praktek program studi Kimia di Universitas Pertamina.

Kemudian tidak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan secara moril maupun materil baik secara langsung maupun tidak langsung untuk terlaksana dan selesainya tugas laporan kerja praktek ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Kombes Pol Sodiq Pratomo S.Si, M.Si selaku kepala bidang Narkobafor.

2. Bapak Kompol Yuswardi selaku kepala sub bidang Narko sekaligus pembimbing instansi.

3. Bapak AKBP Jaswanto selaku kepala sub bidang obat berbahaya sekaligus penasihat dalam penggunaan alat GCMS.

4. Bapak Dr. Eng. Haryo Satriya Oktaviano selaku Kaprodi Kimia UP 5. Ibu Dr. Nila Tanyela Berghuis selaku dosen pembimbing.

6. Abang dan kakak Bripda Adam, Bripda Afdhal, Bripda Rahmat, Bripda Yomi, Bripda Diera selaku anggota tim bidang Narkobafor. 7. Penulis juga berterimakasih kepada teman-teman seperjuangan,

Dea, Fitri, Riza, Bella, Anya, Afifah, Rifany, Aziz, Rai, Margareth, Venty, Meidi dan Nadia yang sudah sharing yang berharga selama ini.

8. Dan tak lupa kepada orangtua dan adik-adikku yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis agar kelak menjadi manusia yang berguna, aamiin ya Rabbal alamin.

9. Serta pihak-pihak lain yang tak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan perhatiannya.

Akhir kata, semoga laporan ini kelak dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan, khususnya mahasiswa Kimia Fakultas Sains dan Komputer Universitas Pertamina.

Wassalaamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 15 Juli 2019

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN LAPORAN KERJA PRAKTIK

Judul Kerja Praktik

:Profiling Impurities Kristal Metamfetamina dari

Clandestine Laboratory di Kalideres Jakarta Barat

Nama Mahasiswa

: Muhammad Achyaruddin Wahid

Nomor Induk Mahasiswa

: 105116036

Program Studi

: Kimia

Fakultas

: Fakultas Sains dan Komputer

Tanggal Seminar

: 05 Maret 2020

Jakarta, 26 Juli 2019

MENYETUJUI,

Pembimbing Instansi

NIP

Pembimbing Program Studi

Dr. Nila Tanyela Berghuis

NIP. 118001

Daftar Isi

(4)

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ... 3

BAB II PROFIL PUSAT LABORATORIUM FORENSIK... 4

2.1 Sejarah Singkat Puslabfor ... 4

2.2 Struktur Organisasi Puslabfor ... 4

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTEK ... 7

3.1 Pengenalan Instrumen... 7

3.1.1 Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS) ... 7

3.1.2 Liquid Chromatography Mass Spectrometry (LCMS) ... 9

3.2 Pengenalan Kegiatan Bidang Narkobafor... 10

3.3 Penelitian Saat KP ... 11

BAB IV HASIL KERJA PRAKTEK... 12

4.1 Preparasi Sampel ... 12

4.1.1 Alat dan Bahan ... 12

4.1.2 Cara Kerja ... 12

4.2 analisis GC-MS ... 12

4.2.1 Hasil Kromatogram ... 13

4.2.2 Hasil Spektrum ... 14

BAB V TINJAUAN TEORITIS... 22

5.1 Metamfetamin ... 22

5.2 Farmakologi ... 22

5.3 Profiling Impurities Kristal Metamfetamin ... 22

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

6.1 Kesimpulan ... 24

6.2 Saran ... 24

(5)

Daftar Gambar

Gambar 1. Struktur senyawa metamfetamin ... 1

Gambar 2. Berbagai macam metode dalam sintesis metamfetamin ... 2

Gambar 3. Struktur organisasi di Puslabfor ... 4

Gambar 4. Instrumen GCMS ... 8

Gambar 5. Skema prinsip kerja pada instrumen GCMS ... 9

Gambar 6. Instrumen LCMS ...10

Gambar 7. Skema prinsrip kerja pada instrumen LCMS ...10

Gambar 8 . Jenis dan besar suhu pada GCMS mode profiing ...13

Gambar 9. Hasil kromatogram senyawa metamfetamina...13

Gambar 10. Spektrum senyawa amfetamin ...14

Gambar 11. Spektrum senyawa Phenyl -2-Propanon ...15

Gambar 12. Spektrum senyawa metamfetamin ...15

Gambar 13. Spektrum senyawa unknown a ...16

Gambar 14. Spektrum senyawa unknown b ...16

Gambar 15. Spektrum senyawa difenilamin (IS) ...17

Gambar 16. Spektrum senyawa N-(-pheylisopropyl) benzylmethylketimine ...17

Gambar 17. Spektrum senyawa unknown c ...18

Gambar 18. Spektrum senyawa 1-benzyl-3-methylnaphtalene ...18

Gambar 19. Spektrum Senyawa 1,3-dimethyl-2-phenylnaphtalene ...19

Gambar 20. Spektrum senyawa unknown d ...19

Gambar 21. Spektrum senyawa unknown e ...20

Daftar Tabel

Tabel 1. Penjelasan singkatan jabatan ... 5

Tabel 2. Daftar nama pimpinan tertinggi di puslabfor ... 5

Tabel 3. Keterangan nama senyawa pada kromatogram ...13

(6)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Narkoba merupakan istilah dari narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya lainnya. Menurut UU RI Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (KEMENKES, 2014). Pada dasarnya, narkoba jenis sintetis lebih mudah dibuat daripada narkoba yang berasal dari tanaman. Hal ini dapat terjadi karena bahan – bahan kimia yang dibutuhkan untuk produksi narkoba jenis sintetis bisa didapatkan dari toko bahan kimia maupun apotek (Abdullah, 2014). Salah satu produk dari narkoba jenis sintetis adalah Metamfetamina. Metamfetamina (N-Methyl-alpha-methylphenetylamine) adalah senyawa yang bekerja sebagai stimulan pada sistem saraf pusat (NPAJ, 2005).

Gambar 1. Struktur Metamfetamina

Alasan mengapa metamfetamin dilarang untuk dikonsumsi adalah karena senyawa tersebut memiliki efek ketergantungan, sehingga tubuh akan selalu meronta apabila si pengguna tidak memakai senyawa itu lagi. Efek dari penggunaan senyawa metamfetamin dibagi berdasarkan waktu pemakaian, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Efek dari pengguna jangka pendek yaitu tachycardia, hipertensi hipertermia, hiperpnia, sakit jantung, euforia, insomnia dll. Sedangkan efek jangka panjang meliputi narkolepsi (gangguan waktu tidur), ketosis, formikasi, xerostomia, halusinasi, dll (Mehling & Triggle, 2008).

Profiling pengotor dalam kristal metamfetamin dapat digunakan sebagai cara untuk mendapatkan informasi seperti jaringan perdagangan narkoba (khususnya sabu), metode yang digunakan untuk mensintesis senyawa tersebut, dan juga prekursor yang digunakan untuk membuat senyawa tersebut (Dayrit & Dumlao, 2004). Karena alasan ini juga, profiling senyawa metamfetamin sudah dilakukan dibanyak negara seperti Iran, Jepang, Filipina, Thailand, Australia, China (Hadis, Hajar & Hemen, 2017).

Karena metode untuk mensintesis senyawa metamfetamin yang berbeda dapat mengarahkan kepada pengotor yang berbeda pula, maka profiling pengotor dapat membantu untuk mengetahui informasi tentang kondisi sintesis dan material prekursornya. Berikut ini adalah gambar mengenai beberapa metode dalam mensintesis senyawa metamfetamin.

(7)

Gambar 2. Berbagai macam metode dalam sintesis metamfetamin

Salah satu cara dan strategi terbaik untuk mencegah produksi obat-obatan seperti metamfetamin adalah dengan mengontrol prekursornya (Urano & Nagano, 2007). Dengan kata lain, penggunaan prekursor pada obat-obatan tertentu harus diawasi dan diatur dalam undang-undang oleh Kemenkes sehingga peredarannya tidak menjadi kekhawatiran lagi.

Laboratorium klandestin adalah istilah untuk tempat dimana para pelaku membuat narkoba sintetis seperti Kristal metamfetamin. Tidak seperti laboratorium lainnya, pada lab klandestin sendiri tidak memiliki jaminan keselamatan bagi si pembuat narkoba tersebut, sehingga keberadaan lab tersebut dilarang karena dapat membahayakan keselamatan sekitarnya. Laboratorium klandestin sendiri biasanya dibuat didalam kamar seseorang dengan tujuan tidak diketahui oleh siapapun, sehingga para pelaku peracik narkoba sintetis tersebut dapat dengan leluasa membuat kristal metamfetamin tanpa ada gangguan dari siapapun.

Pada hari minggu, 23 Juni 2019 Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Barat telah melakukan penangkapan pelaku pembuatan narkotika jenis sabu didaerah perumahan Citra 2 BH 8/10 Kalideres Jakarta Barat. Polisi menyita sabu sebanyak 1 Kg siap edar. Di TKP tersebut ditemukan pula bahan – bahan untuk memproduksi senyawa metamfetamina tersebut seperti prekursor ephedrine, red phosphour, iodine, soda api, toluena, HCl, dan aseton. Metode yang digunakan pelaku untuk mensintesis senyawa metamfetamina dikenal sebagai Nagai Method atau Red Phosphour Method. Dari sabu yang disita tersebut, sebagian digunakan untuk melakukan profiling pengotor yang terdapat pada sabu tersebut. Hal ini berguna untuk mengetahui pengotor apa saja yang terdapat pada sabu tersebut yang diproduksi dari Indonesia, agar menambah

(8)

referensi untuk mempermudah pekerjaan pihak kepolisian dalam mengungkap jalur perdagangan dari salah satu jenis narkoba tersebut.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kandungan pengotor yang terdapat didalam kristal metamfetamin yang ditemukan didaerah Kalideres Jakarta Barat.

1.3 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Profiling pengotor sabu ini dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik MABES POLRI yang berada di jalan Inspeksi Tarum Barat Kav. Agraria Blok E Nomor 5 Jakarta Timur. Penelitian ini dilakukan selama masa kerja praktek yaitu dimulai pada tanggal 10 Juni 2019 hingga 12 Juli 2019.

BAB II

(9)

2.1 Sejarah Pusat Laboratorium Forensik

Pada tahun 1954, Pusat Laboratorium Forensik dibentuk agar diterimanya Polri menjadi anggota Interpol (International Criminal Police Organization). Dari tahun 1954 hingga sekarang sudah terjadi 10 periode pengembangan fungsi dan kedudukan didalam tubuh Polri. Hingga saat ini sudah terbentuknya 6 cabang Laboratorium Forensik yang tersebar di berbagai daerah seperti Medan, Palembang, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Makassar. Didalam Laboratorium Forensik terdapat 5 bidang yang terdiri dari Bidang Dokumen dan Uang Palsu Forensik (Biddokupalfor), Bidang Ballistik dan Metalurgi Forensik (Bidbalmetfor), Bidang Fisika dan Komputer Forensik (Bidfiskomfor), Bidang Kimia, Toksikologi, dan Biologi forensik (Bidkimbiofor), dan Bidang Narkotika, Psikotropika, dan Obat Berbahaya Forensik (Bidnarkobafor).

2.2 Struktur Organisasi Puslabfor

Dibawah ini merupakan struktur organisasi yang ada didalam tubuh Puslabfor.

Gambar 3. Struktur organisasi di Puslabfor Dengan keterangan jabatan sebagai berikut :

(10)

Nama jabatan Kepanjangan

Set Kesekretariatan

Urtu Urusan tata usaha

Paur Perwira urusan

Banum Bantuan umum

Pamin Perwira administrasi

Kaur Kepala urusan

Urmin Urusan administrasi

Subbag instal Sub bagian instalasi alat

Subbag stanmut Sub bagian standar mutu

Subbangmet Sub bagian pengembangan dan

metologi

Bagjenmut Bagian manajemen mutu

Deteksus Deteksi khusus

Bioser Biologi serologi

Tokling Toksikologi dan lingkungan

Baya Obat berbahaya

Prodcet Produk cetak

Subbag ren Sub bagian perencanaan dan anggaran

Subbag sumda Sub bagian sumber daya manusia

Subbag binfung Sub bagian pembinaan fungsi

Saat ini, posisi jabatan kepala pusat dan kepala bidang di pusat laboratorium forensik diduduki oleh petinggi di kepolisian, dengan nama sebagai berikut : Tabel 2. Daftar nama pimpinan tertinggi di puslabfor

(11)

Jabatan Nama

Kapuslabfor Drs. Alex Mandalika

Kabid Dokupalfor Siswanto, S.H, M.H

Kabid narkobafor Sodiq Pratomo, S.Si, M.Si

Kabid Kimbiofor Drs. Andi Firdaus

Kabid fiskomfor Ir. Roedy Aris Tavip P, M.Si

Kabid Balmetfor Ir. Ulung Kanjaya, M.Met

Penempatan peserta Kerja Praktek (KP) didasarkan pada pilihan dari peserta KP dahulu. Jika satu bidang yang diminati oleh peserta KP terlalu banyak (melebihi kuota) maka dilakukan pemerataan ke bidang lainnya, namun tentu saja disesuaikan dengan jurusan dari peserta KP tersebut. Penulis ditempatkan dibidang narkoba forensik yang merupakan pilihan sendiri.

Penulis memilih Pusat Laboratorium Forensik sebagai tempat kerja praktek adalah untuk mendapatkan pengalaman bekerja di kantor kepolisian dan belajar kedisiplinan. Bidang yang dipilih oleh penulis adalah bidang narkoba forensik yang memiliki peran sebagai penganalisis senyawa dalam bentuk padatan maupun cairan yang diduga sebagai salah satu dari golongan narkoba.

BAB III

KEGIATAN KERJA PRAKTEK

(12)

3.1.1 Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS)

Pada awal masa KP, setiap mahasiswa diajarkan untuk menggunakan alat GCMS, mulai dari injeksi sampel hingga analisa kromatogram dan spektrum menggunakan aplikasi GCMS analyzer dan Mass Hunter GCMS. GCMS adalah salah satu alat yang menggunakan metode analisis senyawa yaitu kromatografi gas (GC) untuk menganalisa jumlah senyawa secara kuantitatif dan spektrometri massa (MS) untuk menganalisa struktur molekul senyawa analit. GCMS biasanya digunakan untuk mengidentifikasi senyawa yang berbeda didalam analisis sampel. GC dan MS sendiri memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun dengan menggabungkan keduanya akan meningkatkan kemampuan dalam menganalisis sampel. Kromatografi gas termasuk dalam teknik spektroskopi yang menggunakan prinsip pemisahan campuran yang berdasar kepada perbedaan kecepatan migrasi dari tiap komponen penyusunnya. Kromatografi gas biasanya digunakan dalam menentukan partikel yang terdapat dalam sampel campuran gas dan menentukan konsentrasi dari tiap partikel tersebut.

Kromatografi gas sebenarnya bisa dikatakan mirip dengan distilasi fraksional, hal ini dikarenakan keduanya memiliki proses pemisahan partikel senyawa yang berdasar kepada perbedaan titik didih (tekanan uap). Namun, perbedaan dari keduanya adalah distilasi fraksional dapat memisahkan komponen komponen campuran dalam skala besar, sedangkan kromatografi gas hanya dapat memisahkan komponen campuran dalam skala kecil (mikro) (Pavia, 2006).

Intrumentasi didalam kromatografi gas antara lain carrier gas supply, control system, injeksi sampel, oven, dan kolom. Carrier gas supply berfungsi sebagai gas pembawa (fasa gerak) yang membawa sampel dan biasanya bersifat inert (tidak ikut bereaksi dengan sampel), kering, dan bebas oksigen. Biasanya yang menjadi gas pembawa pada kromatografi gas adalah gas helium dan gas nitrogen. Control system biasanya berfungsi sebagai pengatur tekanan dan laju fasa gerak yang masuk kedalam kolom dan mengatur suhu oven. Injeksi sampel adalah tempat untuk memasukkan sampel menggunakan syringe khusus untuk sampel, yang kemudian disuntikkan menembus lempengan karet (septum). Bahan karet pada septum akan kembali kebentuk semula ketika selesai memasukkan sampel sehingga sampel yang sudah masuk tidak akan keluar. Oven pada kromatografi gas digunakan sebagai pemanas kolom dengan suhu tertentu sehingga dapat mempercepat campuran untuk berpisah sesuai titik didihnya. Suhu yang bisa diterapkan dalam oven memiliki range 30oC hingga

320oC. Kolom merupakan bagian vital dari kromatografi gas. Hal ini dikarenakan

fasa diam yang berada pada kolom berperan memisahkan komponen-komponen senyawa berdasarkan kepolarannya. Jenis fasa diam pada kolom yang sering digunakan ialah :

(13)

1. Polysiloxane untuk nonpolar analyte/sampel 2. Polyethylene glycol untuk polar analyte/sampel.

3. Inorganic atau polymer packing untuk sampel bersifat small gaseous species.

Kolom pada kromatografi gas memiliki 2 jenis, yaitu packed column dan capillary column. Packed column biasanya terbuat dari bahan glass atau stainless steel coil dengan panjang 1 – 5 meter dan memiliki diameter sekitar 5 mm. Sedangkan capillary column umumnya terbuat dari purified silicate glass dengan panjang 10 – 100 meter dan diameter sekitar 250 mm. Perbedaan dari kedua jenis kolom tersebut, selain dari ukurannya, keduanya juga memiliki perbedaan dari segi bentuk susunan fasa diamnya. Pada packed column, fasa diam memenuhi seluruh isi kolom, sehingga sampel dan fasa gerak akan melewati celah-celah fasa diam tersebut. Sedangkan pada capillary column, fasa diamnya hanya menempel pada dinding kolom.

Spektroskopi massa adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan berat molekul dengan cara menghitung perbandingan massa terhadap muatan ion yang muatannya diketahui dengan mengukur jari-jari orbitalnya dalam medan magnetik yang seragam. Instrumen yang terdapat pada spektroskopi massa yaitu sumber ion, filter, detektor, dan recorder.

Sumber ion pada spektroskopi massa berfungsi sebagai pengionisasi sampel yang masuk ke kolom. Jenis ionisasi tebagi menjadi dua, yaitu Elektron Impact Ionization (EI) dan Chemical Ionization (CI). Filter berguna untuk menyaring partikel yang sudah terionisasi dengan elektromagnetik berdasarkan massa. Detektor berfungsi sebagai pendeteksi partikel yang sudah bermuatan karena telah terionisasi. Recorder sendiri mempunyai tugas sebagai perekam hasil dan membentuk output sebuah grafik yang berbentuk puncak-puncak yang mewakili satu senyawa setiap puncaknya.

3.1.2 Liquid Chromatography Mass Spectrometry (LCMS)

Pada saat pengenalan alat, penulis juga diperkenalkan dengan alat LCMS (Liquid Chromatography Mass Spectrometry) yang pada saat itu sedang dalam masa maintenance.

LCMS secara metode mirip dengan GCMS, yaitu memisahkan campuran senyawa secara fisik dengan metode kromatografi dan mendeteksi massa molekul oleh spektroskopi massa. Perbedaan diantara keduanya ialah pada GCMS tidak dapat digunakan untuk menganalisa senyawa yang memiliki massa molekul besar seperti protein, sedangkan LCMS dapat melakukannya. Instrumen LCMS juga dapat menganalisa sampel larutan yang kurang volatil seperti darah dan senyawa yang memiliki polaritas tinggi, sedangkan sampel larutan pada GCMS harus memiliki titik didih yang rendah (<300oC) agar mudah menguap

(14)

GCMS menggunakan gas inert sedangkan pada LCMS menggunakan larutan yang berbeda polar dengan sampel.

Instrumen LCMS memiliki komponen yang tidak jauh berbeda dari komponen penyusun GCMS. Komponen tersebut ialah HPLC, sumber ion, analisis massa dan detektor.

3.2 Pengenalan Kegiatan Bidang Narkobafor

Selama masa KP, penulis juga diajarkan dan dijelaskan tentang pekerjaan yang dilakukan oleh tim narkobafor. Pekerjaan utama yang tim narkobafor lakukan adalah analisis bahan yang berbentuk padatan maupun cairan yang diduga mengandung senyawa aktif yang ditetapkan sebagai narkoba oleh Kemenkes, yang mana hal itu diatur dalam permenkes nomor 7 tahun 2018 tentang penggolongan narkotika, baik yang berbentuk tanaman maupun senyawa aktif berbahaya.

Dalam menganalisa barang bukti yang dibawa oleh penyidik kepolisian, tim narkobafor melakukan metode kuantitatif, dengan tujuan mengetahui ada atau tidaknya senyawa yang dilarang, sehingga penyidik kepolisian dapat menindaklanjuti para pelaku kejahatan tersebut. Dalam menganalisa barang bukti berupa kristal putih yang diduga sabu dan tanaman yang diduga ganja, dapat dilakukan dengan cara meneteskan larutan khusus, apabila terjadi perubahan warna, maka bisa dipastikan barang bukti tersebut mengandung senyawa yang dilarang dalam permenkes. Hal ini dapat dilakukan karena ada satu target senyawa (seperti metamfetamin dan THC) sehingga dapat dlakukan tes dengan cek perubahan warna saja. Sedangkan untuk barang bukti berupa obat-obatan maupun tembakau sintetis tidak bisa dilakukan analisis hanya dengan meneteskan larutan tertentu, karena tidak ada yang tau apa senyawa yang terkandung, sehingga perlu dilakukan analisis menggunakan instrumen GCMS untuk mencari tau ada atau tidaknya senyawa yang tergolong narkotik seperti yang ada pada permenkes tersebut.

3.3 Penelitian Saat KP

Penelitian yang dilakukan saat masa KP, penulis melakukan penelitian tentang kandungan metamfetamin dengan metode sebagai berikut :

1. Validasi metode analisa kandungan metamfetamina didalam urine dengan menggunakan metode exterlude.

2. Validasi metode analisa kandungan metamfetamina didalam urine tanpa menggunakan metode exterlude.

3. Analisa kandungan senyawa metamfetamin didalam urine tanpa menambahkan agen derivatif (PFPA).

4. Analisa kandungan senyawa metamfetamin didalam urine dengan menggunakan tambahan agen derivatif (PFPA)

(15)

5. Profiling impurities kristal metamfetamin dari clandestine laboratory di Kalideres Jakarta Barat.

BAB IV

(16)

4.1 Preparasi Sampel 4.1.1 Alat dan Bahan

1. Eppendorf 1.5 ml 2. Mikro pipet 3. Mikro tube 4. Neraca digital 5. Spatula 6. Vortex 7. Sentrifuge 8. Kristal metamfetamin 9. Difenilamin 10. Larutan buffer Na2CO3 pH 10.5 11. Etil asetat 4.1.2 Cara Kerja

Awalnya kristal metamfetamin ditimbang sebanyak 100 mg, kemudian dimasukkan kedalam eppendorf. Kristal metamfetamin kemudian ditambahkan 1 mL larutan buffer Na2CO3 dengan pH 10.5 menggunakan mikropipet kedalam

eppendorf, lalu divortex selama 5 menit. Setelah terlarut, kemudian ditambahkan 300 μL senyawa etil asetat dan difenilamin. Setelah ditambahkan pelarutnya, kemudian dimasukkan kedalam sentrifuge dan running alat dengan settingan 3000 rpm selama 5 menit. Usai 5 menit di sentrifuge, akan terbentuk 2 fasa, lalu dipisahkan. Yang akan di uji adalah fasa bagian atas (fasa organik). Setelah dipisahkan, diambil 1 μL untuk diinjeksi kedalam GCMS.

4.2 analisis GC-MS

GC yang digunakan memiliki merk Agilent 7890B dan MS merk Agilent 5977B. Sebelum melakukan analisis, GCMS yang digunakan harus di setting terlebih dahulu dengan rincian sebagai berikut; Suhu oven 50oC, suhu ion source

300oC, suhu inlet 290oC, dan suhu quadrupole 150oC. GCMS juga disetting

dengan mode splitless. Kolom yang digunakan pada GCMS ini memakai jenis capillary column dengan bahan dari fasa diamnya yaitu polysiloxane. Jenis ionisasi yang digunakan ialah EI (Electron Ionization) dan menggunakan detektor jenis FID (Flame Ionization Detector).

(17)

Gambar 4. Jenis dan besar suhu pada GCMS mode profiing

4.2.1 Hasil Kromatogram

Gambar 5. Hasil kromatogram senyawa metamfetamina

Dari kromatogram diatas, terdapat banyak peak yang terbentuk dari sampel kristal metamfetamin, namun disini penulis hanya mengambil senyawa dengan peak tinggi yang menandakan tingginya kelimpahan yang dimiliki senyawa tersebut didalam sampel. Keterangan nomor dari senyawa yang sudah penulis pilih adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Keterangan nama senyawa pada kromatogram

Nomor Nama senyawa

1 Amphetamine 2 Phenyl 2-Propanon 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 4 . 0 0 6 . 0 0 8 . 0 0 1 0 . 0 0 1 2 . 0 0 1 4 . 0 0 1 6 . 0 0 1 8 . 0 0 2 0 . 0 0 2 2 . 0 0 2 4 . 0 0 2 6 . 0 0 2 8 . 0 0 3 0 . 0 0 5 0 0 0 1 0 0 0 0 1 5 0 0 0 2 0 0 0 0 2 5 0 0 0 3 0 0 0 0 3 5 0 0 0 4 0 0 0 0 4 5 0 0 0 T i m e - - > A b u n d a n c e T I C : K R I S T A L P U T I H K O D E C 2 . D \ d a t a . m s

(18)

Nomor Nama senyawa 3 Methamphetamine 4 Unknown peak a 5 Unknown peak b 6 Diphenylamine 7 N-(-phenylisopropyl) benzylmethylketimine 8 Unknown peak c 9 1-benzyl-3-methylnaphthalene 10 1,3-dimethyl-2-phenyl-naphthalene 11 Unknown peak d 12 Unknown peak e

Untuk library yang digunakan pada penelitian ini adalah Nist. Terdapat unknown peak pada kromatogram disebabkan kurangnya database senyawa yang dimiliki Nist sehingga masih terdapat puncak yang memiliki kelimpahan besar namun tidak diketahui nama dari senyawa tersebut.

4.2.2 Hasil Spektrum

(19)

Gambar 7. Spektrum senyawa Phenyl -2-Propanon

(20)

Gambar 9. Spektrum senyawa unknown a

(21)

Gambar 11. Spektrum senyawa difenilamin (IS)

(22)

Gambar 13. Spektrum senyawa unknown c

(23)

Gambar 15. Spektrum Senyawa 1,3-dimethyl-2-phenylnaphtalene

(24)

Gambar 17. Spektrum senyawa unknown e

Profiling pengotor kristal metamfetamin adalah karakterisasi dari pengotor yang terdapat pada kristal metamfetamin. Senyawa metamfetamin merupakan senyawa polar karena mengandung gugus amina didalamnya sehingga digunakan pelarut yang polar juga seperti etil asetat. Namun, agar gugus amina yang ada didalam senyawa metamfetamin tersebut tidak berubah bentuk yang dapat disebabkan oleh tingkat keasaman pelarut, maka dari itu ditambahkan pula larutan buffer pH 10.5 agar gugus amina tidak berubah. Agar kristal dapat larut, diperlukan vortex larutan selama 5 menit, yang kemudian dilakukan sentrifugasi 3000 rpm selama 5 menit agar terbentuk 2 fasa sehingga dapat dianalisis bagian fasa organik tersebut.

Sebelum diinjeksi ke dalam GCMS, instrumen tersebut harus dalam mode profiling dengan pengaturan suhu oven diturunkan menjadi 50oC. Hal ini

dilakukan agar waktu retensi senyawa pengotor pada larutan metamfetamin tidak berdekatan yang dikhawatirkan akan terjadi superposisi pada peak kromatogram sehingga dapat menyulitkan penulis dalam menganalisa pengotor yang terdapat pada sampel kristal metamfetamin.

Suhu pada sumber ion (ion source) pada penelitian ini diatur sebesar 300oC. Hal ini sebenarnya kurang sesuai dengan literatur, karena suhu optimal

sumber ion pada proses profiling adalah sekitar 230oC. Ini dapat terjadi karena

awalnya intrument GCMS sedang dilakukan kalibrasi, sehingga digunakan suhu pada sumber ion sebesar 300oC, dan kemudian penulis kurang memperhatikan

suhu dari sumber ion tersebut sehingga suhu yang digunakan ialah suhu untuk kalibrasi alat.

(25)

Dari hasil analisa menggunakan GCMS, ditemukan senyawa seperti pada Tabel 3. Senyawa metamfetamin yang terdeteksi muncul di antara menit ke sepuluh hingga menit ke dua belas. Besarnya peak yang terbentuk karena tingginya konsentrasi dari larutan metamfetamin sehingga peak yang dihasilkan menjadi seperti di gambar 3. Senyawa difenilamin muncul pada rentang waktu menit ke-16 hingga ke-17. Senyawa ini awalnya ingin digunakan sebagai internal standar, yaitu untuk menghitung kadar konsentrasi senyawa metamfetamin dengan membandingkan lebar peak yang dihasilkan, tetapi karena peak dari metamfetamin yang tumpang tindih dengan senyawa lain sehingga peak tersebut tidak dapat diketahui lebar peak dari senyawa metamfetamin. selain dari senyawa metamfetamin dan difenilamin yang terdeteksi, bisa digolongkan bahwa senyawa lainnya yang terdeteksi merupakan pengotor dari hasil sintesis senyawa metamfetamin. mode splitless dilakukan pada saat penelitian profiling agar seluruh sampel yang diinjeksikan kedalam GCMS dapat dianalisa.

(26)

BAB V

TINJAUAN TEORITIS

5.1 Metamfetamin

Metamfetamin atau yang lebih dikenal sebagai sabu merupakan obat stimulan yang memiliki sifat sangat adiktif yang bekerja di saraf pusat. Awal sintesis sabu dilakukan di Jepang pada tahun 1893 menggunakan metode Nagai yang hingga saat ini metode tersebut masi banyak digunakan dengan tujuan yang salah. Tujuan awal dari sintesis senyawa metamfetamin adalah untuk keperluan medis untuk penyakit seperti asma, narcolepsy, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan obesitas dengan jumlah yang terbatas.

5.2 Farmakologi

Struktur dasar senyawa metamfetamin biasa disebut fenetilamin, memiliki cincin benzen dengan dua rantai karbon (α dan β) dan sebuah gugus amina seperti pada gambar 1. Metamfetamin memiliki massa molekul 149.24 g/mol dengan rumus kimia C10H15N. Berdasarkan struktur yang dimiliki oleh senyawa

tersebut, metamfetamin dapat dengan mudah larut didalam lemak sehingga dapat menebus sawar otak yang akan memberikan efek sentral yang kuat. Selain itu, pada metamfetamin juga memiliki substitusi gugus metil pada karbon- α yang akan membuat sabu dapat menghambat oksidasi amin simpatomimetik oleh enzim monoamin oksida (MAO)

5.3 Profiling Impurities Kristal Metamfetamin

Banyaknya kasus narkoba yang terjadi di Indonesia menyebabkan berbagai keresahan dimasyarakat. Berdasarkan data dari BNN (Badan Narkotika Nasional) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang telah melakukan survei dan menghasilkan data sebanyak 2.3 juta pelajar maupun mahasiswa di Indonesia pernah mengonsumsi narkoba. Hal ini menunjukkan Indonesia sudah menjadi pasar bagi para pembuat narkoba. Dengan adanya hal tersebut, pihak forensik kepolisian telah melakukan upaya penelitian guna menyelidiki kasus maraknya narkoba yang ada di Indonesia dengan melakukan analisis pengotor kristal sabu.

Profiling pengotor dari kristal sabu dapat dilakukan untuk menentukan prekursor, menentukan metode sintesis, hingga dapat digunakan untuk mengetahui jaringan narkoba (Dayrit, 2004). Profiling ini telah dilakukan oleh negara-negara lain seperti China, Iran, Jepang, Filipina, Thailand, dan Australia. Para pelaku pembuat sabu di negara lain biasanya diketahui memiliki metode tersendiri untuk mensintesis senyawa metamfetamin. Dari setiap metode tersebut, menghasilkan beragam pengotor yang dihasilkan, sehingga dengan dilakukannya profiling pengotor ini dapat membantu pihak kepolisian untuk mengungkap jaringan narkoba yang ada di Indonesia.

(27)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari kegiatan kerja praktek yang telah dilaksanakan di Pusat Laboratorium Forensik, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Puslabfor menjadi tempat menganalisa barang bukti bagi pihak kepolisian. 2. Analisa barang bukti di bidang narkobafor bersifat kualitatif.

3. Barang bukti yang dapat diperiksa oleh bidang narkobafor berupa narkoba sintetis, tanaman dan obat-obatan yang mengandung senyawa yang digolongkan sebagai narkoba pada permenkes nomor 7 tahun 2018. 4. Hasil dari profiling impurities kristal metamfetamin menunjukkan terdapat

beberapa senyawa pengotor, yaitu amphetamine, phenyl-2-propanon, N-(-phenylisopropyl) benzylmethylketimine, 1-benzyl-3-methylnaphthalene, dan senyawa 1,3-dimethyl-2-phenyl-naphthalene.

6.2 Saran

1. Meningkatkan implementasi dari K3 karena bahan yang dianalisa merupakan senyawa yang digolongkan sebagai narkoba sehingga kewajiban akan penggunaan masker dan sarung tangan lebih ditingkatkan.

2. Menyediakan wadah penampung limbah pertama yang menampung bilasan pertama alat praktikum yang merupakan hasil analisis berbahan senyawa yang digolongkan sebagai narkoba dengan tujuan menjaga lingkungan bersama.

3. Pembuatan jadwal maintenance dan kalibrasi GCMS secara teratur untuk mencegah terjadinya kerusakan alat.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, A.F.L., Haw, C.K., MatDesa, W., Sulaiman, M., Hamdan, R. & Kunalan, V. (2014). Clandestine drug laboratory: Emergence, types, factors and problems. Health and the Environment Journal 5(2): 11-27. 2. Dayrit FM, Dumlao MC. (2004) Impurity profiling of methamphetamine

hydrochloride drugs seized in the Philippines. Forensic science international;144(1):29-36.

3. Mehling R, Triggle D. (2008). Methamphetamine: Infobase Publishing; 4. Musavi H, Shokri-Afra H, Moradi-Sardareh H. (2017). Impurities profiling

of seized crystals by GC/MS through 2016 in Iran. Arch Med Lab Sci;3(4):6-11.

5. Pavia, Donald L,. Gary M. Lampman, George S. Kritz, Randall G. Engel. (2006). Introduction to Organic Laboratory Techniques (4th ed.).

Thompson Brooks/Cole . pp. 797-817.

6. Permenkes nomor 7 tahun 2018 tentang Penggolongan Narkotika. 7. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2014). Hal : 1-2 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1997 tentang

Narkotika

9. Urano Y, Nagano T. (2007). Investigation of the origin of ephedrine and methamphetamine by stable isotope ratio mass spectrometry: a Japanese experience”. Bulletin on Narcotics: Science in Drug Control-the Role of Laboratory and Scientific Expertise.;57(1):63.

(29)

Gambar

Gambar 2. Berbagai macam metode dalam sintesis metamfetamin
Gambar 3. Struktur organisasi di Puslabfor  Dengan keterangan jabatan sebagai berikut :
Gambar 4. Jenis dan besar suhu pada GCMS mode profiing
Gambar 6. Spektrum senyawa amfetamin
+7

Referensi

Dokumen terkait