• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terjemahan Kifayatul Akhyar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Terjemahan Kifayatul Akhyar"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

م

ِ س

ْ بِ

هِللا

ن

ِ محْرّلا

م

ِ يْحِرّلا

PEMBAHASAN I

“BAB KAFARATUDZ DZIHAR”

لــصف"

يف

ةرافــك

"راهــظلا

Syaikh Abu Syujak berkata :

﴿

ةرافكلاو

قتع

ةبقر

ةنميؤمي

ةميلس

نمي

،بويعلا

نإف

مل

دجي

مايصف

نيرهــش

،نيعباــتتمي

نإــف

مــل

عطتــسي

ماــعطإف

نيتــس

،انيكسمي

لك

نيكسمي

،دمي

لو

لحي

اهؤطو

ىتح

رفكي

[Kafarat ialah memerdekakan seorang budak beriman yang bersih dari cacat. Kalau tidak dua bulan berturut-turut. Kemudian kalau tidak berkuasa, maka member makan enam puluh orang miskin, setiap orang miskin satu mud. Dan tidak halal mencampuri isterinya sampai ia membayar kafarat].

Kafarah dzihar ialah kafarat berurutan sesuai dengan ketentuan (nash) al-Qur’an al-‘Adzim. Allah SWT berfirman :

نيذلاو

نورهاظي

نمي

مهئاسن

مث

نودوــعي

اــمل

اولاــق

رــيرحتف

ةبقر

نمي

لبق

نأ

،اسامتي

مكلاذ

نوــظعوت

هــب

هــللاو

نوــلمعت

ريبخ

﴿

3

نمف

مل

دجي

مايصف

نيرهش

نيعباتتمي

نــمي

لــبق

نأ

،اسامتي

نمف

مل

عطتسي

ماعطإف

نيتــس

نيكــسمي

﴿

4

ةروــس)

ةلداجملا

:

3

-4

(

Artinya : "Orang-orang yang mendzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa 2 bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. maka siapa yang tidak berkuasa (wajiblah atasnya) memberi makan 60 orang miskin". (QS. Al -Mujadalah : 3-4)

Sesuai dengan ayat tersebut Rasulullah SAW menyuruh Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi karena dia telah mendzihar isterinya. Bentuk kafarat ada tiga :

1. Memerdekakan budak

Dalam melaksanakan kafarat pasti dengan niat, karena dalam hal ini telah tertera dalam hadits yang masyhur yang menentukan niat. Dan oleh karena itu, kafarat adalah suatu tuntunan (hak) berupa harta yang diwajibkan untuk membersihkan, maka wajiblah padanya padanya niat seperti halnya zakat. Dan niatnya cukup dengan menyebut kaffarah saja, tidaklah disyaratkan menyebut wajibnya kafarat, karena kafarat itu tidak ada yang lain kecuali wajib saja. Tetapi tidak cukup dengan berniat memerdekakan budak yang wajib tanpa menyebut kaffarah, karena memerdekan budak itu kadang-kadang wajib dengan sebab nadzar. Juga tidak wajub menentukan sebab untuk kafarah dzaihar / kaffarat membunuh / kaffarat sumpah, sama halnya seperti tidak wajibnya menentukan harta yang dizakati.

Semisal wajib kepada seseorang kaffarah dzihar dan kaffarah jimak (pada bulan Ramadhan), kemudian ia memerdekakan budak dengan niat kaffarah saja, maka kaffarah dianggap cukup bagi salah satu dari keduanya. Demikian juga kalau ia menunaikan kaffarah dengan berpuasa atau memberi makan.

(2)

Jika anda bertanya apa perbedaan antara kaffarah dan shalat yang disyaratkan ta’yin (menentukan)?. Bedanya, ibadah badaniyah adalah lebih terbatas, karena hal itu tidak boleh diwakilkan, dan juga tingkat-tingkat kesulitan shalat tersebut berbeda-beda, seperti waktu shalat shubuh lebih sulit dan bilangan raka’at shalat dzuhur lebih banyak. Sedangkan antara kaffarah dzihar dan kaffarah jimak tidak ada perbedaan. Tetapi jika telah ditentukan kaffarah dalam sesuatu pelanggaran, maka tentulah kaffarah itu untuk pelanggaran tersebut, dan tidak boleh dialihkan kepada pelanggaran lainnya sesuai dengan apa yang telah ditentukan pada permulaannya. Dan semisal seorang pada permulaannya menentukan kafaratudz dzihar, maka masih wajib ke atasnya kafarah dzihar, maka tidak boleh dipindahkan menjadi kafarah selain kafarah dzihar (baik disengaja maupun karena keliru), sama halnya seperti kalau ia berniat zakat harta tertentu, kemudian harta itu rusak, maka tidak boleh dialihkan kepada yang lain. Ada juga memerdekakan budak sebagai kaffarah pelanggaran tertentu (ta’yin) tidak mencangkup pengertian kaffarah-kaffarah yang lainnya.

Apakah disyaratkan niat itu harus bersamaan dengan waktu memerdekakan dan memberi makan?. Di dalam tambahan kitab Ar-Roudhoh pada dasarnya memang disyaratkan. Dan ada yang berpendapat boleh mendahulukan niat sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah zakat. Dan dalam Syarah Al-Muhadzdzab dikatakan bahwa yang lebih shahih daripada dua wajah ialah boleh mendahulukan niat zakat dari masa memberikannya. Sahabat-sahabat kami berpendapat bahwa kaffarah dan zakat dalam hal itu sama belaka. Inilah yang benar dan inilah menurut lahirnya nash. Demikian pendapat-pendapat sahabat kami.

Perlu diketahui bahwa syarat diperbolehkannya mendahulukan niat dalam zakat adalah niat itu harus bersamaan dengan waktu memisahkan kadar harta untuk di zakatkan. Demikian juga, apabila anda sudah mengetahui hal ini, maka hendaklah mengetahui bahwa disyaratkan budak yang akan mencukupi kaffarah ada 4 hal ; yaitu

:-a. Islam dan lafadz iman yang lebih utama karena lafadz tersebut adalah nash Al-Qur’an, b. Bersih dari cacat-cacat yang dapat merugikan pekerjaan,

c. Berstatus sebagai budak penuh, d. Dan sepi dari ganti rugi

Dengan demikian tidak mencukupi memerdekan budak kafir untuk sesuatu kaffarah. Qaul demikian dikatakan oleh Malik, Ahmad RA, dan Abu Hanifah RA “boleh memerdekakan budak kafir, kecuali untuk kaffarah membunuh karena mengenai kaffarah itu Allah SWT berfirman :

ريرحــتف

ةــبقر

.ةـــنميؤمي

ةروس)

ءاسنلا

:

92

(

“....ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS. An - Nisa’ : 92)

Dan alasan kami boleh saja dikiaskan kaffarah membunuh dengan kaffarah yang lain. Sedangkan Imam Syafi’i menyandarkan pernyataan mutlak kepada yang muqaiyad (terbatas), dan ia menyerupakan halnya dengan firman Allah SWT :

اودــهشتــساو

نيدـــــهش

نمي

.مكـــــــــلاجر

ةروس)

ةرــقبلا

:

282

(

“....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari lelaki (diantara)-mu”.(QS. Al-Baqarah : 282)

Ayat tersebut disandarkan kepada yang muqaiyad (terbatas) dalam firman Allah SWT, yang berbunyi :

اودهـــــشأو

يوذ

لدـــــع

.مكــــــنمي

ةروس)

ق لطلا

:

2

(

“....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil (lurus) diantara kamu”. (QS. At -Thalaq : 2)

(3)

Yang dimaksud dengan perkataan mushannif “yang bersih dari cacat” ialah yang merugikan pekerjaan dengan jelas, karena tujuannya dalam membayar kaffarah ialah menyempurnakan keadaan yang sepenuhnya untuk ibadah. Sedangkan tugas orang-orang yang merdeka hanya berhasil berhasil apabila ia bebas dan dapat bekerja untuk mencukupi diri sendiri. Kalau tidak, maka sudah tentu ia terbebani atas dirinya sendiri dan atas orang lain. Dengan pengertian demikian jadi tidak cukup budak yang terlalu tua, orang gila pada sebagian besar waktunya, tetapi jika sadarnya lebih banyak, maka dapat mencukupi, dan juga tidak dapat mencukupi jika gila dan sadarnya sama banyak, menurut madzhab. Bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh, maka tidak mencukupi, dan jika masih bisa diharapkan sembuh maka boleh mencukupi.

Dengan demikian ada sebuah kinayah (kiasan) yang perlu kita pahami, yang berbunyi:

“tidak cukup juga memerdekakan budak yang salah satu kakinya terputus dan juga budak yang terputus ibu jari tangannya. Boleh mencukupi jikalau yang terputus jari selain ibu jarinya. Tidak mencukupi jika yang terputus dua jari telunjuk atau jari tengah, dan boleh mencukupi jika yang terputus jari kelingking pada sebelah tangan dan jari manis pada sebelah tangan lainnya. Tidak mencukupi jiak yang terputus kedua jari kelingking dan jari manis pada satu tangan, dan mencukupi jikalau yang tersemua jari manis pada satu tangan atau mencukupi jika yang terputus semua jari dari kedua belah kakinya”. Hal tersebut menurut qaul yang shahih.

Dan juga mecukupi budak mudabbar dan budak yang kemerdekaannya digantungkan kepada sesuatu sifat. Sedangkan budak yang ghoib yang terputus beritanya tidak boleh mencukupi menurut madzhab. Dan budak yang melarikan diri dan yang dirampas oleh orang lain, maka boleh mencukupi apabila diyakini hidup keduanya, menurut qaul yang shahih, karena statusnya budak penuh. Inilah yang shahih mengenai budak yang dirampas dan dipastikan oleh sebagian banyak ulama’ Iraq bahwasannya “jikalau ia tidak berkuasa membebaskan diri, maka tidak boleh mencukupi, sama seperti budak yang sakit kronik1 karena tidak ada kemampuan lagi

untuk bertindak (tasharruf). Dan diberitakan pula dari jumhur ulama’ Khurasan bahwa budak yang dirampas yang tidak berkuasa membebaskan diri boleh mencukupi karena milik dan manfa’atnya sudah sempurna, dan itulah seperti myang diikuti Imam Rafi’i.

Adapun sepi dari ganti, maka sudah menjadi syarat semestinya. Semisal jikalau seseorang memerdekakan budak agar ia memperoleh kembali uang sedinar mas, maka tidak boleh mencukupi sebagai kaffarah, menurut qaul yang shahih. Sedangkan jikalau dia mensyaratkan ganti pada budak lain, misalnya ia berkata kepada seseorang,”Aku merdekakan budakku ini, sebagai kaffarahku dengan seribu atasmu” lalu diterima oleh orang itu. Atau sebaliknyaseseorang berkata, “Merdekakanlah dia (budak itu) sebagai kaffarahmu dan aku akan memberimu sekian” lalu ia melakukannya, maka tidak boleh mencukupi kaffarah, Wallahu-a’lam.

2. Puasa

Barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib ia berpuasa 2 bulan berturut-turut, sesuai dalil sebelumnya. Kemudian tiadanya budak adakalanya sebab tidak mendapatkannya / tidak adanya uang untuk membayar harganya / mendapatkannya dengan harga yang tinggi / dia mendapatkannya tapi dibutuhkan dirinya sendiri untuk menjadi pelayannya / dia memiliki uang tetapi dia membutuhkan uang tersebut untuk belanja. Sedangkan orang yang membutuhkan, karena kebutuhan itu meliputi sesuatuyang ada bersamanya, maka hukumnya seperti orang yang tidak mempunyai, atau sama seperti orang yang mendapatkan air, padahal ia membutuhkannya, maka hukunya berpindah kepada penggantinya. Demikian hal ini juga karena ijmak menetapkan bahwa berkemampuan tidak dapat mencegah pindah ke puasa karena membutuhkan. Dan yang dimaksud membutuhkan pelayan, misalnya ia sakit / ia sudah tua / memiliki penyakit kronik

(4)

atau kegemukkan sehingga tidak berkuasa melayani dirinya sendiri, atau memang kebiasaannya tidak dapat melayani dirinya sendiri sekalipun ia sehat. Kalau ia sudah dapat melayani dirinya sendiri seperti orang-orang pertengahan, maka wajb memerdekakan menurut qaul yang rajih.

Dan yang dimaksud dengan belanja adalah bahan pangannya dan pangan keluarganya, pakaian mereka dan kebutuhan lainnya seperti perabotan-perabotan rumah tangga, dan juga membeli budak yang di butuhkan sebagai pembantu. Dan apakah belanja dan pakaian itu ditentukan untuk masa tertentu?. Kata Imam Rafi’i, sahabat-sahabat kami tidak menentukannya; jadi boleh dihitung secukup usianya, dan boleh juga dihitung secukup satu tahun. Pendapat Al-Baghawi menguatkan bahwa orang tersebut boleh memperhitungkan sehelai baju musim dingin dan sehelai baju musim panas. Kata Imam Nawawi, yang benar ialah yang kedua, yakni secukup satu tuhan. Kata Ibnu Rif’ah, sahabat-sahabatnya menentang pendapat kedua berkenaan dengan kaffarah sumpah. Kata mereka apa yang diberitakan Al-Muhamili dan lainnya bahwa orang yang tidak berkecukupan selamanya, sekalipun ia mempunyai tanah yang produktif atau modal yang diusahakan dalam perdagangan, dan ia telah mendapat kecukupannya dengan kedua modal tersebut, meskipun modal itu tidak bertambah; jikalau untuk memperoleh seorang budak dengan menjual kedua modal tersebut niscaya menjadilah ia dalam kategori orang-orang miskin, maka tidak boleh dipaksa menjualnya, menurut madzhab yang ditetapkan oleh Jumhur Ulama’. Dan kalau orang tersebut mempunyai binatang ternak yang dapat menghasilkan susu, maka sama dengan mempunyai tanah yang produktif, jika penghasilannya tidak bertambah untuk memberi kecukupannya, tidak boleh dipaksa menjualnya. Dan kalau lebih hasilnya, maka wajib menjual kelebihannya. Demikian disebutkan oleh Al-Mawardi. Wallahu a’lam.

Cabang Permasalahan

Seseorang mempunyai harta kontan dan ia tidak mendapatkan budak atau mempunyai harta tetapi hartanya tidak di tanggannya (ghaib), ia tidak boleh beralih kepada puasa untuk kaffarah membunuh, jimak (di bulan Ramadhan), dan sumpah, tetapi ia menunggu sampai mendapat budak atau memperoleh hartanya yang ghaib, karena kaffarah boleh dibayar bertempoh, dan jikalau orangnya ditakdirkan mati, maka boleh dibayar dari harta peninggalannya. Dan mengenai kaffarah dzihar ada dua wajah, karena suami akan merasakan mudharat dengan terhalangnya dari bersenang-senang. Imam Ghazali dan Al-Mutawalli menentukan untuk memberatkan wajibnya bersabar. Pernyataan ini adalah ungkapan di dalam kitab Ar-Roudhoh. Hal yang telah dijelaskan oleh Imam Ghazali dan Al-Mutawalli telah dibenarkan oleh Imam Nawawi dalam kitab At-Tanbih. Dan diambil dari perkataan Imam Rafi’i dalam kitab Ar-Roudhoh disini dapat disimpulkan bahwa kaffarah-kaffarah yang wajib disini dengan sebab yang diharamkan, dan harus dilakukan segera. Dan Imam Nawawi juga menjelaskan dalam kitab Syarkh Muslim berkenaan dengan hadits tentang orang yang bersetubuh di bulan Ramadhan, bahwa kaffarahnya boleh dilakukan secara bertempoh. Dan yang jelas mengenai orang yang bersetubuh di bulan Ramadhan terdapat banyak khilaf dalam masalah hukumnya. Wallahu a’lam.

Kalau memang sudah sulit bagi orang yang mendzihar untuk memerdekakan budak, barulah ia boleh membayar kaffarah dengan berpuasa. Apakah mudah dipandang / sulit dikira pada waktu hendak melaksanakannya pada waktu wajib ataukah pada waktu yang terberat dari kedua keadaan tersebut ?. Dari permasalahan ini terdapat beberapa qaul berpendapat : Qaul Adzhar

berpandapat bahwa untuk menyegerakan melaksanakannya, disebabkan kaffarah itu adalah ibadah yang mempunyai ganti dari jenisnya yang lain. Oleh karena itu, yang dianggap gampang atau sulit mengenai kaffarah ialah ketika hendak melaksanakannya, sama halnya dengan wudhu’, tayammum, berdiri, dan duduk dalam shalat. Berdasarkan pengertian ini, jikalau seseorang yang mendzihar isterinya itu kaya, maka wajib atasnya ialah memerdekakan budak, dan jika seseorang tersebut susah, maka yang wajib atasnya adalah berpuasa, meskipun ia

(5)

sebelumnya kaya. Ketika ia telah memulai puasa tersebut, dan dalam pertengan dia tiba-tiba mendadak menjadi kaya, maka ia boleh meneruskan puasanya, dan tidak wajib beralih kepada kaffarah untuk memerdekakan budak menurut qaul yang Ashah. Tetapi Al-Muzani mengatakan bahwa ia wajib beralih. Berdasarkan qaul yang shahih mengenai bolehnya berpindah dari puasa, ada dua wajah, sama seperti dua wajah berkenaan dengan melihat air ketika dalam keadaan shalat, maka bukan fardhunya yang gugur melainkan tayammumnya.

Cabang Permasalahan

Apabila sudah diwajibkan puasa, maka orang yang membayar kaffarah itu wajib berniat puasa pada setiap malam, dan tidak wajib menentukan (ta’yin) kaffarah yang dimaksud, juga tidak wajib berniat puasa berturut-turut, menurut qaul yang ashah, karena puasa itu sendiri wajib berturut-turut sebgaimana telah ditentukan oleh nash Al-Qur’an Al-‘Adzim. Jikalau orang yang mendzihar itu bersetubuh sebelum puasanya selesai, maka ia berdosa, dan perbuatannya tersebut tidaklah menjadi suatu pemutus akan puasanya yang berturut-turut itu. Kalau ia berbuka satu hari, sekalipun hari yang terakhir dari hari-hari puasanya, maka ia wajib memulai semula semua puasanya lagi. Dan kalau ia tidak tahan menahan lapar, lalu berbuka, maka rusaklah puasanya yang berturut-turut itu. Dan juga lupa berniat pada suatu malam, kemudian memutuskan puasa yang berturut-turut dengan merubahnya dengan meninggalkan niat dengan sengaja. Dan kalau dia ragu-ragu pada suatu hari sesudah selesai puasanya, misalnya dia ragu “apakah ia berniat ataukah tidak”, maka tidak wajib ia memulai lagi puasanya dari mula menurut qaul yang shahih, dan ragu-ragu tidak ada pengaruhnya sesudah selesai puasa pada hari itu. Demikian Ar-Ruyani menyebutkan.

Tidak berpuasa karena sakit, juga dapat memutuskan puasa berturut-turut, menurut qaul yang adzhar, karena sakit itu tidak mengangkat puasa. Berbeda dengan gila, ada salah satu qaul mengatakan bahwa gila seperti sakit dan pingsan juga dikatakan seperti gila. Kalau sedang dalam perjalanan ada khilaf. Salah satu qaul mengatakan bahwa bepergian itu seperti orang sakit, dan salah satu qaul yang lain mengatakan bahwa puasa itu pasti terputus disebabkan karena bepergian, oleh karena itu bepergian itu berlaku dengan kemauannya sendiri. Demikian diberitakan oleh Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Dan pada kesimpulannya, menurut madzhab bahwa puasa berturut-turut itu boleh terputus sebab berbuka dalam perjalanan (bepergian). 3. Memberi makan

Barangsiapa yang tidak berkuasa berpuasa sebab ia sangat tua, sakit, menanggung keberatan (tidak berupaya), takut penyakitnya bertambah parah, atau yang lainnya. Maka ia boleh membayar kaffarah dengan memberi makan, sesuai hujjah (dalil sebelumnya).

Apakah disyaratkan atau tidak bagi seorang yang sakitnya tak diketahui sembuhnya? Kata sebagian golongan ulama’ mengatakan disyaratkan. Menurut Imam Haramain dan Imam Ghazali, kalau memang menurut pertimbangan para dokter besar atau kebiasaan dari sakit itu yang masanya terus-menerus selama 2 bulan, maka ia boleh beralih kepada kaffarah yakni memberi makan 60 orang miskin. Imam Nawawi membenarkan apa yang dikatakan Imam Haramain dan Imam Ghazali seraya berkata, “Para Fuqoha’ yang lain telah sepakat dengan pendapat Imam Haramain dan Imam Ghazali tersebut”.

Setelah kita mengetahui ketentuan dari penjelasan di atas, maka disini akan menjelaskan sedikit tentang seberapa banyak makanan yang akan dikasihkan kepada 60 orang miskin itu? Setiap orang miskin akan mendapatkan jatah 1 mud (1,5 ons / 1 paun baghdad) bahan pangan dari Negara masing-masing, intinya bahan pangan tersebut termasuk sesuatu yang wajib digunakan untuk berzakat (seperti di Indonesia adalah beras, jadi bahan pangan tersebut tak luput dari beras itu). Dan untuk ketentuan yang lain, kaffarah tidak boleh diberikan kepada orang kafir, tidak boleh diberikan kepada keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib, tidak boleh diberikan kepada kerabat seperti isteri atau keluarga sendiri, tidak boleh juga diberikan

(6)

kepada seorang hamba sahaya. Boleh diberikan kepada hamba sahaya, jikalau mendapatkan izin dari tuannya yang statusnya sebagai seorang mustahik (berhak), karena milik hamba sahaya mengalih kepada tuannya. Dan juga boleh diberikan kepada wali anak kecil dan orang gila. Wallahu a’lam.

Cabang Permasalahan

Kalau orang yang mendzihar tersebut tidak mampu berkuasa membayar kaffarah baik memerdekakan budak, puasa, dan memberi makanan kepada 60 orang miskin kecuali hanya 10 orang miskin / hanya memiliki bahan pangan 1 mud saja, maka tetap ia wajib mengeluarkan kaffarahnya tanpa ada khilaf, karena tidak ada lagi pengganti setelah memberi makan 60 orang miskin. Dan jikalau ia masih belum mampu untuk mengeluarkan kaffarah tersebut, maka kaffarah tersebut tetap menjadi tanggungannya, menurut qaul yang adzhar.

Dan perkataan mushannif tidak boleh bersetubuh dengan isterinya sampai si suami membayar kaffarah tersebut, dan ketetapan sesuai dengan ayat telah dijelaskan sebelumnya.

Cabang Permasalahan

Semisal ada si suami berkata seorang isterinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku, Engkau bagiku seperti punggung ibuku, Engkau bagiku seperti punggung ibuku” dilihat dulu, jikalau ungkapan yang kedua dan ketiga itu sebagai penguat ungkapan yang pertama, maka jatuh satu kali dzihar. Jikalau setelah ia mengungkapkan kata tersebut, tetapi masih menahan isterinya, maka samalah ia menarik kembali ucapannya dan wajib kaffarah satu kali. Dan jika ungkapan yang kedua atau yang ketiga itu bertujuan untuk mengungkapan dzihar yang lain, maka kaffarahnya pun menjadi bertambah (berbilang) menurut qaul jadid. Dan jikalau ia mengatakannya secara mutlak (sengaja), dengan tidak berniat apapun, apakah dzihar itu jatuh satu ataukah berbilang? Ada khilaf dalam permasalahan ini, qaul adzhar (diputuskan oleh Ibnus Shabagh dan Al-Mutawalli) mengatakan wajib satu kali dzihar, dan telah dikatakan sebelumnya, jikalau lafadz talak diucapkan berkali-kali secara mutlak, maka talak tersebut jatuh terbilang.

Perbedaan talak dan dzihar adalah talak itu lebih kuat karena ia menghilangkan milik, berbeda dengan dzihar (sebaliknya), karena talak itu memiliki bilangan (ketentuan) yang terbatas, dan si suami itulah yang memiliki hak talak. Maka apabila mengulangi talak, yang jelas dia ingin memiliki semula orang yang dimiliki si suami, maka hukumnya sesuai dengan bab talak (yang telah dijelaskan sebelumnya). Sedangkan untuk dzihar sendiri tidak terbilang dan tidak dimiliki si suami. Dan kalau ucapannya itu terpisah-pisah, dan dalam setiap kali ucapan itu bermaksud dzihar baru, maka setiap kali itu menjadi unsur jatuhnya dzihar satu kali. Wallahu a’lam

(7)

PEMBAHASAN II

“BAB LI’AN”

لـــصف"

يف

"ناــعللا

Syaikh Abu Syujak berkata :

﴿

لصف

اذإو

ىمير

لجرلا

هتجوز

انزلاب

هيلعف

دــح

،فذــقلا

لإ

نأ

ميقي

ةنيبلا

وأ

،نعلي

لوقيف

دنع

مكاحلا

ىلع

ربــنملا

يــف

ةعامج

نمي

نيملــسملا

دهــشأ" :

هللاــب

يــننإ

نــمل

نيقداــصلا

اميف

تيمير

هب

يتجوز

ةنلف

نمي

،انزلا

نأو

اذه

دلولا

نــمي

اــنز

سيلو

يــنمي

"

عــبرأ)

، (تارــمي

لوــقيو

يــف

ةــسمياخلا

دــعب

نأ

هظعي

يلعو :مكاحلا

ةنعل

هللا

نإ

تنك

نمي

نيبذاكلا

[Apabila si lelaki menuduh isterinya berzina, maka wajib atas lelaki dihukum qadhf, kecuali ia dapat mendatangkan saksi, atau meli’an dengan berkata diatas mimbar yang berada disisi hakim dan dalam kumpulan orang Islam, “Saya persaksikan kepada Allah bahwa saya benar terhadap tuduhan saya kepada isteri saya fulanah, bahwa dia berzina, dan anak ini dari hasil zina bukan dari saya”. Ungkapan tersebut diulangi sebanyak empat kali. Dan setelah hakim menasehatinya, ungkapan yang kelima kalinya ia berkata, “Atasku laknat Allah jika aku berdusta].

Kata

ناعللا

adalah masdar dari kata "

نعلي

نعل

"

yang berarti terjauh dari rahmat Allah. Dua orang yang berli’an disebut demikian, karena ia akan mengakibatkan dosa dan terjauh dari rahmat Allah. Karena dari keduanya berjanji li’an (hal yang tak disukai oleh Allah SWT). Jikalau salah satu dari keduanya berdusta, maka ia statusnya menjadi ma’lun (yang dikutuk). Ada yang mengatakan karena masing-masing dari keduanya dijauhkan dari temannya dengan diharamkan selamanya.

Arti menurut syara’ ialah suatu ungkapan (ibarat) kata-kata tertentu yang dijadikan alasan bagi orang yang terpaksa menuduh karena tikarnya dikotori, menyusul malu yang akan dialaminya. Lafadz li’an dikecualikan dari kemarahan (ghadab) dan kesaksian (syahadah) karena li’an adalah suatu lafadz yang ganjil (gharib), dan sesuatu barang itu terkenal sebab keasingannya. Dan ada yang mengatakan karena li’an itu kutukan dari si lelaki seperti disebutkan sebelumnya.

Dasar tentang li’an, sesuai firman Allah SWT :

نيذلاو

نوميري

مهجاوزأ

مــلو

نــكي

مــهل

ءادهــش

لإ

،مهــسفنأ

ةداهشف

مهدحأ

عبرأ

تاداهـش

هللاـب

هـنإ

ن

َ ـمِلَ

نيقداـصلا

﴿

6

ةسمياخلاو

نأ

ةنعل

هللا

هيلع

نإ

ناك

نمي

نيبذاكلا

﴿

7

ةروــس)

رونلا

:

6

-7

(

Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina) padahal mereka tak membawakan saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”.(QS. An -Nuur : 6-7)

Asbabun Nuzul ayat ini ialah ketika Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina dengan Syarik Ibnus Samha’ kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah berkata padanya :

(8)

ةنيبلا

وأ

دح

يف

اي :لاقف .كرهظ

لوسر

اذإ !هللا

ىأر

اندــحأ

ىلع

هتأرميا

لجر

قلطني

سمتلي

؟ةــنيبلا

لــعجف

يبــنلا

ىلــص

هللا

هيلع

ملسو

ةنيبلا :لوقي

وأ

دح

يف

لاــقف .كرــهظ

:لله

يذلاو

كثعب

قحلاب

ينإ

،ق داصل

نلزنيلو

هللا

امي

ئربي

يرــهظ

نمي

.دحلا

Artinya : “Bawa saksi atau engkau dihukum (dipukul) pada punggungmu. Hilal lalu berkata : Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melihat seorang laki-laki lain dengan isterinya (berbuat curang), apakah dia harus pergi mencari saksi? Maka Nabi tetap berkata: Bawa saksi atau (engkau) dihukum (dipukul) pada punggungmu. Hilal berkata: Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan hak, sesungguhnya aku benar. Dan Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang dapat membebaskan punggungku dari hukuman (pukulan)”.

Dengan begitu, apabila orang laki-laki menuduh zina isterinya, maka wajib atasnya hukuman (had) sebagaimana telah ditentukan dalam nash Al-Qur’an, dan ia berhak membebaskan diri dari had dengan dua cara. Dengan membawa saksi atau dengan mel’an, seperti yang telah ditentukan oleh Hadits di atas. Kemudian jika suami sudah yakin bahwa isterinya berzina, disebabkan ia melihatnya sendiri bahwa isterinya berzina, maka ia boleh menuduh isterinya berzina. Demikian juga, jikalau si isteri mengaku kepada si suami bahwasannya ia benar melakukan zina dengan orang lain, dan hatinya membenarkan pengakuan si isteri, atau juga orang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada suami, atau memang kabar tentang isterinya tersebut sudah tersebar luas bahwa isterinya telah melakukan zina dengan laki-laki lain, disaat salah satu masyarakat melihat sendiri ketika laki-laki itu keluar dengan si isteri dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Jikalau memang beritanya tersebar luas tetapi tidak ada satupun dari masyarakat melihatnya sendiri, maka si suami tidak boleh menuduh si isteri melakukan hal tersebut, menurut qaul yang ashah. Dan Imam Haramain berkata : kalau si suami melihat seorang laki-laki bersama isterinya dengan tanda-tanda si isteri dalam keadaan yang boleh diingkari, atau melihat isterinya bersama laki-laki itu beberapa kali ditempat yang mencurigakan, maka itu samalah dengan berita yang tersiar disertai melihat. Qaul ini diikuti Imam Ghazali dan lain-lain. Imam Nawawi mempertegas dengan perkataaan para sahabat-sahabat kami dengan ungkapan, “apabila si suami tidak melihat si isteri melakukan hal tersebut, dan si suami hanya mendengarnya dari orang lain, maka si suami tidak boleh meli’annya dengan bukti yang menjawabnya sendiri seperti tibanya anak dalam kandungan si isteri yang menurut si suami bukan hasil dari perkawinannya dengan si isteri”. Dan Imam Nawawi mengatakan pula “lebih baik mentalaknya jikalau ia benci dengan si isteri setelah mendengar bahwa melakukan hal itu”. Wallahu a’lam.

Jumhur ulama’ menambah keterangan dari perkataan Imam Nawawi “jikalau diyakini anak tersebut bukan darinya, maka wajib atas suami menolak kehadiran tersebut dengan meli’an. Dan dalam satu wajah yang lain mengatakan tidak wajib menolaknya. Imam Al-Baghawi dan ulama’ lainnya berkata, “kalau suami yakin dengan keberadaan anak itu hadir dari isteri yang berzina, maka ia boleh menuduhnya berzina karena boleh jadi anak itu dari suami sebelumnya atau dari wathi syubhat”. Perkataan para Imam, keyakinan hanya dapat terjadi apabila suaminya tidak pernah mencampuri sama sekali, atau mencampurinya tetapi si isteri melahirkan anak itu lebih dari 4 tahun sejak dari waktu campur atau kurang dari 6 bulan.

Apabila suatu perkara berakhir kepada li’an, ia harus mengucapkan kelima perkataan tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perkataan tersebut adalah sesuai dengan perintah hakim atau wakilnya. Dan ia harus menyebutkan isterinya, jikalau si isteri berada jauh dari negerinya atau dari tempat pertemuan serta menghubungkan nasab isteri kepada bapak-bapaknya agar perempuan tersebut terbeda dengan perempuan yang lainnya. Dan jikalau si isteri hadir maka

(9)

cukup menunjuknya, menurut qaul yang shahih, karena dengan hal itu, maka sudah dapat dibedakan sehingga tidak perlu menyebutkan nama dan nasabnya. Dan ada yang mengatakan harus menyebutkan nama dan menunjuknya. Ketika keduaya hadir, pada sumpah yang kelima ia harus berkata, “Bahwa laknat Allah atasku jika aku termasuk orang-orang yang berdusta berkenaan zina yang aku tuduhkan kepadanya”. Kenapa dengan demikian? Dikarenakan hal ini adalah ketentuan nash Al-Qur’an, jikalau ada anak, maka ia menyebutkannya dalam kata-katanya yang kelima, karena dalam hal ini anak tersebut adalah sebagai kesaksian, dengan mengatakan, “Bahwa anak ini atau kandungan ini dari zina dan bukan dariku”.

Dan jikalau si suami mengatakan sebagian dari sumpah itu dengan singkat, seperti “dari zina”, apakah cukup? Sebagian banyak ulama’ mengatakan tidak cukup, karena kemungkinan benarnya ia menyangka wathi’ syubhat itu sama dengan zina, sehingga dengan demikian anak tidak tertolak. Dan qaul yang ashah dari keduanya sebenarnya cukup. Dan jikalau ia berkata singkat “bukan dariku”, tidak cukup. Dan jikalau ia lupa menyebut anak dalam sebagian kata li’annya, maka ia perlu mengulangi li’an tersebut, karena dengan begitu berarti tidak menolak anak.

Mushannif mengatakan, “ia berkata pada hakim”, ini harus dilakukan sebagai ketentuan sahnya li’an, dikarenakan li’an itu sebenarnya adalah sumpah. Oleh karena itu, dengan perintah hakim seperti sumpah-sumpah yang lain.

Mushannif juga mengatakan, “aku persaksikan”, lafadz ini juga diharuskan. Oleh karena itu, kalau seseorang menggantikannya dengan berkata, “aku bersumpah demi Allah... sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang benar, atasku laknat (la’an) Allah jika aku berdusta”, kata la’an tidak sah menurut qaul yang ashah jika diganti dengan lafadz ib’ad (terjatuh dari rahmat Allah), atau menggantinya dengan lafadz ghadhab (murka), atau menggantinya dengan lafadz sukhth (marah), atau menggantikannya dengan kata sebaliknya. Dan ada yang berpendapat tidak sama sekali, karena semua hal itu dapat merusak lafadz yang memang telah diperintahkan sehingga serupa dengan orang yang menjadi saksi yang merusakkan lafadz syahadah (kesaksian).

Jikalau si suami telah sampai pada ucapan la’an (kutuk) atau si isteri sampai pada ucapan ghadhab (murka), sunnat bagi hakim berkata, “sumpah yang kelima ini mendatangkan siksa di dunia, dan siksa dunia lebih ringan daripada siksa akhirat”. Oleh karena itu, takutlah engkau kepada Allah SWT, karena aku sebenarnya khawatir kalau engkau tidak dan kembali dengan membawa kutukan dari Allah SWT, semua itu dilakukan oleh hakim guna untuk mengingatkan supaya kembali, dan kemudian hakim membaca pula ayat dibawah ini :

نإ

نيذلا

نورتشي

دهعب

هللا

مهناميأو

انمث

ليلق

كئلوأ

ل

ق لخ

مهل

يف

ةرخلا

لو

مهملكي

هللا

لو

رظني

مــهيلإ

موــي

ةــميايقلا

لو

مهيكزي

مهلو

باذع

.ميلأ

ةروس)

لآ

نارمع

:

77

(

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menukar (mengingkari) janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapatkan kebahagiaan (pahala) di Akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka, dan tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih”. (QS. Ali Imran : 77)

Jika si suami dan si isteri tetap saja akan meneruskan li’an, maka hakim membiarkan saja. Dan sebaiknya hakim menyebutkan pula hadits Rasulullah di bawah ini :

اميأ

ةأرميا

تلخدأ

ىلع

موق

نمي

سيل

مهنمي

تسيلف

نمي

هــللا

يف

ءيش

نلو

اهلخدي

هللا

امياو .ةنجلا

لجر

دحج

هدــلو

وــهو

(10)

رــظني

هــيلإ

بــجتحا

هــللا

هـنمي

هحــضفو

ىـلع

سوؤر

نـيلولا

يفو) .نيرخلاو

ىلع (ةياور

سوؤر

قئلخلا

موي

.ةميايقلا

Artinya : “Barangsiapa dari perempuan yang memasukkan kedalam suatu kaum, orang yang bukan dari itu, maka perempuan tersebut tidak sedikitpun akan dipandang oleh Allah dan Allah tidak akan memasukkannya kedalam surge. Dan barangsiapa dari lelaki mengingkari anaknya, sedangkan ia melihatnya, Allah tetutup baginya, dan dia akan membuka a’ibnyad dimuka orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian”. (dan dalam satu riwayat), berbunyi : “dan dipan seluruh makhluk pada haqri kiamat kelak”.

Diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasa’I, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hibban dan Al-Hakim mengatakan sumber haidts tersebut shahih, dan ia berkata menurut syarat muslim. Wallahu a’alam.

Syaikh Abu Syujak berkata :

قلعتيو

﴿

هناعلب

ةــسمخ

طوقــس :ماــكحأ

دــحلا

،هــنع

بوــجوو

دــحلا

،اــهيلع

لاوزو

،شارــفلا

يــفنو

،دــلولا

مــيرحتلاو

ىــلع

.دبلا

[Dan ada lima ketentuan hukum yang berkaitan dengan li’an dari pihak laki-laki, yaitu ; 1. Gugur hukuman (had) pada si lelaki, 2. Wajib had atas si perempuan, 3. Hilang tikar (cerai antara suami isteri), 4. Kalau ada anak , anak itu tidak dapat diakui oleh suami, 5. Haram (kawin) selama-lamanya].

Perlu diketahui, bahwa suami tidak dapat dipaksa untuk berli’an sesudah ia menuduh zina, tetapi ia boleh menahan diri, dan ia wajib di hukum sesuai dengan had menuduh zina seperti orang lain. Isteri dalam hal ini juga tidak dapat dipaksa berli’an sesudah suami meli’annya. Selanjutnya, jikalau suami meli’an dan setelah melengkapi hal-hal yang mengenai li’an, maka berlakulah hukum berturut-turut sebagimana berikut :

1. Gugur hukuman/pukulan (had) ke atas suami, sesuai dengan ayat yang mulia itu, sebab ayat tersebut menempatkan li’an pada kedudukan saksi dipihak suami.

2. Si isteri wajid dihukum (had), apabila suami menuduhnya berzina yang dihubungkannya pada keadaan suami-isteri, sedangkan si isteri seorang muslimah, sesuai dengan firman Allah SWT, yang berbunyi :

أرديو

اهنع

باذعلا

نأ

دهشت

عــبرأ

تاداهــش

هللاــب

هــنإ

نــمل

.نيبذاكلا

ةروس)

رونلا

:

8

(

Artinya : “Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang berdusta”. (QS. An- Nur : 8)

3. Terjadi perceraian antara suami isteri. Itulah yang diungkapkan mushannif dengan “hilangnya tikar”. Perceraian ini terjadi lahir batin, baik si isteri benar maupun si suami benar. Ada yang mengatakan kalau si isteri benar tidak terjadi perceraian batin. Dan qaul yang shahih ialah yang pertama. Alasannya ialah dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW, yang berbunyi :

نأ

لوسر

هــللا

ىلــص

هــللا

هــيلع

ملــسو

ق رــف

نــيب

لــجر

هتأرمياو

انعلت

يف

هنميز

هيلع

ةلصلا

ملسلاو

قحلأو

دــلولا

.ملاب

هاور

نبا

رمع

يضر

هللا

هنع

هربخأ

ماميلا

يراخبلا

.ملسملاو

Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menceraikan seorang lelaki dengan isteri yang saling berli’an pada zamannya Rasulullah SAW, dan beliau mengikutkan anak kepada ibu”.

(11)

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA dan diberitakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

4. Kalau ada anak, maka anak itu tidak diakui oleh suami, karena alasannya sesuai dengan hadits di atas.

5. Haram buat selama-lamanya antara kedua suami-isteri apabila terjadi percearaian dengan lian, dikarenakan Al-‘Ajlani berkata sesudah berli’an, “aku berdusta kepadanya jika aku masih menahannya, maka ia ditalak tiga”, kemudian Rasulullah SAW bersabda, :

ليبسل

كل

.اهيلع

Artinya : “Tidak ada jalan lagi bagimu kepadanya”.

Nabi meniadakan jalan secara mutlak. Seandainya tidak menjadi haram selamanya tentu beliau menerangkan sebabnya seperti beliau menerangkan sebab pada perempuan yang ditalak tiga.

Dan diriwayatkan pula :

نانعلتملا

ناعمتجيل

.ادبأ

“Dua orang suami isteri yang berli’an tidak akan berkumpul buat selamanya”.

Kalau suami telah mentalaknya dengan talak baa’in sebelum li’an, kemudian ia meli’annya, apakah keharaman menjadi selamanya? Ada dua wajah; yang ashah dari kedua wajah; “YA” (menjadi haram selamanya).

Ketentuan-ketentuan ini tergantung semata-mata kepada li’an dari suami dan ketentuan-ketentuan tersebut sedikitpun tidak tergantung atas li’an dari isteri, juga tidak atas keputusan hakikm. Dan seandainya suami mengajukan saksi terhadap zina yang diperbuat isteri, maka si isteri tidak berhak meli’an untuk menolak hukuman had, karena li’an tersebut adalah alasan yang lemah, oleh sebab itu, li’an tidak dapat melawan saksi. Wallahu a’lam.

Cabang Permasalahan

Seandainya perempuan yang dili’an itu seorang hamba sahaya, kemudian hamba sahaya yang dili’an dimiliki suami, maka untuk dapat mencampurinya dengan halal ada dua jalan; dan yang diputuskan oleh ulama’ Iraq dilarang mencampurinya. Dan ada yang mengatakan terdapat khilaf dalam hal apabila si suami mentalak isterinya yang hamba sahaya dengan talak tiga. Kemudian suami memilikinya, apakah halal baginya atau tidak? Qaul yang ashah, tidak bagi si suami, sampai isteri tadi dinikahi dengan orang lain, dan lalu mentalaknya menurut syarat-syaratnya, sesuai dengan maksud jelas di dalam ayat :

نإف

اهقلط

لحتلف

هل

نمي

دعب

ىتح

حكنت

اــجوز

.هرــيغ

ةروــس)

ةرقبلا

:

230

(

Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia berkawin dengan suami yang lain”. (QS. Al - Baqarah : 230)

Ada pula yang mengatakan perempuan itu halal, karena talak tiga tidak menghalanginya untuk dimiliki, sehingga talak tiga itupun tidak dapat mencegah percampuran dengan hamba sahaya yang dimiliki; berbeda dengan nikah yang pertama. Wallahu a’lam.

Syaikh Abu syujak berkata :

طقسيو

﴿

دحلا

اهنع

نأب

،نعلت

دهــشأ :لوقتف

هللاــب

نأ

اــنلف

اذه

نــمي

نيبذاــكلا

اــميف

يناــمير

هــب

نــمي

اــنزلا

عــبرأ)

(تارــمي

لوقتو

يف

ةسمياخلا

دعب

نأ

اهظعي

يلعو :مكاحلا

بضغ

هللا

نإ

ناك

نمي

زنيقداصلا

(12)

[Hukuman (had) gugur pada isteri sebab ia meli’an. Maka ia berkata, “Aku persaksikan kepada Allah bahwa fulan ini termasuk orang-orang yang berdusta dalam zina yang ia tuduhkan kepadaku”- diucapkan empat kali- Dan pada sumpah yang kelima sesudah hakim menasehatinya, ia berkata, “Dan atasku murka Allah, kalau si fulan itu termasuk orang-orang yang benar”].

Telah anda ketahui, bahwa isteri tidak dapat dipaksa untuk berli’an, tetapi ia boleh meli’an untuk menangkis hukuman (had) sesuai dengan firman Allah SWT, yang berbunyi :

أرديو

اهنع

باذــعلا

نأ

دهــشت

عــبرأ

تاداهــش

هللاــب

هــنإ

ن

َ ــمِلَ

.نيبذاكلا

ةروس)

رونلا

:

8

(

Artinya : “Isteri itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suami itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta”. (QS. An- Nuur : 8)

Si perempuan menunjuk kepada suaminya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jika ia hadir, ataupun si perempuan menyebutkan nama dan keturunannya yang dapat membedakannya dengan yang lain, kalau suami itu tidak hadir. Dan pada sumpah yang kelima si perempuan berkata, “Sesungguhnya murka Allah atas dirinya, jikalau si fulan termasuk orang-orang yang benar”, sesuai ayat diatas. Dan si perempuan tidak perlu menyebut anak di dalam li’annya karena jikalau menyebutkan maka li’annya tidak mempengaruhi. Dan ada yang berpendapat si perempuan harus menyebutnya supaya kedua li’an itu bertemu. Wallahu a’lam.

Cabang Permasalahan

Seseorang berkata kepada yang lain, “Hai kaum Luth!”, apakah perkataan tersebut sindiran (kinayah) dalam menuduh zina, ataukah tuduhan yang terang (sharih)? Pendapat madzhab pada Imam Rafi’i, perkataan tersebut adalah kinayah bukan sharih. Kata Imam Nawawi, perkataan tersebut biasanya diucapkan dengan maksud persetubuhan (wath’i) pada lubang belakang (dubur). Bahkan hanya di artikan seperti itu saja. Oleh karena itu, sebaiknya harus diyakinkan bahwa perkataan tersebut adalah sharih. Kemudian katanya, bahwa yang sudah dipastikan bahwa perkataan tersebut adalah sharih. Mushannif kitab At-Tanbih juga memastikan kebenaran pendapat tersebut, sekalipun yang terkenal di dalam madzhab bahwa perkataan tersbut adalah kinayah. Dan yang diherankan pula ia berkata di dalam pendapat yang diperbaiki di dalam At-Tanbih, bahwa yang pasti adalah kinayah. Wallahu a’lam.

Cabang Permasalahan

Sering terdengar orang berkata kepada anak-anak dan lainnya, “Hai anak zina!”. Kata-kata seperti ini suatu tuduhan terhadap ibu anak yang ditujukan kata-kata itu. Oleh karena itu, wajib dihukum (had), karena perkataan tersebut adalah tuduhan (qadzf) yag sharih. Wallahu’ a’lam.

(13)

PEMBAHASAN III

“BAB ‘IDDAH”

لـــصف"

يف

"ةدّعلا

Syaikh Abu Syujak berkata :

﴿

لصف

ةدتعملاو :

ىفوتمي :نابرض

اهنع

،اهجوز

ريغو

.ىفوتمي

ىفوتملاف

اــهنع

نإ

تناــك

لمياــح

اهتدــعف

عــضوب

،لــمحلا

نإو

تناك

،لئاح

اهتدعف

ةعبرأ

رهشأ

.ارشعو

[Perempuan yang ber’iddah ada 2 macam ; 1. Perempuan yang ditinggalkan suaminya mati. 2. Perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya. Adapun yang ditinggal mati oleh suaminya, jikalau perempuan tersebut hamil, maka masa ‘iddahnya adalah dengan melahirkan anak dalam kandungan. Dan jikalau tidak hamil, maka masa ‘iddahnya 4 bulan 10 hari].

‘Iddah , yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan agar diketahui kandungannya berisi atau tidak. ‘Iddah dapat terjadi kadangkala disaat ia melahirkan, atau masa hamil beberapa bulan, atau quru’ pada yang lain.

Tidak diragukan lagi, bahwa perempuan yang ber’iddah ada 2 macam; perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya, adakalanya dalam hal ini, si perempuan dalam keadaan hamil ataupun tidak dalam keadaan hamil. Jikalau ia hamil, maka masa ‘iddahnya adalah menunggu sampai dengan ia melahirkan si anak dalam kandungannya dengan beberapa syarat yang akan dijelaskan pada masalah selanjutnya di dalam hal ‘iddah talak. Dan tak ada perbedaan antara kelahiran yang segera ataupun yang terlambat. Kata Imam Madzahibul Arba’, jelasnya ayat yang telah menentukan wajib ber’iddah dengan masa sekalipun si isteri hamil. Tetapi sudah ditetapkan bahwa ketika Subai’ah Al-Aslamiyah melahirkan setengah bulan sesudah suaminya wafat, lalu Rasulullah SAW, bersabda :

تللح

يحكناف

نمي

تئش

!

هاور)

ماميلا

يراخبلا

(هريغو

Artinya : “Engkau menjadi halal, maka nikahlah dengan orang yang kau suka”. (HR. Bukhari dan lain-lain)

Dan dari ‘Umar RA, ia berkata :

ول

تعضو

اهجوزو

ىلع

ريرسلا

.تلح

Artinya : “Jikalau isteri melahirkan sedangkan suaminya masih membujur di atas ranjang, maka dia halal.”

Selanjutnya tidak ada perbedaan dalam ‘iddah hamil yang terletak pada perempuan yang berstatus merdeka dan hamba sahaya. Jikalau perempuan itu tidak hamil, ataupun hamil yang tidak dimungkinkan suaminya itu mati, maka perempuan merdeka ber’iddah dengan 4 bulan 10 hari, sesuai dengan Allah SWT, yang berbunyi :

نيذللاو

نوفوتي

مكنمي

نورذيو

اجاوزأ

نصبرتي

نهسفنأب

ةعبرأ

رهشأ

.ارشعو

ةروس)

ةرقبلا

:

234

(

Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri-isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) 4 bulan 10 hari”. (QS. Al - Baqarah : 234)

Ayat diatas menjelaskan tentang pengecualian perempuan hamil yang ditinggalkan suami. Selain dari penjelasan ayat di atas maka tetap isteri diperlakukan dengan pengertian umum. Sedangkan, perempuan hamil yang bukan dari suaminya, maka ia tidak boleh ber’iddah dengan ‘iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Jadi, tidak perbedaan dalam ‘iddah kematian

(14)

suami antara isteri-isteri yang masih anak-anak, isteri yang sudah dewasa, dan isteri yang ber’iddah quru’ dengan lainnya. Dan juga tidak perbedaan antara isteri dari suami yang masih kecil dan suami yang kehilangan syahwat dengan lainnya. Dari penjelasan tentang bulan-bulan di atas, maksudnya dihitung sedapat mungkin dengan bulan / tanggal.

Dan ketahuilah bahwa ‘iddah wafat itu khusus kepada nikah yang sah, dan seandainya seorang perempuan menikah dengan nikah yang rusak, dan lelakinya mati sebelum campur, maka tak ada ‘iddah. Dan kalau sudah dicampur dengan lelaki tersebut, kemudian lelaki tersebut meninggal dunia atau terjadi perceraian diantara keduanya, maka si perempuan itu harus menjalani ‘iddah sama seperti perempuan yang dicampuri dalam ‘iddah wathi syubhat. Wallahu a’lam.

Abu Syujak berkata :

﴿

ريغو

يفوتملا

اــهنع

،اــهجوز

نإ

تناــك

لمياــح

اهتدــعف

عــضوب

،لمحلا

نإو

تناك

لئاــح

نــمي

تاوذ

ضــيحلا

اهتدــعف

ءارقلاــب

يهو

،راهطلا

نإو

تناك

ةريغص

وأ

ةسيآ

اهتدعف

ةثلث

.رهشا

[Dan selain isteri yang ditinggalkan mati suaminya, jikalau perempuan itu hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya. Dan jikalau perempuan tersebut tidak hamil yang tergolong dari perempuan yang punya haidh, maka ‘iddahnya dengan quru’, yaitu beberapa kali suci. Sedangkan jikalau isteri masih kecil (anak-anak) atau perempuan yang telah putus dari haidh (tidak haidh lagi), maka ‘iddahnya adalah 3 bulan].

Hal di atas adalah bagian kedua yaitu ‘iddah isteri yang ditinggalkan mati oleh suaminya. Dan tak ada keraguan lagi, bahwa bagian kedua ini ada bermacam-macam, ada yang ‘iddah hamil, ada ‘iddah quru’, dan ada juga yang ‘iddah bulan.

Yang pertama adalah isteri yang hamil ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya, sesuai dengan firman Allah SWT yang sifatnya umum, yaitu :

تلوأو

لامحلا

نهلجأ

نأ

نعضي

.نهلمح

ةروس)

ق لطلا

:

4

(

Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At – Thalaq : 4)

Ber’iddah dengan ‘iddah hamil ada 2 syarat; Pertama, anak dibangsakan kepada orang yang mempunyai ‘iddah tersebut, secara jelas maupun dengan cara kemungkinan seperti orang yang menolak anak dengan li’an. Jadi, apabila si suami meli’an isteri yang lagi hamil, dan ia tidak mengakui anak yang ia kandunginya, maka ‘iddahnya ialah dengan melahirkan kandungannya karena dimungkingkan keberadaan anak tersebut berasal daripadanya. Sedangkan apabila dimungkinkan keberadaan anak tidak berasal dari si suami, misalnya suami yang masih kecil (tidak baligh) meninggal dunia, sedangkan si isteri hamil, maka ‘iddahnya tidak habis dengan melahirkan kandungannya, menurut madzaib. Dan orang yang dikebiri2 yang zakarnya dipotong dan kedua

pelirnya masih ada, maka anak dihubungkan kepadanya, dan si isteri memasuki ‘iddah dari wafat dengan melahirkan kandungannya, dan tidak wajib ‘iddah talak karena tidak bercampur (dengan zakar). Wallahu a’lam.

Syarat kedua, si isteri melahirkan kandungan dengan sempurna. Kalau kandungan dua kembar, maka harus melahirkan kedua-duanya sekali. ‘Iddah tidak habis dengan keluarnya sebagian anak kalau yang sebagian lagi masih belum keluar, sama saja yang sebagian itu termasuk bersambuung atau terpisahnya ‘iddah, jikalau si isteri tersebut ditalak maka seketika itu gugur talaknya, dan jikalau si isteri tersebut meninggal dunia maka anak tersebut menjadi pewarisnya. Dan apabila anak itu terpisah (dari ibunya) maka ‘iddahnya habis, baik anak yang dilahirkannya itu mati ataupun hidup. Dan ‘iddah tidak habis sebab keguguran segumpal darah beku dan darah. Jikalau yang gugur sepotong daging (mudhghah), dilihat dulu; jikalau pada mudhghah tersebut

(15)

tampak sesuatu bentuk manusia, seperti tangan, jari-jari, kuku, ataupun yang lain, maka ‘iddahnya berakhir. Dan kalau tidak tampak sesuatu bentuk manusia pada hal tersebut, tetapi para bidan-bidan berkata terdapat bentuk-bentuk yang samar-samar, yang terlihat olehnya, meskipun bentuk itu tidak jelas menurut orang lain, maka kesaksian bidan-bidan tersebut boleh diterima, dan seketika itu boleh ditetapkan hukumnya dengan habisnya masa ‘iddah, juga hukum-hukum lain yang berkaitan. Dan jikalau tidak ada bentuk yang jelas maupun kesamaran yang dapat diketahui oleh bidan-bidan beranak, tetapi mereka hanya mengatakan terjadinya keguguran pada kelahiran tersebut, maka menurut para madzaib dalam ketentuan (nash) ‘iddahnya juga berakhir dengan terjadinya suatu hal tersebut, meskipun ‘iddah pada mulanya menurut nash tidak wajib dengan keguguran atau kelahiran yang tidak ditetapkan dengan keguguran, dikarenakan tujuan dari ‘iddah itu sendiri adalah bebas dan bersihnya rahim (uterus) dan ini sudahpun berhasil, dan yang asal adalah bebasnya tanggungan dari ‘iddah, sedangkan kedudukan sebagai ibu dari si anak adalah ditetapkannya mengikuti anak.

Dan jikalau bidan-bidan tersebut ragu-ragu, apakah yang gugur itu daging manusia atau bukan, maka semua hukum-hukum ini tidak dapat ditetapkan, tanpa ada khilaf. Dan kalau suami berbeda pendapat dengan si isteri, semisal si isteri mengatakan bahwa keguguran adalah sesuatu yang menyebabkan habisnya ‘iddah. Sedangkan, si suami mengatakan sebaliknya, maka perkataan yang diterima adalah perkataan si isteri dengan disuruh bersumpah, karena isterilah yang patut dipercayai dalam hal ‘iddah. Wallahu a’lam.

Macam yang kedua ialah perempuan yang ber’iddah quru’ (

عارقأ

). Lafadz

عارقأ

sendiri lafadz jama’ dari

عرقَ

dan ada yang mengatakan

عرقُ

. Kata Imam Nawawi, sebagian ulama’ mengira, kalau qar’un untuk suci dan kalau qar’un untuk haidh. Dan kedua kata tersebut dalam segi bahasa berarti suci dan haidh, menurut qaul yang shahih. Ada yang mengatakan yang shahih lafadz qur’un itu adalah hakikat suci dan haidh. Dan ada pula yang mengatakan, quru’ ialah hakikat dalam suci dan figuratif (majaz) dalam haidh. Dari sini terdapat banyak perbedaan ulama’ mengenai suci. Dari qaul yang adzhar mengatakan quru’ ialah keadaan suci di antara dua darah. Ada yang mengatakan quru’ adalah perpindahan dari suci kepada haidh. Dan yang telah disebutkan pada pembahasan talak, seandainya suami berkata kepada isteri yang belum pernah haidh, “Engkau tertalak”, dalam setiap quru’ satu kali talak, maka perempuan tersebut tertalak pada waktu itu juga, menurut qaul dalam sebagian besar ulama’. Sedangkan kata Imam Rafi’i, boleh jadi beliau menguatkan qaul mereka untuk menetapkan jatuhnya talak pada contoh yang telah disebutkan di atas. Pendapat beliau yakni dikarenakan memiliki arti yang khusus, bukan karena memberatkan qaul, bahwasannya suci itu ialah perpindahan. Perlu anda ketahui, jikalau terdapat seseorang yang mentalak isterinya, sedangkan pada si isteri masih tersisa suci, maka sisa tersebut dihitung satu quru’, baik ia telah mencampurinya dalam sisa itu atau tidak. Kemudian jikalau ia haidh, kemudian suci, kemudian haidh, kemudian suci lagi, kemudian haidh lagi, maka habislah masa ‘iddahnya, menurut qaul yang adzhar, dikarenakan yang jelas quru’ ialah darah haidh. Dan ada yang mengatakan harus lewat sehari semalam; maka berdasarkan qaul yang adzhar, jikalau darah yang terputus kurang dari sehari semalam dan darah itu tidak kembali lagi sampai lewat 15 hari, maka jelaslah ‘iddahnya tidak habis.

Macam yang ketiga, perempuan yang belum melihat darah haidh, karena dia masih kecil (anak-anak), atau dia sudah putus haidh, atau juga dia sudah sampai pada usia haidh tetapi belum haidh, maka ‘iddah mereka adalah dengan beberapa bulan (Asyhur). Sebagaimana Allah SWT berfirman :

يئللاو

نسئي

نمي

ضيحملا

نــمي

مكئاــسن

نإ

مــتبترا

نهتدــعف

ةثلث

رهشأ

يئللاو

مل

.نضحي

ةروس)

ق لطلا

:

4

(

(16)

Artinya : “Dan perempuan yang putus asa dari haidh diantara perempuan-perempuan kamu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka adalah 3 bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh”.(QS. At- Thalaq : 04)

Kata Ubay bin Ka’ab RA, ayat yang pertama kali turun mengenai ‘iddah ialah :

تاقلطملاو

نصبرتي

نهسفنأب

ةثلث

.ءورق

ةروس)

ةرقبلا

:

228

(

Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) 3 kali quru’”.

(QS. Al – Baqarah : 228)

Ketika banyak orang yang ragu mengenai ‘iddah isteri yang masih kecil (anak-anak) dan perempuan yang sudah putus haidh (tidak haidh lagi); dengan sebab inilah baru turun surat At-Thalaq ayat 4.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai usia perempuan yang tidak haidh lagi. Pendapat yang paling masyhur ialah dalam usia 62 tahun. Ada yang mengatakan 60 tahun. Ada yang mengatakan 50 tahun. Dan ada juga yang mengatakan 90 tahun. As-Sarkhasi berkata, bahwa ia pernah melihat seorang perempuan haidh dalam usia 90 tahun.

Cabang Permasalahan

Seorang perempuan melahirkan anak, sedangkan dia tidak keluar haidh dan nifasnya; apakah ia ber’iddah dengan, ataukah ia seperti orang yang terputus haidhnya tanpa sebab? Ada dua wajah; qaul yang shahih ber’iddah dengan bulan karena pendapatnya merujuk dalam firman Allah SWT :

يئللاو

مل

.نضحي

ةروس)

ق لطلا

:

4

(

Artinya : “...dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh”. (QS. At-Thalaq : 04)

Kata Al-Adzra’i,3 menurut Imam Rafi’i, mengenai hari ‘iddah dari Fatawa Al-Baghawi,

bahwa perempuan yang tidak pernah haidh, apabila melahirkan dan mengeluarkan darah nifas, maka ‘iddahnya ialah 3 bulan, dan dengan nifas itu tidaklah menyebabkan dihitung ber’iddah dengan quru’. Dan Al-Baghawi menetapkan dengan pendapat ini, manakala Imam Rafi’i sendiri tidak menyebutkan ada khilaf dalam masalah ini. Wallahu a’lam.

Syaikh Abu Syujak berkata :

﴿

ةقلطملاو

لبق

لوخدلا

ل

ةدع

اهيلع

[Dan perempuan yang ditalak sebelum campur, maka tidak ada ‘iddah apapun baginya].

Perempuan yang ditalak sebelum dicampuri, kalau tidak sampai diam berduaan (berkhalwat), maka tak ada ‘iddah apapun baginya, tanpa ada khilaf, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Dan jikalau si suami mentalaknya sesudah diam berduaan (berkhalwat) dengan si isteri, baik si suami menyentuh selain farjinya atau tidak, maka ada dua qaul; qaul yang adzhar tiada ‘iddah apapun baginya, sesuai dengan firman Allah SWT :

مث

نهومتقلط

نمي

لــبق

نأ

نهوــسمت

اــمف

مــكل

نــهيلع

نــمي

ةدع

.اهنودتعت

ةروس)

بازحلا

:

49

(

Artinya : “…. Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kau mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagi kamu minta menyempurnakannya”. (QS. Al – Ahzab : 49)

Dikarenakan kesucian farjinya dapat diyakini. Ada yang mengatakan wajib ‘iddah, karena ‘Umar RA dan Ali RA mengatakan, bahwa apabila si suami sudah mengunci pintu dan memasang tirai, maka si isteri berhak maskawin sepenuhnya dan ia wajib menjalani ‘iddah.

Ketahuilah, bahwa si isteri dari orang laki-laki yang dzakarnya dipotong tinggal kedua biji pelirnya, maka tidak ada ‘iddah apapun bagi si isteri, dengan syarat si isteri tidak hamil tetapi mustahil kalau si isteri hamil dikarenakan mustahilnya dzakar masuk. Dan kalau ia hamil, maka

(17)

anak tersebut status nasabnya kepada anak lelaki tersebut, dan wajib ‘iddah atas si isteri. Dan jikalau si isteri tersebut hilang kemaluannya, maka tidak wajib ‘iddah apapun atas isterinya, didasarkan atas qaul yang ashah, bahwa anak juga tidak dapat berstatus nasab kepada si lelaki tersebut. Wallahu a’lam.

Syaikh Abu Syujak berkata :

﴿

ةدعو

ةميلا

ةدعك

ةرحلا

يف

،لمحلا

ءارقلابو

دتعت

،نيءرقب

روهشلابو

نع

ةاــفولا

نيرهــشب

ســمخو

،لاــيل

نــعو

ق لطلا

رهشب

.فصنو

[‘Iddah hamba sahaya perempuan seperti halnya ‘iddah perempuan merdeka yang hamil. Hamba sahaya perempuan yang ber’iddah quru’ maka ‘iddahnya dua quru’ saja, dan yang ber’iddah bulan dikarenakan kematian suami, maka ‘iddahnya 2 bulan dan 5 malam. Sedangkan yang ber’iddah bulan dikarenakan talak ‘iddahnya 1 bulan ½ ].

Hamba sahaya perempuan yang ditalak, jikalau ia hamil maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan, sesuai dengan firman Allah SWT :

تلوأو

لامحلا

نهلجأ

نأ

نعضي

.نهلمح

ةروس)

ق لطلا

:

4

(

Artinya : “Perempuan-perempuan yang mengandung, ‘iddah mereka sampai lahirnya anak yang dikandungnya”. (QS. At – Thalaq : 04)

Dikarenakan kandungan tidak terbagi-bagi, maka serupa dengan memotong tangan pencuri. Dan kalau hamba sahaya perempuan itu termasuk perempuan yang ber’iddah quru’, maka ‘iddahnya dua quru’ karena sabda Nabi SAW :

قلطي

دبعلا

نيتقلط

دتعتو

ةميلا

.نيتضيح

Artinya : “Hamba sahaya laki-laki boleh mentalak 2 kali talak, dan hamba sahaya perempuan ber’iddah dengan 2 kali haidh”.

Hadits tersebut mengkhususkan (takhshish) ayat yang sifatnya umum. Dan karena hamba sahaya perempuan mendapat setengah dalam bagian tidur dan hukuman had, tetapi karena tidak mungkin membagi quru’ menjadi dua bagian, maka dibulatkan saja menjadi dua quru’, sebagaimana hamba sahaya laki-laki boleh mentalak dengan dua kali talak saja. Dan bahwasannya bersihnya farjii si isteri yang merdeka dengan 3 quru’, dikarenakan kemerdekaan dan akadnya yang penuh. Sedangkan, bersihnya farji perempuan yang disetubuhi sebab dimiliki adalah dengan satu kali haidh, karena kekurangan dirinya yang berstatus budak. Dan bersihnya hamba sahaya perempuan yang dinikahi adalah di antara quru’ dan satu kali haidh, dikarenakan adanya akad bukan karena merdeka.

Kalau hamba sahaya perempuan itu termasuk orang yang ber’iddah, maka ada 3 qaul, diantaranya ;

Qaul yang Pertama, 3 bulan, karena ayat telah disebutkan sebelumnya (ayat yang besifat umum), dan dikarenakan pula 3 bulan tersebut merupakan masa paling sedikit, dimana tanda-tanda kandungan mulai tampak seperti bergerak dan perut membesar. Maka jikalau tanda-tada tersebut tidak kelihatan berarti perempuan tersebut bersih.

Qaul yang Kedua, 2 bulan sebagai ganti dari 2 quru’, seperti halnya 3 bulan bagi perempuan merdeka yang bestatus sebagai ganti dari beberapa quru’.

Qaul yang ketiga, 1 bulan ½ , supaya berjalan dengan benar dalam membagi dua atau setengah (perempuan yang merdeka, seperti halnya ‘iddah kematian. Inilah qaul yang ashah dan qaul inilah yang dietapkan oleh mushannif.

Dan perlu diketahui, bahwa ummul-walad, budak perempuan mukatab dan budak perempuan muba’adh adalah seperti hukum yang lain, seperti yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.

(18)

Cabang Permasalahan

Jikalau si isteri yang statusnya sebagai hamba sahaya yang ditalak, kemudian ia dimerdekakan pada waktu menjalani ‘iddah. Apakah ia menjalani ‘iddah sebagai hamba sahaya ataukah sebagai orang yang merdeka? Ada beberapa qaul; Pertama, ia menyelesaikan ‘iddah sebagai hamba sahaya dengan menghitung keadaan ‘iddah yang wajib kepadanya. Kedua,

menyelesaikan ‘iddah orang merdeka sebagai tindakan berhati-hati dalam hal ‘iddah. Ketiga, kalau dia ditalak raj’i, ia menyelesaikan ‘iddah seperti orang-orang merdeka karena dia masih dikira sebagai isteri seperti isteri yang lain. Karena itulah kalau suami meninggal, maka dia beralih kepada ‘iddah wafat, dan kalau ditalak baa’in, maka dia menyelesaikan sebagai ‘iddah hamba sahaya seperti perempuan yang lain. Wallahu a’lam.

(19)

PEMBAHASAN IV

“BAB ISTIBRA’”

لـــصف"

يف

"ءاربتسلا

Syaikh Abu Syujak berkata :

﴿

لصف

يف

ءاربتسلا

نميو :

ثدحتسا

كلمي

ةــميأ

مرــح

هــيلع

عاتمتــسلا

اــهب

ىتــح

اهئربتــسي

نإ

تناــك

نــمي

تاوذ

ضــيحلا

،ةضيحب

نإو

تناك

نمي

تاوذ

روهشلا

،رهــشب

نإو

تناــك

نــمي

تاوذ

لمحلا

عضوب

.لمحلا

[Barag siapa yang memperoleh hamba sahaya untuk dimiliki, haram bersenang-senang dengannya sampai ia menunggu farjinya, kalau perempuan itu termasuk perempuan yang haidh, yaitu dengan satu kali haidh, kalau ber’iddah bulan yaitu dengan satu bulan, dan kalau lagi hamil adalah dengan melahirkan kandungannya].

Istibra’ ialah suatu ungkapan mengenai masa menunggu yang hukumnya wajib, disebabkan karena memiliki hamba sahaya perempuan, ketika terjadi maupun hilangnya hak (kekuasaan). Disebut istibra’ karena ditentukan dengan masa yang paling sedikit yang menunjukkan bersihnya kemaluan wanita tanpa ‘iddah. Dan ‘iddah itu disebut ‘iddah karena terbilangnya apa yang menunjukkan kebersihan kemaluannya.

Apabila anda sudah mengerti hal ini, maka dasar / dalil mengenai masalah ini ialah sabda Nabi SAW mengenai orang-orang yang ditawan dari Kabilah Awthas, sabdanya :

ل

أطوت

لمياح

ىتح

،عضت

لو

ريغ

تاذ

لمح

ىتح

ضيحت

.ةضيح

Artinya : “Tidak boleh dicampuri perempuan yang hamil sampai ia melahirkan, dan (juga) tidak boleh dicampuri perempuan yang tidak hamil sampai ia haidh satu kali haidh”.

Diriwayatkan oleh Abu Daud, dan Al-Hakim menyatakan hadits ini shahih serta berkata hadits tersebut menurut syarat muslim. Benar, Ibnul Qutthan telah mencacatkan Syari’ Al-Qadhi dalam sanad hadits ini, tetapi dipercayai Ibnu Mu’in dan lain-lain, dan Muslim mengeluarkan untuknya guna menguatkan.

Dalam hal wajibnya istibra’ itu mempunyai 2 sebab;

1. Pertama, terjadinya peristiwa memiliki hamba sahaya perempuan (amah) sebagaimana yang disebutkan oleh mushannif dengan perkataannya “Barang siapa memperoleh hamba sahaya untuk dimiliki....”. Jadi, barang siapa memiliki budak perempuan, wajib atasnya menungguh bersih farjinya, baik memilikinya dengan sebab diwarisi, membeli, dengan sebab pemberian, sebab wasiat, ditawan (dalam perang), menguasai kembali sebab dikembalikan karena ada cacat, karena berselisih, membatalkan penjualan, ataupun sebab menarik kembali pemberian. Jikalau amah tersebut kembali kepada orang tersebut dengan sebab batalnya akad untuk menjadi budak mukatab, atau amah tersebut murtad kemudian masuk islam semula, maka orang tersebut wajib menunggu bersih farjinya amah tersebut, menurut qaul yang ashah, karena hilangnya hak bersenang-senang.

Dan kalau orang mengawinkan amahnya, kemudian ia ditalak sebelum campur, apakah wajib atas tuan menunggu bersih farjinya? Ada dua qaul. Jikalau tuan menjualnya dengan syarat khiyar, kemudian dia dikembalikan sebab batal jual-belinya dalam masa khiyar, maka mengenai wajibnya istibra’ terdapat khilaf. Menurut madzhab hukumnya wajib kalau kita mengatakan hak (milik) penjual hilang dengan sebab akad jual-beli itu; dan jika kita mengatakan tidak hilang, maka tidak wajib. Wallahu a’lam.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor apa saja yang menghambat dalam implementasi kegiatan ekstrakurikuler BTQ (Baca Tulis Al-Quran) dalam menanamkan karakter disiplin dan tanggung jawab pada

Koefisien regresi dari perhatian pada hal-hal rinci sebesar 0,170 dengan parameter positif, yang berarti apabila terjadi peningkata perhatian pada hal-hal rinci, maka

Mengenai hal tersebut, Lembaga Amil Zakat PKPU menyalurkan dana zakat melalui salah satu program yaitu Program Sinergitas Pemberdayaan Ekonomi Komunitas, program ini

Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun gaharu diukur dengan metode pemerangkapan 1,1 - diphenyl- 2 -picrylhidrazyl (DPPH). Pengukuran absorbansi dilakukan

Semakin tinggi proporsi tapioka yang ditambahkan, kadar air kerupuk mentah dan matang, volume pengembangan, dan daya serap minyak meningkat namun kerupuk menjadi lebih

Untuk bcnda uji 2 pcncatatan lcndutan yang tcrjadi disajikan pada lampiran 2 Tabel L2.7 dan grafik hubungan beban - lendutan ditampilkan pada Gambar 5.12.. 13 Grafik

Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta perangkat peraturan perundangan di bawahnya menyebabkan kelembagaan penyuluhan

Berdasarkan realisasi sistem pengontrol sikap satelit menggunakan sensor MEMS, perbandingan sistem menggunakan metode PID dengan nilai Kp = 8, Ki = 1, dan Kd = 1