• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Dalam dimensi sejarah, revolusi yang terjadi di berbagai. negara selalu melahirkan fakta dan peristiwa yang bervariasi, baik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Dalam dimensi sejarah, revolusi yang terjadi di berbagai. negara selalu melahirkan fakta dan peristiwa yang bervariasi, baik"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dalam dimensi sejarah, revolusi yang terjadi di berbagai negara selalu melahirkan fakta dan peristiwa yang bervariasi, baik dalam ruang politik, hukum, dan ekonomi. Pada tingkat substitusi, seluruh fakta dan peristiwa yang terjadi sepanjang revolusi selalu mengarah pada perubahan sosial dan ketatanegaraan yang ritmenya berlangsung dalam skala yang sangat cepat. Prosesnya selalu menonjolkan aspek pemimpin dan kelompok sosial yang secara simultan memperjuangkan pemikiran dan kepentingan di tengah arus perubahan bangsa. Dialektika revolusi di berbagai negara selalu menuju perubahan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya.

Berdasarkan terminologinya, seluruh ritme peristiwa revolusi yang terjadi di berbagai negara selalu menampilkan warna yang berbeda. Situasi demikian tidak lepas dari cara pandang setiap bangsa terhadap revolusi dan kepentingan terhadap pelaksanaan revolusi. Ada negara yang melaksanakan revolusi untuk merubah sistem ketatanegaraan, teknologi, dan agraris. Tetapi ada pula negara yang melaksanakan revolusi untuk mencapai

(2)

kemerdekaan. Di antara negara-negara yang pernah menggelar revolusi, Indonesia merupakan salah satunya dan ini terjadi pasca pendudukan Jepang tahun 1945. Revolusi Indonesia konteks maknanya berkaitan dengan kemerdekaan. Hal ini karena revolusi Indonesia tercetus oleh situasi kemelut mempertahankan kemerdekaan.1

Seperti diketahui bersama bahwa pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah Kerajaan Belanda kembali memaksakan kepentingannya atas Indonesia yaitu berusaha untuk mengembalikan Indonesia sebagai wilayah jajahannya.2 Sebagai akibatnya konflik antara Indonesia dan

Belanda tidak terhindarkan. Perang dan diplomasi mewarnai jalannya konflik kedua negara dan pada proses inilah oleh negarawan Indonesia, Soekarno dan Hatta menyampaikan bahwa Indonesia berada dalam masa revolusi.3 Masa dimana

ke-Indonesiaan mengalami periode pengujian sistem ketatanegaraan dan kedaulatan atas bentangan wilayah kepulauan dari Sumatera hingga Papua.

1 Mengenai makna revolusi Indonesia, lihat Nyoman Dekker,

Sejarah Revolusi Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 13.

2 R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa (ed), Sejarah Nasional

Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 149.

3 Ulasan-ulasan mengenai Revolusi Indonesia cukup jelas

disampaikan oleh Soekarno dalam karya monumentalnya, "Di Bawah Bendera Revolusi" (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005).

(3)

Menurut konteks makna dan strategi ketatanegaraan, "revolusi yang menjadi alat perjuangan untuk meraih kemerdekaan bukan hanya kisah sentral dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri".4 Persepsi dimaksud berkaitan

erat dengan nasionalisme dan sistem ketatanegaraan yang akan membentuk ke-Indonesiaan sebagai bangsa dalam kiprah dan perjuangan secara visioner. Revolusi sosial5 yang merupakan

pergolakan di Indonesia dalam periode 1945 hingga 1950-an menjadi kekuatan untuk membentuk ke-Indonesia sebagai suatu negara dengan format pemerintahan yang mampu menyatukan berbagai etnis di Nusantara.

Secara spesifik mengenai revolusi Indonesia, terlepas dari peran penting revolusi dalam membentuk ke-Indonesiaan, dalam proses perjalanannya seperti telah disinggung sebelumnya, terjadi banyak peristiwa baik sosial, hukum, ekonomi maupun ketatanegaraan. Hampir di seluruh wilayah nusantara muncul beragam peristiwa yang selalu berhubungan dengan persoalan kenegaraan. Wilayah Indonesia Timur tanpa kecuali juga

4 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,

(Jakarta: Serambi, 2009), hlm. 446.

5 Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, (New York:

(4)

mengalami berbagai macam peristiwa yang pada intinya merupakan persoalan kenegaraan.

Wilayah Indonesia Timur yang membawahi beberapa wilayah termasuk di dalamnya Maluku Utara. Wilayah ini sangat populer dengan sebutan Jazirah Al-Muluk atau Maluku Kieraha. Suatu penyebutan yang berkonotasi dengan wilayah kesultanan. Karena memang di wilayah ini tumbuh dan berkembang empat kesultanan masing-masing Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Di antara ke empat kesultanan, Ternate dan Tidore memliki wilayah supremasi yang luas di Indonesia Timur. Wilayah supremasi yang begitu luas menyebabkan penguasa VOC hingga pemerintah kolonial Belanda sangat memperhitungkan aspek legalitas terhadap kekuasaan kedua Kesultanan. Lebih spesifik ke Ternate, dalam skala mikro dan makro, Kesultanan Ternate yang memiliki pengaruh kuat atas wilayah Maluku Utara dalam setting kekuasaan oleh pemerintah kolonial diposisikan menjadi basis kendali pemerintahan untuk wilayah Maluku Utara dan posisi ini tetap bertahan hingga era revolusi.

Pada masa revolusi terutama pada saat pemerintah kerajaan Belanda menjalankan politik federal dengan membentuk Indonesia menjadi beberapa wilayah serikat, melalui mosi dan keputusan untuk membangun kembali sistem ketatanegaraan di wilayah Hindia Belanda dengan nama de Vereenigde Staten van Indonesie

(5)

(NIS),6 Pembaharuan sistem ketatanegaraan yang dilakukan oleh

pemerintah kolonial mendorong terciptanya Negara Indonesia Timur (NIT) dan Ternate ditempatkan didalamnya dengan membawahi beberapa distrik.7 Penempatan Ternate sebagai

kendali pemerintahan distrik sangat memperhitungkan aspek pengaruh kekuasaan dan loyalitas.

Peran Ternate yang sangat diperhitungkan dalam struktur kekuasaan Negara Indonesi Timur tidak berhenti pada penempatan posisi sebagai distrik tetapi juga hingga sistem pemerintahan Negara Indonesia Timur. Penguasa Ternate ketika itu Iskandar Muhammad Jabir Syah diangkat menjadi anggota senat dan juga menteri urusan dalam negeri dan merupakan bukti bahwa Ternate sangat diperhitungan dalam percaturan politik pada masa revolusi di Indonesia Timur.8

Karena memiliki wilayah dan pengaruh kekuasaan serta legalitas wilayah yang luas, Ternate pada akhirnya terjebak pada dualisme pilihan politik selama masa revolusi. Tokoh-tokoh politik

6 Putra Agung, Negara Indonesia Timur 1946-1950 (dalam

Jurnal Sejarah Vol. 13, No. 13 Januari), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 35.

7 Lihat B.J. Haga, Memorie van overgave van bestuur van den

aftredenden resident der Molukken (MVO). (Koleksi ANRI), hlm. 20.

8 Ide Anak Agung Gde Agung, Dari Negara Indonesia Timur

ke Republik Indonesia Serikat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 588, 694.

(6)

asal Maluku yang memiliki pengaruh kuat dalam struktur Negara Indonesia Timur sangat mempengaruhi Ternate sebagai akibatnya Ternate terjebak dalam opsi pilihan antara federalisme dan unitarisme kekuasaan.9

Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika pemerintah kolonial Belanda memberlakukan politik federalisme dan menciptakan

Negara Indonesia Timur tokoh-tokoh politik Ambon seperti Chr. Soumokil, sangat memiliki pengaruh dalam struktur negara

Indonesia Timur. Ketidak setujuannya dalam melebur NIT kedalam RIS telah memberi warna politik bagi daerah-daerah lainnya di Ambon dan Ternate. Unsur kedekatan moril dalam wilayah dan etnis ikut memberi pengaruh terhadap proses-proses politik dan kekuasaan Ternate di tengah kancah revolusi. Peluang untuk merdeka sangat terbuka dan pada sisi lainnya nasionalisme ke-Indonesiaan telah terbangun oleh perjuangan dan spiritualitas.

Konteks yang juga patut untuk dikemukakan adalah probabilitas Ternate yang terjebak pada pilihan federalisme dan unitarisme (integrasi) yakni adanya ofensif dari pemerintah kolonial Belanda di Indonesia Timur terutama Ternate dengan bersikap lebih kooperatif dan memanjakkan penguasa adat. Hal ini

9 Lihat penjelasan Ricahrd Chauvel, Nationalists, Soldiers

and Separatists, (Leiden: KITLV Press, 1990). Lihat juga penjelasan Guno Jones, Tussen onderdanen, rijksgenooten en Nederlanders. Nederlandsche politicie over, (Amsterdam: Rozenberg Uitgeverij, 2007).

(7)

menjadi spirit bagi lahirnya jiwa federalisme yang kekuatan pengaruhnya seimbang dengan sikap menentukan pilihan berintegrasi dengan Indonesia. Suatu efek politik kolonial yang terjadi di Indonesia Timur dan berhasil dalam hubungan paralel dengan tujuan pemerintah kolonial terutama keinginan van Mook untuk mengembalikan posisi Indonesia sebagai wilayah jajahan kerajaan Belanda.

Perlu dicermati bahwa posisi pilihan Ternate yang cukup sulit sangat dipengaruhi pula oleh konstelasi politik di tingkat lokal. Seperti diketahui bahwa selama periode revolusi, kestabilan politik dikawasan Indonesia Timur menjadi tidak menentu atau labil. Negara Indonesia Timur yang sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memecah kekuatan politik pribumi tidak berjalan efektif. NIT seakan hanya menjadi simbol kolonialis yang hendak beradabtasi dengan kekuatan pribumi. Harapan pemerintah Belanda terhadap tercapainya kolonisasi atas Indonesia terbentur oleh radikalisasi ditingkat lokal yang juga tumbuh dan berkembang seiring dengan perjalanan NIT. Laporan-laporan pemerintah kolonial terhadap radikalisme di tingkat lokal sebagai kekuatan pendorong bagi pilihan unitarisme (integrasi)

(8)

merupakan bukti bahwa upaya kolonisasi berada dipersimpangan jalan.10

Radikalisasi yang pada kenyataannya juga tumbuh dan berkembang di Ternate menjadi salah satu kekuatan yang menghambat laju cita-cita kolonisasi atas Indonesia. Sekalipun dalam skala kekuatan, radikalisasi Ambon sedikit lebih unggul dibandingkan Ternate, akan tetapi progress yang efektif bagi pilihan unitarisme (integrasi) dengan Indonesia tidaklah berkurang. Bahkan radikalisasi yang tumbuh melalui aktifitas partai politik diantaranya aktivitas yang dilakukan oleh Partai Kedaulatan Rakyat (PKR)11 menjadi pendorong kebangkitan

nasionalisme di tingkat lokal. Dan kekuatan radikalisasi di tingkat lokal ini sesungguhnya tidak diduga oleh pemerintah kolonial Belanda yang hanya memperhitungkan elite politik dan peran penguasa adat Ternate.

Memang harus diakui bahwa upaya politik pemerintah kolonial Belanda untuk menghambat berbagai gerakan radikal di

10 Mengenai adanya radikalisme di tingkat lokal untuk

wilayah Indonesia Timur terutama Ternate, lihat P.J. Drooglever en M.J.B. Schouten, Officiele bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen 1945-1950, twintigste deel 16 September 1949 – 31 Desember 1949, (s'Gravenhage: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1996)

11 P.J. Drooglever dan M.J.B. Schouten, Officiele bescheiden

betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen 1945-1950, elfde deel 1 September – 25 November 1947 (s'Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1983), hlm. 72.

(9)

Ternate telah dilakukan, diantaranya dengan memanfaatkan pihak penguasa kesultanan Ternate yang dalam hal ini Iskandar Muhammad Jabir Syah.12 Akan tetapi hasilnya tidak banyak

membantu untuk meredam bangkitnya nasionalisme di Ternate dimana posisi pilihan unitarisme semakin melebar dari opsi federalisme.

Politik kolonial yang bertumpu pada strategi merangkul penguasa Ternate pada satu sisi cukup ideal karena Sultan memiliki peran yang besar dalam mengendalikan seluruh rakyatnya. Akan tetapi langkah ini tidak selamanya berjalan dengan efektif karena kekuatan lainnya dapat menghambat strategi politik kolonial.

Seperti diketahui bersama bahwa Iskandar Muhammad Jabir Syah oleh pemerintah kolonial telah di beri peran yang cukup memadai dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Pemberian peran ini menjadi strategi yang tepat untuk meredam gejolak di distrik Ternate. Akan tetapi situasi yang sedang berkembang konteksnya adalah revolusi sehingga perubahan yang terkadang tidak diduga dapat saja terjadi. Hal ini pun demikian adanya dengan situasi di Ternate. Partai Kedaulatan Rakyat mampu membangkitkan perlawanan secara organisatoris terhadap politik kolonisasi

12 Lihat S.L. Van der Wal, Officiele bescheiden betreffende de

Nederlands-Indonesische betrekkingen 1945-1950, twede deel 9 November – 31 December 1945 (s'Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1973)

(10)

pemerintah Hindia Belanda terhadap daerah-daerah di Indonesia Timur.

Gerakan partai politik seperti yang dilakukan oleh Partai Kedaulatan Rakyat (PKR) menjadi kekuatan penyeimbang karena mampu membangkitkan nasionalisme terhadap penduduk Ternate untuk memilih opsi perjuangan berintegrasi dengan RIS dan menolak sistem federalisme Belanda. Upaya-upaya radikalisme menuju unitarisme makin lama makin menguat dan kemudian memojokkan opsi federalisme dalam pilihan politik pada masa revolusi. Sultan dapat saja dinetralisir dan dimanfaatkan hak otoritasnya selaku penguasa Ternate untuk mencapai kepentingan pemerintah kolonial, tetapi nasionalisme merupakan kekuatan yang sulit di bendung. Kebangkitan nasionalisme pada akhirnya mengantarkan penguasa dan rakyat Ternate menuju pilihan unitarisme dan mengabaikan pilihan bebas.

Dalam konteks revolusi Indonesia pilihan unitarisme (integrasi) dan pilihan bebas atau federalisme yang terjadi pada penguasa Ternate dan rakyatnya, merupakan persoalan sejarah yang secara kontekstual dan tekstual terjadi ditengah revolusi Indonesia. Sebagai peristiwa yang cukup sentral dalam sejarah Indonesia, revolusi Indonesia begitu menyajikan banyak fakta tentang peristiwa yang terjadi di daerah-daerah. Tindakan pilihan unitarisme dan opsi pilihan federalisme merupakan peristiwa

(11)

penting yang tidak banyak diketahui. Hal ini karena rekonstruksi sejarah belum dilakukan sehingga teks-teks yang memuat berita revolusi tentang pilihan unitarisme dan federalisme yang terjadi di Ternate tidak dipublikasikan. Olehnya itu dibutuhkan adanya riset sejarah untuk merekonstruksi dan mempublikasikannya.

Terdapat banyak persoalan yang menyebabkan tidak dipublikasikan fakta sejarah sekitar revolusi di Ternate. Salah satunya adalah kurangnya tenaga peneliti sejarah, terutama dikalangan akademisi setempat. Hal itupun ada tetapi dengan keterbatasan kemampuan metodologis sejarah, menyebabkan berbagai persoalan historis yang luas dan beragam di lingkup peristiwa atau kurangnya ketertarikan terhadap peristiwa sejarah pada era revolusi menjadi fakumnya kajian rekonstruksi sejarah Ternate sekitar revolusi.

Dalam sejarah Indonesia, tanpa mengabaikan periode lainnya, revolusi menjadi cukup sentral dalam historiografi Indonesia dan ini seperti disampaikan oleh Ricklefs. Hal ini karena menjadi penemuan jati diri bangsa Indonesia. Revolusi telah meninggalkan banyak fakta dalam kategori dokumen dan sumber lisan. Baik yang dihimpun oleh bangsa Indonesia maupun oleh pemerintah Belanda. Fakta yang ditinggalkan menjadi bahan penting untuk rekonstruksi sejarah dan hasil rekonstruksi yang dipublikasikan tidak saja bernilai ilmiah tetapi mampu

(12)

membangkitkan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia dalam konteks kekinian.

Penelitian terhadap Ternate sekitar revolusi di lakukan untuk melengkapi historiografi Indonesia periode revolusi dari kawasan Indonesia Timur. Hal ini mengingat bahwa secara kontekstual historiografi Indonesia periode revolusi yang lebih lengkap mengenai Ternate dalam percaturan politik dipandang sangat minim melengkapi literatur-literatur sejarah Indonesia periode revolusi. Dari sisi inilah kelayakan penelitian sejarah dengan menggunakan metodologis sejarah diperlukan untuk merekonstruksi sejarah Ternate pada masa revolusi. Komitmen penelitian ini terbangun untuk mengungkap secara menyeluruh mengenai dinamika perkembangan Ternate dalam kanca revolusi Indonesia demi memperkaya khasanah penulisan sejarah Indonesia.

B. Lingkup Penelitian dan Permasalahan

Kajian ini berangkat dari persoalan bahwa perkembangan percaturan politik di Ternate yang kemudian membuka peluang bagi Ternate sehingga diperhadapkan pada pilihan sulit, yang pada akhirnya terjebak pada dua opsi pilihan politik, antara sultan yang lebih memilih federalisme di satu sisi dan elite politik lokal

(13)

lainya yang memilih unitarisme (berintegrasi) dengan RI di sisi lain. Dalam kaitan itu, P.J. Drooglever dan M.J.B. Schouten melaporkan bahwa "suatu perkembangan kedaerahan atau keterikatan pulau yang hampir tidak dimulai dalam arah kesatuan Indonesia Timur, membiarkan “perasaan persaudaraan” Indonesia umumnya terutama yang disertai oleh pandangan tidak murni atau menyimpang tentang isi pemahaman kemerdekaan”.13

Sinyalemen laporan P.J. Drooglever dan M.J.B. Schouten itu mengindikasikan bahwa situasi politik di Indonesia Timur termasuk didalamnya Ternate cukup rumit. Dengan demikian dalam telaah sejarah sebaiknya unsur Belanda dan Indonesia dijadikan faktor yang turut mempengaruhi dinamika politik Ternate. Dalam artian, walaupun terdapat adanya pilihan yang sulit bagi Ternate di antara unitarisme dan federalisme, namun secara politik berada dalam lingkup politik Indonesia maupun Belanda.

Berdasarkan skematisasi percaturan politik pada tingkat mikro (antara memilih federalisme atau unitarisme) tidak mempengaruhi keputusan politik pada tingkat makro (Indonesia- Belanda), namun secara teoritis percaturan politik pada tingkat makro itu hanya dapat difahami secara komprehensif, bila percaturan pada tingkat mikro dapat dimengerti dengan baik.

(14)

Dalam kaitan itu, Kartodirdjo mengemukakan, bahwa seringkali hal-hal ditingkat nasional baru bisa dimengerti dengan baik, apabila kita mengerti dengan baik perkembangan di tingkat lokal. Hal-hal di tingkat nasional lebih luas itu biasanya hanya memberikan gambaran dari pola-pola serta masalah-masalah umum, sedangkan situasi yang lebih konkrit dan mendetail baru bisa diketahui melalui gambaran sejarah lokal.14

Sesungguhnya fenomena munculnya pilihan antara unitarisme (integrasi) dan federalisme di Ternate pada masa revolusi tahun 1950, seiring lahirnya proses unitarisme NIT. Aksi-aksi demonstrasi yang menuntut pembubaran NIT15 memberi

akses langsung bagi terciptanya pilihan antara unitarisme dan federalisme bagi Ternate. Pada tingkat lokal atau dalam skala mikro konstelasi politik yang berkembang di Ternate bergerak pada dua kutub yang berseberangan. Pada satu sisi penguasa adat yakni sultan sangat dipengaruhi oleh pemerintah kolonial Belanda sedangkan pada sisi lainnya yang mulai bangkit yakni radikalisasi partai politik yang menuntut berintegrasi kedalam RIS. Munculnya kekuatan politik yang berseberangan memuncak pada lahirnya

14 Sartono Kartodirdjo, dalam Gde Widja, Sejarah Lokal

Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 16.

15 R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa (ed), (2008), op.cit. hlm.

(15)

dua pilihan politik yang sulit bagi Ternate di tengah kancah revolusi Indonesia. Apakah memilih berintegrasi dengan RI dengan mengabaikan federalisme atau malah sebaliknya. Konstelasi politik inilah yang menjadi ruang kajian sejarah mengenai Ternate dalam kancah revolusi Indonesia.

Dalam penelitian ini selain lingkup kajian, lingkup waktu juga dipakai untuk membatasi ruang atau waktu dalam penelitian. Lingkup waktu yang di tetapkan yakni tahun 1945 –1950, ini merupakan lingkup waktu yang sangat krusial sepanjang revolusi Indonesia teristimewa bagi Ternate. Hal ini karena pada lingkup waktu inilah terjadinya kontelasi politik di Ternate yang pada akhirnya menimbulkan adanya pilihan unitarisme dan federalisme.

Agar penelitian ini mudah dipahami, maka ruang lingkup penulisan ini dibatasi pada proses perkembangan percaturan politik di Ternate pada masa revolusi yang mengakibatkan terbentunya dua pilihan sulit bagi Ternate. Proses perkembangan percaturan politik yang terjadi pada masa ini sangat penting untuk dikaji karena dirasa mampu menggambarkan situasi politik yang dihadapi, serta pilihan-pilihan politik dalam masyarakat Ternate.

Masalah utama yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu konstelasi politik di Ternate pada masa revolusi. Konteksnya lebih mengerucut pada proses terjadinya dua opsi pilihan politik bagi

(16)

Ternate yang memilih legalitas wilayah dan kekuasaan yakni antara memilih unitarisme (berintegrasi) dengan pemerintah RI atau memilih federalisme yang condong ke pemerintah kolonial Belanda. Pertanyaan penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan di atas adalah;

1. Dalam hal apakah konstelasi politik itu terjadi sehingga menimbulkan dua opsi pilihan politik yang sulit bagi Ternate antara memilih federalis di satu sisi dan unitaris di sisi lain? 2. Seperti apakah respon masing-masing kelompok elite politik

di tingkat lokal terhadap kesulitan yang dihadapi di tengah terjadinya revolusi?

3. Siapa sajakah tokoh elite politik lokal yang lebih memilih unitarisme dan berusaha memasukkan wilayah kesultanan Ternate bagian dari wilayah NKRI?

4. Mengapa Sultan lebih memilih federalisme yang lebih condong pada pemerintah Kolonial Belanda dibandingkan dengan memilih unitarisme?

Penetapan konstelasi politik Ternate pada masa revolusi sebagai obyek penelitian sejarah merupakan suatu langkah pengembangan riset sejarah untuk kawasan Maluku Utara. Konstelasi politik Ternate pada masa revolusi dalam pertimbangan penelitian ini di pilih karena merupakan suatu persoalan sejarah yang belum banyak terungkap. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Ternate pada masa revolusi sejauh ini belum banyak yang diketahui termasuk didalamnya proses terjadinya tindakan pilihan politik bagi Ternate antara memilih bergabung dengan RI

(17)

atau memilih federalisme. Peristiwa ini dalam konteks revolusi Indonesia merupakan varian tersendiri dalam sejarah Indonesia pada era revolusi. Dengan demikian hasil penelitian ini tidak hanya sekedar sebagaui ajang pembuktian sejarah dengan interpretasi-interpretasi yang menyertainya tetapi sekaligus menambah wawasan kita mengenai sejarah lokal pada era revolusi dari dari kawasan Timur Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Sesungguhnya studi yang membahas tentang konstelasi politik di Ternate pada era revolusi, bertujuan untuk menjelaskan sikap politik yang diambil oleh para elite politik lokal, seiring dengan kembalinya pemerintah kolonial Belanda yang mengakibatkan Ternate diperhadapkan pada situasi politik yang sangat kompleks. Pilihan sulit bagi Ternate antara memilih bergabung dengan NKRI lewat RIS atau federalisme Belanda. Atas dasar itu maka persoalan-persoalan seperti; struktur sosial masyarakat Ternate, latar belakang historis lahirnya opsi pilihan politik serta sebab musabab dan faktor-faktor kondisional yang ada dan berkembang pada waktu itu akan dijelaskan sebagai bagian dari studi ini.

Disamping itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap historiografi revolusi Indonesia di kawasan Timur terutama untuk

(18)

wilayah Ternate. Hasil penelitianya tidak hanya memperkaya khasanah penulisan sejarah Indonesia periode revolusi, tetapi juga berguna untuk menguji tingkat kemampuan peneliti dalam merekonstruksi sejarah revolusi pada tataran makro maupun mikro dengan menggunakan metode sejarah.

Hasil penelitian ini diharapkan pula mampu mengeksplanasi akar konstelasi politik di Ternate pada era revolusi serta gejala-gejala yang menyertai terjadinya peristiwa-peristiwa penting di Ternate yang berkaitan erat dengan pembentukan Negara Indonesia Timur.

D. Tinjauan Pustaka dan Sumber

Revolusi Indonesia melahirkan banyak peristiwa sejarah baik dalam skala makro maupun pada tataran mikro. Indonesia Timur juga mengalami imbas dari revolusi. Peristiwa politik, hukum, dan ketatanegaraan terjadi secara bervariasi di beberapa daerah yang ada di kawasan Timur Indonesia. Termasuk pula Ternate di dalamnya. Peristiwa-peristiwa penting pada era revolusi ikut mewarnai wilayah Ternate. Dari beberapa peristiwa, tindakan pilihan politik menjadi salah satu yang terpenting. Konteks peristiwa ini telah menjadi bahan dokumen yang ikut dilaporkan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam dokumen-dokumen penting pada masa revolusi.

(19)

Diantara karya kepustakaan yang terdekat dengan topik penelitian ini ialah buku Irza Arnyta Djafaar dengan judul ‘Dari Moloku Kie Raha Hingga Negara Federal; Biografi Politik Sultan Ternate Iskandar Muhammad Djabir Sjah.16 Biografi Sultan Ternate

yang ditulis Irza Arnyta Djafaar, di satu sisi mampu menampilkan tokoh lokal yang memiliki peran besar di masa lalu Maluku Utara. Namun buku ini masih cenderung menjauh dari penulisan sejarah kritis, karena cenderung mementingkan retorika. Irza menggambarkan Sultan Ternate sebagai tokoh yang sempurna, raja yang disukai dan dihormati rakyatnya, serta konsep federalis sebagai pandangan politik Sultan ditekankan Irza sebagai bentuk perjuangan Sultan untuk kemajuan wilayah dan rakyatnya, tanpa melihat lebih jauh konteks politik yang bergejolak pada masa itu. Padahal sumber-sumber yang digunakan Irza justru menunjukkan bahwa proses sejarah Sultan Ternate, baik itu pandangan dan tindakan politiknya, tidak pernah lepas dari realitas kemanusiaan yang tidak mungkin mencapai kesempurnaan.

Selain Irza, ada juga dokumen-dokumen penting sekitar revolusi Indonesia termasuk di dalamnya wilayah Ternate yang telah menjadi sumber kepustakaan adalah karya P.J. Drooglever dan M.J.B. Schouten, "Officiele bescheiden betreffende de

(20)

Nederlands-Indonesische Betrekkingen"17 yang diterbitkan dalam

lima belas jilid menurut tahun peristiwa.

Selain karya P.J. Drooglever dan M.J.B. Schouten, karya kepustakaan dan termasuk dalam kategori sumber primer adalah tulisan Ide Anak Agung Gde Agung, "Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat".18 Karya ini membahas secara

spesifik mengenai awal pembentukan Negara Indonesia Timur hingga proses runtuhnya. Karena membahas secara spesifik mengenai Negara Indonesia Timur peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tingkat lokal seperti di Ternate luput dari pembahasannya.

Tulisan yang menyinggung masalah revolusi di wilayah Maluku Utara adalah karya P. J. Drooglever yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia di bawah judul "Tindakan Pilihan Bebas".19 Sekalipun tidak secara spefifik membahas Maluku Utara

dan Papua pada era revolusi tetapi situasi Maluku Utara sekitar revolusi mendapat porsi pembahasan yang cukup spesifik. Namun demikian karya ini lebih utama membahas Tidore dalam konteks hubungannya dengan Papua. Hal ini sudah tentu memiliki

17 P.J. Drooglever en M.J.B. Schouten, (1996), op.cit. 18 Ide Anak Agung Gde Agung, (1985), op.cit.

19 P. J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas, (Alih bahasa

(21)

perbedaan yang sangat signifikan dengan penelitian ini yang secara orientatif membahas Ternate pada masa revolusi.

Tulisan yang membahas tentang situasi revolusi di Indonesia Timur terutama Ambon adalah karya Ricahrd Chauvel, "Nationalists, Soldiers and Separatists".20 Tulisan Chauvel secara

mendalam mengulas masalah Ambon pada masa revolusi Indonesia. Sekalipun lebih spesifik membahas tentang Ambon akan tetapi situasi politik yang dibahas memiliki keselarasan dengan situasi politik di Ternate. Keselarasan tulisan ini bukan berarti tidak terdapat perbedaan. Malah perbedaannya cukup jelas karena tulisan ini membahas proses bangkitnya nasionalisme dan keterlibatan orang Ambon dalam dinas militer Belanda. Juga disampaikan bagaimana proses terjadinya gerakan separatis yang dalam hal ini adalah gerakan RMS di Ambon.

Karya kepustakaan lainnya yang membahas masalah Negara Indonesia Timur tetapi tidak termasuk dalam kategori sumber primer adalah tulisan Nyoman Dekker, "Sejarah Revolusi Nasional".21 Tulisan ini lebih bersifat umum dalam membahas

revolusi Indonesia. Perjuangan bersenjata dan diplomasi yang mewarnai jalannya revolusi menjadi bahasan utamanya. Karena

20 Richard Chauvel, (1990), op.cit. 21 Nyoman Dekker, (1989), op.cit.

(22)

lebih bersifat umum, persifat ditingkat lokal seperti yang terjadi di Ternate luoput dari pembahasannya dan ini menjadi warna perbedaan dengan kajian ini, yang lebih fokus membahas masalah revolusi di Ternate.

Karya yang spesifik membahas Negara Indonesia Timur dan sedikit menyinggung Ternate adalah tulisan Cok Istri Suryawati, dkk. "Kembalinya Negara Indonesia Timur (NIT) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia : Bali pada tahun 1949-1950".22

Karya ini secara spesifik membahas tentang Bali dalam hubungan dengan Negara Indonesia Timur. Sekalipun membahas tentang Bali bukan berarti wilayah lainnya yang berada dalam naungan Negara Indonesia Timur tidak disinggung sama sekali. Wilayah lainnya tetap disinggung akan tetapi tidak mendalam. Dengan demikian perbedaannya cuku jelas dengan kajian ini.

Tulisan yang membahas Revolusi di Indonesia Timur dan ikut menyinggung Ternate adalah karya Putra Agung, "Negara Indonesia Timur 1946-1950".23 Tulisan ini di muat dalam Jurnal

Sejarah Vol. 13, No. 13 Januari tahun, 2007. Ulasannya paralel dengan karya Ide Anak Agung Gde Agung tetapi tidak mendalam.

22 Cok Istri Suryawati, dkk. Kembalinya Negara Indonesia

Timur (NIT) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia : Bali pada Tahun 1949-1950, (Denpasar : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Denpasar, 2001).

(23)

Membahas pembentukan Negara Indonesia Timur hingga proses keruntuhannya. Pertistiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tataran lokal luput dari pembahasannya. Termasuk pula konstelasi politik di Ternate. Dengan demikian perbedaanya cukup jelas dengan penelitian ini, yang secara spesifik menyoroti konstelasi politik di Ternate pada saat revolusi.

E. Kerangka Konseptual dan Pendekatan

Berdasarkan topik kajian, konsep utama yang dipakai adalah unitarisme dan federalisme dalam revolusi. Unitarisme merupakan faham yang menginginkan bentuk negara kesatuan, sedangkan tindakan-tindakan yang dilakukan teknis untuk menuju kearah unitarisme adalah integrasi. Integrasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Pengertian integrasi yang lebih lengkap dan ilmiah disampaikan menurut perspektif ilmu politik. Menurut konstruksi pemikiran ilmu politik, integrasi merupakan terminologi dari penyatuan identitas kedalam suatu nation atau bangsa. Dalam hal ini Weiner seperti dikutip oleh Ramlan Surbakti mengemukakan, integrasi merupakan "penyatuan masyarakat

(24)

dengan sistem politik".24 Dalam perspektif yang selaras, Ramlan

Surbakti juga mengemukakan bahwa;

Integrasi bangsa ialah proses penyatuan berbagai kelompok sosial budaya dalam satu-kesatuan wilayah dan dalam suatu identitas nasional. Integrasi bangsa berarti penggabungan unsur-unsur yang berbeda menjadi satu-kesatuan yang utuh. Kelompok budaya itu saling dihubungkan dengan lebih erat. Arah kecenderungan yang akan terjadi bersumber dari masyarakat kecil menjadi masyarakat besar.25

Dalam proses integrasi bangsa terdapat adanya kebijakan penguasa untuk mencapai tingkat unitarisme. Terkait dengan hal ini Weiner mengemukakan sebagai berikut:

Secara garis besar terdapat dua pola kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai integrasi bangsa. Pertama, penghapusan sifat kultural utama dari kelompok minoritas dan mengembangkan semacam "ke-budayaan nasional", biasanya ke"ke-budayaan kelompok suku bangsa yang dominan. Kebijakan ini disebut sebagai asimilasi. Kedua, pembentukan kesetiaan nasional tanpa menghapuskan kebudayaan kelompok kecil. Kebijakan ini disebut kebijakan kesatuan dalam perbedaan, yang secara politik ditandai dengan penjumlahan etnis (suku bangsa).26

Konsepsi yang juga menjadi satu kesatuan dengan integrasi bangsa adalah integrasi wilayah. Menurut Ramlan Surbakti, integrasi wilayah ialah;

Pembentukan kewenangan nasional pusat terhadap wilayah atau daerah politik yang lebih kecil, yang terdiri atas satu

24 Weiner dalam Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik,

(Jakarta: Grasindo, 1992), hlm. 65-66.

25 Ibid. 26 Ibid.

(25)

atau lebih kelompok budaya. Untuk integrasi wilayah, diperlukan sekurang-kurangnya dua hal. Pertama, konsep wilayah yang jelas, dalam anti wilayah itu meliputi apa saja (darat, laut, udara, dan isinya), ukuran yang digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah (berupa mil), dan dapat diukur (dari pulau terluar atau setiap pulau). Kedua, aparat pemerintah dan sarana kekuasaan untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan wilayah itu dari penetrasi luar.27

Hal senada juga dikemukakan oleh Organsky seperti dikutip oleh Ramlan Surbakti bahwa; "salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah, khususnya di negara-negara yang baru merdeka, adalah pembentukan suatu Pemerintah Pusat yang menguasai seluruh wilayah dan penduduk yang tinggal dalam batas-batas wilayah."

Selain konsepsi integrasi, konsepsi yang juga menjadi bagian dari topik yakni federalisme. Dalam konteks makna federalisme merujuk pada paham tentang pembagian negara atas bagian-bagian yang berotonomi penuh mengenai urusan dalam negeri. Faham ketatanegaraan ini sangat populer dan dipraktekkan di Amerika Serikat. Menurut C.F. Strong seperti dikutip oleh Miriam Budiardjo dkk. bahwa ciri federalisme ialah bahwa "ia mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan

(26)

negara bagian".28 Sedangkan menurut K.C. Wheare dalam

tulisannya "Federal Government", prinsip federal ialah: "bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain".29

Dalam proses pembentukan negara federal, terdapat kriteria yang sangat prinsipil. Secara prosedural menurut C.F. Strong dalam pembentukan negara federal diperlukan dua syarat yaitu;

1). Adanya persaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi itu, dan (2). Keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan-kesatuan politik itu menghendaki persatuan, maka bukan federasilah yang akan dibentuk, melainkan negara kesatuan.30

Merujuk pada penjelasan C.F. Strong tentang syarat mendirikan negara federal tidaklah segampang yang dibayangkan. Menyatukan identitas dan menumbuhkan perasaan sebangsa dari etnis yang berbeda adalah bukan perkara gampang. Inilah situasi yang sesungguhnya menjadi efek kegagalan politik kolonisasi pemerintah Belanda terhadap Indonesia yang dilakukan melalui pembentukan negara federal.

28 Miriam Budiardjo dkk, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:

Gramedia, 2007), hlm. 270.

29 K.C. Wheare dalam Miriam Budiardjo dkk, Ibid. 30 Ibid. hlm. 271.

(27)

Seperti diketahui bahwa upaya kembalinya kekuasaan kolonial Belanda terhadap Indonesia yang kemudian melahirkan revolusi dalam perspektif bangsa Indonesia telah diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan ini erat kaitannya dengan strategi politik dari Van Mook yang menjabat selaku Gubernur Jenderal. Oleh Van Mook, diberlakukanlah sistem federasi di Indonesia dengan tujuan utama memecah prinsip persatuan bangsa yang telah di bangun oleh negarawan Indonesia. Akselerasi politik ini tanpa kecuali telah menyentuh pula kawasan Indonesia Timur. Dimana wilayah-wilayah seperti Sulawesi dan Maluku ditempatkan di bawah Negara Indonesia Timur (NIT). Prinsip memecah wilayah kedaulatan yang dilakukan oleh Van Mook telah menimbulkan konflik pada tingkat lokal termasuk yang terjadi di Ternate. Sekalipun tidak sporadis, tetapi radikalisasi telah mendorong lahirnya letupan nasionalisme yang berdampak pada pembubaran NIT serta bangkitnya perjuangan untuk berintegrasi.

Terlepas Konsep unitarisme (integrasi) dan federalisme, konsepsi terakhir yang dikemukakan adalah revolusi. Berkaitan dengan revolusi, Leon Trotsky atau Lev Davidovich Bronstein, seorang tokoh revolusioner Rusia menjelaskan bahwa revolusi adalah "sebuah pertarungan kekuatan secara terbuka antara

(28)

kekuatan-kekuatan sosial di dalam sebuah perjuangan untuk mengambil kekuasaan".31

Dalam kaitannya dengan revolusi tetapi lebih spesifik mengenai revolusi Indonesia, dijelaskan secara variatif masing-masing oleh Sementara itu Robert Crib dan Audrey Kahin, Ricklefs, dan Vickers. Robert Crib & Audrey dalam "Historical Dictionary of Indonesia" menjelaskan bahwa:

The years 1945–1949 are commonly referred to as the “Revolution” (Revolusi), reflecting both the usage of the time and the perception that the violent change from colonial rule to independence was indeed revolutionary. Especially during Guided Democracy, Sukarno maintained that the Revolution had not been completed in 1949 with the formal transfer of sovereignty by the Dutch and that not only did the province of West Irian have to be recovered but Indonesia’s social, political, and economic order also had to be transformed. 32

Secara eksplisit Robert Crib & Audrey Kahin menyampaikan bahwa tahun-tahun 1945-1949 yang secara umum disebut sebagai Revolusi. Hal ini menunjukkan penggunaan waktu dan persepsi bahwa perubahan tegas dari pemerintahan kolonial menjadi merdeka memang revolusioner. Terutama Demokrasi Terpimpin, Soekarno menyatakan bahwa Revolusi belum selesai pada tahun 1949 walaupun telah dilakukan penyerahan

31 Leon Trotsky, Revolusi Permanen, (alih bahasa oleh Ted

Sprague), (Yogyakarta: Resist Book, 2009), hlm. 49.

32 Robert Crib & Audrey Kahin, Historical Dictionary of

(29)

kedaulatan secara formal dari Belanda. Selain karena provinsi Irian Barat belum dikembalikan; tatanan ekonomi, sosial, dan politik juga harus diubah.

Sementara itu pada konsepsi yang selaras, Ricklefs dalam tulisannya menyampaikan bahwa:

Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan kisah sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk tatanan sosial yang lebih adil.33

Terlepas dari penjelasan Ricklefs, menarik juga ungkapan dari Adrian Vickers bahwa;

The social revolutions following the Proclamation were a re-run of the upheavals that had occurred when the Japanese first landed: that is, they were challenges to the social order established by the Dutch, with an added element of resentment engendered by the Japanese policies. All over the archipelago, people rose up against traditional aristocrats and village heads, and attempted to assert popular ownership of land and other resources.34

Teks penjelasan Vickers memiliki makna, Revolusi sosial setelah Proklamasi adalah suatu tayang-ulang episode pergolakan yang terjadi ketika Jepang mendarat pertama kalinya: yaitu, revolusi ini adalah perlawanan terhadap tatanan sosial yang didirikan oleh Belanda, ditambah unsur kebencian yang ditimbulkan oleh kebijakan Jepang. Di seluruh Nusantara, orfang-orang bangkit

33 M.C. Ricklefs, (2009), op.cit.

(30)

melawan kaum bangsawan tradisional dan kepala desa, dan berusaha merebut kembali kepemilikan tanah dan sumber daya yang lain.

F. Metode Penelitian

Dinamika revolusi Indonesia yang terjadi di Ternate telah melahirkan sejumlah peristiwa politik termasuk didalamnya tindakan pilihan politik antara federalisme dan integrasi dimana hal ini merupakan penelitian sejarah politik. Dengan demikian perhatian terhadap masyarakat dan aspek ketatanegaraan bersifat totalis dari aspek historis, terbatas pada satu institusi sosial atau kelas sosial tertentu. Dengan demikian dari konteks metodenya merupakan penelitian kualitatif, sering juga disebut penelitian naturalistik,35 yang memfokuskan diri pada metode sejarah kritis,

dengan studi kepustakaan, dan dokumen-dokumen.36 Dari sudut

kajian politik, penelitian ini memandang revolusi sebagai gejala ketatanegaraan, yang mengkaji federalisme dan integrasi dalam suatu konsep. Jadi metode sejarah kritis tidak hanya untuk

35. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan

bukan kuantitatif, tidak menggunakan alat-alat statistik. Disebut naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat wajar, tanpa dimanipulasi dan diatur oleh eksperimen alat tes. Lihat S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1988), hlm. 18.

36 Koentowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta, Tiara

(31)

melihat aspek terjadinya suatu proses revolusi tetapi berupaya untuk mengamati perkembangan atau perubahan-perubahan yang terjadi dengan batasan temporal tertentu.

Maksud dari metode historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif. Penelitian historis ini, menurut Ernest Bernheim, memiliki empat tahapan pokok: (1) heuristik, yaitu mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah, (2) kritik, yaitu menilai otentik atau tidaknya sesuatu sumber itu, (3) auffassung, sintesis dari fakta-fakta yang diperoleh melalui kritik sumber atau disebut juga dengan analisis sumber, dan (4) derstallung, penyajian data tersebut dalam bentuk tertulis.37

Sumber data yang dianalisis terbagi dalam dua kelompok, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah data yang dihasilkan dari hasil wawancara dengan pelaku sejarah.38 Dalam kaitan ini, sumber-sumber sejarah yang berupa

dokument-dokument laporan politik dapat ditemukan pada Perpustakaan Nasional, Arsip Negara Republik Indonesia, dan juga dokumen laporan pemerintah Belanda yang telah

37 Anwar M. Daud, Metodologi Sejarah, dalam Adabiya, Vol.

4, No. 7, Agustus 2002, hlm. 108.

38 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho

(32)

dipublikasikan.39 Data-data sekunder berasal tulisan-tulisan atau

kajian-kajian yang membahas tentang peristiwa revolusi di kawasan Indonesia Timur.

Semua data yang ditemukan kemudian dikumpulkan dengan teknik dokumentasi agar gejala-gejala sosial di masa lampau terungkap melalui buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini.40 Setelah semua data dikumpulkan,

selanjutnya, dilakukan penyeleksian untuk menentukan keabsahan sumber. Inilah yang disebut sebagai tahap kritik dalam penelitian sejarah. Dalam ilmu sejarah, kritik sejarah ada dua macam, yaitu otentisitas, atau menentukan keaslian sumber, atau kritik ekstern; dan kredibilitas, atau kebiasaan dipercayai atau kritik intern.41

Data-data yang dianggap valid kemudian dianalisis dengan analisis situasional atau action frame of reference. Analisis situasional ini, menurut Ibrahim Alfian, paling tidak terdiri atas

39. Kuntowijoyo, (1994), op.cit. hlm. 201.

40. Menurut Sartono Kartodirdjo, sesungguhnya sejumlah

pesan fakta dan data sosial tersimpan dalam tubuh dokumen-dokumen sebagai bahan utama penelitian sejarah. Oleh karena itu, teknik dokumentasi adalah sesuatu yang diperlukan dalam penelitian sejarah. Lihat Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 45.

41 Gilbert J. Garraghan, A Guide to Historical Method, ed.

Jean Delanglez (New York: Fordham University Press, 1957), hlm. 168.

(33)

dua tingkat. Pada satu tingkat dapat dikaji proses kesadaran si pelaku yang menyangkut interpretasi situasi yang menurut dugaan menyebabkan ia berbuat atau bertindak. Pada tingkat yang lain dapat diterangkan sifat interpretasi situasional si pelaku dalam kaitan dengan beberapa faktor biologis, psikologis, sosial dan kultural yang melahirkan interpretasi dan tindakan atau perbuatan yang menyertainya.42 Data-data yang telah

diinterpretasikan itulah yang menjadi fakta sejarah budaya. Dengan demikian, fakta sejarah diciptakan sendiri oleh peneliti sejarah. Fakta-fakta sejarah tidak akan ada bagi sejarawan manapun sampai dia menciptakan fakta-fakta itu.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan biasanya terdiri atas urutan pokok-pokok bahasan atau bab dan sub bab yang berhubungan dengan tema pokok tulisan. Sistematika harus sudah tersusun sebelum memulai penelitian atau penulisan, karena itu akan menjadi pemandu dan kerangka bahasan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, sistematika pembahasan itu sering berubah, apakah karena ketersediaan data atau keterbatasan menjelaskan fakta-fakta sejarah.

42 Ibrahim Alfian, "Tentang Metodologi Sejarah", dalam T.

Ibrahim Alfian, (ed.), Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hlm. 417.

(34)

Untuk memudahkan pembahasan, maka penulisan tesis ini dibagi atas enam bab. Pada bab I diuraikan alasan betapa penting pembahasan tentang pilihan politik antara memilih federalisme atau unitarisme kesultanan Ternate pada masa revolusi. Pada bab pendahuluan ini pula diuraikan pengantar untuk memasuki pembahasan di bab selanjutnya. Permasalahan, metode yang digunakan, kajian teori hingga sistematika tersaji di bab I.

Bab II dimulai dengan melihat wilayah Ternate dari aspek kesejarahan. Pembahasan di bagi atas lima bagian yaitu Ternate merupakan sebuah identitas kesejarahan, agama dan bahasa sejarah kesultanan Ternate dan sistem birokrasinya, organisasi politik, serta pada bagian akhir membahas wilayah vassal Ternate metamorfosis Ke-Indonesiaan di wilayah Timur nusantara. Revolusi nasional di Ternate serta aspek penting yang dibahas yakni akhir pemerintahan militer Jepang, Proklamasi Kemerdekaan dan respon publik, bagaimana posisi elite kesultanan Ternate, dan pembahasan diakhiri dengan munculnya kekuatan revolusioner di Ternate pada masa revolusi akan dibahas pada bab III.

Pada bab IV, diuraikan proses rekolonisasi, aspek yang menjadi pokok pembahasan adalah pendudukan pasukan Sekutu dan Belanda, dilema kesultanan Ternate dalam pilihan antara RI atau NICA, gerakan separatisme dan munculnya kekuatan lokal. Kemudian pada pembahasan di bab V, dijelaskan bagaimana Ternate dalam konstelasi politik di tengah revolusi, dari Negara

(35)

Indonesia Timur ke negara kesatuan. Pada bab ini pembahasannya terdiri dari; Bagian dari Bijenkoomst federaal overleg (BFO), Pembentukan NIT dan posisi kesultanan Ternate, Pertarungan politik di tengah agresi militer II, BFO, dan KMB, dari zelfbestuur menjadi bagian NKRI. Sub pembahasan yang akan dibahas untuk menjawab persoalan ini adalah; di tengah polarisasi politik NIT dan RI, pengaruh RMS, akhir NIT dan integrasi dalam NKRI serta posisi Ternate menurut UU no. 49 tahun 1950.

Pada bab terakhir, yakni Bab VI, merupakan uraian kesimpulan yang mencoba mensintesiskan hal penting serta temuan-temuan penulis dalam penelitian ini.

(36)

36 BAB II

TERNATE: NEGERI KESULTANAN DI WILAYAH MALUKU UTARA

Menurut Bleeker, Ternate merujuk pada nama karesidenan, kota dan ibukota, kesultanan, atau pulau. Lebih lanjut Bleeker mengemukakan bahwa Ternate sebagai karesidenan merupakan konsepsi yang berasal dari orang Eropa dan muncul pada saat pembagian administrasi Hindia Belanda. Sedangkan yang kedua dari sudut pandang penduduk setempat, yang menunjukkan kedudukan pemerintahan Sultan.1 Penjelasan Bleeker sekalipun

mendapat sanggahan karena melupakan aspek topografis Ternate sebagai pulau yang didominasi gunung berapi, akan tetapi sebagian dari ulasan yang dikemukakannya mengandung kebenaran karena Ternate sekalipun merupakan pulau yang di dominasi oleh gunung berapi2 akan tetapi secara kontekstual tetap

menjadi pusat kekuasaan kesultanan dan birokrasi pemerintahan.

1 Lihat F.S.A. De Clercq, Bijdragen tot de kennis der

Residentie Ternate, (Leiden: E.J. Brill, 1800), hlm. 2.

2 Gunung berapi di Ternate bernama Gamalama yang

namanya diambil dari kata Kie Gam Lamo (negeri yang besar). Gunung ini memiliki ketinggian 1.715 meter di atas permukaan laut. Di ditutupi Hutan Montane pada ketinggian 1.200 - 1.500 m dan hutan Ericaceous pada ketinggian di atas 1.500 m. Telah lebih dari 60 kali mengalami letusan sejak letusan pertama pada tahun 1538. Ketika erupsi tahun 1775 menimbulkan korban jiwa dan menghancurkan Desa Soela Takomi beserta 141 penduduknya. Lihat Kompas, 5 Desember 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya penerapan sistem informasi penggunaan dana kas kecil yang sudah terkomputerisasi, diharapkan pembuatan laporan kas kecil menjadi akurat, tepat dan cepat

Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan tetap dapat mempertahankan

Kebutuhan nonfungsional dari segi ECONOMY-nya adalah sistem dapat mengurangi waktu bagi pengunjung ataupun peminjam buku dalam mengakses buku-buku

Status kerentanan vektor DBD stadium larva di Kota Banda Aceh dan Lhokseumawe terhadap temefos 0,02 ppm menunjukkan masih rentan kecuali di Kabupaten Aceh Besar sudah

Dan apabila dilihat dengan menggunakan T-Test Independent, dapat dijelaskan bahwa kadar protein dari keripik tempe yang digoreng menggunakan teknik penggorengan

merupakan salah satu jenis ikan kakap yang banyak dicari oleh konsumen. sebagai bahan konsumsi masyarakat yaitu sebagai lauk-pauk harian

bahwa dengan diundangkannya Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali yang mengatur tentang

Hal ini juga berguna untuk menghilangkan miskonsepsi tentang perusahaan yang telah timbul sebelumnya di tengah-tengah masyarakat, diharapkan dengan adanya hubungan