• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai masa pencerahan. di Indonesia. Pada masa ini banyak bermunculan organisasiorganisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai masa pencerahan. di Indonesia. Pada masa ini banyak bermunculan organisasiorganisasi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai masa pencerahan di Indonesia. Pada masa ini banyak bermunculan organisasi-organisasi yang bergerak baik di bidang sosial, politik, dan keagamaan, seperti: Budi Utomo yang dibentuk pada tahun 1908, Indische Partaij (Partai Hindia) pada 1911, Sarekat Islam pada tahun 1912, Muhammadiyah pada tahun 1912, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (Ikatan Sosial Demokrat Hindia) pada 1914 yang merupakan embrio dari Partai Komunis Indonesia, dan

lain sebagainya1. Selama ini, historiografi mengenai organisasi di

Indonesia, khususnya yang bergerak di bidang sosial keagamaan --terutama Islam-- cenderung didominasi oleh organisasi yang berpusat di Jawa dan Sumatra. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat dua daerah tersebut lebih dulu mengalami gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.

1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.

(2)

Di Sumatra misalnya, daerah yang pertama kali mengalami gerakan pembaharuan Islam adalah Minangkabau. Daerah ini dilaporkan telah mengalami pembaharuan Islam secara masif dibawa oleh gerakan kaum Padri yang memiliki tradisi untuk berhubungan secara aktif dengan dunia luar (Timur Tengah) yang telah mempertemukannya dengan ide-ide baru. Gerakan pembaharuan Islam juga menyebar ke Jawa dan yang memprakarsainya adalah komunitas Arab di Batavia dengan mendirikan Jam’iyyat Khair pada tahun 1905, disusul kemudian oleh Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada 1912, dan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 di Jawa Timur. Dua organisasi yang disebut belakangan inilah yang selama ini “mendominasi” historiografi mengenai organisasi keagamaan --Islam-- di Indonesia.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan gerakan sosial keagamaan yang berkembang di luar kedua wilayah tersebut. Dalam historiografi Indonesia, organisasi sosial keagamaan yang berkembang di luar Jawa memang belum banyak diungkapkan, padahal organisasi-organisasi tersebut senantiasa memperlihatkan dinamika yang menarik serta keunikannya tersendiri jika dikaji secara lebih lanjut.

Salah satunya adalah Perguruan Islam Alkhairat (selanjutnya disebut Alkhairat) yang resmi menjadi sebuah

(3)

organisasi sosial keagamaan sejak tahun 1956 berdasarkan hasil

keputusan Muktamarnya yang pertama di Palu2. Sebelum menjadi

organisasi, Alkhairat hanyalah sebuah lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah dengan nama “Madrasah Alkhairat Al-Islamiyah”

yang didirikan oleh Sayyid Idrus bin Salim Aljufri3 pada tanggal 30

Juni 1930 di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah sekarang. Keberhasilan Sayyid Idrus dalam mendirikan madrasah Alkhairat di Palu tidak lepas dari jaringan sosial yang dibangunnya dengan elit penguasa lokal dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Sejak awal terbentuknya hingga tahun 1980-an, Alkhairat telah memiliki jaringan madrasah yang tersebar secara masif di Sulawesi Tengah yang juga meliputi hampir seluruh kawasan

Timur Indonesia, yakni sejumlah 732 madrasah4.

Jaringan-jaringan madrasah tersebut telah memberikan social capital

2 Pelaksanaan Muktamar I Alkhairat baru dilakukan setelah

26 tahun sejak Alkhairat pertama kali didirikan sebagai sebuah madrasah pada tanggal 30 Juni 1930. Muktamar I Alkhairat dilaksanakan pada tanggal 21 – 25 Agustus 1956 di Palu.

3 Seorang ulama asal Hadramaut yang datang ke Palu pada

tahun 1929.

4 Laporan hasil Muktamar V tahun 1986. Dalam

perkembangan berikutnya jumlah madrasah Alkhairat bahkan terus bertambah antara lain: pada 1991 madrasah Alkhairat berjumlah 1.221 unit, pada 2004 berjumlah 1.268 unit, dan tahun 2006 meningkat menjadi 1.561 madrasah. Lihat Huzaemah T. Yanggo, dkk., Sayyid Idrus Bin Salim Aljufri: Pendiri dan Kontribusinya Dalam Pembinaan Umat. (Jakarta: GP Press, 2014), hlm. 338.

(4)

(modal sosial) kepada Alkhairat yang dapat digunakan untuk memperluas jaringannya yang lain, termasuk jaringan politiknya.

Pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana yang

disebutkan oleh Haidar5 telah berlangsung sejak masuknya Islam

di wilayah ini. Pada tahap awal, proses transfer keilmuan ini dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara mubalig (pendidik) dengan peserta didiknya. Sebelum adanya masjid, surau, dayah atau pesantren yang merupakan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar pendidikan Islam, transfer ilmu ini dilakukan di rumah kyai atau ulama serta di rumah-rumah penduduk sekitar secara bergiliran. Pada masa awal ini, inti dari materi pelajarannya ialah pengajaran ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik.

Pola umum seperti yang digambarkan di atas sejalan dengan yang dialami oleh Alkhairat. Pada mulanya, Alkhairat hanyalah sebuah lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah yang menggunakan toko milik H. Quraish lalu pindah ke rumah petak dalam proses pelaksanaan belajar mengajarnya. Rumah yang digunakan adalah rumah Daeng Marotja, (tokoh masyarakat sekaligus Pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia Palu) yang

5 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan

Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 1.

(5)

terletak di Kelurahan Baru yang berhadapan dengan Masjid Jami, masjid tertua di Palu. Tempat ini dipilih karena letaknya yang strategis --berdekatan dengan masjid-- sehingga memudahkan anak didik untuk melaksanakan praktek ibadah di masjid. Proses belajar mengajar di rumah panggung ini berlangsung dari tahun 1930 hingga 1933. Setelah itu, Alkhairat telah memiliki sebuah gedung madrasah permanen yang digunakan sebagai tempat belajar mengajar yang dibangun dari hasil kerja sama antara Sayyid Idrus dengan masyarakat muslim Palu.

Pada tahun 1934, madrasah Alkhairat telah menghasilkan tamatan pertama sebanyak dua orang, yaitu M. Qasim Maragau dan Sayyid Abd. Rahman Aljufrie. Selanjutnya, pada 1935 madrasah ini kembali menamatkan murid-muridnya antara lain: Alwi Intje Ote, Abdullah Hay Abdullah, Hasjim Samsuddin, Saat F. Basjir, Zahrani, M. Muhammad, B. Daeng Malino, Hasan Intje Ote, M. Noh Lawewa, D.M.P Djaelangkara, Zainuddin, S. Aidid Al-Hasni, Zainal Abidin Betalembah, M.S. Pattimbang, Rustam Arsjad, M. Nawawian Abdullah, Mahfud Godal, Haruna Pakawaru,

Mohsen Bachmid dan masih banyak lagi6. Tamatan-tamatan inilah

yang diberi otoritas dan kepercayaan menjadi guru sekaligus mubaligh di cabang-cabang madrasah Alkhairat yang telah

6 Mengenai nama-nama tamatan I - III Madrasah Alkhairat

Al-Islamiyah lihat Sofyan B. Kambay. Perguruan Islam Alkhairat Dari Masa ke Masa. (Palu: PB Alkhairat, 1991), hlm. 77-79.

(6)

tersebar dibeberapa wilayah di Sulawesi Tengah dan sekitarnya, karena telah dibekali ilmu pengetahuan agama yang memadai.

Mobilitas murid-murid Sayyid Idrus yang relatif tinggi menyebabkan timbulnya jaringan Alkhairat yang lebih luas melewati batas geografis, maupun asal usul etnik. Persebaran murid-murid ke berbagai wilayah, seperti: Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Irian Barat telah berdampak pada perluasan jaringan Alkhairat di wilayah-wilayah tersebut. Mereka tidak hanya sekedar menjadi juru dakwah dan tenaga pengajar tetapi memainkan peranan penting sebagai mata-rantai dalam upaya menjaga dan mengembangkan, (terutama modal sosial) Alkhairat di daerah-daerah dimana mereka ditempatkan.

Seiring dengan meningkatnya jumlah cabang madrasah di berbagai daerah dan banyaknya para murid serta alumninya, memasuki usianya yang ke-seperempatabad (25 tahun) Alkhairat mulai “membenahi diri” kearah yang lebih terstruktur dari segi organisasi dan progresif dari segi gerakan. Hal ini diawali dengan mengadakan Muktamar atau Kongres pertama yang dilakukan pada tanggal 21-25 Agustus 1956 di Palu. Melalui muktamar ini, Alkhairat telah menjadi sebuah organisasi yang mempunyai struktur kelembagaan dan arah yang lebih jelas. Dalam Muktamar

(7)

I ini dihasilkan beberapa keputusan, yaitu: Pertama, penetapan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; Kedua, penetapan komposisi dan personalia dan; Ketiga, penetapan program kerja dalam rangka menjadikan Alkhairat sebagai sebuah organisasi yang lebih terorganisir dan teratur administrasi serta pengelolaannya. Pada Muktamar tersebut turut dilaporkan perkembangan madrasah Alkhairat yang mencapai 45 madrasah.

Dua tahun setelah Alkhairat menjadi sebuah organisasi, pada 1958 atas saran Zainal Abidin Betalembah (salah seorang murid Sayyid Idrus yang terkemuka) dibuatlah akte Yayasan Alkhairat dengan meminta restu Bupati Kepala Daerah Donggala, Bidin (memerintah tahun 1958-1960) yang dimuat dalam Lembaran Berita Negara RI No. 84 tanggal 20 Oktober 1959. Dengan demikian, Alkhairat telah memiliki badan resmi dengan nama “Yayasan Pendidikan Alkhairat” dan telah mempunyai landasan hukum yang kuat. Pada tahap inilah Alkhairat mulai membangun jaringannya dengan pemerintah daerah dengan cara memasukkan beberapa pejabat pemerintah daerah yang notabenenya adalah murid-murid Sayyid Idrus ke dalam struktur kepengurusan organisasi Alkhairat, sehingga jaringan mereka di pemerintahan dapat digunakan untuk kepentingan Alkhairat.

Tujuh tahun kemudian, Alkhairat kembali mengadakan Muktamarnya yang kedua, yakni pada tanggal 10-15 Agustus

(8)

1963 di Ampana. Dari muktamar tersebut diketahui cabang madrasah Alkhairat mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan memiliki 246 madrasah. Setahun kemudian, pada 1964, Alkhairat membuka sebuah Universitas dengan nama Universtas Islam Alkhairat (UNIS Alkhairat) dimana Sayyid Idrus diangkat sebagai rektornya.

Pada tahun 1970 Alkhairat mengadakan Muktamarnya yang ketiga tepatnya pada tanggal 1-5 Agustus 1970 di Palu. Pada periode 1970-an Alkhairat telah menjelma sebagai organisasi yang memperoleh perhatian pemerintah, baik dari pemerintah daerah Sulawesi Tengah maupun pemerintah pusat. Hal ini dibuktikan dari hadirnya beberapa pejabat pemerintah pusat dan daerah antara lain: Ketua MPRS A.H. Nasution, Ketua DPR-GR K.H. Ahmad Sjaihu, Menteri Negara Bidang Kesra K.H DR. Idham Chalid, Sekretaris Negara Alamsyah Prawiranegara, Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Tengah, dan Bupati Kepala Dearah Kabupaten Donggala dalam muktamar ketiga tersebut.

Pada masa Orde Baru, pemerintah banyak mencurahkan perhatian dan bantuan kepada lembaga Pendidikan Islam, termasuk Alkhairat. Pada tahun 1975, Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, MA, secara khusus ditunjuk oleh Presiden mewakili pemerintah pusat untuk meresmikan gedung Pesantren Alkhairat

(9)

yang biaya pembangunannya diperoleh dari bantuan Presiden Soeharto. Pada tahun yang sama, Menteri Negara, Adam Malik beserta Nelly Adam Malik mengadakan kunjungan ke Sulawesi Tengah di Palu. Pada kesempatan itu, ia menggunakan waktunya untuk berkunjung ke Alkhairat sekaligus memberikan sebuah mobil Toyota untuk digunakan sebagai kendaraan operasional Alkhairat.

Pada tahun 1976, Wakil Presiden RI Sultan

Hamengkubuwono ke IX dan beberapa Menteri Negara mengadakan kunjungan ke Palu. Secara khusus Wakil Presiden

Hamengkubuwono IX bersama rombongan mengadakan

silahturahmi ke Alkhairat untuk melihat perkembangan Alkhairat yang telah banyak membantu pemerintah dalam pengembangan pendidikan dan agama Islam. Pada periode inilah jaringan politik Alkhairat sangat jelas dibangun dengan partai politik yang paling berkuasa pada masa Orde Baru, sehingga Alkhairat dapat menjalin kerja sama dan memperoleh banyak bantuan baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

Sebagai organisasi sosial keagamaan yang tersebar secara masif di Sulawesi Tengah, Perguruan Islam Alkhairat telah banyak melahirkan elit-elit baru yang tidak hanya terdiri dari tokoh-tokoh agama, tetapi juga tokoh-tokoh politik yang memberikan warna

(10)

dalam dinamika masyarakat di Palu. Modal sosial yang terbentuk dari madrasah-madrasah Alkhairat telah menjadikan Perguruan Islam Alkhairat sebagai sebuah kelompok kepentingan yang memiliki modal utama dibangunnya jaringan sosial dan politik Alkhairat di tingkat lokal.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang seperti yang telah disajikan di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengapa jaringan sosial dan politik Alkhairat terbentuk di Palu. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis telah merumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang hendak diungkapkan, yakni: bagaimana terbentuknya jaringan sosial dan politik Alkhairat di Palu?; Mengapa masyarakat di Palu lebih memilih Alkhairat?; Seperti apa pengaruh jaringan politik lokal dalam perkembangan Alkhairat?.

Dalam kajian sejarah, penekanan aspek temporal dan spasial penting dieksplisitkan, sebab ciri khas tulisan sejarah terletak pada kedua hal tersebut. Aspek temporal dari penelitian ini dimulai pada 1930, karena pada tahun inilah Alkhairat pertama kali dibentuk dan telah membangun relasi sosialnya di Palu. Batasan temporal penelitian ini diakhiri pada kurun waktu

(11)

1980-an karena pada periode ini jaringan sosial dan politik Alkhairat telah menyebar secara masif di Palu. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya jajaran politik atau pemerintah daerah yang masuk kedalam struktur Pengurus Besar Alkhairat ataupun sebaliknya. Meskipun demikian, pembatasan temporal di atas tidaklah secara kaku mengikat, seperti yang dikatakan Kuntowijoyo bahwa cakupan waktu dalam studi sejarah tidaklah secara langsung menunjuk suatu periodesasi, sebab dalam perkembangan sosial dan sejarah tidak ada permulaan dan akhir. Kemudian, yang menjadi batasan spasial dalam tulisan ini adalah organisasi Alkhairat yang berada dalam wilayah administratif Palu, baik sewaktu menjadi bagian dari Afdeeling Midden Celebes semasa pemerintahan kolonial Belanda, maupun setelah berkembang menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

C. Tujuan Penelitian

Studi ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus memaknai terbentuknya jaringan sosial dan politik Alkhairat di Palu pada tahun 1930 – 1980-an. Tujuan berikutnya adalah untuk

menjelaskan pengaruh jaringan politik lokal terhadap

perkembangan Alkhairat. Dengan demikian, dinamika

(12)

keagamaan serta efektivitasnya terkait dengan dinamika politik lokal diharapkan dapat terlihat dengan jelas. Selain itu, tujuan lain dari studi ini adalah untuk mendokumentasikan jaringan sosial dan poilitik yang berhasil dibentuk oleh Alkhairat di kota Palu. Harapan penulis dari hasil studi ini adalah dapat memberikan manfaat praktis bagi upaya untuk memahami kehidupan sosial dan politik pada abad XX di kota Palu. Manfaat lainnya dapat dijadikan bahan masukan ataupun bahan pembanding untuk penelitian yang sejenis dan bahan informasi terhadap penelitian lainnya.

D. Landasan Konseptual

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dinamika terbentuknya jaringan sosial dan politik organisasi Alkhairat di Palu. Dengan demikian ada beberapa konsep yang digunakan, yakni organisasi sosial keagamaan; analisis jaringan sosial dan jaringan politik. Dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa organisasi setidaknya memiliki tiga arti: Pertama, sistem sosial yang dibentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; Kedua, suatu kelompok yang mempunyai diferensiasi pekerjaan; Ketiga, sekelompok orang yang sepakat untuk mematuhi seperangkat

(13)

norma7. Dalam arti sempit, organisasi sosial merupakan

sekelompok manusia yang saling mengikat diri untuk bekerjasama mencapai tujuan tertentu, dimana tujuan tersebut tidak secara langsung bermaksud mempengaruhi kebijakan politik, yang biasanya disebut organisasi kemasyarakatan. Adapun yang dimaksud dengan organisasi sosial keagamaan adalah organisasi

kemasyarakatan yang mempunyai orientasi ideologi keagamaan8.

Mengacu pada perspektif ini, Alkhairat merupakan organisasi sosial keagamaan, karena orientasi ideologinya adalah Islam.

Sehubungan dengan penggunaan konsep analisis jaringan sosial untuk melihat perkembangan Alkhairat, maka perlu diuraikan tentang konsep tersebut. Pendekatan jaringan sosial sebagai salah satu pendekatan dalam studi antropologi berupaya untuk memahami bentuk dan fungsi hubungan-hubungan sosial

dalam masyarakat yang kompleks. Menurut Mitchell9, jaringan

sosial dapat dilihat sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang yang

7 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi. (Jakarta: Rajawali,

1983), hlm. 239.

8 Kristiadi, “Sejarah Perkembangan Organisasi Sosial dan

Partai Politik di Indonesia” dalam Analisa 1984, hlm. 59.

9 J. Clyde Mitchell, “The Concept and The Use of Social

Nwtwork” dalam Social Network in Urban Situation: Analysis of Personal Relationships in Central Afrka Town (ed. Mitchell), (Manchester: University of Manchester Press, 1969), hlm. 1-2.

(14)

karakteristik hubungan-hubungan tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari

orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sementara itu, Suparlan10

menyebutkan bahwa jaringan sosial merupakan suatu

pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri dan masing-masing-masing-masing dihubungkan antara satu dengan lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada. Soekanto menyebutkan bahwa hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi yang sistematik antara dua orang atau lebih. Pola dari interaksi inilah yang pada

tahap selanjutnya akan membentuk jaringan sosial11.

Jaringan sosial dapat diumpamakan atau diilustrasikan sebagai sejumlah titik-titik yang dihubungkan oleh garis-garis. Titik-titik tersebut mewakili individu-individu dalam masyarakat atau satuan sosial yang ada, sedangkan garis-garis merupakan perwujudan dari hubungan sosial antar individu yang terdapat

dalam masyarakat atau satuan sosial yang ada12. Dalam jaringan

10 Parsudi Suparlan, “Jaringan Sosial”, dalam Media IKA

Februari, No. 8/X, hlm. 29-47. Jakarta: Ikatan Kekerabatan Antropologi Fakultas Sastra UI, 1982, hlm. 35.

11 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta:

Grafindo, 2000), hlm. 76-77.

12 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II. (Jakarta: UI

(15)

sosial yang bersifat interactive, individu secara nyata berinteraksi dengan individu-individu lain dalam masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan hubungan-hubungan sosial yang dilakukan oleh individu merupakan suatu upaya untuk mempertahankan keberadaannya.

Perkembangan awal Alkhairat sebagai sebuah sekolah Islam pertama di Palu tahun 1930 tidak terlepas dari jaringan sosial yang dibangun oleh tokoh pendiri Alkhairat, Sayyid Idrus bin Salim Aljufri, dengan tokoh-tokoh masyarakat (khususnya orang-orang Arab dan tokoh politik lokal) dan penguasa lokal setempat. Interaksi yang intensif dengan tokoh-tokoh tersebut dibangun atas dasar kepentingan bersama, yakni hendak memajukan pendidikan Islam di Palu yang saat itu sama sekali belum mendapatkan tepat. Terbentuknya jaringan awal tersebut pada gilirannya menimbulkan simpati, kepercayaan, dan dukungan penuh untuk mendirikan madrasah Alkhairat Al-Islamiyah di Palu.

Jaringan sosial itu semakin luas dan kompleks setelah Sayyid Idrus berhasil membina murid-murid yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat Palu dan sekitarnya. Murid-murid inilah yang menjadi mata-rantai dalam perkembangan jaringan Alkhairat pada tahap berikutnya. Kepentingan bersama para murid untuk mengembangkan Alkhairat merangsang kerja sama

(16)

yang pada gilirannya menghasilkan hubungan interpersonal yang sangat dekat. Hubungan personal ini tetap terpelihara dalam berbagai cara meskipun murid-murid tersebut telah berkecimpung di bidang yang lain. Dengan demikian, Alkhairat mampu menjalin hubungan dengan satuan sosial lain, terutama politik dan pemerintah, melalui “warganya” yang berkecimpung dalam ranah tersebut, sehingga menghubungkan Alkhairat dengan jaringan politik lokal.

E. Tinjauan Pustaka

Kajian-kajian yang membahas tentang Alkhairat belum banyak dilakukan. Di sini penulis perlu tekankan bahwa historiografi mengenai Perguruan Islam Alkhairat sebagai sebuah organisasi yang memiliki relasi sosial dan politik di Palu belum ada yang membahasnya sama sekali. Penulis menilai hal ini disebabkan karena tulisan-tulisan mengenai Alkhairat (yang kebanyakan diproduksi oleh para alumni-alumni Alkhairat itu sendiri) seringkali digambarkan secara normatif, artinya hanya diuraikan mengenai perkembangannya tanpa ada penjelasan yang lebih mendalam mengenai proses perkembangannya tersebut.

Di samping itu, meskipun berusaha membahas tentang Alkhairat, namun para penulis-penulis tersebut cenderung lebih memfokuskan tulisannya terhadap tokoh pendirinya saja, yakni

(17)

Sayyid Idrus Bin Salim Aljufri. Menurut penulis hal ini disebabkan karena kedekatan emosional yang kuat penulis-penulis tersebut (sebagai murid) terhadap sosok Sayyid Idrus, sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari tulisan-tulisan tersebut cenderung sama, yaitu keberhasilan Alkhairat sebagai sebuah organisasi yang besar adalah efek dari kharisma Sayyid Idrus semata. Harus diakui bahwa Sayyid Idrus memang memiliki peran sentral dalam pengembangan awal Alkhairat, namun pada tahap selanjutnya justru peranan dari jaringan sosial dan politik yang telah dibangun oleh Alkhairat (dalam hal ini para murid dan Pengurus Besar Alkhairat) yang membuat organisasi ini semakin memperlihatkan kemajuan yang signifikan.

Sudah ada sejumlah tulisan yang membahas tentang Perguruan Islam Alkhairat tentunya dengan perspektif dan

paradigma13 yang berbeda-beda. Beberapa literatur yang

membahas tentang Alkhariat dan tokoh pendirinya (ditulis oleh murid-murid Sayyid Idrus atau tamatan Alkhairat), antara lain:

13 Paradigma merupakan seperangkat konsep yang

berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah

kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami,

menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan atau masalah yang dihadapi. Lihat Heddy Shri Ahimsa-Putra “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”. Makalah, disampaikan pada Kuliah

Umum “Paradigma Penelitian Ilmu-Ilmu Humaniora”,

diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009.

(18)

karya M. Noor Sulaiman Pettalongi, yang berjudul Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie “Guru Tua": Modernisasi Pendidikan dan Dakwah di Tanah Kaili (1930-1969)14. Bisa disebutkan bahwa tulisan ini merupakan biografi Sayyid Idrus bin Salim Aljufri. Di dalamnya disebutkan mengenai perjalanaan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri ke Indonesia, dan kiprahnya dalam bidang pendidikan dan dakwah. Karya ini dapat digunakan untuk melihat relasi awal Sayyid Idrus di Palu. Penulis buku ini sendiri diketahui terlibat dalam jaringan murid Alkhairat yang menyebar ke Maluku Utara dalam rangka menjadi tenaga pengajar cabang madrasah Alkhairat di sana.

Karya lain M. Noor Sulaiman Pettalongi yang berjudul, Alkhairat dan Perubahan Sosial Masyarakat Sulawesi Tengah15. Tulisan ini berusaha mengungkapkan pengaruh Perguruan Islam Alkhairat terhadap perubahan sosial masyarakat Sulawesi Tengah. Di dalamnya diungkapkan mengenai peran Sayyid Idrus bin Salim Aljufri dalam mengislamkan penduduk-penduduk lokal Sulawesi Tengah dan mengubah kebiasan mereka yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dengan menggunakan pola pendekatan

14 Sulaiman Pettalongi, Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie “Guru

Tua": Modernisasi Pendidikan dan Dakwah di Tanah Kaili (1930-1969), (Jakarta: Kultura, 2008).

15 M. Noor Sulaiman Pettalongi, Alkhairat dan Perubahan

Sosial Masyarakat Sulawesi Tengah, (Palu: L3M STAIN Datokarama, 2000).

(19)

dakwah yang menonjolkan aspek-aspek kesantunan dan keteladanan. Meskipun sama-sama membahas tentang Alkhairat, namun karya ini lebih difokuskan pada pengaruh Alkhairat terhadap perubahan sosial masyarakat Sulawesi Tengah, sementara fokus kajian saya penekanannya lebih kepada analisis jaringan sosial dan politik yang dibangun oleh Alkhairat di Palu.

Karya Abdul Kadir RA, Mengenal Sosok Sayyid Idrus bin Salim Aljufri Pendidik Agung Alkhairat16. Tulisan memfokuskan pembahasannya pada biografi Sayyid Idrus. Ada beberapa hal yang diceritakan dalam tulisan ini yakni mengenai kelahiran dan perjalanan Sayyid Idrus fri dari Hadramaut ke Indonesia, silsilah tarekat dan karamahnya.

Adapun literatur yang masih relevan dengan penelitian penulis atau setidaknya sedikit banyak membahas tentang objek kajian penulis (yang ditulis bukan oleh murid-murid Sayyid Idrus atau tamatan Alkhairat) antara lain: karya Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal17. Buku ini menjelaskan

bahwa dinamika Islam Indonesia tidak pernah terlepas dari dinamika dan perkembangan Islam di kawasan-kawasan lain,

16 Abdul Kadir RA, Mengenal Sosok Sayyid Idrus bin Salim

Aljufri Pendidik Agung Alkhairat. (Jakarta: Kultura, 2008).

17 Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan

(20)

khususnya Timur Tengah. Di dalam buku ini terdapat satu bab yang menjelaskan tentang Sayyid Idrus bin Salim Aljufri sebagai seorang ulama Hadrami yang menyebarkan syiar Islam di kawasan Indonesia Timur. Penulisnya juga menggambarkan tentang usaha-usaha yang telah dilakukan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri yang mendedikasikan dirinya pada bidang pendidikan dan dakwah dengan mendirikan madrasah Alkhairat. Tulisan ini dapat digunakan untuk melihat perkembangan Alkhairat pada masa awal didirikannya.

Karya Sutrino Kutoyo, dkk., Sejarah Pendidikan di Sulawesi Tengah18. Buku ini mendeskripsikan bagaimana bentuk-bentuk pendidikan yang ada di daerah Provinsi Sulawesi Tengah yang meliputi empat Kabupaten masing-masing Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Luwuk Banggai dan Kabupaten Buol Toli-Toli pada masa-masa sebelum dan awal datangnya kekuasaan Belanda di Sulawesi Tengah sampai masa-masa tahun 1960-an. Dalam karya ini dijelaskan mengenai perkembangan pendidikan yang terjadi di Sulawesi Tengah dari pendidikan tradisional, pendidikan barat, pendidikan pada abad ke-20, pendidikan zaman Jepang, hingga pendidikan pada zaman kemerdekaan Indonesia.

18 Sutrisno Kutoyo, dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi

(21)

Karya ini membantu penulis dalam melihat kondisi pendidikan di Palu terlebih sebelum berdirinya Perguruan Islam Alkhairat.

Tesis dengan judul “Sejarah Kota Palu 1932-1964” oleh

Charles Kapile19. Karya ini menjelaskan mengenai perkembangan

Kota Palu yang semula merupakan bagian dari wilayah Sulawesi Utara Tengah (keresidenan Manado) hingga secara otonom menjadi sebuah Provinsi Sulawesi Tengah dengan Palu sebagai Ibukotanya. Penelitian mengenai sejarah kota Palu selama kurun waktu 32 tahun ini lebih diarahkan terhadap masalah ekonomi, sistem administrasi pemerintahan, sosial, dan sistem pendidikan. Karya ini sangat membantu penulis untuk mengetahui gambaran Palu secara umum, terlebih lagi karena aspek temporal dan spasial yang relevan dengan penelitian penulis.

F. Metode & Sumber

Studi ini menggunakan metode sejarah untuk

mengungkapkan permasalahan yang dikaji. Metode sejarah memiliki seperangkat langkah kerja mulai dari persiapan hingga penyusunan hasil akhir dalam bentuk historiografi. Langkah

19 Charles Kapile, “Sejarah Kota Palu 1932-1964”. Tesis S2,

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2001.

(22)

pertama diawali dengan pengumpulan sumber-sumber primer dan sekunder berkaitan dengan topik penelitian yang dibahas. Sumber-sumber primer yang digunakan terdiri dari arsip-arsip Belanda dalam bentuk Koloniaal Verslag, BKI, dan MvO (memorie van overgave) yang berkaitan dengan kondisi masyarakat Palu sebelum dan sesudah madrasah Alkhairat didirikan pada masa pemerintahan Belanda. Dalam MvO tahun 1934 saya mendapatkan data tentang Alkhairat dan jumlah muridnya. Penggunaan sumber-sumber Belanda ini yang membedakan penelitian saya dengan tulisan-tulisan sebelumnya, sebab selama ini tulisan mengenai Alkhairat tidak pernah direkonstruksi menggunakan sumber-sumber kolonial, padahal Alkhairat sendiri dibentuk pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Sumber primer lainnya berasal dari arsip-arsip Pengurus Besar Alkhairat terutama hasil-hasil keputusan Muktamar, buku-buku dan koran yang diterbitkan oleh Yayasan Alkhairat yang menceritakan perkembangan Alkhairat dari waktu ke waktu, dan yang lebih penting surat-surat pernyataan terkait situasi politik saat itu. Penulis agak kesulitan untuk menelusuri arsip-arsip di Alkhairat, karena pengarsipan di tempat ini memang tidak bagus. Banyak arsip tentang laporan-laporan kegiatan yang hilang atau

(23)

rusak, sehingga sulit diidentifikasi, karena arsip-arsipnya tidak disimpan di tempat yang layak.

Untuk menutupi kekurangan data tertulis, saya

menggunakan oral history20 yang diperoleh dari beberapa informan

yang pernah terlibat sebagai Pengurus Besar Alkhairat dan murid-murid langsung Sayyid Idrus. Saya banyak menemukan data berupa keterangan-keterangan mengenai relasi sosial dan politik Alkhairat terutama dari cucu Sayyid Idrus sekaligus Ketua Utama Perguruan Islam Alkhiarat dari tahun 1974 hingga sekarang. Penggunaan sumber lisan pada penelitian ini dimungkinkan, mengingat cakupan temporal waktunya memasuki periode kontemporer dan masih ada beberapa saksi hidup sezaman yang dapat dimintai keterangannya. Adapun sumber-sumber sekunder yang digunakan dalam tulisan ini terdiri dari buku-buku yang membahas tentang Palu secara menyeluruh yang diperoleh dari Perpustakaan Daerah Sulawesi Tengah, Perpustakaan FIB UGM, Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Daerah Yogyakarta.

20 Menurut John Roosa dan Ayu Ratih, sejarah lisan tampak

sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sumber lisan merupakan memori peristiwa yang dialami oleh seseorang yang dituangkan dalam bentuk lisan atau cerita melalui wawancara. Lihat John Roosa dan Ayu Ratih. ”Sejarah lisan di Indonesia dan kajian subjektivitas” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 177.

(24)

Setelah mengumpulkan sumber-sumber yang diinginkan, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah kritik (verifikasi) terhadap sumber-sumber yang telah didapatkan. Kritik ini meliputi kritik ekstern dan interen. Kritik ekstern dilakukan untuk menilai dan menguji suatu sumber dari segi fisik, sedangkan kritik interen dilakukan untuk melihat isi dokumen. Setelah verifikasi dilakukan, tahap berikutnya melakukan interpretasi untuk menggali makna dan informasi yang terdapat dalam sumber, sehingga diperoleh fakta sejarah. Fakta-fakta yang berhasil ditemukan --yang berkaitan dengan topik penelitian-- kemudian disusun dan dirangkaikan menjadi suatu kesatuan yang sistematis dan logis dalam bentuk historiografi.

G. Sistematika Penulisan

Tulisan ini terdiri dari enam bab yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Hal ini diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman yang utuh mengenai perkembangan jaringan sosial dan politik Alkhairat di Palu pada 1930-1980-an.

Bab pertama merupakan Pendahuluan untuk memasuki bab-bab yang didalamnya diuraikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan penelitian, tinjauan

(25)

pustaka, metode dan sumber, sistematika pembahasan berupa penjabaran dari masing-masing bab.

Bab Kedua menguraikan tentang situasi wilayah dan masyarakat Palu pada awal abad ke-20 yang dibagi lagi dalam beberapa sub-bab seperti: perkembangan wilayah Palu, demografi penduduk Palu, stratifikasi sosial masyarakat Kaili di Palu, dan lahirnya madrasah Alkhairat.

Bab Ketiga mendeskripsikan tentang pemikiran tokoh Alkhairat yang dalam hal ini direpresentasikan oleh permikiran Sayyid Idrus sebab ia merupakan tokoh pendiri sekaligus pemimpin Alkhairat. Pada bab ini penulis berusaha menjelaskan pemikiran tokoh Alkhairat yang dibagi kedalam dua sub-bab, yaitu: pemikiran Sayyid Idrus dalam bidang sosial keagamaan dan pemikiran Sayyid Idrus dalam bidang politik

Bab Keempat membahas mengenai perkembangan Madrasah Alkhairat Al-Islamiyah dan perluasan jaringan madrasahnya. Bab ini terdiri terdiri dari tiga sub-bab, yaitu: sekelumit tentang Sayyid Idrus Bin Salim Aljufri dan terbentuknya jaringan sosial awal Alkhairat, perkembangan sistem pendidikan madrasah Alkhairat, dan perluasan jaringan madrasah Alkhairat dari kota ke pedalaman.

Bab Lima mengulas tentang dari perkembangan Alkhairat

(26)

perkembangan jaringan sosial dan politiknya. Deskripsi bab ini diawali tentang pembentukan dan perkembangan organisasi perguruan Islam Alkhairat. Kemudian bagian selanjutnya menguraikan tentang perkembangan jaringan Alkhairat di bidang politik dan pemerintahan daerah. Bab keenam merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari permasalahan dan persoalan-persoalan yang sebelumnya telah dirumuskan.

Referensi

Dokumen terkait

%ilakukan penyesuaian rencana kegiatan oleh Kepala Puskesmas, Penanggungjawab Upaya Puskesmas, lintas program dan lintas sektor terkait berdasarkan hasil monitoring, dan jika

Hasil wawancara dengan informan 1 mengungkapkan bahwa sebaiknya didepan pintu masuk IGD diberi papan informasi yang menyatakan pelayanan terhadap pasien berdasakan

Hasil analisa dari laporan keuangan pokok syariah pada Pegadaian Syariah pada website mereka ditemukan bahwa Pegadaian Syariah hanya mempublikasikan laporan posisi

PEKERJA BUKAN PENERIMA UPAH DAN BUKAN PEKERJA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN. Nomor Registrasi Online

Berdasarkan perhitungan perpindahan arus lalu lintas ke Semarang Outer Ring Road (SORR) dimana pada tahun 2020 jalan itu beroperasi didapatkan besarnya arus lalu lintas

Penelit ian ini m enggunakan m odel pem belaj aran learning cycle 7E pada kelas eksperim en dan m odel pem belaj aran learning cycle 5E pada kelas kont rol, agar

Laporan yang dapat dipercaya kualitas audit yang baik dapat mengurangi kekhawatiran akan adanya manipulasi dalam laporan keuangan yang disajikan suatu perusahaan dan

Penulisan penelitian hukum (skripsi) dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Api Tanpa Hak Oleh Masyarakat Sipil”, ini termasuk