• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEGRADASI MORAL PARA KAUM KULI JAWA PADA PERUSAHAAN PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEGRADASI MORAL PARA KAUM KULI JAWA PADA PERUSAHAAN PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

1

DEGRADASI MORAL PARA KAUM KULI JAWA PADA PERUSAHAAN

PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ 1887-1890

Galuh Bekti Pamungkas, Dr. Lilie Suratminto S.S., M.A.

Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia, 2014.

Email: galuhbekti12@gmail.com

Abstrak

Artike l ini me mbahas kondisi mo ral para kuli pribu mi yang bekerja di pe rkebunan Deli Maatschappij di Su matera Timur. Penelit ian dala m art ike l ini adalah kualitatif yang mendeskripsikan tentang kondisi moral para kuli pribu mi yang berasal dari Jawa, sela ma mere ka be kerja di perusahaan perkebunan Deli Maatschappij periode 1887 hingga 1890. Hasil dari penelit ian ini adalah adanya degradasi mo ral pada kuli Jawa di perkebunan Deli Maatschappij. Ku li Ja wa yang datang ke Deli bertujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik na mun yang terjadi para kuli Ja wa men jadi ge mar berfoya-foya, berjudi, dan datang ke pe lacuran. Ketida kadilan yang diterima oleh para kuli Jawa dari para tuan perkebunan dan penderitaan tiada akh ir yang mere ka ala mi adalah alasan mengapa terjad i degradasi mora l tersebut.

Kata Kunci : degradasi moral, kuli jawa, Deli Maatschappij

A Moral Degradation of the Javanese Labors in Deli Maatschappij East Sumatera 1887 to 1890.

Abstract

This article discusses about moral condition of the indigenous labors who moved from Java to East Su matera and they want to work in The Deli Maatschappij Farming. This is a qualitative study which e xpla ins about the mora l condition of labors fro m Java. The result of this study shows there is a moral degradation of Java Labours who worked in Deli Matschappij in year fro m 1887 to 1890. The javanese labors who came to Deli want to get the better future after their life in Java. The mora l degradation looks fro m their attitude and habits as long as they work. They ca me into prostitution and they spend their money for ga mbling and alcohol. An in justice situation is the reason why the Javanese labors in Deli transform and make their moral to be degradated.

(6)

2

Pendahuluan

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, Deli dipimpin oleh seorang Sultan yang mengatur keluarmasuknya barang-barang perdagangan. Sultan memperoleh penghasilan bea cukai dari pengiriman tembakau yang menjadi primadona saat itu ke Penang. Pesona tembakau Deli tercium oleh bangsa Eropa saat itu Inggris dan Belanda yang ingin menguasai tanah Deli. Akibat sebuah perselisihan antara Kesultanan Deli dan Kesultanan Aceh, Belanda berhasil masuk wilayah Deli melalui sebuah perjanjian tahun 1862. Perjanjian itu menyebutkan diijinkannya Belanda masuk ke wilayah Deli sebagai upah perlindungan Belanda terhadap kesultanan Deli dari serangan Kesultanan Aceh. Sejak perjanjian itu semakin banyak orang Belanda yang ingin menanamkan modal untuk perkebunan tembakau di Deli, salah satunya adalah Jacobus N ienhuys. Ia adalah seorang pekerja di kongsi dagang yang telah berpengalaman mengurusi tembakau karena ia bekerja di kongsi dagang Van den Arend di Jawa Timur. Ringkas cerita, Nienhuys berhasil memperoleh tanah dan mulai mengembankan usaha perkebunan tembakau miliknya di Deli. Pada akhir bulan Desember 1867 Jacob N ienhuys kembali ke Sumatera Timur, setelah ia pergi ke Belanda untuk mencari tambahan modal. Saat itu ia berhasil mengajak orang-orang Belanda lainnya untuk menanamkan modalnya untuk terus membesarkan perkebunan. Dalam periode setahun, Nienhuys berhasil memperoleh keuntungan 37.000 gulden. Kemudian dua tahun berikutnya dari perkebunan yang sama Nienhuys berhasil memperoleh keuntungan yang lebih besar yakni 36.400 gulden dan 87.200 gulde n1. Berdasarkan pengalaman Nienhuys dan dua rekannya Janssen dan Clement yang begitu banyak memperoleh keuntungan, mengundang perusahaan dagang Belanda Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) untuk memberikan modal dan mendirikan sebuah perseroan terbatas di Deli. NHM memegang 50% dari seluruh saham perusahaan Deli Maatscahapp1ij tersebut. Deli Maatschappij adalah perusahaan

1Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria oleh Karl J. Pelzer tahun 1985

Gambar 1. Sultan Mahmud Parkasa Alam (1858-1873) Sultan Deli yang menjalankan gagasan masuknya penanam modal besar asing sekaligus meminta perlindungan dari Belanda

Sumber : Buku Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya karya H. Mohammad Said tahun 1977

(7)

3 Gambar 2. Jacob Nienhuys (1836-1928)

Sumber :

http://www.amsterdamsegrachtenhuizen.in fo/gracht/hge/hge400/hg14380/?tx_sbtab_ pi1%5Btab%5D=5

pertama didirikan di Sumatera Timur atau sebenarnya di se luruh Hindia Belanda selama ini. Sebelumnya hingga tahun 1869 perusahaan-perusahaan dikembangkan oleh para pedagang dan para pemilik onderneming yang bekerja sendiri (Pelzer, 1985: 58).

Seiring dengan perkembangannya perusahan Deli menjadi perusahaan perkebunan raksasa, Deli Maatschppij sangat membutuhkan tenaga kerja manusia. Keadaan alam Sumatera Timur waktu itu yang masih alami, memaksa perusahaan perkebunan raksasa ini mendatangkan ba nyak tenaga kerja untuk membuat fasilitas-fasilitas perkebunan. Penebasan pohon-pohon besar, pembuatan saluran air, pengelolaan tanah penanaman tembakau dan sebagainya sangat memerlukan tenaga manusia dalam jumlah yang besar. Tenaga kerja adalah faktor utama yang menentukan sebuah perusahaan mampu bertahan. Deli Maatschappij sendiri sebagai perusahaan raksasa perkebunan tentunya sangat bergantung pada para tenaga kerja demi memperoleh hasil produksi yang besar. Keadaan itu yang memaksa mereka membuat kebijakan untuk mendatangkan banyak tenaga kerja atau buruh baik dari tanah Jawa maupun dari luar negeri. Buruh menjadi sesuatu yang amat penting bagi Deli Maatschappij dan menjadi fokus utama para tuan-tuan tanah untuk segera didatangkan ke tanah Deli, Sumatera Timur.

Adanya kelas sosial di Deli Maatschappij timbul karena adanya pekerja dari Jawa, Cina, India dan para tuan-tuan perkebunan yang mayoritasnya adalah orang Belanda. Sebagai pimpinan perkebunan, orang-orang Belanda merupakan kelas sosial tertinggi di lingkungan masyarakat Deli Maatschappij. Jabatan-jabatan tinggi di dalam perkebunan diduduki oleh orang-orang Belanda. Orang Cina dan Jawa berada di kelas lebih rendah, sebagai kuli-kuli perkebunan yang memiliki upah rendah. Di dalam kelas sosial terendah yaitu para kuli perkebunan Deli Maatschappij, terdapat perbedaan antara kuli dari C ina dan kuli Jawa. Di kelas sosial terendah ini seringkali terjadi perselisihan antara kuli C ina dan Jawa. Ada perbedaan dari intensitas kerja mereka dan keuletan mereka yang memicu adanya perselisihan antara kuli tersebut. Kuli C ina dikenal lebih rajin dan lebih cepat dalam melakukan pekerjaannya dibanding kuli Jawa yang cenderung lebih malas. Masalah lain adalah adanya perbedaan kebiasaan dari kuli C ina dengan kuli Jawa yang jauh

(8)

4

berbeda. Kuli Cina memiliki kebiasaan untuk menabungkan atau menyimpan hasil dari jerih payah mereka selama mereka bekerja untuk nantinya dapat mereka manfaatkan untuk membuka toko kelontong yang tentunya dapat membantu penghidupan mereka kelak. Hal itu berbanding terbalik dengan kuli Jawa yang cenderung sering menghambur-hamburkan uang gaji mereka untuk kesenangan mereka seperti berjudi atau menyewa perempuan bayaran untuk melayani mereka.

Kehadiran kuli Cina menjadi latar belakang kuli-kuli Jawa semakin tertekan. K uli Jawa yang memiliki kebiasaan yang buruk membuat kehidupan mereka menderita. Tidak jarang siksaan-sikaan mereka terima dari para tuan perkebunan karena kelalaian dan kecerobohan kuli Jawa lantaran kebiasaan dan tabiat yang buruk. Hal itu diperparah lagi karena kepergian mereka dari tanah Jawa ke Deli di mana mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik, justru memperoleh kemalangan dan penderitaan. Hal itu membuat peneliti semakin tertarik untuk meniliti kehidupan para kuli Jawa selama bekerja di Deli Maatschappij. O leh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan memaparkan bagaimana kondisi moral para kaum kuli pribumi dengan penderitaan yang dialami mereka selama bekerja di Deli Maatschappij?; serta apa bentuk degradasi moral dari kuli Jawa sebagai akibat dari penderitaan mereka di sana? Kedua pertanyaan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian pada kehidupan kuli Jawa di Deli Maatschappij.

Artikel ini bertujuan untuk memperlihatkan gambaran kondisi moral para kuli Jawa di Perkebunan Deli Maatschappij. Di samping itu, dalam tulisan ini penulis memaparkan apa saja bentuk-bentuk degradasi moral dari para kuli Jawa selama mereka bekerja di perkebunan Deli Maatschappij sebagai akibat dari penderitaan dan penindasan yang mereka alami.

Metode penelitian pada artikel ini adalah penelitian deskriptif analisis. Menurut Ratna (2004), metode penilitian deskriptif analisis adalah metode penilitian yang bertujuan untuk menguraikan dan kemudian memberikan pemahaman serta penjelasan sehingga dapat diketahui makna dari sesuatu yang diteliti. Dalam penilitian ini dilakukan suatu pendekatan permasalahan berdasarkan fakta-fakta sejarah yang diperoleh dan kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan yang menjawab permasalahan. Penilitian ini dibatasi dengan melihat kondisi kehidupan para kuli Jawa di Deli Maatschappij hanya pada rentang tahun 1887 hingga tahun 1890. Penulis akan membagi penelitian ini menjadi tiga tahap, tahap pertama mencari fakta- fakta sejarah tentang penderitaan kuli Jawa dan juga perilaku buruk kuli Jawa selama bekerja di Deli Maatschappij. Tahap kedua peneliti melakukan pengkajian data, yaitu fakta-fakta sejarah mengenai penderitaan para kuli Jawa di Deli Maatschappij dikaitkan dengan fakta- fakta sejarah mengenai perilaku dan tabiat buruk dari para kuli Jawa selama bekerja di Deli Maatschappij. Selanjutnya di tahap terakhir,

(9)

5

hasil pengkajian data tersebut didasarkan pada teori perburuhan dan moralitas sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan.

Buruh atau Kuli

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Digital terbitan tahun 2014, definisi dari kata buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Di Indonesia sering diasosiasikan buruh dengan sebutan kuli. Seseorang yang bekerja kepada orang lain atau perusahaan demi mendapatkan upah dikatakan sebagai buruh atau kuli. Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Buruh adalah pekerja yang pada umumnya menggunakan tenaga sebagai alat untuk mendapatkan upah atau gaji sebagai penghasilan. Dalam kehidupan sehari-hari, buruh dapat juga dibedakan seba gai buruh halus dan buruh kasar2.

Menjadi sebuah tuntutan bahwa setiap perusahaan ataupun orang yang mempekerjakan seorang buruh harus memberikan upah dan memperlakukan buruh mereka dengan seadil-adilnya. Seorang buruh harus mendapatkan perlindungan kerja seadil- adilnya dari orang yang mempekerjakannya. Secara teori dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja3. Pertama adalah perlindungan sosial. suatu perlind ungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial disebut juga dengan kesehatan kerja. Kedua adalah perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja. Ketiga adalah perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memnuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial.

2 Skripsi berjudul Kehidupan Buruh Perkebunan Deli Maatschappij 1920-1942 oleh Debi Yusmin Ardiani tahun 2009 3 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja), Jakarta, Raja Grafindo Persada,

(10)

6

Degradasi Moral

Berpedoman pada ketiga dasar perlindungan terhadap buruh di atas, seorang kuli perkebunan di Deli Maatschappij saat itu seharusnya dilindungi dan dipenuhi upahnya setelah mereka bekerja keras. Ironisnya yang terjadi di perkebunan Deli Maatschappij adalah keadaan kuli yang semakin sengsara atas tekanan-tekanan yang mereka terima. Melihat kondisi tersebut melahirkan sebuah tingkat moral yang menurun dari pada kaum kuli khususnya kuli Jawa. K uli Jawa yang kalah kualitas dibandingkan dengan kuli Cina menjadi leb ih menderita. Moral dan sikap yang ditunjukan para kuli Jawa dicerminkan dari bagaimana buruknya kebiasaan mereka dalam menjalani kehidupan sehari- hari. Gaya hidup yang menghambur-hamburkan uang setelah mereka memperoleh upah merupakan adanya indikasi degradasi moral yang dialami kuli Jawa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, degradasi berarti, kemerosotan, penurunan. Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan sedangkan kata Moralitas menurut KBBI digital 2014 adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Moral dan moralitas adalah sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan, etikat manusia yang hadiri dalam diri manusia sehingga manusia tersebut dapat dicap baik ataupun buruk dari etiket yang dimilikinya. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif atau buruk pada etiket dan kebiasaannya di mata manusia lainnya. Kesimpulannya adalah moral adalah sesuatu hal yang mutlak dan harus dimiliki oleh manusia.

Immanuel Kant berpendapat bahwa moralitas adalah hal keyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuain aturan dari luar, entah itu aturan hukum Negara, agama atau adat-istiadat. Menurut Robert J. Havighurst moral adalah sesuatu yang bersumber dari suatu tata nilai. Atau dengan kata lain, suatu tata nilai estetika yang dianut oleh seorang manusia dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah tindakan yang baik ataupun yang buruk sesuai dengan tata nilai yang dianut oleh orang tersebut. Apa yang terjadi pada kaum kuli di perkebunan saat itu adalah sebuah ketidakterimaan dalam jiwa mereka akan sebuah keadaan sehingga memicu mereka melakukan tindakan di luar tata nilai yang mereka junjung tinggi dalam hati nurani mereka.

Multiras Para Kuli di Perkebunan Deli Maatschappij

Perkebunan Deli berkembang pesat hingga menjadi industri yang sangat besar di Nusantara. Pengerahan mesin- mesin berteknologi tinggi menghasilkan produksi tembakau yang luar biasa,

(11)

7

bahkan perharinya mencapai angka 2868 bal4. Sebuah bukti bahwa industri perkebunan tembakau Deli ini telah berubah menjadi industri raksasa yang memperkerjakan banyak pekerja dan tentunya menghasilkan keuntungan besar.

Banyak tenaga kerja asing didatangkan ke Deli dan diikat kontrak untuk bekerja sebagai kuli perkebunan. Hingga memasuki abad ke-20 kota Deli memiliki 1,2 juta pendatang dan 250 ribu jiwa diantara mereka adalah bekerja sebagai kuli kontrak di Perkebunan Deli5. Tidak heran bahwa kota Deli ataupun provinsi Sumatera bagian Utara dan Timur disebut kota yang paling multikultural diantara kota-kota lainnya di Indonesia. Bahkan di dunia internasional banyak yang beranggapan bahwa kota Medan adalah kota berkembang yang paling global dan maju dibandingkan kota lain di Indonesia, sekalipun kota-kota di pulau Jawa. Dengan demikian ada pergesekan budaya di sana, yang seringkali menimbulkan konflik di antara para kuli perkebunan.

Gambar 3. Kuli Cina yang datang ke Deli pada tahun 1885

Sumber : Buku Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya karya H. Mohammad Said tahun 1977

Perilaku ‘Buruk’ para Kuli Pribumi

Keadaan itu semakin diperkaya dengan kehadiran kuli impor yang didatangkan dari Cina. Kuli Cina diimpor oleh para pemimpin perkebunan yang mayoritas adalah orang Belanda guna mengoperasikan mesin- mesin pabrik, selain itu mereka juga dikenal sebagai kuli yang lebih cekatan serta ‘pintar’ dibandingkan kuli-kuli pribumi. Mengapa bisa muncul pendapat seperti itu? Ada beberapa faktor yang menguatkan pendapat tersebut. Pertama adalah memang benar keadaannya bahwa kuli-kuli pribumi lebih ‘malas’ dalam bekerja. Hal itu disebabkan karena posisi mereka yang

4 Artikel berjudul “Medan Sebagai Kota Pembaruan Sosio Kultur di Sumatera Utara pada Masa Kolonial Belanda ” oleh

Suprayitno, 2005 hal : 3

(12)

8

dahulu adalah sebagai pemilik kebun dan mempunyai haknya sendiri atas hasil kebun, namun kini mereka harus bekerja untuk orang lain. Keadaan seperti itu membuat mereka merasa dikucilkan di tempat mereka dan merasa bahwa pihak Belanda telah mencuri lahan milik mereka. Oleh karena itu, para kuli pribumi malas dalam bekerja di perkebunan. Kedua, kemampuan dan kualitas kuli C ina memang lebih baik dibandingkan kuli-kuli pribumi. Hal itu tidaklah mengherankan karena kuli pribumi sebelumnya memang tidak pernah memiliki kemampuan dasar untuk mengoperasikan mesin- mesin pabrik industri besar. Sebaliknya para kuli C ina telah memiliki pengalaman sebelumnya sehingga terbiasa bekerja di sebuah industri perkebunan besar seperti Perkebunan di Deli ini.

Perbedaan antara kuli pribumi dan kuli C ina tidak hanya terlihat dari segi kualitas kemampuan mereka, namun juga terlihat dari kepribadian mereka. Pendapat akan perilaku ‘buruk’ yang dimiliki para kuli pribumi juga diutarakan para mandor perkebunan. Bagaikan semut-semut yang sedang bergerombol, putera-putera berkulit kuning dari Kekaisaran Langit-yang sangat dibenci oleh Orang Melayu yang pendiam, ceroboh, dan naif- terus berlalu- lalang (Laszlό Székely: 1937).

Gambar 4. Sekumpulan kuli kontrak dari tanah Jawa tahun 1886

Sumber : Buku Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya karya H. Mohammad Said tahun 1977

Orang pribumi dikenal sebagai pribadi yang malas dan berper ilaku buruk, bahkan para kuli Cina memiliki stereotip terhadap para pribumi, bahwa kuli pribumi hanya menginginkan ‘bersenang-senang’. Pendapat tersebut semakin diperkuat bahwa para kuli pribumi lebih senang menghabiskan uang upah yang mereka peroleh untuk bermain judi. Oleh karena kekurangan dalam segala-galanya, timbullah di dalam diri mereka suatu nafsu yang tidak terkendalikan untuk mencari

(13)

9

nasib baik dengan bermain judi; suatu nafsu yang dengan sengaja dikorbankan oleh perusahaan setelah dilakukan pembayaran (“Pemikiran Tan Malaka Selama di Sumatera Utara (1920-1921)”). Para kuli pribumi kemudian menjadi kecanduan bermain judi, mereka seringkali memenangkan permainan haram tersebut dan membuat mereka ingin terus memainkannya lagi. Padahal seiring berjalannya waktu, jumlah kuli yang memenangkan judi jauh lebih sedikit dibandingkan yang kalah dan bangkrut, sehingga membuat mereka terpaksa meminjam kepada perusahaan. Hal itulah yang membuat mereka bertahun-tahun harus menjalani kontrak kerja tanpa upah demi menutup hutang mereka.

Kondisi rakyat yang bodoh, terjerat hutang, tak jarang sering terjadi penyerangan-penyerangan kaum kuli terhadap orang Belanda. Ketika Tan Malaka tiba di Deli pada saat itu saja setiap tahunnya sebanyak 100 sampai 200 orang Belanda tewas diserang kaum kuli6.

Gambar 5. Penggambaran penderitaan Kuli Jawa dibawah perintah Tuan Perkebunan. Kuli-kuli dengan cangkul dan Tuan Perkebunan dengan tongkat

Sumber : Buku Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya karya H. Mohammad Said tahun 1977

Keadaan seperti itu membawa penderitaan bagi para kuli pribumi. Mereka harus bekerja tanpa upah, baju yang compang camping serta kelaparan. Keberadaan mereka menjadi kuli kelas paling rendah jauh di bawah kualitas hidup para kuli C ina. Penderitaan yang sangat menyiksa para kuli membuat mereka seringkali melakukan kejahatan terhadap para mandor dan kuli C ina. Hal itu diperparah dengan kualitas kuli C ina yang mampu mengelola pendapatan mereka, sehingga dengan perlahan mereka mampu merubah nasib mereka. Orang-orang Cina berubah menjadi kaya raya,

6Kutipan dari Artikel berjudul “Tan Malaka Guru Revolusioner: Pemikiran dan Aksi Pendidikan” oleh Fridiyanto Yanto,

(14)

10

karena kemampuan mereka beradaptasi dengan baik serta mampu mengelola pendapatan mereka secara efektif. Padahal beberapa tahun sebelumnya mereka didatangkan dari C ina sebagai pekerja yang tidak memiliki apa-apa bahkan jauh lebih sulit dibandingkan keadaan kuli pribumi7.

Kuli Perempuan di Deli Maatschappij

Tidak hanya kaum pria, para tenaga kerja yang didatangkan dari pulau jawa juga menyertakan para perempuan. Perempuan didatangkan bertujan sama, yaitu mereka dipekerjakan sebagai buruh-buruh kasar perkebunan yang bisa mengerjakan apa saja dan tentu saja diikat kontrak selama beberapa tahun. Upah yang diberikan sebenarnya tidak dengan jumlah yang besar namun jumlah upah tersebut adalah uang yang amat berarti bagi mereka tenaga kerja Jawa yang sebelumnya hidupnya jauh lebih menderita.

Perempuan datang ke Deli dengan kontrak kerja pertahun, biasanya dua tahun bekerja. Mereka bekerja dari pagi hingga pukul 8 malam. Pekerjaan yang diberikan mandor kepada mereka biasanya pekerjaan yang lebih ringan dari apa yang dikerjakan para kuli pria. Biasanya mereka bekerja untuk menyingkirkan ulat atau hama lainnya pada daun tembakau. Banyak juga yang bekerja di sungai sebagai pemecah batu.

Para kaum kuli perempuan juga tidak terlepas dari kecanduan berjudi seperti halnya kaum pria. Para kuli perempuan juga tidak berdaya atas godaan untuk bermain judi, di mana mereka mempertaruhkan apa saja demi mendapatkan nasib baik. Bukan nasib baik yang mereka dapatkan namun justru hutang yang berlipat-lipat melebihi upah mereka perhari. Berjudi pada saat itu merupakan candu yang sangat sulit ditahan oleh para kuli pribumi, tidak terkecuali para kuli perempuan. Mereka terpaksa memperpanjang kontrak mereka ke perusahaan demi melunasi hutang-hutang.

Di samping itu, ada beberapa keahlian yang dimiliki oleh kuli perempuan yang tentu saja tidak dimiliki kuli pria. Para kuli perempuan memiliki daya tarik tersendiri kepada kaum pria yang melihat mereka. Dari mandor hingga ke tuan tanah semuanya bisa saja terpesona oleh daya tarik kuli perempuan. Para tuan tanah itu sebenarnya telah memiliki istri, yang mereka datangkan dari negeri mereka Belanda. Tuan tanah yang seluruhnya adalah orang Belanda bahkan merasa lebih tertarik kepada kuli perempuan dibandingkan istri mereka. Menurut mereka istri mereka penuh dengan keluhan dan keinginan yang sangat memusingkan mereka, sehingga hal tersebut membuat mereka muak dan terpesona akan kecantikan perempuan pribumi yang sebena rnya hanyalah

(15)

11

seorang kuli kasa8. Perempuan-perempuan berkulit putih itu. . . Tidak dapat diandalkan dan hanya akan membuat masalah. . . Selalu saja membuat masalah . . . Mereka biasanya sakit-sakitan atau melahirkan anak (Rubber, Madelon Székely-Lulof). Kutipan di atas adalah kutipan dari roman berjudul Rubber yang memperkuat bahwa para tuan tanah memang benar-benar bosan dengan para istri mereka dan lebih tertarik kepada perempuan pribumi.

Keadaan seperti itu membuat lahan pekerjaan bagi para kaum kuli perempuan pribumi menjadi semakin luas. Mereka tidak saja bisa pekerja sebagai kuli kasar perkebunan, tapi mereka bisa juga bekerja sebagai pembantu bagi para tuan tanah. Tentu saja mereka bisa memperoleh penghasilan lebih banyak dibandingkan hanya bekerja sebagai kuli perkebunan dan pekerjaannya jauh lebih ringan. Di antara mereka juga bekerja sebagai pelacur di malam harinya, pekerjaan yang akan terus menambah pundi-pundi uang mereka. Di malam hari biasanya para kuli perempuan ini mendatangi warung-warung kopi dan mereka menjajakan diri mereka terhadap pria yang ada di sana. Mandor dan tuan tanah tidak akan melewatkan momen itu. Dengan penghasilan besar, mereka rela memberikannya kepada para pelacur tersebut demi kepuasan hasrat mereka. Tidak hanya untuk para mandor dan tuan tanah, para kuli pribumi yang memiliki penghasilan lebih pun diperbolehkan merasakan jasa mereka. Hal itulah yang membuat habisnya upah mereka dalam sekejap.

Para kuli perempuan tersebut sebenarnya sangat terpaksa menjalani pekerjaan ya ng seperti itu. Namun tuntutan bertahan hidup dan serba kekurangan mereka harus menjalani pekerjaan yang sarat akan penyakit itu.

Penderitaan Kuli Jawa sebagai Pemicu Degradasi Moral

Di era awal pendirian Perusahaan Perkebunan Deli Maatschappij, para pengusaha perkebunan menginginkan tenaga kerja dalam jumlah banyak mengingat luasnya wilayah perkebunan Deli. Namun ternyata, para pengusaha menemukan kesulitan untuk mencari tenaga kerja. Para penduduk lokal Deli, tidak bersedia bekerja di perkebunan, karena mereka telah memiliki perkebunan mereka sendiri dan mereka lebih suka bertani sendiri. Usaha untuk mendatangkan pekerja dari pribumi Melayu terbentur karena adanya kesan “malas” di mata pemimpin . Deli Maatschappij sebelumnya telah mendatangkan pekerja-pekerja dari C ina dan India.

Penderitaan para kuli sebenarnya telah dimulai di tahun-tahun sebelumnya, yakni di mana ketika Nienhuys baru menanamkan modalnya di perkebunan di Deli. Semenjak diijinkannya

(16)

12

Nienhuys untuk mendirikan perkebunan di Deli oleh Sultan Deli, sebenarnya dari sanalah penderitaan para buruh kerja dimulai. Sejak semula Nienhuys melakukan segala usahanya untuk memperbesar perkebunannya itu dengan bertindak semena-mena terhadap kuli perkebunan. Terlihat sangat jelas bahwa N ienhuys terus menginginkan agar para tuan perkebunan senantiasa memperoleh hasil produksi yang tinggi dari perkebunannya. Oleh karena itu para tuan perkebunan seolah memeras habis tenaga kuli perkebunan namun tidak membayarnya dengan upah yang setimpal. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan sikap tuan perkebunan yang tidak sabar, yang terus memaksa kuli perkebunan untuk kerja optimal. Ditambah lagi timbul problematis bahwa kuli-kuli dari semenanjung yang sudah diberi uang muka justru malas dalam bekerja, bahkan beberapa di antara mereka ada yang kabur meninggalkan perkebunan9.

Keputusan Sultan yang dengan murah hati memberikan kebebasan seluas- luasnya kepada para tuan perkebunan untuk mengurus perkebunannya sendiri menimbulkan permasalahan baru. Setelah kebebasan itu diberikan, terdapat prinsip kuat dalam usaha membesarkan perusahaan perkebunan Deli yang amat dipegang teguh para tuan perkebunan. Prinsip tersebut yang semakin menyengsarakan para kuli kebun. Dasar pikiran perkebunan ialah semua kuli harus ada di kebun dan bekerja, meningkatkan produksi setinggi mungkin. Apapun yang terjadi di luar kebun mereka tidak acuhkan. Bahkan seandainya ada terjadi pemberontakan di luar kebun, asal tidak mempengaruhi kelancaran meningkatkan produksi, persetan (H Mohammad Said, 1977 : 46). Kutipan tersebut diambil untuk menggambarkan bahwa nasib dan keadaan kaum kuli perkebunan benar-benar bukan dalam prioritas utama. Bahkan keselamatan kuli perkebunan tidak lebih penting dibandingkan hasil produksi. Dapat kita lihat bagaimana nasib kuli di Deli yang terus menerus dipaksa bekerja keras tanpa diperhatikan akan kebutuhan mereka oleh para tuan perkebunan.

Memasuki tahun 1880 kebutuhan akan tenaga kerja me maksa pengusaha Deli mendatangkan pekerja dari tanah Jawa. Para pengusaha membutuhkan tenaga kerja, karena semakin besarnya pertumbuhan perkebunan Deli Maatschappij. Hal tersebut membuat Deli di akhir abad 19 tersebut, kedatangan banyak tenaga asing yang bekerja sebagai buruh. Terjadi persaingan yang sengit di antara para tuan tanah untuk mendatangkan tenaga kerja. Keadaan tersebut yang membuat mereka berupaya agar bagaimana mendapatkan tenaga kerja dengan mudah dan murah namun bisa dimanfaatkan secara maksimal dan mampu meningkatkan produktivitas perkebunan. Hal ini dilakukan oleh para pengusaha perkebunan dengan cara mulai dari tipu muslihat hingga bujuk rayu dilakukan guna mendatangkan pekerja sebanyak-banyaknya ke Deli.

(17)

13

Ada beberapa alasan mengapa orang Jawa tertarik untuk bekerja di perkebunan Deli Maatschappij, yang pertama padatnya penduduk pulau Jawa sehingga menyebabkan kekurangan lahan pertanian dan akhirnya banyak. penduduk tidak memiliki lahan pertanian dan tidak memiliki pekerjaan. Yang kedua, tingginya angka kelahiran dan menurunnya angka kematian sehingga hal ini menyebabkan pertambahan jumlah pend uduk (Debi Yusmin Ariani, 2009: 6). Keadaan yang lebih memprihatinkan lagi adalah adanya penipuan dalam memberikan upah yang dijanjikan ketika seorang buruh mampu bekerja di perkebunan, namun ketika sampai di Deli upah tersebut tidak dibayar secara penuh. Beberapa fakta di atas menggambarkan bahwa sebagai kuli impor yang didatangkan dari tanah Jawa, para kuli Jawa mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan hukum mengenai perburuhan dan ketenagakerjaan. Hal itu yang membuat keadaan kehidupan mereka menjadi semakin menderita.

Bulan Juli 1880 tercipta sebuah peraturan perburuhan yang pada pokok peraturannya disebutkan menjamin “kebebasan” kaum buruh dalam mengikat kerja keperkebunan. Kebijakan ini menuntut kepada tuan-tuan perkebunan untuk lebih memikirkan hak para kuli perkebunan dan tidak hanya mementingkan hasil produksi kebun. Disebutkan dalam peraturan tersebut bahwa pihak penguasa wajib mendaftarkan lebih dahulu orang-orang yang ingin mengikat kontrak kerja di perkebunan. Banyak pasal yang tersurat membahas tentang kewajiban timbal balik antara tuan perkebunan dengan kuli perkebunan mereka. Namun hal tersebut layaknya omong kosong, karena pada prakteknya ketentuan itu hanya dituntut dan diwajibkan pada kuli perkebunan saja yang selalu ditagih untuk melaksanakan kewajibannya. Peraturan itu juga yang mendasari apa yang disebut dengan “Ordonansi Koeli”, yakni sebuah perjanjian kontrak kuli perkebunan dengan tuannya selama mereka bekerja. Isi- isi perjanjiannya yang sebenarnya bertujuan baik yakni untuk memberikan kesejahteraan kepada kuli menjadi lebih baik, namun seiring berkembangnya at uran tersebut tidak pernah diberlakukan. Banyak kuli perkebunan yang tidak dibayar gajinya oleh para tuan perkebunan.

Para tuan perkebunan menganggap bahwa mereka tidak memberikan gaji kepada kuli perkebunan dikarenakan adanya kelalaian kuli perkebunan sehingga merasa pantas untuk tidak memberikan mereka gaji atau upah. Para tuan perkebunan dapat seenaknya menilai seorang kuli lalai atau malas sesuai dengan keinginan mereka yang mana telah ada dalam prinsip mereka bahwa meningkatkan produksi setinggi mungk in tanpa memikirkan kondisi kuli perkebunan. Seorang kuli yang tidak dapat memenuhi target produksi oleh para tuannya dianggap lalai sehingga patut untuk tidak diberikan upah. Ironisnya ketidaksanggupan para kuli perkebunan memenuhi target produksi

(18)

14

dikarenakan kondisi fisik kuli yang terbatas. Kuli perkebunan tidak mendapat upahnya padahal mereka sangat membutuhkannya untuk memenuhi kehidupan mereka sehari- hari. Keadaan itu yang memaksa kuli untuk berhutang kepada tuannya untuk membeli kebutuhan mereka. Hut ang itu yang mengikat mereka dalam penderitaan tiada berujung karena harus bekerja demi membayar utang mereka yang juga tidak akan pernah lunas.

Keadaan yang lebih parah lagi adalah jika mereka melakukan protes kepada tuan mereka. Para kuli yang protes tersebut dianggap melakukan pelanggaran kontrak kuli sehingga wajib dihukum dan dipenjarakan di pengadilan perkebunan. Padahal mereka memprotes atas hak mereka untuk mendapatkan upah, namun para tuan perkebunan menganggapnya sebagai pelanggaran kuli. Setelah para kuli tersebut dihukum dan dipenjara, isi dari ordonansi kuli tersebut menyebutkan bahwa para tuan perkebunan berhak untuk tidak memberikan upah kepada kuli mereka. Sebuah penderitaan para kuli yang menginginkan haknya justru ditangkap dan dipenjara ba hkan tidak diberi upah setelah berhari-hari dipaksa untuk bekerja keras.

Mereka ingin melepaskan penjara yang mengurung mereka karena ikatan kontrak yang memaksa mereka tinggal di perkebunan yang mungkin sampai mereka mati. Namun jika mereka berhasil tertangkap hukuman yang diberikan oleh tuan tanah sangat kejam, mereka bisa saja menghukum berat mereka, bahkan sering dilakukan eksekusi mati terhadap para kuli yang melarikan diri, tidak terkecuali para perempuan. Keadaan itu yang membuat mereka para kuli pribumi seperti berada dalam lingkaran setan.

Sebuah keadaan yang serba terjepit bagi para kuli perkebunan. Seperti pepatah buah simalakama tidak ada yang bisa dilakukan para kuli perkebunan. Bertindak patuh tetap membawa mereka dalam penderitaan tiada berak hir akibat lilitan hutang, membero ntakpun menjadi jauh lebih buruk. Nasib kuli benar-benar berada jauh dari kesejahteraan. Asa untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di Sumatera justru mengikat mereka pada lingkaran penderitaan. Tidak mengherankan bahwa kelakuan mereka yang berubah buruk dan degradasi moral yang mereka alami dikarenakan keadaan yang demikian menderita.

Simpulan

Kehidupan para kuli pribumi di Deli Sumatera memang sangat memilukan. Penderitaan yang tidak pernah berujung, karena mereka harus bekerja bahkan hingga mereka mati namun tidak pernah ada upah yang diberikan kepada mereka karena aturan-aturan yang dibuat yang justru mengikat mereka bekerja selamanya. Meskipun perusahaann Deli terus menerus berkembang dan

(19)

15

menjadi perusahaan raksasa namun hal itu berbanding terbalik dengan nasib para kaum pribumi yang bekerja disana.

Gambaran kuli-kuli Jawa yang malas, mangkir dan gemar berfoya-foya di lingkungan perkebunan memang benar adanya. Kehidupan dan perilaku negatif mereka yang amat mencerminkan bobroknya moral adalah reaksi atas penderitaan yang bertahun-tahun mereka rasakan. Rasa frustasi mereka lampiaskan untuk bertindak buruk di setiap kehidupan mereka. Para kuli pria merampok dan membunuh kuli Cina yang juga bekerja di sana hanya demi mendapatkan uang demi kehidupan sehari- harinya. Tidak jauh berbeda, para wanita yang bekerja sebagai kuli perkebunan juga ‘menjajakan’ diri mereka kepada pria-pria di sana untuk mendapatkan upah demi menolong mereka dari lubang penderitaan. Biarpun tetap diwajibkan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka di perkebunan, mereka ada yang menjadi seorang pelacur demi mencukupi kebutuhan mereka saat itu Kehadiran kuli-kuli Cina membuat mereka semakin tertindas. Tidak salah memang, karena para kuli C ina itu lebih berkualitas dan lebih pintar dibandingkan para pribumi yang menulis dan melihat kertas saja belum pernah mereka lihat. Sebuah keadaan yang sangat miris, ketika orang-orang asing terus mendapatkan keuntungan yang melimpah ruah namun di sisi masyarakat pribumi justru masuk di lingkaran penderitaan yang amat menyiksa. Di balik itu semua terdapat sebuah keadaan di titik nadir di mana keadaan kuli pribumi yang telah menderita akibat kontrak kuli yang mengikat mereka tanpa batas ditambah perilaku-perilaku buruk dari para kaum pribumi yang gemar berfoya- foya dan berjudi sebagai imbas dari penderitaan mereka. Di dalam kondisi menderita dan tersiksa terbentuklah mental perilaku kuli pribumi yang tidak bermoral. Tidak berbeda jauh dan tidak ada keistimewaan bagi para perempuan.

Degradasi moral yang dialami para kuli adalah sebuah bola panas yang dihasilkan sebagai akibat dari penderitaan tanpa akhir mereka selama bekerja di perusa haan raksasa Deli Maatschappij. Artikel ini menggambarkan bagaimana hubungan sebab akibat di mana penderitaan kuli perkebunan yang menyebabkan degradasi moral dari kuli-kuli tersebut. Tidak ada yang lebih menderita dibandingkan para kuli pribumi di Deli ketika itu dan patutlah untuk kita renungi bagaimana keadaan tersebut namun tidak juga untuk meniru apa yang terjadi lingkungan pekerja di Deli Maatschappij.

Daftar Referensi

Pelzer, Karl J. (1985). Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. (J. Rumbo, Penerjemah) Jakarta : Sinar Harapan.

(20)

16

Reid, Anthony. (2010). Sumatera Tempo Doeloe : dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta : Komunitas Bambu.

Said, H. Mohammad. (1977). Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada.

Zaeni Asyhadie. (2007). Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ratna, N yoman Kuntha. (2008). Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suprayitno. (2005). Medan Sebagai Kota Pembaruan Sosio Kultur di Sumatera Utara pada Masa Kolonial Belanda. Historisme Edisi Khusus (Lustrum). Diperoleh 24 Juni 2014 dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15303/1/his-agu2005-%20(1).pdf

Yanto, Fridiyanto. (2012). Tan Malaka Guru Revolusioner: Pemikiran dan Aksi Pendidikan. Diperoleh 18 Agustus 2014 dari:

https://www.academia.edu/3396175/Tan_Malaka_Guru_Revolusioner_Pemikiran_dan_Aksi _Pendidikan

Yusmin Ardiani, Debi. (2009). Kehidupan Buruh Perkebunan Deli Maatschappij 1920-1942. Departemen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Lah Husny, Tengku H. M. (1978). Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu- Pesisir Deli Sumatera Timur, 1612-1950. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aulia, Emil W. (2006). Berjuta-juta dari Deli : satoe hikajat koeli contract. Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama.

Sumber Foto Internet:

http://www.amsterdamsegrachtenhuizen.info/gracht/hge/hge400/hg14380/?tx_sbtab_pi1%5Btab%5D=5 Diunduh pada tanggal 22 September 2014 pada pukul 13:30 wib

Gambar

Gambar  3.  Kuli  Cina yang datang ke Deli  pada tahun 1885
Gambar  4.  Sekumpulan  kuli  kontrak dari tanah Jawa tahun 1886
Gambar  5.  Penggambaran penderitaan Kuli  Jawa dibawah perintah Tuan Perkebunan. Kuli-kuli  dengan cangkul dan  Tuan Perkebunan dengan tongkat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi biaya eksternal yang ditanggung oleh industri tahu di Desa Cisaat dalam melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL;

18 Kemasan Seluruh peralatan IUD Kit kecuali Spot Lamp, Sterilisator Listrik, Stethoscope dan Tensimeter dimasukkan ke dalam utility tray.. Untuk tensimeter dan

Bersama ini kami sampaikan daftar nama-nama pengabdi yang didanai pada skim Ipteks Berbasis Program Studi dan Nagari Binaan (IbPSNB) Tahun 2017.. Lampiran nama-nama dosen

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-5/W16, 2011 ISPRS Trento 2011 Workshop, 2-4 March 2011, Trento,

70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti Proses pemilihan penyedia untuk pekerjaan Pembangunan Gudang dan Shelter Kendaraan

02/srt.pen/PIN/V/2014 ; Tanggal 21 Mei 2014 untuk Paket Pembangunan Gedung Siaga SAR Pos SAR Kayangan berdasarkan Hasil Evaluasi POKJA ULP Kantor SAR Mataram, terhadap

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790), “Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum

Dengan sikapnya yang ramah terhadap semua orang, penampilan yang sederhana dan rumah yang ditempatinya sederhana tapi dibalik semua itu beliaulah salah satu dari banyak pemilik