• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geologi Regional Dieng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Geologi Regional Dieng"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Alutsyah Luthfian Fisika Gunung Api 01

25 Desember 2014

GEOLOGI REGIONAL DIENG Gambaran Umum Sistem Gunungapi Dieng

Dieng adalah nama sebuah dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah. Secara sempit, kawasan Dieng melingkupi dataran yang masuk ke dalam Desa Dieng Kulon (Kabupaten Banjarnegara) dan Desa Dieng (Kabupaten Wonosobo). Umumnya orang mengenal kawasan Dieng dalam arti yang lebih luas, yaitu mencakup dataran tinggi yang membentang dari Kecamatan Batur di Kabupaten Banjarnegara hingga Kecamatan Kejajar dan Desa Maron di Kabupaten Wonosobo.

Gambar 1 Kondisi umum kawasan Dieng. Foto diambil penulis di

(2)

Kata “Dieng” berasal dari Bahasa Jawa Kuno Di Hyang yang berarti “kediaman para Dewa”. Kata Di Hyang berevolusi menjadi Diheng pada abad ke-14 (menurut naskah Bujangga Manik) sebelum akhirnya menjadi Dieng. Dari analisis bangunan candi, kawasan tersebut telah dihuni setidaknya sejak tahun 700 Masehi. Sebuah prasasti yang ditemukan di Dieng berasal dari tahun 869 Masehi (Sundberg, 2006). Pada masa itu, penghuninya adalah pendeta-pendeta Hindu yang berumah di sekitar kawasan Telaga Warna.

Kawasan Dieng pada masa lalu memiliki suasana yang sepi, terpencil, dan jauh dari aktivitas duniawi. Hal tersebut menarik sebagian kecil manusia untuk bersemedi di sana. Namun, seiring berjalannya waktu, manusia tidak datang ke sana hanya untuk bersemedi, namun juga untuk memanfaatkan tanahnya yang subur. Mineral-mineral yang menyuburkan tanah Dieng berasal dari material vulkanik yang dimuntahkan gunungapi-gunungapi di sana.

Di kawasan Dieng, ada 25 kerucut gunungapi yang dapat dikenali dengan baik. Kerucut-kerucut gunungapi tersebut sebagian besar terbentuk pada kala Pleistosen, hanya tujuh Kerucut-kerucut yang kemungkinan terbentuk pada kala Holosen. Aliran lava terakhir di kawasan Dieng terjadi pada tahun 50 SM (± 100 tahun), berdasarkan spesimen yang ditemukan oleh Delarue (1980) di dekat Gunung Pakuwojo.

Dari 25 kerucut gunungapi di Dieng, enam di antaranya terdiri dari material berkomposisi andesitik, yaitu Gunung Prambanan, Gunung Sikunir, Kawah Siglagah, Gunung Pangonan dan Telaga Merdada, Gunung Petarangan dan Telaga Menjer, dan Gunung Jimat. Sementara itu, kerucut-kerucut gunungapi lain di Dieng tersusun dari material yang komposisinya beragam.

Pada kerucut-kerucut gunungapi yang komposisinya beragam itu, terdapat batuan-batuan beku basa bercampur dengan batuan-batuan beku yang asam. Hal ini terjadi karena proses

(3)

pembanyakan jenis magma dari satu jenis magma asal di dalam suatu ruang karena hal-hal berikut (Harijoko et al., 2010):

1. Pencampuran antara dua jenis magma yang berbeda komposisi, 2. Kristalisasi bertingkat,

3. Masuknya pecahan batuan kerak ke dalam magma.

Gambar 2 Tembok dari Kaldera Prau, kaldera terbesar di Kawasan Dieng.

Pada kerucut-kerucut gunungapi yang magmanya berdiferensiasi, kita bisa menemukan batuan beku yang komposisinya basaltik (basa) hingga andesitik atau dasitik. Batuan-batuan beku seperti andesit dan dasit sangat umum terbentuk ketika sebagian besar magma sudah terkristalisasi. Saat sebagian besar magma sudah terkristalisasi, gas-gas telah terpisah darinya dan berkumpul di leher gunungapi. Gas tersebut bertekanan tinggi, menyebabkan letusan penghasil batuan beku andesitik atau dasitik umumnya eksplosif dan menghasilkan kawah berbentuk melingkar dengan diameter puluhan hingga ribuan meter. Kawah-kawah hasil letusan vulkanik eksplosif ini dapat ditemui di banyak tempat, misalnya di Telaga Warna, Gunung Kendil, Gunung Bisma, Gunung Pangonan, Gunung Butak, dan Gunung Pagerkandang. Kawah terbesar di kawasan Dieng adalah Kaldera Prau, yang diameternya diperkirakan 5 km, dengan

(4)

tembok kawah setinggi hampir 600 meter. Kaldera Tlerep merupakan kawah terbesar kedua dengan diameter sekitar 600 meter.

Pembentukan Kaldera Prau merupakan kejadian yang paling kolosal dalam sejarah geologi gunungapi Dieng. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 19000 SM dan memuntahkan 78 km3 material vulkanik ke sekitarnya (VOGRIPA, 2014). Umur dari batuan1 Kaldera Prau adalah 3,6 juta tahun (Boedihardi et al., 1991). Setelah pembentukan Kaldera Prau, mulailah aktivitas-aktivitas vulkanik pasca kaldera yang pertama, dengan ciri utama letusan terakhir yang bersifat eksplosif. Gunungapi-gunungapi berikut terbentuk pada episode vulkanik pasca kaldera yang pertama, diurutkan dari yang tertua hingga yang termuda:

1. Gunung Bucu,

2. Gunung Nagasari (umur batuan 2,99 juta tahun),

3. Kelompok Gunungapi Bisma (umur batuan 2,53 juta tahun), 4. Gunungapi Petarangan dan Telaga Menjer,

5. Kelompok Gunung Seroja, 6. Telaga Warna dan Igir Binem,

7. Gunung Pagerkandang (Sipandu, umur batuan 460 ribu tahun) dan Kawah Siglagah. 8. Gunung Pangonan dan Telaga Merdada (umur batuan 370 ribu tahun, menurut Sukhyar et

al. (1986) salah satu letusannya terjadi sekitar tahun 15000 SM),

9. Gunung Jimat, Butak-Petarangan, dan Dringo adalah gunungapi-gunungapi Dieng yang terbentuk pada episode vulkanik pasca kaldera yang pertama, namun terletak di luar kawasan Kaldera Prau.

1 Umur Batuan berbeda dengan waktu letusan. Umur batuan dihitung sejak batuan tersebut mengkristal (walaupun masih berwujud magma), perhitungan menggunakan metode K/Ar. Waktu letusan dihitung lewat bangkai makhluk hidup yang ditemukan pada endapan atau lava, perhitungan menggunakan metode radiokarbon.

(5)

Episode vulkanik pasca kaldera yang pertama ini menghasilkan Tuf Dieng. Tuf Dieng terdiri atas abu gunungapi, lapilli, pecahan batuan, dan batuapung dalam matriks lempung. Kadang kita bisa menjumpai tanah kuno di antara lapisan tuf. Bagian atas satuan ini telah melapuk menjadi tanah yang sangat porous di beberapa tempat, dan mudah longsor saat musim hujan.

Gambar 3 A) Kerucut Gunungapi Pagerkandang, salah satu kelompok gunungapi yang terbentuk pada Episode Vulkanik Pasca

Kaldera yang Pertama. Dahulu di atas gunung ini terdapat perkampungan, namun menyusul ancaman letusan di Kawah Pagerkandang pada dekade 1960-an, warga pindah dari daerah tersebut menuju Dusun Pawuhan dan Dusun Simpang. B) Kerucut

Gunungapi Kendil (tanda 1), yang terbentuk pada Episode Vulkanik Pasca Kaldera yang Kedua. Lereng di latar depan adalah bagian dari Igir Binem, gunungapi yang melahirkan Telaga Warna. Sementara tanda (2) menunjukkan Gunungapi Pakuwojo, yang letusan terakhirnya pada tahun 50 SM (± 100 tahun) menghasilkan lava latit kental. Foto diambil penulis dari Masjid

Baiturrohman, Dieng Kulon.

A

B 2

(6)

Selepas episode sebelumnya yang meledak-ledak, Kawasan Dieng selanjutnya diwarnai oleh aktivitas-aktivitas kegunungapian yang lebih tenang. Rangkaian aktivitas-aktivitas

gunungapi tersebut menghasilkan lava andesit, latit, dan dasit yang ditutupi oleh lapisan debu dan abu vulkanik setebal 1 hingga 1,5 meter. Untuk membedakannya dari episode sebelumnya, rangkaian aktivitas gunungapi tersebut dinamai “Episode Vulkanik Pasca Kaldera yang Kedua”. Episode vulkanik pasca kaldera yang kedua ini membangun kerucut-kerucut gunungapi berikut:

1. Gunung Kendil, 2. Gunung Watusumbul 3. Gunung Pakuwojo, 4. Gunung Prambanan, 5. Gunung Sikunir.

Dalam episode vulkanik pasca kaldera yang kedua ini, Gunung Kendil diperkirakan merupakan yang pertama terbentuk. Setelah Gunung Kendil, kemudian dibangunlah kerucut Gunung Watusumbul. Setelah Gunung Watusumbul, kemudian berturut-turut dibangun kerucut Gunung Pakuwojo, Gunung Prambanan, dan yang terakhir, Gunung Sikunir. Ada kemungkinan setiap kerucut gunungapi tersebut meletus lebih dari sekali; contoh yang paling kentara dapat dilihat pada Gunung Kendil dan Gunung Pakuwojo. Lava Gunung Kendil dari rangkaian letusannya yang tertua bersifat andesitik dan mengalir ke timur serta ke utara hingga memasuki Telaga Warna, sementara lavanya yang terakhir (dikeluarkan sekitar tahun 6590 SM) bersifat dasitik dan mengalir 3,5 km ke barat. Sebagaimana Gunung Kendil, lava dari letusan-letusan Gunung Pakuwojo yang tertua juga bersifat andesitik, namun lavanya yang terakhir bersifat lebih asam dan membeku menjadi batu latit berkuarsa (Zen, 1971, Sukhyar et al., 1986, dan

(7)

Lava dari episode vulkanik pasca kaldera yang kedua ini mengalir secara tidak merata. Daerah-daerah lembah yang jalur aliran airnya terbendung oleh lava berubah menjadi cekungan. Karena curah hujan di Dieng cukup tinggi (melebihi 3000 mm per tahun) maka cekungan tersebut dengan segera terisi oleh air dan menjadi danau. Ada dua buah danau yang terbentuk lewat mekanisme ini, yaitu Telaga Cebong dan Telaga Balekambang. Umur Telaga Cebong lebih tua dibanding Telaga Balekambang; Sajekti (2009) menemukan sedimen yang berasal dari abad 17 SM di sebelah barat Telaga Cebong, sementara itu sedimen tertua di Telaga Balekambang berasal dari masa yang tidak lebih tua dari abad ke-5 M (Pudjoarinto, 2001).

Gambar 4 Panorama Telaga Cebong, Desa Sembungan, dan Gunung Sidede (1). Desa Sembungan

merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa, dengan elevasi sekitar 2120 meter di atas permukaan laut. Sementara itu, lereng di sebelah kiri gambar (2) adalah bagian dari kerucut Gunungapi Seroja.

Lereng di sebelah kanan gambar merupakan bagian dari kerucut Gunungapi Pakuwojo (3) dan Gunungapi Prambanan (4). Aliran lava dari Gunung Kendil ditandai dengan nomor (5). Foto diambil penulis dari puncak kubah lava Gunungapi Sikunir (2268 meter di atas permukaan laut).

1

2

3

4 5

(8)

Aktivitas vulkanik Dieng Masa Kini.

Pada masa kini, kegiatan vulkanik di Dieng lebih banyak disemarakkan oleh letusan-letusan freatik, eksplosif, dan hidrotermal2, kadang-kadang terjadi pula letusan eksplosif skala kecil. Setidaknya ada 23 buah letusan yang terjadi selepas aliran lava Pakuwojo terbentuk sekitar tahun 50 SM. Ke-21 letusan tersebut dituliskan dalam daftar di bawah (Siebert et al., 2011).

Lokasi Letusan Tahun Deskripsi

Tidak diketahui 1180 ± 100

tahun Letusan freatik. Gunung

Pakuwojo

1375 ± 75 tahun

Letusan eksplosif, mengeluarkan abu dan pasir yang

menutupi semua candi di Dieng. VEI diperkirakan sebesar 3.

Kawah Candradimuka dan Goa Jimat

1786

Letusan eksplosif dan freatik yang didahului rangkaian gempa vulkanik selama empat bulan. Letusan freatik mengeluarkan uap belerang, meretakkan tanah dan

membenamkan Desa Jamping beserta 38 penduduknya ke dalam sebuah retakan besar. Tanah longsor akibat aktivitas gempa vulkanik mengakibatkan terbentuknya Telaga Sewiwi di dekat Desa Kepakisan. Nilai VEI 2.

Gunung

Pakuwojo 1825 Letusan eksplosif, mengeluarkan abu dan pasir. Nilai VEI 2.

Gunung

Pakuwojo 1826

Letusan eksplosif, mengeluarkan abu dan pasir. Pada tanggal 9 Oktober 1826, pukul 14.00 – 15.00, suara ledakan dari gunungapi ini dapat terdengar hingga Yogyakarta. Orang-orang di Yogya pada masa itu menggambarkan suara ledakannya “seperti meriam”. Pada tanggal 11 Oktober 1826, getaran dari gempa dan ledakan Gunung Pakuwojo dapat dirasakan hingga Pekalongan selama dua jam (Siswowidjoyo, 1980). Letusan berakhir pada 15 Oktober 1826 (Siebert et al., 2011). Nilai VEI 2.

Gunung

Pakuwojo 1847

Pada tanggal 4 Desember 1847, terjadi letusan eksplosif dan freatik dengan nilai VEI sebesar 2.

2Letusan freatik terjadi ketika magma naik dan bersentuhan dengan air tanah, sehingga

terbentuk uap bertekanan tinggi yang kemudian meledak, memecahkan batuan di atasnya dan membentuk kawah. Letusan eksplosif terjadi akibat pemuaian/peningkatan volume gas-gas magmatik bertekanan tinggi di dalam leher gunungapi, sehingga mampu melontarkan bebatuan di atasnya. Letusan

hidrotermal terjadi saat magma memanaskan air tanah secara tidak langsung, sedemikian sehingga air

(9)

Lokasi Letusan Tahun Deskripsi

Kawah Sikidang dan Kawah

Sibanteng

1883 – 1884

Peningkatan aktivitas pada lubang-lubang gas vulkanik di Dieng, diiringi dengan letusan lumpur di Kawah Sikidang dan Sibanteng. Letusan mulai sekitar tanggal 26 Desember 1883, dan berakhir pada tanggal 18 Maret 1884.

Kawah Siglagah 1895 Tanah retak mengeluarkan uap belerang (Figee dan Onnen, 1897).

Kawah Timbang 1928

Gempa menggetarkan daerah Batur dan sekitarnya selama sepuluh hari. Pada tanggal 13 Mei 1928, Kawah Timbang akhirnya meledak sesudah sebuah gempa yang sangat kuat merusak rumah-rumah di Batur. Erupsi freatik melontarkan batuan segar dan lumpur yang membunuh satu jiwa. Terjadi aliran lumpur berdimensi kecil dan hembusan gas beracun. Tebal endapan hasil letusan 35 cm di sekitar kawah. Nilai VEI sebesar 2.

Kawah Timbang dan 15 kawah kecil di sekitarnya

1939

Letusan freatik berlangsung dari tanggal 13 Oktober hingga 15 Oktober 1939, melontarkan pecahan batuan dan lumpur bersama dengan uap beracun. Gempa terjadi baik sebelum atau saat terjadinya letusan. Korban jiwa sebanyak 10 orang dan Kampung Timbang hancur total. Tebal endapan hasil letusan melebihi 35 cm (Dan Miller et al., 1983). Nilai VEI diperkirakan sebesar 1.

Kawah Sileri 1944

Pada tahun 1943, retakan-retakan sepanjang 5-6 meter dengan lebar 1-1,5 meter timbul di sebelah barat laut Kawah Sileri. Retakan-retakan itu berarah utara-selatan. Pada 3 November 1944, dua buah erupsi freatik membentuk kawah-kawah kecil. Erupsi freatik yang sangat kuat terjadi pada tanggal 4 Desember 1944, membunuh 114 jiwa. Arah lontaran material umumnya ke barat, bebatuan besar

diketahui terlontar sejauh 1,5 km dari kawah. Endapan hasil letusan di sebelah barat kawah memiliki tebal 2 meter. Tidak ada gempa yang dirasakan baik sebelum maupun saat erupsi berlangsung. Nilai VEI sebesar 2.

Tidak diketahui 1953 Penduduk di Kampung Kepucukan merasakan hujan abu tipis dan bau gas vulkanik pada tanggal 21 Maret 1953. Kawah

Candradimuka 1954

Erupsi freatik terjadi pada tanggal 6 Desember 1954, yang didahului peningkatan suhu mata air panas, tanpa diiringi gempa. Asap membubung hingga setinggi 50 m. Nilai VEI sebesar 0.

Kawah Sileri 1956 Erupsi freatik terjadi pada tanggal 2 Juni 1956, asap membubung setinggi 150 meter. Nilai VEI sebesar 1.

(10)

Lokasi Letusan Tahun Deskripsi

Kawah Sileri 1964

Erupsi freatik pada tanggal 13 Desember 1964, tanpa diiringi gempa. Produk letusan berupa lumpur dan abu vulkanik yang tersebar dalam radius 1 km dari pusat aktivitas. Tinggi kolom letusan 500 meter. Nilai VEI sebesar 1.

Kawah Sinila dan

Sigludug 1979

Seismograf di Pos PVMBG Karangtengah merekam tiga buah gempa pada tanggal 16 Februari dan satu gempa pada tanggal 19 Februari. Aktivitas kegempaan meningkat pada dini hari tanggal 20 Februari 1979. Pada pukul 05.00, sebuah letusan terjadi di Telaga Sinila. Kemudian pada pukul 06.15, terjadi letusan di Kawah Sigludug. Gas CO2 keluar dari retakan-retakan di sekitar kawah tersebut, bersama-sama dengan gas H2S dan CH4. Dalam waktu cepat, gas-gas tersebut mengalir menuruni lereng dan mencapai Kampung Kepucukan. Orang-orang yang berlarian ke Batur dari Kepucukan terperangkap gas vulkanik dan meninggal di jalan persis seperti orang ketiduran. Pada tanggal 24 Maret 1979, kembali terjadi letusan yang diiringi 134 buah gempa. Getaran-getaran gempa kembali dirasakan pada akhir Mei 1979, namun tidak diiringi peningkatan aktivitas vulkanik. Jumlah korban dari peristiwa 1979 ini sebanyak 150 jiwa. Endapan material letusan berupa lumpur berisi pasir dan bongkah batuan. Nilai VEI sebesar 1.

Dekat Candi

Pandawa Lima 1993

Letusan freatik pada tanggal 23 Januari 1993 dengan nilai VEI sebesar 1.

Dekat Kawah

Padangsari 1996

Letusan freatik pada tanggal 31 Desember 1996 dengan nilai VEI sebesar 1.

Kawah Sileri 2003 Letusan freatik pada bulan Juli 2003 dengan nilai VEI sebesar 1. Produk letusan berupa lumpur.

Kawah Sibanteng 2009 Letusan eksplosif dan freatik pada tanggal 15 Januari 1993 dengan nilai VEI sebesar 1. Produk letusan berupa lumpur. Kawah Sileri 2009 Letusan freatik pada tanggal 27 September 2009 dengan

nilai VEI sebesar 1. Produk letusan berupa lumpur.

Daftar di atas tidak memasukkan peristiwa hembusan gas beracun dan semburan lumpur skala kecil yang tidak dibarengi peristiwa letusan. Letusan-letusan yang pernah terjadi namun waktunya belum ditentukan juga tidak dimasukkan dalam daftar. Delarue (1980) membedakan penyebab dari letusan-letusan freatik di Dieng menjadi empat:

(11)

Gambar 5 Korban gas vulkanik hasil erupsi Telaga Sinila dan Kawah Sigludug tahun 1979.

Sumber foto: Pepeng - http://escoret.net/personal/tragedi-sinila-20-februari-1979/

1.) Erupsi freatik yang terjadi setelah penumpukan uap bertekanan tinggi di dalam batuan, sebagaimana yang pernah berlangsung di Kawah Sileri, Kawah Candradimuka, dan Kawah Sikidang.

2.) Erupsi freatik yang terjadi akibat uap panas mendesak lewat celah yang dibentuk oleh gaya-gaya tektonik, sebagaimana yang pernah berlangsung di Kawah Timbang. 3.) Erupsi freatik yang terjadi saat pembentukan dyke. Dyke yang naik akan meretakkan

batuan inang dan menguapkan air yang ada di dalamnya. Uap air di dalam batuan akan mendesak keluar lewat retakan dan mengakibatkan letusan. Erupsi freatik dengan mekanisme seperti ini pernah berlangsung di Gunung Kendil (tanggal letusan tidak diketahui).

(12)

4.) Erupsi freatik yang terjadi ketika lava memasuki suatu perairan, sebagaimana yang pernah berlangsung di Gunung Pakuwojo (tanggal letusan tidak diketahui).

Riwayat Geologi Dieng Sebelum Letusan Gunungapi Prahu

Seluruh endapan vulkanik Dieng dari Zaman Kuarter yang terbentuk sebelum letusan Gunung Prahu secara kolektif disebut “Satuan Vulkanik Jembangan Timur”. Satuan vulkanik ini terdiri atas breksi aliran, piroklastik, lahar, aluvium, dan lava yang bersifat andesitik. Di

beberapa tempat, kita dapat menemui batuan basalt olivin dalam satuan vulkanik Jembangan Timur. Kerucut-kerucut gunungapi yang menghasilkan satuan ini antara lain adalah Gunung Ngesong, Gunung Alang, Gunung Pengamun-amun, dan Gunung Kemulan.

Gambar 6 Gunung Kemulan di Kabupaten Batang, 8 km sebelah utara Telaga Dringo.

Foto oleh Garayy - http://www.panoramio.com/photo/67803144.

Di sebelah selatan Kawasan Dieng, Satuan Vulkanik Jembangan Timur ini menindih sebuah satuan geologi berumur Pliosen Akhir hingga Pleistosen Awal. Satuan ini terdiri atas breksi vulkanik berfragmen andesit, lava andesit hornblenda, dan tuff. Condon et al. (1996)

(13)

menamai satuan tersebut sebagai Anggota Breksi Formasi Ligung. Secara regional, satuan ini merupakan bagian atas dari Formasi Ligung.

Formasi Kalibiuk adalah alas dari Satuan Vulkanik Jembangan Timur di sebelah barat dan utara Kawasan Dieng. Batuan-batuan penyusun Formasi Kalibiuk ini adalah napal dan batulempung dengan sisipan tuf pasiran di bagian atas formasi. Napal dan batulempung berwarna kelabu kebiruan, banyak fosil moluska dari Kala Pliosen yang ditemukan oleh Oostingh (1935) di sini. Lingkungan pengendapan Formasi Kalibiuk adalah zona pasang-surut (Condon et al., 1996). Karena memiliki kesamaan litologi dan umur fosil, Formasi Kalibiuk ini berkorelasi dengan satuan Lapisan Marin pada peta geologi lembar Semarang yang dibuat oleh Thaden et al., (1975).

Bagian bawah dari Formasi Kalibiuk menjemari dengan suatu satuan geologi yang terdiri atas breksi vulkanik bersifat andesitik dan batupasir tufan. Satuan tersebut berasal dari Kala Pliosen dan diberi nama Anggota Breksi Formasi Tapak. Dalam satuan ini, breksi vulkanik dipotong oleh urat-urat kalsit, sementara itu fosil tumbuhan dapat ditemui di dalam batupasir tufan. Anggota Breksi Formasi Tapak ini dapat dikorelasikan dengan Formasi Peniron yang tersingkap di sebelah selatan Kali Serayu (Condon et al., 1996).

Sistem Panas Bumi Dieng

Selain terkenal karena pemandangan alam, budayanya yang unik, dan candi-candi Hindunya, kawasan Dieng juga dikenal karena manifestasi panas buminya. Manifestasi panas bumi di kawasan Dieng meliputi fumarol, mofet, kolam lumpur, dan mata air panas. Manifestasi-manifestasi tersebut muncul di tujuh tempat, yaitu:

(14)

Gambar 7 Kawah Sikidang, dilihat dari Gunung Pangonan ke arah tenggara.

Foto oleh Kodrut Miljah - http://www.panoramio.com/photo/99148178.

a. Kawasan sekitar Desa Sindongkal hingga Kawah Timbang. Kemunculan manifestasi panas bumi di kawasan tersebut dikontrol oleh struktur geologi berupa graben Sindongkal dan graben Batur. Kedua struktur tersebut berarah utara-selatan.

b. Kawasan Kawah Sileri dan sekitar Desa Bitingan. Kemunculan manifestasi panas bumi di kawasan tersebut dikontrol oleh keberadaan magma di bawah Gunung Pagerkandang. c. Kawasan Kawah Siglagah. Sebagaimana yang terjadi di Kawah Sileri, keberadaan

manifestasi di sini diakibatkan oleh keberadaan magma di bawah tanah.

d. Telaga Warna. Keberadaannya diatur oleh adanya struktur geologi berupa kawah dan dapur magma.

e. Kawasan lereng selatan Gunung Pangonan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah manifestasi di Kawah Upas, Kawah Sikidang, dan Kawah Sibanteng. Keberadaan manifestasi di tempat ini diatur oleh sesar dan keberadaan magma.

(15)

f. Kawasan sebelah utara Gunung Bisma dan Sikunang. Manifestasi di sini berupa mata air panas dan fumarol dekat Desa Pulosari, serta mofet dekat Desa Sikunang. Keberadaannya diperkirakan diatur oleh suatu sesar.

g. Kawasan lereng utara Gunung Pakuwojo. Manifestasi di sini berupa fumarol, yang keberadaannya kemungkinan diatur oleh keberadaan magma.

Gambar 8 Hasil survey TEM yang dilaksanakan oleh “Group Seven”

di sebelah utara Kawas Sikidang (Jacobson et al., 1970).

Survey geolistrik, TEM dan AMT di Kawasan Dieng pertama kali dilaksanakan oleh “Group Seven” pada bulan Juli hingga Agustus 1970. Survey ini dilaksanakan demi menetapkan manifestasi-manifestasi yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber energi panas bumi. Survey geolistrik menghasilkan sebuah peta kontur tahanan jenis nampak (ρa) untuk

(16)

seluruh Kawasan Dieng, sementara survey TEM menghasilkan sebuah kurva tahanan jenis nampak untuk satu titik dekat Kawah Sikidang. Nilai ρa yang cukup rendah (di bawah 2,5 Ωm) didapatkan di kawasan sekitar Kawah Candradimuka, Kawas Sileri, dan Kawah Sikidang. Sementara itu, hasil survey TEM adalah model bumi dua lapis untuk Kawah Sikidang, berupa satu lapisan dengan ρ = 1,1 Ωm setebal 195 meter yang menutupi lapisan dengan ρ = 11 Ωm berketebalan tak berhingga.

Dari ketiga anomali nilai ρa yang ditemukan oleh “Group Seven”, Muffler (1971) memberikan rekomendasi kepada para peneliti sesudahnya untuk menelaah kawasan Kawah Sileri, Dieng Kulon, dan Kawah Sikidang lebih dalam. Muffler (1971) tidak menyarankan untuk mengembangkan kawasan Kawah Candradimuka dan sekitarnya karena ‘ukuran anomali yang kecil dan aktivitas kawah yang giat’. Sebagai tindak lanjut atas laporan Muffler tahun 1971 itu, Pertamina melaksanakan survey MT dan gravitasi di kawasan Dieng Timur. Pada tahun 1977 – 1994, Pertamina membuat sebanyak 27 sumur berdasarkan hasil survey AMT dan gravitasi tersebut. Dari 27 sumur yang dibuat Pertamina, 14 di antaranya produktif dan mampu

menghasilkan energi listrik sebanyak 85 MW. Himpurna California Energy “HCE” melanjutkan usaha pemanfaatan energi listrik di Dieng pada akhir 1994. HCE mampu membuat 18 sumur, dengan 15 sumur telah diuji dan produktif. Pada tahun 1998, HCE berhasil membuat pembangkit listrik tenaga panas bumi di Dieng, yang mampu menghasilkan energi sejumlah 60 MW dari uap sumur miliknya dan Pertamina. Saat ini, pembangkit listrik 60 MW itu dioperasikan oleh PT Geo Dipa Energi Dieng.

(17)

Gambar 9 Peta anomali Bouguer sisa dari survey gravitasi yang dilaksanakan oleh Pertamina.

Dalam peta ini, dapat dilihat zona-zona anomali terkait: Sileri, Sikidang (B), Pakuwojo (A), dan Siglagah (C). Peta diambil dari artikel “Evaluation of the Dieng Geothermal Field; Review of Development Strategy”

oleh Boedihardi et al., 1991.

Survey AMT dan gravitasi yang dilakukan Pertamina berhasil mendelineasi zona-zona anomali geofisika yang terkait manifestasi panas bumi dan magmatisme di Kawasan Dieng Timur. Selain zona anomali Sikidang dan Sileri, hasil survey Pertamina menambahkan dua buah zona anomali lagi, yaitu zona anomali Pakuwojo dan zona anomali Siglagah. Pada daerah-daerah yang berkaitan dengan aktivitas panas bumi dan magmatisme, nilai anomali sisa gravitasi kurang dari -4 mgal, sementara nilai konduktivitas total (hasil survey AMT) melebihi 1000 mho.

(18)

Melalui pengeboran oleh Pertamina, diketahui bahwa reservoar fluida panas bumi di sekitar Kawah Sileri, Sikidang, dan Pakuwojo seluruhnya bersuhu 320°C (kecuali reservoar di Kawah Siglagah yang suhunya 300°C). Fluida reservoar di bawah Kawah Sileri dan Kawah Siglagah adalah campuran air asin dengan gas. Di bawah Kawah Sikidang, fluida reservoarnya berupa air asin dengan tudung uap. Sementara itu, di bawah Gunung Pakuwojo reservoarnya berisi air asin. Fluida yang terdapat di dalam reservoar-reservoar tersebut bersifat asam, dengan pH berkisar antara 4,1 hingga 6,4. Satu sumur di selatan Kawah Sikidang menjumpai fluida reservoar yang netral dengan pH sebesar 7,2.

Reservoar panas bumi yang paling baik permeabilitasnya dicapai di sumur DNG-10 dekat Desa Bitingan. Di sana, permeabilitas horizontalnya mencapai 30 miliDarcy. Sementara itu, reservoar di bawah Kawah Sikidang memiliki permeabilitas yang lebih kecil, yakni 15

miliDarcy. Kedua reservoar tersebut memiliki litologi berupa breksi tufan dan lava. Sementara itu, sumur-sumur yang digali di zona anomali Pakuwojo umumnya menemui reservoar berupa intrusi diorit yang teretakkan, dengan permeabilitas kurang dari 4 miliDarcy. Kedalaman intrusi diorit ini berkisar antara 1400 meter (pada sumur DNG-6 di lereng timur Gunung Pangonan) hingga 2300 meter di bawah permukaan tanah (pada sumur DNG-18 di sebelah selatan Telaga Warna).

Fluida pengisi reservoar panas bumi yang naik ke permukaan, baik muncul sebagai manifestasi ataupun tidak, akan bereaksi dengan material yang dilewatinya. Material yang telah bereaksi dengan fluida panas bumi ini akan berubah sifat fisika dan kimianya, dalam kata lain material tersebut telah teralterasi. Ganda dan Suroto (1985) menemukan tiga ragam alterasi utama di kawasan Dieng, yakni alterasi argilik, propilitik, dan filik “phyllic”. Ketiga tipe alterasi ini berjalan sesuai fungsi ruang dan suhu.

(19)

1. Alterasi argilik ditemukan di lokasi manifestasi panas bumi hingga kedalaman sekitar 1100 – 1300 meter, dengan suhu material berkisar antara 150°C - 250°C. Ragam alterasi ini dicirikan oleh keberadaan mineral lempung yang tahanan jenis dan

permeabilitasnya sangat rendah. Material yang telah menjalani alterasi argilik banyak berperan sebagai batuan penudung “cap rock” pada sistem panas bumi Dieng.

2. Alterasi propilitik ditemukan pada kedalaman 1100 – 2400 meter dari permukaan tanah, dengan suhu material berkisar antara 250°C - 300°C. Mineral-mineral seperti epidot, kuarsa, kalsit, ilit “illyte”, dan klorit berhubungan dengan ragam alterasi ini. 3. Alterasi filik dapat ditemukan mulai kedalaman 1600 meter pada sumur DNG-16 (di

sebelah timur Gunung Pangonan). Pada sumur DNG-18 (di sebelah selatan Telaga Warna) alterasi filik mulai pada kedalaman 2400 meter dari permukaan tanah. Suhu material yang sedang menjalani alterasi ini lebih panas dari 300°C. Pengecualian terjadi di reservoar bawah Gunung Pakuwojo, tempat ditemukannya zona alterasi filik dengan suhu 290°C. Kemungkinan besar, material di bawah Gunung Pakuwojo ini sedang mendingin. Penanda utama ragam alterasi filik adalah keberadaan mineral aktinolit. Nilai tahanan jenis material yang telah menjalani alterasi filik cenderung tinggi.

Manifestasi-manifestasi panas bumi di kawasan Dieng Barat kemungkinan besar

memiliki sifat reservoar yang berbeda dengan kawasan Dieng Timur. Zen (1970) memperkirakan bahwa reservoar sistem panas bumi di kawasan Dieng Barat adalah batuan sedimen yang

singkapannya ditemukan oleh Padang (1936) dan Gunawan (1964) di Desa Pejawaran. Singkapan batuan sedimen yang ditemukan oleh Padang (1936) dan Gunawan (1964) di Desa

(20)

Pejawaran terdiri dari batupasir, serpih, dan napal3. Penemuan pecahan koral, batugamping, dan serpih pada endapan hasil letusan Kawah Sinila tahun 1979 oleh Sukhyar et al. (1986) semakin menguatkan dugaan bahwa reservoar panas bumi di sana adalah batuan sedimen.

Belum pernah ada sumur yang dibor di kawasan Dieng Barat, sehingga sulit untuk mengetahui sifat fisis dan kimia dari reservoar geotermal dan fluida pengisinya di sini. Menggunakan isotop C-13, Allard et al. (1989) memperkirakan bahwa suhu reservoar di sana berkisar antara 290°C - 300°C. Lapisan penudung reservoar panas bumi di kawasan Dieng Barat adalah endapan piroklastik dan lahar, baik yang segar atau telah teralterasi.

Gambar 10 Seorang petani sedang menggarap lahannya yang terletak tepat di atas Kawah Timbang.

Dalam foto, Kawah Timbang tengah mengeluarkan gas vulkanik penuh dengan karbon dioksida yang mematikan. Foto diunggah di https://ssl.panoramio.com/photo/87973915 pada Maret 2013.

Satu hal yang khas dari manifestasi panas bumi di kawasan Dieng Barat adalah kadar gas CO2 yang sangat tinggi, dengan kandungan uap air yang sangat sedikit. Kadar gas CO2

maksimum yang didapatkan Allard et al. (1989) di Kawah Sigludug (salah satu kawah di kawsan Dieng Barat) adalah 98,2%, jauh lebih tinggi dari kawah-kawah di kawasan Dieng Timur.

(21)

Sementara itu, kandungan uap air dari gas vulkanik Kawah Sigluduk mendekati 0%. Hal ini berkebalikan dengan kondisi gas-gas vulkanik dari kawah-kawah kawasan Dieng Timur, yang kandungan uap airnya di atas 70%.

CO2 yang terakumulasi dalam reservoar panas bumi di kawasan Dieng Barat berasal dari magma yang sedang melepaskan kandungan gasnya secara perlahan-lahan. Sebagian kecil gas ada yang mampu keluar lewat retakan atau patahan, menjadi mofet. Ketika volume gas yang terakumulasi cukup besar, maka tekanan gas di dalam reservoar menjadi kuat. Menurut Allard et al. (1989), gas CO2 bertekanan tinggi ini memindahkan kandungan air dari reservoar ke lapisan penudung. Tekanan gas CO2 yang tinggi akan meretakkan reservoar dan mendorong lapisan penudung jenuh air. Proses peretakan dan pendorongan ini dapat dideteksi sebagai gempa. Saat tekanan gas di dalam reservoar tidak mampu ditangkal oleh lapisan penudung, maka terjadilah letusan freatik yang diikuti oleh pelepasan gas CO2 yang sangat pekat.

Gambar 11 Seorang warga Dieng mengamati rumahnya yang rusak setelah guncangan gempa tektonik yang

bersumber dari patahan di Desa Candigugur, Batang. Gempa itu terjadi pada 19 April 2013 pukul 19:00 WIB. Kekuatan gempa adalah 4,8 SR dengan kedalaman pusat gempa 10 km dari permukaan tanah.

Foto diambil dari Tribunnews.com -

(22)

Struktur Geologi di Kawasan Dieng

Di kawasan Dieng, dapat ditemui struktur-struktur geologi berupa sesar, graben, dan horst. Struktur geologi ini terbagi menjadi dua kelompok, yakni:

1. Kelompok struktur geologi berarah utara – selatan, 2. Kelompok struktur geologi berarah barat laut – tenggara.

Kelompok struktur geologi berarah utara-selatan di antaranya adalah Graben Sidongkal, Graben Batur, dan Depresi Batur. Struktur berarah utara-selatan juga dapat ditemui di Desa Pulosari, Gunung Tlerep (Telerejo), dan lereng Gunung Prahu. Struktur-struktur geologi seperti Horst Ratamba, sesar-sesar yang memotong Graben Sidongkal, sesar yang memotong Gunung Prahu, dan sesar yang memotong Gunung Tlerep, kesemuanya adalah struktur geologi yang memiliki arah jurus “strike” barat laut – tenggara.

(23)

PETA REFERENSI

Peta ini diambil dari Dan Miller et al. (1983). Terjemahan: 1. Lava flow : aliran lava masa lalu.

2. Hot springs : mata air panas.

3. Solfatara, fumarol : lubang gas dan uap vulkanik berbau sulfur.

4. Poisonous gas emission : lubang atau retakan yang pernah mengeluarkan CO2. 5. Crater : kawah bekas letusan gunung berapi.

6. Explosion hole : lubang yang ditinggalkan letusan freatik, hidrotermal, atau eksplosif. Lebih kecil dari kawah.

7. Location of study site : lokasi yang dipelajari oleh Dan Miller et al. (1983) selama penelitian berlangsung.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Allard, P., D. Dajlevic dan C. Delarue. “Origin of carbon dioxide emanation from the 1979 Dieng eruption, Indonesia: Implications for the origin of the 1986 Nyos catastrophe.”

Journal of Volcanology and Geothermal Research (1989): 195-206.

Bergen, Manfred J. van, et al. Crater lakes of Java: Dieng, Kelud and Ijen (Excursion

Guidebook). IAVCEI , 2000.

Boedihardi, M., Suranto dan S. Sudarman. “Evaluation of The Dieng Geothermal Field; Review of Development Strategy.” Proceedings Indonesian Petroleum Association. IPA, 1991. 347-361.

Calibugan, A.A., et al. “Subsurface Geology and Hydrothermal Alteration in Dieng Geothermal Field, Central Java, Indonesia.” Proceedings of the 3rd International Symposium of Earth

Resources and Geological Engineering Education. Yogyakarta: Gadjah Mada University,

2006. 443-445.

Condon, W.H., et al. “Peta Geologi Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa.” Peta Geologi

Bersistem Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1996.

Dan Miller, C., et al. “Eruptive History of The Dieng Mountains Region, Central Java, and Potential Hazards from Future Eruptions.” Open-File Report. 1983.

Delarue, Christian. Exploration géothermique dans la région de Dieng (Java). Dissertation. Paris: Université de Paris-Sud, 1980.

Figee, S. dan H. Onnen. “Vulkanische verschijnselen en aardbevingen in den O.I. Archipel waargenomen gedurende het jaar 1895.” National Tijdschrift van Nederlandsch Indie (1897): 81-125.

(25)

Gunawan, R. Geological investigations in the Dieng area, Central Java. Thesis. Bandung: Institut Teknologi Bandung, 1968.

Harijoko, Agung, et al. “Long-Term Volcanic Evolution Surrounding Dieng Geothermal Area, Indonesia.” Proceedings World Geothermal Congress. Bali, 2010. 1-6.

Hochstein, Manfred P. dan Sayogi Sudarman. “History of geothermal exploration in Indonesia from 1970 to 2000.” Geothermics (2008): 220-266.

Jacobson, J.J., J.I. Pritchard dan G.V. Keller. “Electrical Geophysical Survey of The Dieng Mountains.” Survey Report. 1970.

Komaruddin, Uum, et al. “Evaluation of Geothermal Igneous Reservoirs.” Proceedings

Indonesian Petroleum Association. IPA, 1992. 607-630.

Layman, Erik B., Irzawadi Agus dan Samsudin Warsa. “The Dieng Geothermal Resource, Central Java, Indonesia.” Geothermal Resources Council Transactions (2002): 573-579. Marsudi. Prediksi Laju Amblesan Tanah di Dataran Aluvial Semarang Propinsi Jawa Tengah.

Doctoral Thesis. Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2001. Martinkus, John dan Dr Trish Batchelor. Indonesia. Lonely Planet, 2007.

Muffler, L.J.P. Evaluation of Initial Investigations Dieng Geothermal Area, Central Java,

Indonesia. Open-File Report. Denver: United States Geological Survey, 1971.

Newhall, Christopher G. dan Daniel Dzurisin. Historical Unrest at Large Calderas of the World. Washington: United States Government Printing Office, 1988.

Noorduyn, J. “Bujangga Manik's Journeys Through Java: Topographical Data from An Old Sundanese Source.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (1982): 413-442. Nurpratama, M. Istiawan, et al. “Detailed Surface Structural Mapping of the Dieng Geothermal

(26)

Oostingh, C. H. Die mollusken des pliozans von Boemiajoe (Java). Bandung: Wetenschappelijke Mededelingen Dienst van den Mijnbouw in Nederlandsch-Indie, 1935.

Padang, Neumann van. “Het Diëng gebergte.” Jubileum-Uitgave De Tropische Natuur (1936): 27-35.

“Preliminary Report On The Geophysical Survey Of The Dieng Mountains Of Central Java 1970.” Survey Report. 1970.

Pudjoarinto, Agus dan Edward J. Cushing. “Pollen-stratigraphic evidence of human activity at Dieng, Central Java.” Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology (2001): 329-340.

PVMBG. Data Dasar Gunungapi Indonesia : Dieng. Bandung, 03 06 2014. PDF. Sajekti, Andjarwati Sri . “An indication of Holocene environmental change based on the

palynological research in Telaga Cebong, Dieng Plateau, Central Java, Indonesia.” PhD Thesis. 2009.

Siebert, Lee, Tom Simkin dan Paul Kimberly. Volcanoes of The World. Berkeley: University of California Press, 2011.

Sukhyar, R., N.S. Sumartadipura dan W. Effendi. “Peta Geologi Kompleks Gunungapi Dieng, Jawa Tengah.” Penyunt. Adjat Sudradjat dan A.C. Effendi. Bandung: Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1986.

Sundberg, Jeffrey Roger. “Considerations on the dating of the Barabuḍur Stūpa.” Journal of the

Humanities and Social Sciences of Southeast Asia (2006): 95-132.

Suroto dan Ganda. Subsurface Hydrothermal Alteration in the Dieng Prospect, Central Java. Internal Report. Jakarta: Pertamina, 1985.

(27)

Thaden, Robert E., Harli Sumadirdja dan Paul W. Richards. “Peta Geologi Lembar Magelang dan Semarang.” Peta Geologi Bersistem Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1975.

Zen, M.T. dan V.T. Radja. “Result of the preliminary geological investigation of natural steam fields in Indonesia.” Geothermics 2.1 (1970): 130-135.

Zen, M.T. “Geothermal System of The Dieng-Batur Volcanic Complex.” Proceedings ITB (1971): 23-38.

Gambar

Gambar 1 Kondisi umum kawasan Dieng. Foto diambil penulis di   Desa Dieng Kulon, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo
Gambar 2 Tembok dari Kaldera Prau, kaldera terbesar di Kawasan Dieng.
Gambar 3 A) Kerucut Gunungapi Pagerkandang, salah satu kelompok gunungapi yang terbentuk pada Episode Vulkanik Pasca  Kaldera yang Pertama
Gambar 4 Panorama Telaga Cebong, Desa Sembungan, dan Gunung Sidede (1). Desa Sembungan   merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa, dengan elevasi sekitar 2120 meter di atas permukaan laut
+7

Referensi

Dokumen terkait