• Tidak ada hasil yang ditemukan

SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

S o c i a l W o r k J o u r n a l

S h a r e

ISSN : 2339-0042

Vol. 5. No. 1, Juli 2015 FENOMENA REMAJA PUNK DITINJAU DARI KONSEP PERSON IN ENVIRONMENT (STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS HEAVEN HOLIC KOTA BANDUNG)

Oleh: Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari

PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung) Oleh: Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK DIDIK LEMBAGA

PEMASYARAKATAN DALAM MENGHADAPI PROSES INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT Oleh: Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo

PELAYANAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKANPADA FAITH BASED ORGANIZATION (STUDI DI RUMAH YATIM AT-TAMIM KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG)

Oleh: Eni Setiyawati, Santoso Tri Raharjo dan Muh. Fedryansyah INTERAKSI DIDALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN DENGAN

HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA BAMBU APUS JAKARTA

Oleh: Febry Hizba Ahshaina Suharto, Budhi Wibhawa & Eva Nuriyah Hidayat

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM DESA TERNAK MANDIRI (DTM) DOMPET PEDULI UMAT DARUUT TAUHIID (DPU-DT) DI NESA NEGLASARI KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN BANDUNG Oleh: Fiki Hari Nugraha, Agus Wahyudi Riana & Maulana Irfan

PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH

Oleh: Fikriryandi Putra, Desy Hasanah St. A, & Eva Nuriyah H.

POLA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN ANAK DOWN SYNDROME (Studi Deskriptif Pola Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina

Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur) Oleh: Nadia Uswatun Hasanah, Hery Wibowo & Sahadi Humaedi

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI LINGKUNGAN MARGALUYU KELURAHAN CICURUG Oleh: Nur Rahmawati Sulistiyorini, Rudi Saprudin Darwis, & Arie Surya Gutama

DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH Oleh: Rivanlee Anandar, Budhi Wibhawa & Hery Wibowo

COPING STRES KARYAWAN DALAM MENGHADAPI STRES KERJA Oleh: Wiari Utaminingtias, Ishartono & Eva Nuriyah Hidayat

EFEKTIVITAS PROGRAM PELAYANAN SOSIAL PADA ANAK CEREBRAL PALSY OLEH SEKOLAH LUAR BIASA Oleh: Franzeska Venty WD, Budhi Wibhawa, & Budi M. Taftazani

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

S h a r e

S o c i a l W o r k J o u r n a l

ISSN: 2339-0042

Jurnal Pekerjaan Sosial

Departemen Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Padjadjaran

DEWAN REDAKSI

Penanggung Jawab : Dr. Drs. Budi Wibhawa, MS.

Ketua Dewan Redaksi: Dr. Santoso Tri Raharjo, S.Sos., M.Si

Sekretaris

: Drs. Nandang Mulyana, M.Si

Dewan Redaksi

:

Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos.,M.Si.

Dr. Nunung Nurwati, dra., M.Si.

Dra. Binahayati Rusyidi, MSW., Ph.D

Anggota :

Dr. Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW.

Dr. Risna Resnawaty, S.Sos., MP.

Dr. Heri Wibowo, S.Psi., MM

.

Layout dan Distribusi : Sahadi Humaedi, S.Sos., M.Si

Meilany Budiarti S, S.Sos., SH., M.Si

Faisal Akbar, S.Sos., MPS.Sp

Alamat Penerbit/Redaksi : Departemen Kesejahteraan Sosial

Gedung B FISIP-UNPAD

Jl. Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang Telepon/Fax (022) 7796974, 7796416 dan e-mail : [email protected] dan

[email protected]

ISSN: 2339-0042

(3)

PENGANTAR REDAKSI

Dalam Jurnal Share Volume 5 Nomor 1 berisikan gagasan tertulis mengani

berbagai aspek pekerjaan sosial, kesejahteraan sosial dan masalah sosial lainnya.

Sebagian besar karya dalam jurnal ini merupakan karya bersama antara dosen dan

mahasiswa. Dari 12 (dua belas) artikel yang ada dalam jurnal ini, sebagian besar

didominasi oleh tulisan-tulisan mengenai anak: mulai dari tulisan fenomena

anak-anak

funk

di kota Bandung, kota layak anak, residivis anak, pelayan anak berbasis

panti, anak bermasalah dengan hukum, kemandirian anak

down syndrome,

anak

jalanan, dan anal cerebral palsy. Kesemua tulisan tersebut menarik untuk dikaji lebih

lauh lagi. Selain itu terdapat pula terdapat pula tulisan-tulisan pengembangan

masyarakat, pengelolaan sampah dan stres di dunia kerja.

Akhir kata, Redaksi mengucapkan selamat membaca...

Salam,

Redaksi

(4)

Share

Vol. 4. No. 2, Desember 2014

S o c i a l W o r k J o u r n a l ISSN: 2339-0042-7

FENOMENA REMAJA PUNK DITINJAU DARI KONSEP PERSON IN ENVIRONMENT (STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS HEAVEN HOLIC KOTA BANDUNG)

Oleh: Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari 1

PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung)

Oleh: Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan 11

RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK DIDIK LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENGHADAPI PROSES INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT

Oleh: Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo 15

PELAYANAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN PADA FAITH BASED ORGANIZATION (STUDI DI RUMAH YATIM AT-TAMIM KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG)

Oleh: Eni Setiyawati, Santoso Tri Raharjo dan Muh. Fedryansyah 24

INTERAKSI DI DALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA BAMBU APUS JAKARTA

Oleh: Febry Hizba Ahshaina Suharto, Budhi Wibhawa & Eva Nuriyah Hidayat 35

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM DESA TERNAK MANDIRI (DTM) DOMPET PEDULI UMAT DARUUT TAUHIID (DPU-DT) DI NESA NEGLASARI KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN BANDUNG

Oleh: Fiki Hari Nugraha, Agus Wahyudi Riana & Maulana Irfan 46

PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH

Oleh: Fikriryandi Putra, Desy Hasanah St. A, & Eva Nuriyah H. 51

POLA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN ANAK DOWN SYNDROME (Studi Deskriptif Pola Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur)

Oleh: Nadia Uswatun Hasanah, Hery Wibowo & Sahadi Humaedi 65

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI LINGKUNGAN MARGALUYU KELURAHAN CICURUG Oleh: Nur Rahmawati Sulistiyorini, Rudi Saprudin Darwis, & Arie Surya Gutama 71

DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH

Oleh: Rivanlee Anandar, Budhi Wibhawa & Hery Wibowo 81

COPING STRES KARYAWAN DALAM MENGHADAPI STRES KERJA

Oleh: Wiari Utaminingtias, Ishartono & Eva Nuriyah Hidayat 89

EFEKTIVITAS PROGRAM PELAYANAN SOSIAL PADA ANAK CEREBRAL PALSY OLEH SEKOLAH LUAR BIASA

Oleh: Franzeska Venty WD, Budhi Wibhawa, & Budi M. Taftazani, 98

ISSN: 2339-0042

(5)

FENOMENA REMAJA

PUNK

DITINJAU DARI KONSEP

PERSON IN

ENVIRONMENT

(STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS

HEAVEN HOLIC

KOTA

BANDUNG)

Oleh:

Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari E-mail :

([email protected]; [email protected]; [email protected] ) Abstrak

Remaja punk merupakan bagian dari kehidupan underground. Mereka memiliki ideologi politik dan sosial, hidup di jalanan dan selalu mendengarkan musik-musik yang beraliran keras. Mereka hadir di jalan untuk melakukan perlawanan terhadap kondisi sosial, politik dan budaya di masyarakat. Keberadaan remaja punk di berbagai sudut Kota Bandung telah meresahkan sebagian masyarakat. Penampilan mereka yang ekstrim dengan memakai sepatu boots, jaket kulit, celana jeans yang robek, menggunakan gelang berduri, memakai baju hitam lusuh dan memiliki rambut mohawk seperti suku indian dengan warna yang mencolok telah membuat risih sebagian masyarakat. Mereka sangat berani untuk berbeda dari orang lain dan menciptakan suatu tren tersendiri. Remaja punk terbentuk karena tinggal dengan lingkungan serupa. Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat sebuah konsep yaitu Person In Environment yang merupakan holistic model system untuk mengidentifikasi serta mengklarifikasi permasalahan-permasalahan klien atau pasien dalam keberfungsian sosial. Melalui penelitian ini akan dideskripsikan Person Dimensional remaja punk berupa kondisi biologis, kondisi psikologis dan spiritual yang mereka miliki. Kemudian melihat environmental dimensional remaja punk berupa lingkungan fisik di sekitar mereka dan budaya yang mereka anut. Selanjutnya adalah Time Dimensional berupa rencana dan kejadian-kejadian yang dialami oleh remaja punk.

Abstract

Punks is part of the underground. lifeThey have the ideology of the political and social life on the streets and always hear and listen to mellow that fencing hard.Them is here in a way to do resistance to the social condition, political and cultural in society.The existence of punks at different corners of the city of bandung has been unsettling some parts of the community.Their appearance to the extreme by wearing boots, black leather jacket, blue jeans being torn, using a bracelet prickly, wear a black shabby and having hair mohawk as a tribe of indians with striking color have made some in the community be uncomfortable.They are very brave to be different from others and create of trends in and of itself. Punks formed for staying with the environment similar. In the concept of the science of social welfare , there is a concept which is holistic person in environment which is a model system to identify and clarify the problems in social function client or patient .Through this research will be described person dimensional punks of biological condition, psychological and spiritual condition that they have.Then see the environmental dimensional punks of the physical environment around them and their cultural .Dimensional next time is of the plan and events experienced by punks .Keyword : Remaja, Punk, Person In Enveronment, Pekerjaan Sosial, Masalah Sosial

(6)

Pendahuluan

Punk merupakan suatu ideologi

tentang pemberontakan dan anti kemapanan, dengan berbagai macam karakter dari tiap anggota sehingga sebuah kelompok untuk mendapatkan keamanan identitas diri dan ciri dari komunitas punk tersebut. Menurut Counter Culture "Punk yang sesungguhnya adalah sebuah pergerakan revolusioner

anti-penindasan dan sebuah gerakan

libertarian(kemerdekaan) dari kelompok

orang-orangyang tidakpuas terhadap kondisi yang terjadi saat ini".

Punk berasal dari bahasa Inggris, yang merupakan singkatan dari “Public United Not Kingdom” yang artinya adalah kesatuan masyarakat di luar kerajaan. (Firmansah, 2013) Dalam perkembangannya, punk memiliki berbagai jenis dengan ciri khas yang cukup berbeda satu sama lain.

Punk masuk Indonesia pada akhir delapan puluhan, tetapi perkembangan besar

terjadi pada awal pertengahan tahun

sembilan puluhan. Pickles (2000)

mengatakan bahwa pada waktu itu estetis dan musik punk menjadi cara hidup altematif yang baru dan populer bagi pemuda Indonesia. pada awalnya punk di Indonesia, budaya ini tidak melebih mode dan musik. Pada waktu itu punk mempakan sebuah subkultur yang dinamis dan eksperimental dengan pesan-pesan pemberontakan visual tapi tidak bisa dianggap sebuah budaya perlawanan yang bersatu dan bekerjasama supaya tujuan tercapai.

Punk adalah suatu ideologi tentang pemberontakan dan anti kemapanan, dengan berbagai macam karakter dari tiap anggota sehingga membentuk sebuah kelompok untuk mendapatkan keamanan identitas diri dan ciri dari komunitas punk tersebut.

O’hara (1999) mengartikan punk

sebagai suatu bentuk tren remaja dalam berpakaian dan bermusik, suatu keberanian

dalam membuat perubahan, dan suatu bentuk perlawanan yang luar biasa karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan kebudayaan sendiri.

Remaja punk begitu percaya diri akan penampilannya yang berbeda dengan orang pada umumnya. Marshal (2005) berpendapat bahwa generasi muda. yang bergabung dalam komunitas punk merasa menemukan jati diri mereka terhadap gaya unik yang ditonjolkan oleh punk. Komunitas punk di Indonesia sangat diwarnai oleh budaya dari barat atau Amerika dan Eropa. Biasanya perilaku mereka terlihat dari gaya busana yang mereka kenakan seperti sepatu boots, potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut dengan punker.

Menurut Nando (2008:5) bahwa “Punkers sering dianggap sebagai tukang kritik melalui lirik-liriknya, dan tukang “rusuh”

melalui aksi egalitarian dari para

penganutnya meskipun itu belum tentu benar.”

(7)

Ciri khas komunitas punk lainnya adalah aliran musik yang mereka miliki. Musik

punk merupakan musik pemberontakan,

pemberontakan dilakukan melalui lirik lagu yang menyindir perilaku pemerintah yang tidak peduli terhadap masyarakat. Firmansah (2013) berpendapat bahwa Punk sering dikatakan sebagai salah satu seni yang terangkum dalam berbagai macam seni, misalnya musik. Lirik dalam musik ini juga sebagai alat untuk memprovokasi serta

melakukan perlawanan. Tetapi, pada

umumnya masyarakat menilai musik punk sebagai musik yang negatif dan menganggu tatanan sosial.

Punk merupakan budaya tersendiri di

Masyarakat, karena mereka telah

menciptakan struktur sosial tersendiri. Piliang (1998: 213) berpendapat bahwa budaya punk sebagai budaya subkultur, muncul dan booming di Indonesia sekitar tahun 90-an atau sekitar tahun 1980-an (Piliang, 1998: 213).

Pengaruh punk di Indonesia bermula dari proses modernisasi dan globalisasi di dunia. Ronaldo (2008) mengatakan bahwa dampak dari modernisasi dan pembangunan

adalah terjadinya perubahan atau

pembaharuan struktur sosial yang

mendorong terjadinya proses transformasi sosial dan budaya dalam tatanan masyarakat Indonesia. Perubahan pola hidup masyarakat dan perubahan budaya yang ada membuat

manusia dihadapkan pada stimulasi yang kompleks dan memerlukan kejelian untuk menerima situasi tersebut. Salah satu budaya yang muncul saat ini adalah punk.

Sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka disebut subkultur. Budayawan Fitrah Hamdani dalam Zaelani Tammaka (2007:164) berpendapat bahwa subkultur adalah gejala budaya dalam masyarakat industri dan kemunculannya tidak

semata-mata merupakan penentangan

terhadap hegemoni bahkan mungkin

merupakan salah satu jalan keluar bagi satu ketegangan sosial. Masyarakat subkultur pun telah membentuk budaya dan tradisi mereka sendiri. Hidbige (1988: 158) mengatakan pendukung subkultur menghormati adat atau aturan yang berlaku dan menjadikan aturan itu sebagai pedoman dan acuan bagi hidup mereka.

Perkembangan jumlah remaja punk di Indonesia tidak diketahui secara pasti, namun sebuah fanzine asal Amerika Profane Existence, menulis negara dengan

perkembangan punk yang menempati

peringkat teratas di dunia adalah Indonesia dan Bulgaria.

Komunitas punk adalah remaja yang hidup di jalanan namun berbeda dengan anak jalanan pada umumnya. Perbedaan terlihat dari cara berpakaian dan juga cara bergaul satu sama lain. Namun dalam pendataan, mereka tergolong kepada anak jalanan. Dari sekian kota/kabupaten di Jabar, jumlah anak jalanan yang ada di Kota Bandung menjadi yang tertinggi mencapai 2.500 orang atau 44% permasalahan anak jalanan ada di ibu kota provinsi Jabar tersebut.

(http://bandung.bisnis.com/read/20140209/6 1818/490985/anak-jalanan-di-bandung-menjadi-yang-tertinggi)

(8)

Di Kota Bandung, remaja punk ini

memiliki kebiasaan yang membuat

masyarakat terganggu saat bepergian

menggunakan angkutan umum. Mereka mencari uang dengan cara mengamen di setiap angkutan umum serta menyanyikan lagu-lagu yang berbeda dari pengamen pada umumnya. Perbedaannya terlihat dari lirik-lirik yang memuat tentang kritikan terhadap pemerintah atau kondisi sosial politik saat ini. Mereka merupakan bagian dari kehidupan underground. Mereka memiliki ideologi politik dan sosial, hidup di jalanan dan selalu mendengarkan musik-musik yang beraliran keras. Mereka hadir di jalan untuk melakukan perlawanan terhadap kondisi sosial, politik dan budaya di masyarakat.

Selain mengamen, remaja punk juga menuliskan pesan politik di tembok kantor-kantor di Kota Bandung. Hotibin (2008) mengatakan pesan politik tersebut ada di beberapa kantor yaitu di simpang Jalan Merdeka serta Jalan R.E Martadinata. Pesan tersebut antara lain adalah “Bubarkan Negara” , “Pemerintah = Racun” , “Negara = Racun”, dan “Keraskan Kepala”.

Sangat mudah untuk menemukan komunitas punk di Kota Bandung. Mereka saling berkumpul satu sama lain di tempat yang terbuka. Terdapat beberapa titik komunitas punk di kota ini. Diantaranya di pusat kota yaitu di Jalan Braga, alun-alun Cicalengka dan di pintu tol Pasteur. Beberapa dari komunitas ini tinggal di jalanan dan berprofesi sebagai pengamen. Ada pula yang sudah profesional dan terlibat rekaman (Muthiya, 2008).

Kesan dan stigma negatif telah melekat pada komunitas punk ini. Mereka dianggap sebagai pembuat onar, preman,

perusuh, dan banyak orang yang

menganggap mereka berbahaya. Sudah banyak upaya razia yang dilakukan oleh Satpol PP untuk mengamankan keberadaan mereka. Namun tetap saja tidak mengurangi jumlah remaja punk yang ada di Kota Bandung.

(http://news.detik.com/read/2013/10/18/155 611/2389488/486/wali-kota-bandung-pimpin- razia-gepeng-remaja-berdandan-punk-kocar-kacir)

Komunitas Heaven Holic dibentuk dari keprihatian pada dunia generasi muda saat ini yang tengah menghadapi permasalahan

sosial berupa pergaulan bebas yang

mempengaruhi pemikiran mereka. Banyak dari generasi muda terutama remaja punk yang terjebak dalam perilaku negatif dan

merusak, dari mulai minuman keras,

penyalahgunaan narkoba sampai pergaulan bebas termasuk remaja punk.

Komunitas ini dibentuk untuk

membina anak, remaja atau dewasa yang pernah bergabung di komunitas punk agar dapat menjalani kehidupan secara normal dengan memberikan pembelajaran baik secara umum maupun secara spiritual guna ikut berkontribusi dalam memperbaiki akhlak dan moral generasi muda termasuk anak punk.

(9)

Remaja punk terbentuk karena tinggal dengan lingkungan serupa. Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat sebuah konsep yaitu Person In Environment yang merupakan holistic model system untuk

mengidentifikasi serta mengklarifikasi

permasalahan-permasalahan klien atau

pasien dalam keberfungsian sosial. Melalui penelitian ini akan dideskripsikan Person Dimensional remaja punk berupa kondisi biologis, kondisi psikologis dan spiritual yang

mereka miliki. Kemudian melihat

environmental dimensional remaja punk berupa lingkungan fisik di sekitar mereka dan budaya yang mereka anut. Selanjutnya adalah Time Dimensional berupa rencana dan kejadian-kejadian yang dialami oleh remaja punk. Untuk mengidentifikasi permasalahan yang menggambarkan permasalahan dalam keberfungsian peran sosial remaja punk

berkaitan untuk aktivitas kehidupan

keseharian yang dibutuhkan oleh masyarakat atau budaya bagi usia individu dan tahap kehidupan maka perlu penggunaan konsep Person In Environment.

Pendekatan penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena masalah penelitian belum jelas diketahui, sehingga perlu melakukan

eksplorasi terhadap suatu objek dan

mengetahui sebuah fenomena secara secara menyeluruh, luas serta mendalam.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif karena bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena remaja punk ditinjau dari person in environment dengan cara mengeksplorasi secara menyeluruh, luas serta mendalam berdasarkan pada dimensi-dimensi dalam person in environment, diantaranya person dimensional (dimensi manusia), environmental dimensional (dimensi lingkungan), time dimensional (dimensi waktu).

Penelitian ini menggunakan teknik penelitian studi kasus. Dikatakan studi kasus karena peneliti akan melakukan studi secara intensif mengenai keadaan suatu unit konsep dalam pekerjaan sosial, yakni person in environment dari remaja punk binaan komunitas heaven holic.

Setting yang digunakan pada penelitian ini adalah remaja punk dalam naungan binaan komunitas heaven holic. Setting tersebut dipilih dengan maksud dan tujuan untuk melihat serta memberikan gambaran person in environment remaja punk di komunitas heaven holic.Informan adalah

(10)

orang yang secara sukarela menjadi objek dalam penelitian serta orang lain selain objek penelitian yang memahami situasi dan kondisi dari objek penelitian. Informan ditentukan dengan metode purposive, yaitu informan dipilih berdasarkan tujuan tertentu.

Data yang diperoleh langsung peneliti yang berasal dari lokasi penelitian. Data yang termasuk dari data primer yaitu data dari

hasil wawancara dan observasi.Dalam

metode kualitatif wawancara merupakan metode pengumpulan data yang utama. Definisi wawancara adalah suatu interaksi untuk bertukar informasi. Metode wawancara yang dipakai adalah metode wawancara semi-terstruktur, karena wawancara dengan jenis ini dapat lebih fleksibel dan terkadang pertanyaan dapat muncul ketika sedang berbicara.

Data Sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara yang diperoleh dan dicatat pihak lain. Dalam

mengumpukan data sekunder, peneliti

melakukan studi dokumentasi.

Reduksi data merupakan tahapan ketika informasi yang diperoleh peneliti digabungkan dan diseragamkan menjadi bentuk tulisan. Pada saat mereduksi data maka dikumpulkan data-data yang diperlukan dan membuang informasi yang tidak perlu. Setelah data direduksi maka akan tergambar mengenai hasil dari pengumpulan data.

Data-data yang telah direduksi,

digolongkan dalam bentuk matriks atau kategorisasi. Data-data dikelompokkan dalam sebuah tema, kemudian diturunkan dalam subtema. Hal ini dilakukan supaya informasi dapat lebih mudah untuk dimengerti. Kemudian peneliti memasukkan pernyataan-pernyataan informan ke dalam matriks kategorisasi dengan kalimat yang dibuat oleh peneliti. Setelah itu akan diberikan kode.

Setelah data selesai disajikan maka akan ditarik kesimpulan. Pada tahap ini pula dilakukan triangulasi data yaitu memeriksa hasil apakah sesuai dengan data yang didapat atau tidak

Penelitian ini dilaksanakan di

Komunitas Heaven Holic. Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan komunitas ini memiiliki aktivitas yang bertujuan untuk mendidik remaja punk secara spiritual.

Remaja punk terbentuk karena tinggal dengan lingkungan serupa. Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat sebuah konsep yaitu Person In Environment yang merupakan holistic model system untuk mengidentifikasi serta mengkla rifikasi

permasalahan-permasalahan klien atau

pasien dalam keberfungsian sosial.

Menurut Wibhawa (2010:170),

Person In Environment (PIE) adalah suatu

metode untuk menggambarkan,

mengklasifikasi dan mengkoding

permasalahan-permasalahan pasien dan klien dewasa yang memperoleh pelayanan pekerja sosial. PIE sistem adalah suatu “holistic model system” yang mengidentifikasi dan mengklasifikasi permasalahan-permasalahan klien atau pasien dalam pengalamannya dengan keberfungsian sosial. Di dalamnya termasuk assessment mengenai hubungan sosial.

Dalam praktik pekerjaan sosial,

Person In Environment merupakan sebuah tool dari assessment terhadap klien. Menurut Hutchison (2003) dalam menggambarkan situasi klien dengan Person In Environment diperlukan pendekatan multidimensional.

Pendekatan multidimensional merupakan

pemikiran tentang perilaku manusia sebagai perubahan konfigurasi orang dan lingkungan

sepanjang waktu. Pendekatan

Multidimensional dibangun dengan tiga aspek yaitu Person Dimensional, Environmental Dimensional dan Time Dimensional.

(11)

Fenomena mengenai remaja punk di Kota Bandung penting untuk diteliti karena memberikan gambaran mengenai profil remaja punk binaan komunitas heaven holic ditinjau dari person in environment yang mereka miliki. Karena manusia tidak akan lepas dari pengaruh lingkungannya, begitu pula dengan remaja punk.

Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja yaitu peralihan-peralihan secara fisik, pikiran, lingkungan sosial dan kondisi emosi.

Remaja adalah periode transisi

perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Sebetulnya masa depan dari seluruh budaya

tergantung pada seberapa efektifnya

pengasuhan itu (Larson dkk, 2002).

Banyak pendapat mengenai usia batasan remaja, karena remaja merupakan masa transisi, hal ini tergantung dari budaya yang dianut dan sejarah daerah yang dia tempati.

Meskipun rentang usia dan remaja dapat bervariasi terkait dengan lingkungan budaya dan historisnya, masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional yang dialami remaja dapat berkisar mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses berpikir abstrak hingga kemandirian. Santrock, 2007)

Perkembangan Remaja

Perkembangan pada saat remaja merupakan titik penting di dalam kehidupan seseorang. Pada masa remaja akan timbul sebuah rangkaian periode perkembangan

hidup dipengaruhi oleh interaksi dari proses-proses biologis, kognitif dan sosio-emosional. Masa kanak-kanak ke remaja, pada masa remaja awal terjadi perubahan di otak

yang memungkinkan kemajuan dalam

berpikir. Pada masa ini, remaja juga cenderung untuk tetap terjaga hingga larut malam dan bangun tidur agak siang.

Perubahan-perubahan kognitif yang berlangsung selama transisi dari masa kanak-kanak hingga remaja adalah meningkatnya berpikir abstrak. Idealistik dan logis. Ketika mereka melalui transisi ini, remaja mulai berpikir secara lebih egosentris, seringkali memandang dirinya seolah-olah berada di atas pentas, unik, dan tak terkalahkan.

Sebagai respons terhadap

perubahan-perubahan ini, orang tua memberikan tanggung jawab lebih besar di pundak remaja untuk membuat keputusan (Santrock, 2007).

Masa remaja terdiri dari masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung pada saat usia sekolah

menengah pertama dan usia sekolah

menengah atas. Sementara masa remaja akhir berlangsung pertengahan dasawarsa, pada saat ini remaja memiliki minat karir dan mengeksplorasi identitas diri.

Ada beberapa kecenderungan yang dialami oleh remaja pada masa pubertas, hal ini diakibatkan dari masih labilnya emosi mereka. Adapun diantara kecenderungan yang dialami oleh remaja adalah sebagai berikut :

a. Kecenderungan untuk meniru

b. Kecenderungan untuk mencari perhatian c. Kecenderungan mulai tertarik pada lawan

jenisnya

d. Kecenderungan mencari idola

e. Selalu ingin mencoba terhadap hal-hal yang baru.

(12)

Ada tiga macam jenis punk, yaitu Punk Hardcore, Street Punk, dan Punk Rock Elite. Punk Hardcore

Hardcore punk berkembang pada tahun 1980-an di Amerika Serikat Bagian Utara. Musik dengan aliran punk rock dengan beat-beat yang cepat menjadi musik wajib bagi mereka. Jiwa pemberontakan sangat kental dalam kehidupan sehari-hari, terkadang

sesama anggota sering bermasalah.

(Marshal, 2005, h.109) Street Punk

Street punk adalah punk yang terbiasa tidur di pinggiran jalan dan mengamen untuk membeli rokok. Sering bergaul dengan pengamen dan pengemis. Sebutan street punk adalah The Oi, mereka sering berbuat oner dimana-mana. Para anggotanya diberi nama skinheads. Para skinheads menganut prinsip kerja keras itu wajib. Para skinheads

lebih berani mengekspresikan musik

dibandingkan komunitas punk lainnya.

(Marshal, 2005, h.110) Punk Rock Elite

Punk Rock Elite beranggotakan seniman.

Mereka menjauhi perselisihan dengan

sesama komunitas ataupun orang-orang di sekitarnya. Mereka biasa berkumpul di distro, ataupun kafe. (Marshall, 2005, h.109)

Subkultur merupakan gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk pencipta gaya dan bukan hanya merupakan penentang hegemoni atau jalan keluar suatu ketegangan sosial. Subkultur lebih jauh menjadi bagian dari ruang bagi penganutnya untuk memberikan otonomi dalam suatu tatanan sosial masyarakat industri yang semakin kaku dan kabur. (Audifax dalam Alfahri Addin (2006:122).

Subkultur timbul apabila suatu bagian dari masyarakat atau kelompok sosial tertentu sedang menghadapi masalah yang bukan merupakan persoalan yang dihadapi warga lainnya. (Soekanto, 1990)

Person In Environment

Dalam praktik pekerjaan sosial

terdapat sebuah konsep yaitu konsep Person

In Environment, konsep ini akan

mengidentifikasi permasalahan yang

menggambarkan permasalahan dalam

keberfungsian peran sosial berkaitan untuk

aktivitas kehidupan keseharian yang

dibutuhkan oleh masyarakat atau budaya bagi usia individu dan tahap kehidupan.

Person In Environment dapat secara efektif menilai klien. Seorang praktisi harus akrab dengan Person In Environment dan DSM IV. Kedua hal tersebut akan digunakan sebagai referensi; dengan mengikuti arah tersebut, seseorang bisa menjadi nyaman melakukan penilaian Person In Environment dalam sebulan atau dua bulan.Tentu saja, ada harapan bahwa alat penilaian ini akan mampu bersaing di pasar terbuka dengan

medical-model-based dsm-iv. Person In

Environment akan mendidik semua pekerjaan sosial praktisi, terutama pekerjaan sosial siswa karena itu adalah cara yang khas profesi kita menilai individu dibandingkan profesi lain.

Person-in-environment adalah konsep dasarnya pekerjaan sosial (Hare, 2004 ). Bahkan ada yang menyatakan bahwa konsep ini, yang menjadi ciri umum pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi yang berusaha untuk mengubah dan memperbaiki kehidupan individu dan masyarakat dan hubungan

antara mereka, adalah apa yang

membedakan dari pekerjaan sosial dengan yang lainnya. (gibelman,1999). Jadi, hal ini tidak mengherankan bahwa banyak sarjana melihat pendekatan person-in-environment

(13)

sebagai pendekatan pusat (Buchbinder, Eisikovits, & Karnieli-Miller, 2004; Johnson; Kondrat, 2002; Minahan, 1981; Schneider & Netting, 1999).

Person-in-environment yang diwujudkan dalam konsep dual aspirasi dari profesi untuk memberikan perawatan pribadi dan keadilan sosial yang lebih lanjut. Lebih spesifik lagi, profesi pekerjaan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

individu, keluarga, kelompok, dan

masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka, menyadari potensi mereka, dan meningkatkan kehidupan mereka, sementara

mempengaruhi reformasi sosial

kemasyarakatan yang dimaksudkan untuk

menghilangkan hambatan untuk

kesejahteraan individu, untuk mengurangi

kesenjangan, dan untuk meningkatkan

keadilan sosial (Dominelli, 2004).

Pendekatan person-in-environment

yang juga diwujudkan dalam kesepakatan umum yang profesional dalam kelompok pekerja sosial masyarakat yang harus menggunakan intervensi psikologis individu baik pada tingkat tingkat sosial. Tahun 2004 lalu disajikan sebagai suatu pendekatan prinsip pengorganisasian yang menyatukan suatu kesinambungan keberhasilan campur tangan, dimulai dengan psikoterapi atau pekerjaan sosial klinis; melalui terapi keluarga, kelompok kerja, pemberdayaan, penanganan perkara, mediasi, aksi sosial, advokasi, dan kebijakan pembentukan; dan berakhir dengan pembangunan sosial.

Kebutuhan untuk mengintegrasikan kegiatan ini juga menekankan pada tingkat yang berbeda dalam kode etik pekerjaan sosial. Misalnya, british association of social worker ' (basw) yang menyatakan bahwa: pekerja sosial mempunyai tanggung jawab

untuk membantu individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat melalui

penyediaan dan operasi dan layanan yang sesuai dengan memberi kontribusi untuk

perencanaan sosial dan tindakan (basw, 1996).

Menurut Hutchison (2003) dalam menggambarkan situasi klien dengan Person

In Environment diperlukan pendekatan

multidimensional. Pendekatan

multidimensional merupakan pemikiran

tentang perilaku manusia sebagai perubahan konfigurasi orang dan lingkungan sepanjang

waktu. Pendekatan Multidimensional

dibangun dengan tiga aspek yaitu Person Dimensional, Environmental Dimensional dan Time Dimensional.

Person Dimensional

a. The Biological Person merupakan gambaran fisik (jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, kecacatan (jika ada), penampilan, cara berbicara, ekspresi tubuh, respon awal saat

berbicara dengan orang lain,

kehangatan, body exspression, dan status kesehatannya.

b. The Psychological Person merupakan gambaran emosi, respon terhadap suatu masalah, pola pikir klien, dan

pikiran-pikiran dia kepada situasi yang

dihadapinya.

c. The Spiritual Person merupakan etika,

keyakinan dan kepercayaan, serta

hubungannya dengan tuhan.

Environmental Dimensional

The Physical Environment merupakan lingkungan fisik di sekitar individu, bangunan, keamanan, kenyamanan, suasana dalam perusahaan.

Culture merupakan budaya yang kita anut atau mewarnai kehidupan kita sehari-hari, terkait dimana kita berada.

(14)

Time dimensional terdiri dari trends yang merupakan visi dan misi remaja punk, cycles berupa perilaku dan pandangan tentang visi, shift berupa kejadian yang dapat mengubah arah hidup remaja punk, linear time berupa rencana serta kejadian yang telah dialami, social institutions and social structure berupa organisasi yang diikuti remaja punk, dyads berupa hubungan dengan pasangan, families berupa hubungan dengan keluarga, small groups berupa grup kecil yang diikuti remaja punk, formal organizations berupa organisasi formal yang

diikuti, communities berupa hubungan

dengan komunitas dan social movements berupa aksi-aksi yang dilakukan oleh remaja punk.

Person dimensional remaja punk yang terdiri dari kondisi biologis yang terdiri dari

gambaran fisik, penampilan. Kondisi

psikologis yang terdiri dari gambaran emosi, respon terhadap masalah, pola pikir dan cara

menghadapi situasi. Kemudian kondisi

spiritual yang terdiri dari etika, keyakinan, kepercayaan dan hubungan dengan Tuhan. Environmental Dimensional remaja punk kondisi lingkungan fisik di sekitar individu dan budaya yang dianut individu.

Time Dimensional remaja punk yang terdiri dari trends yang merupakan visi dan misi remaja punk, cycles berupa perilaku dan pandangan tentang visi, shift berupa kejadian yang dapat mengubah arah hidup remaja punk, linear time berupa rencana serta kejadian yang telah dialami, social institutions and social structure berupa organisasi yang diikuti remaja punk, dyads berupa hubungan dengan pasangan, families berupa hubungan dengan keluarga, small groups berupa grup kecil yang diikuti remaja punk, formal organizations berupa organisasi formal yang

diikuti, communities berupa hubungan

dengan komunitas dan social movements berupa aksi-aksi yang dilakukan oleh remaja punk.

Punk merupakan subkultur. Subkultur adalah gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk pencipta gaya dan bukan hanya merupakan penentang hegemoni atau jalan keluar suatu ketegangan sosial. Subkultur lebih jauh menjadi bagian

dari ruang bagi penganutnya untuk

memberikan otonomi dalam suatu tatanan sosial masyarakat industri yang semakin kaku dan kabur.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Wibhawa, Santoso Tri Raharjo & Meilany Budiarti. 2010. Dasar-Dasar Pekerja Sosial. Bandung: Widya Padjadjaran.

Pickles, Joanna Margaret, 2000. Dari

Subkultur ke Budaya Perlawanan : Aspirasi dan Pemikiran Sebagian Kaum

Punk/Hardcore dan Skinhead di

Yogyakarta dan Bandung. Malang: Universitas Muhammadiyah.

Kauma, Fuad. 1999. Sensasi Remaja di Masa

Puber, Dampak Negatif dan

Penanggulangannya. Jombang: Kalam Mulia.

Marshall, G. 2005. Skinhead NationTruth about The Skinhead Cult. London: Dunnon.

Nando, 2008. Rebel 35 Band Punk Paling Berpengaruh. Jakarta : Narasi.

Rohman, Arif. 2009. Fenomena Anak Punk:

Sisi Lain Mengenai Ruwetnya

Permasalahan Anak Jalanan di

Indonesia. Warta Demografi.

Santrock. 2007. Remaja, Jilid 1 Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga

Santrock. 2007. Remaja, Jilid 2 Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga

(15)

PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK

DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK DI

KOTA BANDUNG

(Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung)

Oleh:

Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan Email:

([email protected]; [email protected];[email protected])

Pendahuluan

Anak adalah harapan setiap orang tua dan keluarga. Dalam cakupan luas, anak adalah harapan bangsa dan negara bahkan dunia di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, menjadi hal yang krusial dan komitmen bersama untuk memenuhi hak-hak anak sebagai manusia serta mewujudkan dunia yang layak bagi mereka.

Pada tahun 1989, Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengeluarkan Konvensi

tentang Hak-hak Anak (KHA) dan

menetapkan kewajiban bagi pemerintah yang meratifikasi untuk membuat langkah-langkah implementasi. Secara garis besar, Konvensi

Hak-hak Anak (KHA) tersebut

mengelompokkan hak-hak anak ke dalam 4 (empat) kelompok hak dasar, yaitu hak untuk bertahan hidup (survival rights), hak untuk

tumbuh dan berkembang (development

rights), hak atas perlindungan (protection rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights).

Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1990 melalui Keppres Nomor 36 tahun 1990

kemudian mengesahkan Undang-undang

Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002.

Dengan meratifikasi KHA, Indonesia

menyepakati bahwa seluruh hak anak adalah hak asasi manusia seorang anak yang setara pentingnya dan bahwa Indonesia akan melakukan segala upaya untuk memastikan seluruh hak tersebut dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.

Sejak diratifikasi Konvensi Hak Anak,

pemerintah mulai menyusun berbagai

strategi untuk membuat kebijakan maupun program yang betujuan untuk mewujudkan

hak-hak anak. Salah satunya adalah

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak. Terdapat 40 kabupaten dan 34 kota di Indonesia yang telah dicanangkan sebagai salah satu kabupaten/kota menuju layak anak.

Bandung adalah kota yang pertama kali memiliki inisiatif untuk mengembangkan Kota Ramah Anak pada tahun 2004. Pada

tahun 2006 Kota Bandung telah

mendapatkan dua penghargaan sebagai pemerintahan yang memiliki komitmen kuat dalam upaya perlindungan anak sehingga telah dicanangkan sebagai Kota Layak Anak.

Dalam kebijakan ini, salah satu prinsipnya adalah partisipasi anak dalam pembangunan lingkungan yang juga sebagai salah satu hak dari 31 hak anak. Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat 2, “Partisipasi Anak adalah keterlibatan anak

dalam proses pengambilan keputusan

tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya dan dilaksanakan atas kesadaran, pemahaman serta kemauan bersama sehingga anak dapat menikmati hasil atau mendapatkan manfaat dari keputusan tersebut. Anak perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan, termasuk

(16)

pembangunan daerah untuk mewujudkan kota yang layak bagi mereka.

Hal di atas menunjukkan bahwa partisipasi anak sesungguhnya merupakan dasar dan batu pijakan yang menjamin bahwa anak-anak merupakan subyek dari hak asasi manusia yang sama sehingga tidak selalu menjadi objek dari suatu proses pembangunan. Saat ini, pemerintah telah membentuk dan membina wadah partisipasi anak yang disebut Forum Anak, yang didalamnya beranggotakan seluruh anak dan

pengurusnya terdiri dari perwakilan

kelompok-kelompok anak. Forum anak ini dibentuk dengan tujuan untuk menjembatani kepentingan anak-anak dan kepentingan orang dewasa. Forum anak merupakan media, wadah atau pranata untuk memenuhi hak partisipasi anak tersebut, untuk secara khusus menegaskan pasal 10 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Sebagai bentuk

komitmen dalam merespon kesepahaman atas pentingnya hak partisipasi anak untuk mewujudkan Dunia yang layak bagi anak, Pemerintah Kota Bandung juga membentuk dan membina wadah partisipasi anak (forum anak) yang bernama Forum Komunikasi Anak Bandung (FOKAB).

Akan tetapi, hal ini agaknya juga masih sulit diimplementasikan. Anak sampai saat ini masih berada dilatarbelakang saja dalam proses pembangunan. Kesejahteraan

anak diasumsikan akan terjadi bila

pembangunan berjalan dengan baik. Jadi anak hanya ada dalam anggapan dan tidak pernah dikedepankan secara sadar dan sengaja sebagai wawasan pembangunan dan bukan subyek pembangunan. Mereka hanya menjadi indikator pembangunan, seperti angka kematian bayi, angka kematian balita

dan anak, derajat partisipasi dalam

pendidikan, dan sebagainya.

Konsep anak sendiri juga masih bias. Anak dipandang sebagai orang dewasa yang belum ‘jadi’, atau tengah dalam proses

‘menjadi’, sehingga tidak perlu

diperhitungkan. Padahal anak adalah warga negara yang penuh akal, yang mampu membantu pembangunan masa depan lebih baik bagi semua orang.

Berdasarkan pernyataan tersebut,

penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemenuhan hak partisipasi anak melalui forum anak dalam implementasi kebijakan kota layak anak.

Metode

Metode yang digunakan pada

penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan gambaran pemenuhan hak

partisipasi anak dalam implementasi

kebijakan kota layak anak di Kota Bandung, dalam hal ini peneliti mengambil studi deskriptif pada Forum Komunikasi Anak Kota Bandung (FOKAB).

Dengan demikian, laporan penelitian ini akan berisi penjelasan untuk memahami sebuah proses dan pemaknaannya secara lebih dalam melalui interpretasi. Penelitian deskriptif dipilih karena dalam pemenuhan hak partisipasi anak terkait perencanaan pembangunan kota layak anak terdapat tahapan dan mekanisme pelaksanaan melalui forum anak hingga menuju ke musyawarah perencanaan pembangunan daerah.

Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai pengamat partisipan dan kehadiran peneliti di lapangan diketahui oleh subjek penelitian atau disebut observasi partisipatif. Observasi partisipatif, yaitu pengumpulan data melalui observasi terhadap objek

pengamatan dengan langsung hidup

bersama, merasakan serta berada dalam

aktivitas kehidupan objek pengamatan.

(Burhan Bungin, 2011: 124). Di samping itu,

peneliti menggunakan instrumen

pengumpulan data dan menyimpulkannya. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.

Untuk menjaga keabsahan data

peneliti melakukan ketekunan pengamatan, konsultasi dengan pembimbing, dan diskusi dengan teman. Analisis data penelitian ini

dilakukan secara kualitatif. Bogdan

sebagaimana dikutip Sugiyono (2007:244) menyatakan bahwa analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara

(17)

sistematis data yang diperoleh dari hasil pengamatan sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.

Aktivitas analisis data penelitian ini meliputi identifikasi/reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Kegiatan reduksi data dilakukan dengan merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting untuk

memudahkan menganalisis kualitas

partisipasi anak di Kota Bandung dan mengidentifikasi kelengkapan data. Tahap selanjutnya adalah penyajian data. Data yang disajikan dari penelitian ini adalah data hasil dari lapangan yang telah direduksi dan disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya dengan menggunakan teks yang bersifat naratif sehingga temuannya dapat dengan mudah dipahami orang lain. Tahap terakhir analisis ini adalah penarikan simpulan. Simpulan penelitian ini diambil dari intisari-intisari pembahasan terhadap hasil penelitian sehingga diperoleh simpulan yang kredibel.

Hasil dan Pembahasan

Kota Bandung merupakan salah satu kota yang dicanangkan sebagai salah satu Kota Layak Anak di Indonesia. Pemerintah

Kota Bandung mulai mempersiapkan

pembangunan daerah yang layak bagi anak, bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk di masa yang akan datang. Tentunya hal ini perlu melihat pertimbangan-pertimbangan dari anak itu sendiri sebagai subjek dari pembangunan. Oleh karena itu, dibentuk sebuah wadah partisipasi anak di Kota Bandung, yakni Forum Komunikasi Anak Bandung (FOKAB).

Anak-anak di Kota Bandung

(perwakilan anak dari FOKAB) dilibatkan dalam pengambilan keputusan perencanaan

pembangunan Kota Bandung melalui

Musyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang) tingkat kota. Perwakilan anak yang mengikuti musrenbang akan membawa rumusan suara anak-anak di Kota Bandung. Selain itu, Kota Bandung juga telah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk

penyelenggaraan pembangunan Kota Layak Anak.

Akan tetapi, pada pelaksanaannya masih banyak orang dewasa pada tataran pemerintah Kota Bandung, khususnya yang membawahi bidang perlindungan anak, belum paham mengenai partisipasi anak dan

peran forum anak (FOKAB) dalam

pembangunan kota layak anak di Kota Bandung. Bahkan diantaranya masih bekerja dengan etika yang kurang ramah terhadap anak sehingga saat ini anak belum banyak

terlibat dalam pengambilan keputusan

perencanaan pembangunan Kota Bandung. FOKAB masih menemui kendala sulitnya mengakomodir suara-suara anak di Bandung. Aspirasi anak belum menjadi prioritas dalam

pembangunan Kota Bandung karena

legalisasi FOKAB melalui Surat Keputusan (SK) Walikota hingga saat ini pun belum terealisasi. Partisipasi anak di Kota Bandung masih dalam tahapan untuk pemberian informasi dalam musyawarah perencanaan pembangunan, bahkan ada juga indikasi manipulasi untuk memenuhi persyaratan atau indikator keberhasilan dari kebijakan Kota Layak Anak.

Selain itu, belum banyak fasilitator anak yang paham dan terlatih mengenai Konvensi Hak Anak dan peraturan lainnya yang terkait anak dalam memfasilitasi FOKAB menjalankan perannya sebagai perwakilan anak di Kota Bandung sehingga usulan-usulan pembangunan maupun program dari FOKAB belum dapat disuarakan dengan baik ke pemerintahan Kota Bandung. Meskipun

anak memiliki kemampuan dan daya

kreativitas yang tidak terbatas, anak tetap butuh pendampingan dari orang dewasa untuk memastikan hak-haknya diperoleh dan dipenuhi.

Simpulan

Partisipasi anak sejatinya adalah

melibatkan seluruh unsur masyarakat

termasuk anak untuk berperan aktif. Hal ini

dimaksudkan supaya anak dapat

bertanggung jawab dan menikmati hasil pembangunan tersebut. Hak partsipasi bagi anak dalam kaitannya pembangunan Kota Layak Anak perlu disadari oleh semua pihak.

(18)

Pemenuhan hak tersebut harus sesuai dengan pedoman yang telah ada dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

Forum Komunikasi Anak Bandung (FOKAB) dibentuk sebagai salah satu wadah partisipasi anak di Kota Bandung. Forum ini kemudian haruslah dibina dan difasilitasi supaya peran dan fungsinya dapat berjalan

dengan baik. Peran pendamping dan

fasilitator cukup strategis untuk mendorong partisipasi aktif dari anak-anak serta mensosialisasikan ke seluruh pemangku

kepentingan di Kota Bandung untuk

melibatkan anak dalam pembuatan

perencanaan program maupun kebijakan terkait pembangunan Kota Bandung menuju kota yang layak anak. Selain itu, perlu adanya legalitas atau payung hukum yang bagi FOKAB supaya setiap Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) di Kota Bandung concern terhadap isu-isu anak dan mempertimbangkan pendapat anak dalam

perencanaan program maupun

pembangunan.

Daftar Pustaka

Hart, Roger. 1992. Children’s Participation: From Tokenism to Citizenship. UNICEF: Florence

Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Pelaksanaan Kabupaten/Kota Layak Anak.

Panduan Partisipasi Anak dalam Perencanaan

Pembangunan, Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak, 2014. Pedoman Pengembangan Forum Anak

Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(19)

RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK

DIDIK LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENGHADAPI PROSES

INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT

Oleh:

Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo Email:

( [email protected], [email protected], [email protected])

ABSTRAK

Anak didik lembaga pemasyarakatan merupakan anak berhadapan dengan hukum yang harus menjalani masa tahanan dalam sebuah proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Problematika yang dihadapi saat ini adalah banyaknya kasus kenakalan anak dengan pelaku adalah mantan narapidana anak yang bersifat residivis. Residivis anak adalah mantan narapidana anak yang melakukan kembali tindak kejahatan serupa dalam masyarakat atau disebut sebagai penjahat kambuhan. Penyebab dari adanya residivis anak adalah rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat oleh karena pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif dan tidak terintegrasi dengan kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan, baik secara fisik, mental, maupun sosial dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Subyek penelitian adalah anak didik lembaga pemasyarakatan yang sedang menjalani 1/3 sisa masa tahanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian atas dasar studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat dari rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat adalah kasus residivis anak. Kesiapan anak dapat ditinjau berdasarkan jenis pembinaan fisik, mental, dan sosial yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan disebabkan oleh pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif. Adapun kebutuhan anak didik lembaga pemasyarakatan menjelang masa kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya adalah kebutuhan sosialisasi yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kembali pemenuhan hak dan kebutuhan sebagai seorang warga negara.

ABSTRACT

The punishment that a child would get if they do something against the rule is that they will be labelled as children prisoners or children who are under penitentiary control. The existing problem is the huge number of deliquency cases with the recidivist children prisoners as the actors. Recidivist case or an act of former children prisoners who continuously commit crimes that make them go back to the penitentiary is one of impacts of their powerless selves to face the society’s rejection. It is caused by the inefectivity and unintegrated of the skill development programme held by the Children Penitentiary that unable them to be confidently facing the society life. This study aims to determine the readiness of children prisoners both physically, mentally, and socially to dealing with process of society integration. The readiness of children prisoners is related to physical, mental, and social preparation during in Children Penitentiary. The subject of this research is Anak Didik Lapas or children prisoners who have been doing 1/3 the remaining period of detention. The method used in this research is the study of literature. The results shows that the effect of less readiness of children prisoners in facing of the process of society integration is the case of recidivist child.The readiness of the child can be evaluated based on physical, mental, and social training programmes that held by Children Penintetiary. The low readiness of children prisoners is caused by coaching in Children Penitentiary that are less effective. The Children Prisoners’ need to facing the society integration after they released from Children Penitentiary is

(20)

socialization need as an effort to make them as a good citizen in dealing with their needs and rights among the society.

PENDAHULUAN

Eksistensi generasi muda di Indonesia berpengaruh besar tehadap keberlangsungan pembangunan nasional yang berlandaskan kepada kemandirian dan kepribadian bangsa. Generasi muda adalah bagian dari harapan pemerintah dalam menjalankan upaya

restorasi sosial sebagaimana yang

dikemukakan dalam salah satu misi dari kepemimpinan Presiden Republik Indonesia saat ini, Jokowi Dodo, untuk memperbaiki kembali berbagai penyimpangan dari norma yang diharapkan oleh masyarakat. Namun,

pada kenyataannya Indonesia memiliki

jumlah kasus kenakalan remaja yang cukup tinggi dengan jumlah 2.716 narapidana anak (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2015). Menurut Badan Penanggulangan Kenakalan

Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika

Sumatera (Gultom, 2008), kenakalan remaja merupakan salah satu bentuk kelainan tingkah laku, perbuatan, ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat setempat. Pelanggaran tersebut akan menyebabkan anak nakal menyandang status sebagai Narapidana Anak

atau menjadi anak didik lembaga

pemasyarakatan (Andikpas). Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pembinaan bagi narapidana anak dilakukan sesuai dengan konsep

pemasyarakatan dengan tujuan untuk

memberikan bimbingan kepada anak didik lembaga pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana di kemudian hari dengan harapan anak dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat serta dapat menjalankan status dan perannya sebagai warga negara yang bertanggungjawab dan aktif dalam pembangunan.

Namun, problematika yang dihadapi saat ini adalah banyaknya kasus kenakalan remaja dengan pelaku adalah mantan narapidana anak yang bersifat residivis. Residivis terjadi

ketika mantan narapidana anak belum memiliki kesiapan penuh dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Komisi Nasional untuk Anak (2011) melaporkan bahwa angka pelaporan anak berhadapan dengan hukum sebanyak 52% didominasi oleh kasus pencurian, kemudian diikuti dengan kasus lainnya seperti narkoba, perlindungan terhadap anak, pelanggaran tertib berlalu lintas, perampokan, dan pembunuhan. Akan tetapi, berdasarkan data dari Jurnal Harian Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung per Maret 2015, kasus narapidana anak pada kasus pencurian sebanyak 42,8% adalah pelaku residivis.

Fenomena ini membuktikan bahwa

kekhawatiran masyarakat akan residivis narapidana anak (Marlina, 2009) adalah benar adanya. Kembalinya seorang mantan

narapidana anak ke Lembaga

Pemasyarakatan Anak atau yang dapat disebut sebagai residivis merupakan salah satu dampak dari adanya ketidaksiapan dalam diri mantan narapidana anak

sehingga mengulangi tindak kejahatan

serupa sebagai penjahat kambuhan di masyarakat.

Salah satu penyebab rendahnya kesiapan mantan narapidana anak untuk bersosialisasi

kembali adalah proses pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan Anak yang belum efektif. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Artyawan (2013),

penyelenggaraan program pendidikan

keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan

hanya memberikan kontribusi terhadap

kesiapan narapidana kembali ke masyarakat hanya sebesar 44,7%. Salah satu penyebab dari pembinaan yang kurang efektif adalah tidak terintegrasinya proses pembinaan

dengan kehidupan bermasyarakat.

Pembinaan fisik, mental, dan sosial di Lembaga Pemasyarakatan Anak tidak cukup untuk memberikan kepercayaan diri atas kesiapan anak didik lapas menuju proses integrasi ke dalam masyarakat.

(21)

Menurut Gultom (2008), dalam menangani permasalahan mantan narapidana anak, diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa perhatian terhadap anak dan mempersiapkan anak kembali ke masyarakat adalah satu bentuk pelayanan sosial yang sangat penting. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah tertentu untuk membuka hubungan antara anak dengan

masyarakat. Sosialisasi bagi mantan

narapidana anak dapat dikatakan sebagai sebuah proses adaptasi diri kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan akan proses sosialisasi seorang remaja dalam

upaya pemenuhan kebutuhan juga

dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial, terlebih apabila lingkungan keluarga dan masyarakat sudah tidak bisa menerima

keberadaan dirinya kembali seperti

sebelumnya. Berdasarkan penjelasan

tersebut, penulis terdorong untuk mengkaji lebih jauh mengenai kesiapan anak didik lapas dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat salah satu penyebab dari kasus residivis anak di masyarakat.

Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode studi pustaka yang terdiri atas pencarian data dan

informasi melalui dokumen-dokumen

pendukung berupa data dari buku, jurnal ilmiah, dan dokumen elektronik dari internet. Adapun tahapan dalam penulisan diantaranya perumusan masalah untuk kemudian menjadi gagasan, pengumpulan data dan fakta terkait, verifikasi data dan fakta, analisa

konseptual dengan argumentasi yang

rasional, perumusan hasil gagasan dan

kesimpulan serta rekomendasi terkait

penanganan masalah.

TELAAH PUSTAKA Kenakalan Remaja

Kenakalan anak atau Juvenile Delinquency dapat diartikan sebagai bagian dari bentuk penyimpangan perilaku terhadap hukum atas norma dan nilai yang berlaku di masyarakat dengan status dan peran sosial pelaku adalah

anak. Anak yang beresiko memiliki

kemungkinan berperilaku menyimpang

berada dalam keadaan yang sulit.

Berdasarkan laporan dari Jurnal Harian Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung, mayoritas anak didik lembaga pemasyarakatan berusia 16-18 tahun atau berada pada usia remaja.

Menurut Gultom (2008), kenakalan remaja dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, kenakalan remaja akan terkait dengan bentuk perilaku menyimpang dan lingkungan sosial yang membentuknya.

Melalui penelaahan lebih lanjut, maka kenakalan remaja merupakan salah satu akibat dari adanya ketimpangan dalam lingkungan sosial yang membentuknya. Loeber (2013) dalam karyanya yang berjudul From Juvenile Delinquency to Young menyampaikan bahwa salah satu proses yang

membentuk anak atau remaja untuk

melakukan perbuatan menyimpang

diantaranya faktor pendorong dan resiko sosial yang meliputi lingkungan keluarga,

sekolah, dan teman sebaya. Untuk

menangani hal ini, Loeber menyampaikan bahwa diperlukan suatu upaya assesment lebih lanjut mengenai kebutuhan dan resiko remaja serta rencana intervensi dalam

memperbaiki remaja dengan perilaku

menyimpang.

Anak dengan perilaku menyimpang yang melanggar hukum akan dikenai sanksi dengan menyandang status sebagai Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan (Andikpas). Pembinaan yang diselenggarakan di Lembaga

Pemasyarakatan Anak bertujuan untuk

memberikan bimbingan pelatihan,

kepribadian, dan keagamaan dengan tujuan agar anak didik lapas dapat menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi setelah kembali ke masyarakat. Dalam hal ini, pemikiran Loeber selaras dengan Seiter, Kadela (2003) dalam karyanya yang berjudul Prisoner Reentry: What Works, What Does Not, and What Is Promising. Seiter, Kadela (2003) mengemukakan bahwa ada dunia yang akan dimasuki oleh mantan narapidana.

(22)

Walaupun pembinaan yang diberikan di Lembaga Pemasyarakatan bertujuan untuk memberikan kesiapan fisik, mental, dan sosial kepada anak didik lembaga pemasyarakatan, namun hal ini terpisah dari ‘dunia’ yang akan dihadapinya secara nyata setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Anak. Dukungan keluarga, sumber daya dalam kehidupan bermasyarakat, dan kesediaan dukungan moral dari masyarakat menjadi hal yang

berbeda dan mempengaruhi proses

reintegrasi mantan narapidana anak di tengah kehidupan bermasyarakat. Pemikiran ini sangat relevan dengan salah satu laporan ilmiah dari The Pew Charitable Trusts tentang The Rise in Prison Inmates Released Without Supervision (2014), bahwa walaupun ada

pembinaan dan pengawasan setelah

narapidana keluar dari lembaga

pemasyarakatan, namun belum menjamin efektivitas pengurangan jumlah residivis.

Residivis Anak

Indonesia memiliki jumlah kasus

kenakalan remaja yang cukup tinggi dengan jumlah narapidana anak sebanyak 2.716 anak. Jawa Barat merupakan provinsi kedua tertinggi setelah Sumatera Utara yang memiliki jumlah anak pidana terbanyak di

Indonesia. Anak Pidana atau Anak

Berhadapan dengan Hukum (ABH) ditangani dalam sebuah pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Anak.

Kembalinya seorang mantan narapidana anak ke Lembaga Pemasyarakatan Anak atau

yang dapat disebut sebagai residivis

merupakan salah satu dampak dari adanya ketidakberdayaan dalam diri seorang mantan narapidana anak untuk bersosialisasi kembali dalam masyarakat sebagai seorang remaja yang bertanggungjawab di

tengah pandangan negatif masyarakat

terhadap dirinya. Menurut Seiter, Kadela dalam sebuah penelitian yang berjudul Prisoner Reentry: What Works, What Does Not, and What Is Promising (2003), mengemukakan bahwa hal utama yang perlu

diperhatikan dari keberadaan mantan

narapidana adalah adanya pengawasan dari

masyarakat dalam bentuk stabilitas dukungan dan pelayanan sosial yang khusus diberikan kepadanya dalam bentuk program ataupun

aktivitas yang memungkinkan mantan

narapidana tidak menjadi residivis. Hal ini selaras dengan fokus dari pembinaan di

lembaga pemasyarakatan anak yang

didasarkan atas konsep pemasyarakatan dengan tujuan mempersiapkan anak didik lembaga pemasyarakatan agar diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.

Residivis anak adalah mantan narapidana anak yang selepas keluar dari lembaga pemasyarakatan melakukan tindak kejahatan kembali serupa atau disebut sebagai penjahat kambuhan. Berdasarkan data primer yang diperoleh dari Jurnal Harian Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung, diketahui bahwa 42,8% penghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak per Bulan Maret 2015 pada salah satu kasus, yaitu kasus pencurian, adalah narapidana anak residivis. Hal ini

membuktikan bahwa kekhawatiran

masyarakat akan penilaian atau stigmatisasi terhadap anak residivis (Marlina, 2009) adalah benar adanya.

Berdasarkan kepada fenomena tersebut, maka pandangan atau penolakan yang berupa stigmatisasi dari masyarakat terhadap mantan narapidana anak masih berlaku. Ketidakberdayaan mantan narapidana anak untuk kembali ke lingkungan sosialnya sebagaimana ia diterima dahulu menjadi salah satu hal yang dapat menjadi stressor baginya untuk kemudian dilampiaskan kembali dalam bentuk perilaku

menyimpang. Aksesibilitas yang minim

terhadap pemenuhan hak sebagai seorang warga negara merupakan salah satu dampak dari ketidakberdayaan masyarakat dalam memberikan kepercayaan kembali kepada mantan narapidana anak untuk menjalankan perannya sebagai seorang remaja dan warga negara.

Pembinaan bagi Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan

Pembinaan bagi anak didik lembaga

pemasyarakatan pada dasarnya dijalankan atas konsep pemasyarakatan. Pembinaan juga difokuskan pada tiga hal utama, yaitu pembinaan fisik, mental, dan sosial. Ada

Gambar

Tabel 1.1. Karakteristik dan Permasalahan  Organisasi Pelayanan Sosial
Tabel  :  1.2  Model  Holistik-Komprehensif  Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak
Tabel 1.1.  Presentase Anak dengan  Disabilitas Menurut Jenis Disabilitas

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengukuran waktu yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode langsung, yaitu proses pengukuran yang dilakukan dengan mengamati waktu-waktu

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif yang bersifat deskriptif analitis, menggunakan data sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian

Yaitu suatu prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif (kata-kata) yang bersumber dari observasi, wawancara, atau analisis data sekunder. Penulis

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan selama tiga siklus dengan lima pertemuan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi,

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan transformasi menggunakan Maximal Overlap Discrete Wavelet Transform (MODWT) yang hasilnya digunakan untuk membentuk suatu

Teknik dalam penulisan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data dengan cara menggunakan pertanyaan langsung di tempat yang

Data curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data curah hujan harian pada periode musim hujan di setiap tahunnya yaitu pada bulan Oktober sampai

Teknik Pengumpulan dan Teknik Analisis Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tes perbuatan, yaitu mencari data daya tahan menggunakan multiple stage fitness