II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah
Tanah didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus dengan peralatan pengambilan contoh pada saat pengeboran.
(Shirley. L.H, 2000).
Tanah terbentuk dari terjadinya pelapukan batuan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil akibat proses mekanis dan kimia. Pelapukan mekanis disebabkan oleh memuai dan menyusutnya batuan akibat perubahan panas dan dingin secara terus menerus yang akhirnya menyebabkan hancurnya batuan tersebut. Tiga bagian yang membentuk tanah, yaitu udara, air, dan partikel-partikel tanah itu sendiri kemudian membentuk suatu gumpalan yang mempunyai massa total tanah.
Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat dan butiran mineral-mineral padat yang tidak terikat secara kimia satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk menjadi berpartikel padat disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut. (Das, 1995).
Pengertian tanah menurut Bowles (1984), tanah merupakan campuran partikel-partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis unsur-unsur sebagai berikut :
a. Berangkal (Boulder) adalah potongan batuan batu besar, biasanya lebih besar dari 200mm-300mm dan untuk kisaran ukuran-ukuran 150mm-250mm, batuan ini disebut kerakal (cobbles/pebbles).
b. Pasir (sand) adalah partikel batuan yang berukuran 0,074mm–5mm, yang berkisar dari kasar (3mm–5mm) sampai halus (< 1 mm).
c. Lanau (silt) adalah partikel batuan yang berukuran dari 0,002mm– 0,074mm.
d. Lempung (clay) adalah partikel yang berukuran lebih dari 0,002mm, partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi dari tanah yang kohesif.
e. Koloid (colloids) adalah partikel mineral yang diam, berukuran lebih dari 0,01mm.
Tanah adalah kumpulan dari bagian-bagian yang padat yang tidak terikat satu dengan yang lain yang diantara terdiri dari material organik, rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air. (Verhoef, 1994). Tanah didefinisikan sebagai suatu lapisan kerak bumi yang tidak menjadi satu dengan ketebalan beragam yang berbeda dengan bahan-bahan dibawahnya, juga tidak beku dalam hal warna, bangunan fisik, struktur susunan kimiawi, sifat biologi, proses kimiawi ataupun reaksi-reaksi
B. Klasifikasi Tanah
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda-beda tetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang terinci (Das, 1995).
Sistem klasifikasi tanah dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang karakteristik dan sifat-sifat fisik tanah serta mengelompokkannya sesuai dengan perilaku umum dari tanah tersebut.
Tujuan klasifikasi tanah adalah untuk menentukan kesesuaian terhadap pemakaian tertentu, serta untuk menginformasikan tentang keadaan tanah dari suatu daerah kepada daerah lainnya dalam bentuk berupa data dasar. Klasifikasi tanah juga berguna untuk studi yang lebih terinci mengenai keadaan tanah tersebut serta kebutuhan akan pengujian untuk menentukan sifat teknis tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah, berat isi, dan sebagainya (Bowles, 1989).
Jenis dan sifat tanah yang sangat bervariasi ditentukan oleh perbandingan banyak fraksi-fraksi (kerikil, pasir, lanau dan lempung), sifat plastisitas butir halus. Klasifikasi bermaksud membagi tanah menjadi beberapa golongan tanah dengan kondisi dan sifat yang serupa diberi simbol nama yang sama.
Ada dua cara klasifikasi yang umum yang digunakan: 1. Sistem Klasifikasi AASTHO
AASHTO (American Association of State Highway and Transportation
Official) dikembangkan pada tahun 1929 dan mengalami beberapa kali
revisi hingga tahun 1945 dan dipergunakan hingga sekarang, yang diajukan oleh Commite on Classification of Material for Subgrade and
Granular Type Road of the Highway Research Board (ASTM Standar
No. D-3282, AASHTO model M145). Sistem klasifikasi ini bertujuan untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (sub-base) dan tanah dasar (subgrade).
Sistem ini didasarkan pada kriteria sebagai berikut : a. Ukuran butir
Kerikil : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 75 mm dan tertahan pada saringan diameter 2 mm (No.10).
Pasir : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 2 mm dan tertahan pada saringan diameter 0,0075 mm (No.200).
Lanau & lempung : bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 0,0075 mm (No.200).
b. Plastisitas
Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai Indeks Plastisitas (IP) sebesar 10 atau kurang. Nama
berlempung dipakai bila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastisitas sebesar 11 atau lebih.
c. Apabila ditemukan batuan (ukuran lebih besar dari 75 mm) dalam contoh tanah yang akan diuji maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu, tetapi persentasi dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.
Sistem klasifikasi AASTHO membagi tanah ke dalam 7 kelompok utama yaitu A-1 sampai dengan A-7. Tanah berbutir yang 35 % atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan No.200 diklasifikasikan ke dalam kelompok A-1, A-2, dan A-3. Tanah berbutir yang lebih dari 35 % butiran tanah tersebut lolos ayakan No. 200 diklasifikasikan ke dalam kelompok A-4, A-5 A-6, dan A-7. Butiran dalam kelompok A-4 sampai dengan A-7 tersebut sebagian besar adalah lanau dan lempung.
Untuk mengklasifikasikan tanah, maka data yang didapat dari percobaan laboratorium dicocokkan dengan angka-angka yang diberikan dalam Tabel 1. Kelompok tanah dari sebelah kiri adalah kelompok tanah baik dalam menahan beban roda, juga baik untuk lapisan dasar tanah jalan. Sedangkan semakin ke kanan kualitasnya semakin berkurang
Tabel 1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Metode AASHTO
Klasifikasi umum (35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200Tanah berbutir Klasifikasi
kelompok
A-1
A-3 A-2
A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7
Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Maks 50 Maks 30 Maks 15 Maks 50 Maks 25 Min 51 Maks 10 Maks 35
Maks 35 Maks 35 Maks 35
Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI) Maks 6 NP Maks 40 Maks 10 Min 41 Maks 10 Maks 40 Min 11 Min 41 Min 41
Tipe material yang paling dominan
Batu pecah, kerikil dan pasir
Pasir halus
Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung
Penilaian sebagai
bahan tanah dasar Baik sekali sampai baik
Klasifikasi umum (Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200 Tanah berbutir Klasifikasi
kelompok A-4 A-5 A-6 A-7
Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Min 36 NNNNNN
Min 36 Min 36 Min 36
Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI) Maks 40 Maks 10 Maks 41 Maks 10 Maks 40 Maks 11 Min 41 Min 11 Tipe material yang
paling dominan Tanah berlanau Tanah Berlempung
Penilaian sebagai
Gambar dibawah ini menunjukkan rentang dari batas cair (LL) dan Indeks Plastisitas (PI) untuk tanah data kelompok A-2, A-4, A-5, A-6, dan A-7.
Gambar 1. Nilai-nilai batas Atterberg untuk subkelompok tanah. (Hary
Christady, 1992).
2. Unified Soil Classification System (USCS)
Sistem klasifikasi tanah unified atau Unified Soil Classification System (USCS) diajukan pertama kali oleh Casagrande dan selanjutnya dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation (USBR) dan
United State Army Corps of Engineer (USACE). Kemudian American Society for Testing and Materials (ASTM) memakai USCS sebagai
metode standar untuk mengklasifikasikan tanah. Dalam bentuk sekarang, sistem ini banyak digunakan dalam berbagai pekerjaan geoteknik. Sistem klasifikasi USCS mengklasifikasikan tanah ke dalam dua kategori utama yaitu :
a. Tanah berbutir kasar (coarse-grained soil), yaitu tanah kerikil dan pasir yang kurang dari 50% berat total contoh tanah lolos saringan No.200. Simbol untuk kelompok ini adalah G untuk tanah berkerikil dan S untuk tanah berpasir. Selain itu juga dinyatakan gradasi tanah dengan simbol W untuk tanah bergradasi baik dan P untuk tanah bergradasi buruk.
b. Tanah berbutir halus (fine-grained soil), yaitu tanah yang lebih dari 50% berat contoh tanahnya lolos dari saringan No.200. Simbol kelompok ini adalah C untuk lempung anorganik dan O untuk lanau organik. Simbol Pt digunakan untuk gambut (peat), dan tanah dengan kandungan organik tinggi. Plastisitas dinyatakan dengan L untuk plastisitas rendah dan H untuk plastisitas tinggi.
Tabel 2. Indeks tanah USCS (Bowles, 1991) Jenis Tanah Prefiks Sub Kelompok Sufiks
Kerikil G Gradasi baik W
Gradasi buruk P Pasir S Berlanau M Berlempung C Lanau M Lempung C wL < 50 % L Organik O wL > 50 % H Gambut Pt
Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan USCS
Divisi Utama Simbol Nama Umum Kriteria Klasifikasi
Ta na h be rb ut ir k as ar ≥ 50 % bu tir an te rt ah an sari n g an N o . 2 0 0 K er ik il 5 0% ≥ fr ak si k asar te rt ah an sari n g an N o . 4 K er ik il b er si h (h an y a k er ik il ) GW
Kerikil bergradasi-baik dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
K la si fi k asi b er d as ar k an p ro se n ta se b u ti ra n h al u s ; K u ra n g d ar i 5 % lo lo s sari n g an n o .2 0 0 : G M , G P , S W , S P . L eb ih d ar i 1 2 % l o lo s s ar in g an n o .2 0 0 : G M , G C , S M , S C . 5 % 1 2 % l o lo s sari n g an N o .2 0 0 : B at as an k la si fi k as i y an g mem p u n y ai s im b o l d o b el Cu = D60 > 4 D10 Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60 GP
Kerikil bergradasi-buruk dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW K er ik il d en g an B u ti ra n h al u s GM
Kerikil berlanau, campuran kerikil-pasir-lanau Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4 Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol GC Kerikil berlempung, campuran
kerikil-pasir-lempung Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7 Pa si r≥ 5 0% f ra ks i k as ar lo lo s sari n g an N o . 4 P asi r b er si h ( h an y a p as ir ) SW
Pasir bergradasi-baik , pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus Cu = D60 > 6 D10 Cc = (D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60 SP
Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW P asi r d en g an b u ti ra n h al u s
SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4 Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol SC Pasir berlempung, campuran
pasir-lempung Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7 Ta n ah b er b u ti r h al u s 5 0 % at au l eb ih l o lo s ay ak an N o . 2 0 0 La na u da n le m pu ng b at as ca ir ≤ 5
0% ML Lanau anorganik, pasir halus sekali, serbuk batuan, pasir halus
berlanau atau berlempung
Diagram Plastisitas:
Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar. Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan dua simbol. 60 50 CH 40 CL 30 Garis A CL-ML 20 4 ML ML atau OH 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Garis A : PI = 0.73 (LL-20) CL
Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai dengan sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau, lempung “kurus” (lean clays)
OL
Lanau-organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah La na u da n le m pu ng b at as ca ir ≥ 5 0% MH
Lanau anorganik atau pasir halus diatomae, atau lanau diatomae, lanau yang elastis
CH
Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung “gemuk” (fat clays)
OH
Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi
Tanah-tanah dengan kandungan organik sangat tinggi
PT
Peat (gambut), muck, dan tanah-tanah lain dengan kandungan organik tinggi
Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488
Sumber : Hary Christady, 1996.
In d ex P la st is it as ( %) Batas Cair (%)
C. Sifat-Sifat Fisik Tanah
Sifat-sifat fisik tanah berhubungan erat dengan kelayakan pada banyak penggunaan tanah. Kekokohan dan kekuatan pendukung, kapasitas penyimpanan air, plastisitas semuanya secara erat berkaitan dengan kondisi fisik tanah. Hal ini berlaku pada tanah yang digunakan sebagai bahan struktural dalam pembangunan jalan raya, bendungan, dan pondasi untuk sebuah gedung, atau untuk sistem pembuangan limbah (Hendry D. Foth,
Soenartono A. S, 1994).
Untuk mendapatkan sifat-sifat fisik tanah, ada beberapa ketentuan yang harus diketahui terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kadar Air 2. Berat Jenis
3. Batas-Batas Atterberg
4. Analisa Saringan
1. Kadar Air
Kadar air suatu tanah adalah perbandingan antara berat air yang terkandung dalam tanah dengan berat kering tanah yang dinyatakan dalam persen.(ASTM D 2216-98)
ω
= 𝑾𝒘𝑾𝒔 x 100% ………(1) Dimana :
ω
= Kadar air (%)Ww = Berat air (gram)
2. Berat Jenis
Sifat fisik tanah dapat ditentukan dengan mengetahui berat jenis tanahnya dengan cara menentukan berat jenis yang lolos saringan No. 200 menggunakan labu ukur.
Berat spesifik atau berat jenis (specific gravity) tanah (Gs) adalah perbandingan antara berat volume butiran padat dengan berat volume air pada temperatur 40C. Seperti terlihat pada persamaan di bawah ini :
Gs = (𝑾𝟐−𝑾𝟏)
(𝑾𝟒−𝑾𝟏)− (𝑾𝟑−𝑾𝟐) ………..(2) Dimana : Gs = berat jenis
W1 = berat picnometer (gram)
W2 = berat picnometer dan bahan kering (gram) W3 = berat picnometer bahan dan air (gram) W4 = berat picnometer dan air (gram)
3. Batas Attenberg
Batas Attenberg adalah batas konsistensi dimana keadaan tanah melewati keadaan lainnya dan terdiri atas batas cair, batas plastis dan indek plastisitas.
a) Batas Cair (liquid limit)
Batas cair adalah kadar air minimum dimana tanah tidak mendapat gangguan dari luar. (Scott.C.R, 1994). Sifat fisik tanah dapat ditentukan dengan mengetahui batas cair suatu tanah, tujuannya adalah untuk menentukan kadar air suatu jenis tanah pada batas antara keadaan plastis dan keadaan cair. Batas cair ditentukan dari alt uji Casagrande.(ASTM D 4318-00).
PI = LL - PL 𝐿𝐿 = W1−W2
PILog(N2
N1)
……….………(3) Dimana : W = Kadar air (%)
N = jumlah pukulan
b) Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis adalah kadar air minimum dimana tanah dapat dibentuk secara plastis. Tujuannya adalah untuk menentukan kadar air suatu jenis tanah pada keadaan batas antara keadaan plastis dan keadaan semi padat.(ASTM D 4318-00).
Li = 𝝎−𝑷𝑳
𝑷𝑰 ………(4)
Dimana : LI = Liquidity Index
ω
= Kadar air (%) PI = Plastic Index PL = Batas Plastisc) Indeks Plastisitas (Plasticity Index)
Indeks plastisitas adalah selisih batas cair dan batas plastis. Seperti pada persamaan berikut :
...(5)
Dengan : PI = Plastic indeks LL = Liquid limit PL = Plastic limit
Indek platisitas (PI) merupakan interval kadar air di mana tanah masih bersifat platis. Karena itu, indeks plastisitas menunjukkan sifat keplastisan tanah.
4. Analisa Saringan
Tujuan dari analisis saringan adalah untuk mengetahui persentasi butiran tanah. Dengan menggunakan 1 set saringan, setelah itu material organik dibersihkan dari sample tanah, kemudian berat sample tanah yang tertahan di setiap saringan dicatat. Tujuan akhir dari analisa saringan adalah untuk memberikan nama dan mengklasifikasikan, sehingga dapat diketahui sifat-sifat fisik tanah.(ASTM D 1140-00)
Pi = 𝑊𝑏𝑖−𝑊𝑐𝑖
𝑊𝑡𝑜𝑡 x100% ………..………..(6) Dimana : Pi = Berat tanah yang tertahan disaringan (%)
Wbi = Berat saringan dan sample (gram) Wci = Berat saringan (gram)
Wtot = Berat total sample (gram)
D. Tahanan Geser Tanah
1. Definisi Kuat Geser Tanah
Suatu beban yang dikerjakan pada suatu masa tanah akan selalu menghasilkan tegangan dengan intesitas yang berbeda – beda di dalam zona berbentuk bola lampu di bawah beban tersebut (Bowles,1993).
Kekuatan geser suatu tanah dapat juga didefinsikan sebagai tahanan maksimum dari tanah terhadap tegangan geser di bawah suatu kondisi yang diberikan (Smith, 1992).
Kuat geser tanah sebagai perlawanan internal tanah terhadap persatuan luas terhadap keruntuhan atau pengerasan sepanjang bidang geser dalam tanah yang dimaksud (Das, 1994).
2. Teori Kuat Geser Tanah
Menurut teori Mohr ( 1910 ) kondisi keruntuhan suatu bahan terjadi akibat adanya kombinasi keadaan kritis dari tegangan normal dan tegangan geser. Hubungan fungsi antara tegangan normal dan tegangan geser pada bidang runtuhnya, dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
τ = ƒ(σ)
...(7) dimana :τ
= Kuat geser tanah pada saat terjadinya keruntuhan (failure)σ
= Tegangan normal pada saat kondisi tersebutKuat geser tanah adalah gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir-butir tanah terhadap desakan atau tarikan (Hary Cristady, 2002).
Coulomb (1776) mendefinisikan ƒ(σ) seperti pada persamaan sebagai berikut :
τ
= c +σ
tgφ ...
...(8)dengan :
τ
= Kuat geser tanah ( kN/m2 )c = Kohesi tanah ( kN/m2 )
φ = Sudut gesek dalam tanah atau sudut gesek internal ( derajat )
σ
= Tegangan normal pada bidang runtuh ( kN/m2 )Garis keruntuhan (failure envelope) menurut Coulomb (1776) berbentuk garis lengkung seperti pada gambar 1 dimana untuk sebagian besar masalah – masalah mekanika tanah, garis tersebut cukup didekati dengan sebuah garis lurus yang menunjukkan hubungan linear antara tegangan normal dan kekuatan geser (Das,1995). Tanah, seperti halnya bahan padat, akan runtuh karena tarikan maupun geseran. Tegangan tarik dapat menyebabkan retakan pada suatu keadaan praktis yang penting. Walaupun demikian, sebagian besar masalah dalam teknik sipil dikarenakan hanya memperhatikan tahanan terhadap keruntuhan oleh geseran.
Gambar 2. Garis keruntuhan menurut Mohr dan Hukum keruntuhan Mohr – Coulomb (Hary Cristady, 2002)
Jika tegangan – tegangan baru mencapai titik P, keruntuhan tanah akibat geser tidak akan terjadi. Keruntuhan geser akan terjadi jika tegangan – tegangan mencapai titik Q yang terletak pada garis selubung kegagalan (failure envelope). Kedudukan tegangan yang ditunjukkan oleh titik R tidak akan pernah terjadi, karena sebelum tegangan yang terjadi mencapai titik R, bahan sudah mengalami keruntuhan.
Tegangan – tegangan efektif yang terjadi di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh tekanan air pori.
Terzaghi (1925) mengubah persamaan Coulomb seperti pada persamaan 9 dan persamaan 10 dalam bentuk tegangan efektif sebagai berikut :
τ
= c’ + (σ – u)
tgφ’
...(9)τ
= c +σ’
tgφ’
...(10)dengan :
c’ = kohesi tanah efektif (kN/m2)
σ’
= tegangan normal efektif (kN/m2)u
= tekan air pori (kN/m2)φ’
= sudut gesek dalam tanah efektif (derajat)3. Pengujian Kuat Geser Tanah
Ada beberapa cara untuk menentukan kuat geser tanah, antara lain : a. Uji geser langsung (direct shear test)
b. Uji triaxial (triaxial test)
Dua metode pengujian geser di laboratorium yang paling umum dipergunakan adalah pengujian geser langsung dan pengujian triaxial. Para peneliti mekanika tanah pada tahap – tahap awal telah menunjukkan bahwa uji tekan triaxial akan menghasilkan tekanan maksimum pada saat runtuh yang akan cukup untuk memplot sebuah lingkaran Mohr (Bowles,1993).
a. Uji Geser Langsung ( Direct Shear Test)
Cara pengujian geser langsung ini terdapat dua cara yaitu, tegangan geser terkendali (stress controlled) dan regangan terkendali (strain
controlled).
Pada pengujian tegangan terkendali, tegangan geser diberikan dengan menambahkan beban mati secara bertahap dan dengan penambahan yang sama besarnya setiap kali sampai runtuh. Keruntuhan akan terjadi sepanjang bidang bagi kotak besi tersebut. Pada uji regangan terkendali, suatu kecepatan gerak mendatar tertentu dilakukan pada bagian belahan atas dari pergerakan geser horisontal tersebut dapat diukur dengan bantuan sebuah arloji ukur horizontal.
Gambar 3. Alat pengujian geser langsung
b. Uji Triaksial (Triaxial Test)
Diagram skematik dari pengujian triaksial dapat dilihat pada gambar 3. Pada pengujian ini, dapat digunakan tanah benda uji dengan diameter kira–kira 3,60 cm dan tinggi 7,65 cm.
Pengujian geser triaksial di lakukan terhadap sampel–sampel tanah berbentuk silinder yang dibungkus dengan membran yang fleksibel. Sebuah sampel dibuat terkekang oleh tekanan dengan menempatkannya dalam suatu ruangan tekanan.
Kemudian diuji dengan menambah besarnya beban aksial sampai sampel tanah runtuh. Prosedur tersebut kemudian diulang terhadap sampel – sampel lainnya pada tekanan samping yang berbeda. Hasil pengujian diinterprestasikan pada penggambaran lingkaran Mohr bagi setiap sampel pada saat keruntuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan bahwa bidang horisontal dan vertikal adalah bidang – bidang utama di mana tegangan – tegangan utama adalah tekanan samping.
Gambar 4. Alat uji triaksial
Garis selubung kekuatan adalah sebuah kurva yang menyinggung pada lingkaran Mohr seperti terlihat pada gambar 4. Titik – titik singgung pada lingkaran Mohr menunjukkan kondisi tegangan pada bidang runtuh bagi sampel tersebut. Arah dari bidang runtuh dapat diperoleh
dari lingkaran Mohr dengan menempatkan titik asal dari bidang – bidang dan menarik sebuah garis dan titik tersebut ke titik yang menunjukkan kondisi tegangan pada bidang runtuh.
Gambar 5. Garis selubung Lingkaran Mohr uji triaksial Uji triaksial dapat dilaksanakan dengan tiga cara :
1. Uji triaksial Unconsolidated–Undrained (tak terkonsolidasi-tak terdrainase) (UU).
2. Uji triaksial Consolidated–Undrained (terkonsolidated – tak terdrainase) (CU).
3. Uji triaksial Consolidated–Drained (terkonsolidasi – terdrainase) (CD).
Kuat geser tanah pada kondisi drainase terbuka (drained) tidak sama besarnya bila diuji pada kondisi tak terdrainase (undrained). Kondisi tak terdrainase (undrained) dapat digunakan untuk kondisi pembebanan cepat pada tanah permeabilitas rendah, sebelum konsolidasi terjadi. Kondisi terdrainase (drained) dapat digunkan untuk tanah dengan permeabilitas rendah sesudah konsolidasi di bawah tegangan totalnya telah selesai. Kuat geser tanah yang berpermeabilitas rendah, secara
bergantian berubah dari kuat geser undrained menjadi kuat geser drained selama kejadian konsolidasi.
Keuntungan dari uji triaksial adalah bahwa kondisi pengaliran dapat di kontrol, tekanan air pori dapat di ukur bila diperlukan, tanah jenuh dengan permeabilitas rendah dapat dibuat terkonsolidasi serta cocok untuk semua jenis tanah.
E. Lereng dan Longsoran
1. Analisis Lereng
Analisa stabilitas pada permukaan tanah yang miring ini, disebut analisis stabilitas lereng. Analisis ini sering digunakan dalam perancangan bangunan seperti: Jalan raya, jalan kereta api, bandara, bendungan, saluran, dan lain-lainnya. Umumnya, analisa stabilitas dilakukan untuk mengetahui keamanan dari lereng alam, lereng galian, dan lereng timbunan tanah.
Dalam menganalisa lereng banyak faktor yang sangat mempengaruhi hasil analisa antara lain: kondisi tanah yang berlapis-lapis, kuat geser tanah, aliran rembesan air dalam tanah dan lain-lainnya. Terzaghi (1950) membagi penyebab kelongsoran lereng terdiri dari akibat pengaruh dalam (internal effect) yang menyebabkan turunnya kekuatan geser material tanpa adanya perubahan kondisi luar antara lain pelapukan, perubahan struktur material dan hilang sementasi material dan pengaruh luar (external effect) yang menyebabkan naiknya gaya geser yang bekerja selama bidang runtuh tanpa adanya perubahan kuat geser tanah antara lain
Perubahan geometri lereng, Penggalian pada kaki lereng, Pembebanan pada puncak atau permukaan lereng bagian atas, Gaya vibrasi yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau ledakan, Penurunan muka air tanah secara mendadak, perbuatan manusia mempertajam kemiringan tebing ataupun memperdalam galian tanah dan erosi sungai. (Hardiyatmo,2002).
2. Kelongsoran Lereng
Longsoran adalah suatu proses perpindahan atau pergerakan massa batuan, debris (campuran tanah dan butiran batu), dan tanah kearah lereng bagian bawah. Perpindahan ini dapat disebabkan oleh kondisi geologi yang kurang menguntungkan, gaya-gaya fisik alamiah atau akibat aktifitas manusia, dan umumnya terjadi pada daerah yang cukup luas, dan berukuran skala besar.
Kondisi material bukan merupakan penyebab utama terjadinya longsoran melainkan kondisi yang diperlukan agar longsoran dapat terjadi. Meskipun material pada lereng mempunyai kekuatan geser yang cukup lemah, longsoran tidak akan terjadi apabila tidak ada proses-proses pemicu longsoran yang bekerja. Proses-proses pemicu terjadi longsoran dapat terjadi secara alami maupun oleh aktivitas manusia.
Terdapat beberapa faktor alami yang dapat memicu terjadinya longsoran antara lain yaitu hujan lebat, erosi, pelapukan dan gempa bumi. Hujan dengan intensitas yang cukup tinggi sehingga menyebabkan permukaan air tanah naik, kekuatan geser berkurang, berat massa gelinciran bertambah besar. Erosi pada lereng dapat menyebabkan tergerusnya kaki lereng
sehingga sudut kemiringan lereng bertambah terjal atau erosi dapat merusak struktur penahan yang berada pada kaki lereng.
Pelapukan adalah suatu proses alami yang dapat merubah sifat kekuatan material sehingga menjadi lebih lemah dan mudah runtuh. Proses pelapukan dapat terjadi secara mekanik maupun kimiawi. Gempa bumi akan menyebabkan goncangan pada tanah sehingga kekuatan material akan berkurang atau bahkan hilang serta akan menambah resultan gaya geser yang bekerja pada lereng.
Aktivitas manusia yang memicu terjadinya longsoran pada umumnya berkaitan dengan pekerjaan konstruksi dan kegiatan yang merubah sudut kemiringan lereng serta kondisi air permukaan dan air tanah. Perubahan sudut kemiringan lereng antara lain disebabkan oleh kegiatan pertanian, galian dan timbunan untuk konstruksi jalan raya, konstruksi gedung, konstruksi jalan raya, serta operasi tambang terbuka. Apabila aktivitas-aktivitas tersebut dikerjakan atau dirancang dengan sembarangan maka longsoran dapat terjadi karena beban yang bekerja pada lereng melebihi tahanan geser yang dimiliki oleh lereng. Perubahan pada saluran irigasi atau limpasan permukaan dapat menyebabkan berubahnya kondisi drainase permukaan, tingkat erosi semakin tinggi, ataupun dapat menaikkan permukaan air tanah. Kenaikan permukaan air tanah dapat menyebabkan bertambahnya tekanan air pori dan berkurangnya kekuatan geser sehingga dapat memicu longsoran.
Klasifikasi longsoran berdasarkan pola pergerakan terbagi dalam tiga jenis, yaitu gelincir (slide),jatuhan (fall) dan aliran (flow).
a. Gelincir (slide)
Gelincir terjadi akibat massa tanah bergerak pada suatu bidang yang disebut bidang gelincir.Jenis-jenis gelincir berupa translasi, rotasi atau kombinasi keduanya.
1. Gelincir rotasional
Gelinciran rotasional (rotational sliding) merupakan longsoran dengan bidang runtuh yang cekung ke atas. Bentuk bidang runtuh tersebut seringkali dihampiri sebagai busur lingkaran, gabungan dari busur lingkaran dengan bidang planar, atau gabungan dari beberapa garis lurus. Longsoran dengan bidang runtuh berbentuk busur lingkaran biasanya sering terjadi pada tanah yang homogen. Untuk tanah yang tidak homogen, bentuk bidang runtuh yang paling mungkin terjadi adalah bidang runtuh yang bukan busur lingkaran. Gelinciran rotasional juga dapat terjadi pada batuan yang telah mengalami proses pelapukan dan alterasi yang kuat ataupun pada timbunan dari batuan-batuan yang dihasilkan oleh kegiatan penambangan.
2. Gelincir translational
Gelinciran translational (translational sliding) yaitu gelinciran yang terjadi dengan bidang runtuh yang berupa bidang planar. Gelinciran translasional antara lain dapat terjadi pada lapisan tanah tipis yang berada di atas material yang sangat kokoh, seperti lereng timbunan dari material tak berkohesi. Longsoran translasional juga dapat terjadi pada lereng di mana terdapat bidang lemah yang mempunyai jurus yang sejajar dengan permukaan lereng serta sudut kemiringan yang lebih besar dari pada sudut gesek material.
Gambar 7. Tipe Gelincir Translational
b. Jatuhan (fall)
Runtuhan (fall) merupakan jatuhnya bongkahan batuan yang terlepas dari lereng yang terjal. Bongkahan batuan tersebut dapat jatuh melayang di udara, memantul beberapa kali pada permukaan bumi, mengelinding atau kombinasi dari beberapa bentuk pergerakan tersebut. Massa batuan jatuh tersebut mempunyai energi kinetik dan Termasuk ke dalam kategori jatuhan adalah jatuh bebas (free fall) dan rolling serta jungkiran.
1. Jatuh bebas dan rolling
adalah material jatuh bebas yang kehilangan kontak dengan permukaan batuan. Pergerakan massa bergerak dari ketinggian tertentu melalui udara.
Gambar 8. Tipe Kelongsoran Jatuh Bebas
2. Gulingan (topple)
adalah tergulingnya beberapa blok-blok batuan yang diakibatkan oleh momen guling yang bekerja pada blok-blok batuan tersebut. Longsoran tipe ini biasanya terjadi pada lereng-lereng terjal atau bahkan vertikal yang memiliki bidang tak menerus yang hampir tegak lurus. Momen guling tersebut dihasilkan oleh berat blok batuan dan juga dapat diakibatkan oleh gaya hidrostatik dari air yang mengisi pada bidang takmenerus.
c. Aliran (flow)
Aliran adalah suatu material lepas misalkan batuan lapuk atau tanah yang setelah mengalami proses penjenuhan akan mengalir seperti sifatnya fluida. Jenis aliran adalah sebagai berikut:
1. Aliran batuan lapuk atau material lepas
Aliran pada batuan lapuk termasuk ke dalam deformasi yang terus menerus, termasuk juga rangkak. Aliran jenis ini umumnya melibatkan rangkak dalam yang lambat dan perbedaan pergerakan antara unit –unit yang utuh. Ciri-ciri pergerakan aliran pada batuan lapuk adalah:
a. Terjadi di sepanjang permukaan geser yang tidak saling berhubungan;
b. Distribusi kecepatan mirip aliran fluida yang kental. 2. Aliran pada tanah
Aliran pada tanah adalah pergerakan material yang menyerupai fluida kental. Permukaan gelincir pada bidang material yang bergerak dapat berupa permukaan tajam, perbedaan pergerakan atau suatu zona distribusi geser. Rentang pergerakan mulai dari sangat cepat sampai sangat lambat. Ciri-ciri pergerakan aliran pada tanah adalah:
a. Pergerakan aliran terjadi ketika kondisi internal dan eksternal menyebabkan tanah berperilaku seperti cairan dan mengalir ke bawah meskipun kemiringan lerengnya landai;
b. Tanah mengalir bergerak ke berbagai arah serta tidak memiliki permukaan keruntuhan yang terdefinisi secara jelas;
c. Permukaan keruntuhan berganda terbentuk dan berubah secara terus menerus selama proses aliran terjadi; dan
d. Pergerakan aliran terjadi pada tanah kering maupun tanah basah.
Gambar 10. Tipe Kelongsoran Aliran 3. Rayapan
mempunyai kecepatan pergerakan yang sangat lambat, biasanya merupakan pergerakan secara menerus ke bawah lereng dari batuan lepas yang menutupi batuan dasar. Tanda-tanda terjadinya rayapan antara lain yaitu pohon yang melengkung dan miring, tiang listrik yang miring serta jalan atau pagar yang bergeser dari posisi awalnya.
3. Prinsif Dasar Kestabilan Lereng
Masalah stabilitas lereng, baik yang alamiah maupun buatan, pasti
ditemukan di dalam banyak aktivitas manusia, secara khusus dalam rekayasa teknik sipil (Zaruba dkk, 1982). Seorang insinyur teknik sipil sering diminta membuat perhitungan untuk memeriksa keamanan lereng alamiah, lereng galian, dan lereng timbunan. Pemeriksaan ini termasuk menentukan kekuatan geser yang terbangun sepanjang permukaan kelongsoran dan membandingkannya dengan kekuatan geser tanah. Proses ini disebut analisis stabilitas lereng (Das, 1990).
Grafitasi akan selalu menyebabkan gaya tarik material peyusun lereng bergerak ke bawah (hukum grafitasi), friksi (hambat lekat) memberikan gaya perlawanan terhadap kecenderungan pergerakan akibat grafitasi, friksi = 0, maka material tersebut akan mudah sekali tergelincir.
Dan semakin besar sudut lereng, maka akan semakin besar pula kecenderungan untuk material tersebut bergerak ke bawah.
Maksud utama analisis stabilitas lereng adalah untuk mendukung upaya desain bendungan, galian dan timbunan yang ekonomis dan aman
(Chowdury,1978 dalam Aryal, 2006).
Menurut Perloff (1976), metode-metode analisis stabilitas lereng pada umumnya didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Kelongsoran suatu lereng tanah terjadi di sepanjang sebuah permukaan kelongsoran partikular, sehingga dapat diasumsikan bahwa kelongsoran tersebut merupakan suatu masalah dua dimensi.
b. Kelongsoran massa lereng bergerak sebagai suatu bagian yang kaku, sehingga deformasi-deformasi yang terjadi pada bagian-bagian tertentu dari massa itu tidak dipermasalahkan dalam analisis.
c. Tahanan geser massa tanah pada beragam titik sepanjang permukaan kelongsoran tidak bergantung pada orientasi (arah) permukaan kelongsoran, dengan kata lain, sifat kekuatan tanah adalah isotropik.
Kondisi kestabilan bukit berdasarkan tahapan kondisi kestabilannya dapat dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut:
1. Sangat stabil, pada tahap ini bukit mempunyai tahanan yang cukup besar untuk mengatasi gaya-gaya yang menyebabkan bukit menjadi tidak stabil.
2. Cukup stabil, pada kondisi bukit bukit mempunyai kekuatan yang tahanan yang sedikit lebih besar daripada gaya-gaya yang menyebabkan bukit menjadi tidak stabil serta terdapat kemungkinan untuk terjadi keruntuhan bukit pada suatu waktu apabila gaya-gaya yang menyebabkan terjadinya longsoran mencapai suatu nilai tertentu.
3. Tidak stabil, bukit dinyatakan berada dalam kondisi tidak apabila telah terdapat pergerakan secara kontinu atau berselang-seling.
4. Konsep Nilai Faktor Aman
Mendeterminasi dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk sepanjang permukaan bidang gelincir terhadap kuat gesernya atau yang
lebih disebut Factor of Safety (Fs), Prinsip dari analisis stabilitas lereng adalah menentukan faktor keamanan.
Banyak rumus perhitungan Faktor Keamanan lereng (material tanah) yang diperkenalkan untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng ini. Rumus dasar Faktor Keamanan (Safety Factor, Fs) lereng (material tanah) yang diperkenalkan oleh Fellenius dan kemudian dikembangkan adalah : (Lambe& Whitman, 1969; Parcher & Means, 1974)
Gambar 12. Sketsa lereng dan gaya yang bekerja Dimana :
τ = cL+{(W+V)cosα-µ}tanø s = (W+V)sinα
F = ∑ τ/s (sepanjang bidang gelincir) Keterangan :
F = Faktor keamanan lereng (tidak bersatuan) L = Panjang segmen bidang gelincir (meter) Τ = Gaya tahanan geser (ton/m2)
s = Gaya dorong geser (ton/m2) c = Kohesi (ton/m2)
ø = Sudut geser dalam massa lereng (derajat) W = Bobot massa diatas segmen L (Ton) V = Beban luar (Ton)
µ = Tekanan pori
α = Sudut yang dibentuk oleh bidang gelincir dengan bidang horizontal (derajat)
Gambar 13. Sketsa gaya yang bekerja (τ) dan (s) pada satu sayatan Secara umum, faktor keamanan didefinisikan sebagai berikut (Bowles, 1984): d f s F ...……….(11) dengan: Fs = Faktor keamanan r
= Kuat geser tanah rata-rata (kN/m2)
d
Kelongsoran pada lereng mengindikasikan bahwa kekuatan geser rata-rata pada permukaan kelongsoran itu telah mencapai batasnya (overestimated) (Terzaghi dkk, 1996).
Untuk menentukan faktor keamanan lereng pada longsor, rotasi dilakukan dengan trial and error sehingga didapat nilai Fs yang kecil sebagai dasar penentuan stabilitas lereng. Untuk melakukan proses trial
and error ini dapat dilakukan dengan membuat suatu program komputer.
Faktor keamanan (Fs) dihitung pada kondisi tanah tidak jenuh, Fs sesuai dengan persamaan (11), sedangkan kondisi tanah jenuh sesuai persamaan (12) (Das, 1993).
(12)
(13)
dimana :
W = berat total irisan tanah (kgf/m3)
l = panjang segmen beban W (m)
u = tekanan air pori (kgf/m2) φ’ = sudut geser dalam efektif (o)
c’ = kohesi efektif (kgf/m2)
5. Faktor-faktor Penyebab Longsoran
Secara keseluruhan faktor-faktor penyebab longsoran dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
b. Kondisi Geologi - Jenis batuan/tanah
- Karakteristik keteknikan batuan/tanah - Proses pelapukan
- Bidang bidang diskontinuitas (pelapisan) - Permeabilitas batuan/tanah
- Beban dinamik tanah/batuan (Gempa dan vulkanisme) c. Kondisi Klimatologi (curah hujan, dll)
Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan mempengaruhi kadar air (water content, %) dan kejenuhan air (Saturation; Sr, %). d. Kondisi Lingkungan/Tata Guna Lahan (hidrologi, vegetasi, dll) e. Aktivitas Manusia (pertanian, irigasi,transportasi, dll)
6. Perbaikan Lereng
Dalam buku petunjuk perencanaan dan penanggulangan longsoran yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan nomor SKBI – 2.3.06.1987 dan UDC:624.13(083.7) Bab III Prinsip Dasar Penanggulangan Longsoran, perbaikan lereng dapat dilalkukan dengan 4 prinsif dasar yaitu :
1) Mengubah Geometri Lereng
yaitu perbaikan lereng dengan cara merubah geometri lereng, hal itu dapat dilakukan dengan cara pemotongan dan penimbunan pada ujung kaki lereng. Metode penanggulangan seperti ini memiliki prinsip mengurangi daya dorong dari massa tanah yang longsor,
dan menambah gaya penahan dengan cara penimbunan pada ujung kaki lereng.
2) Mengendalikan Air Permukaan
Dimaksudkan untuk mengurangi tekanan air pori, bisa dilakukan dengan cara penanaman, tata aliran air dan perbaikan permukaan lereng.
3) Mengendalikan Air Rembesan
Dimaksudkan untuk mengurangi muka air tanah di daeah longsoran. Metode yang sering digunakan antara lain : sumur dalam, penyalir tegak, penyalir mendatar, pelantar, sumur pelega, penyalir parit pencegat, penyalir liput, dan elektro osmosis.
4) Penambatan dan Tindakan Lain
Penambatan berfungsi sebagai pengikat massa batuan/tanah yang akan bergerak, sedangkan tindakan lain yang dimaksud adalah penggantian material, stabilisasi, bangunan silang, penggunaan bahan ringan, dan relokasi.
F. Kestabilan lereng
1. Jenis-Jenis Lereng dan Analisanya a. Lereng Non Kohesif Tak terhingga
Tanah sering dianggap sebagai homogen; walaupun demikian, dalam situasi sebenarnya, tanah mungkin sangat berlapis dengan kuat geser yang berbeda-beda. Gambar 14.a memperhatikan penampangan melintang sebuah lereng tak terhingga pada tanah tidak kolektif tanpa
rembesan. Ketebalan yang tegak lurus terhadap bidang kertas ini adalah 1 satuan (1M).
Gambar 14. Lereng Tak Terhingga dengan Tanah Tidak Kohesif
Apabila kita pisahkan satu elemen, seperti terlihat pada gambar 14.b, dan memeriksa gaya-gaya untuk stabilitas yang sejajar dengan lereng akan diperoleh rumus:
W tan - W cos tan = 0 ...(14) Dan dengan menyelesaikannya kita peroleh:
= …………(15)
Untuk stabilitas rembesan konstan dan muka air tanah terletak pada permukaan tanah, kita dapatkan dari gambar 14.c
n= h cos cos = cos2 …………(16)
Tegangan akibat tekanan pori adalah:
w h sin cos + h sin cos - h cos2 tan = 0 ……...….(18)
Dengan menyelesaikan untuk sudut lereng kritis x didapat tan tan ……...….(19) Atau tan tan 1 w ………....(20)
Sebagai contoh, tanpa air = t w = 0 dengan air = 17,8 – 9,8 =8,0 dan, sudut kN/M3 dan = 320 lereng kritis adalah :
0 1 7 , 15 32 tan 8 , 17 8 tan …………(21)
Maka dengan air, sudut lereng yang aman secara teoritis x untuk tanah tidak kohensif hanyalah sekitar setengah dari besarnya tanpa air
b. Lereng Kohensif Tak Terhingga Dengan kondisi tanpa air, kita peroleh
1 = h sin cos (tegangan) .………...(22) n = h cos2 (tegangan) ………….(23) tegangan lawan adalah:
s = cd = tan d ………..….(24)
dimana cd dan d parameter-parameter kuat desain dan bukan nilai tanah yang sebenarnya kecuali faktor kemanan F = 1. pada F= 1, kuat s = t, dan dengan subtitusi. Persamaan-persamaan (22) dan (23) ke dalam (24) diperoleh :
atau kohesi desain adalah:
cd + h cos2 (tan d) ………….(26) nilai ketebalan lempeng lempung kritis adalah:
d tan -tan sec c H d ………….(27)
ini dapat diilustrasikan dengan lingkaran mohr seperti terlihat pada gambar 15.b dimana OA menunjukan tegangan normal pada suatu tinggi yang kurang dari kritis dan OB menunjukan tegangan normal pada tinggi kritis, pada waktu mana t = BD. Kita lihat bahwa apabila > keruntuhan tidak akan pernah terpotong (aman secara teoritis). Secara alternatif dapat ditulis:
d
H
c cos tan tan
N d 2
s ………….(28)
d
H
c cos tan tan
N d 2
s ………….(31)
Gambar 15. Lereng Tak Terhingga Pada Tanah Kohesif dimana Ns = bilangan stabilitas yang biasa dipakai dalam literatur (beberapa pengarang telah memakai Ns sebagai
γ
H/c, sehinggapembaca harus memperhatikan bagaimana Ns ini dipakai, sehingga hasil yang ganjil tidak akan diperoleh. Bilangan stabilitas, yang tanpa dimensi, memungkinkan kombinasi dari tiga parameter masalah kedalam satu nilai tunggal dan memungkinkan kombinasi dari tiga parameter masalah kedalam satu nilai tunggal dan memungkinkan pemakaian grafik yang sederhana untuk menunjukan hubungan-hubungan stabilitas.
Dengan rembesan pada kedalamn penuh yang akan ditinjau, bilangan stabilitas menjadi:
cos tan t tan d
Ns 2
………….(29)
Apabila garis Aliran paling atas berbeda pada jarak dibawah dan sejajar dengan permukaan tanah, dan berat tanah pada zona xx adalah nilai kita dapatkan:
an d jenuh H h jenuh jenuh jenuh H h 1 1 1 1 1 1 tan 1 cos2 Ns ...(30) c. Lereng Terhingga
Dalam perencanaan, secara umum bentuk permukaan kelongsoran diasumsikan dan penentuan letak kelongsoran tersebut dilakukan secara coba-coba (Fredlund dkk, 1993). Kebanyakan peristiwa kelongsoran lereng terjadi dengan bentuk bidang kelongsoran berupa lingkaran (Collin, 1846 dalam Hardiyatmo, 2007). Permukaan kelongsoran lereng berbentuk lingkaran dapat terjadi pada lereng dengan lapisan tanah yang homogen, tanah liat homogen
(homogeneous clay), suatu massa tanah isian (fill) di atas tanah lembek (weak soil), atau timbunan (embankment) di atas tanah liat berlanau yang lunak (soft silty clay).
Metode analisis stabilitas lereng dengan permukaan kelongsoran berbentuk lingkaran pertamakali diperkenalkan oleh Hultin dan Petterson pada tahun 1916 (Brand dkk,1981). Kemudian metode ini dikembangkan oleh Fellenius (1918) hingga kemudian terkenal dengan sebutan metode lingkaran kelongsoran swedia (Swedish Slip
Circle Method) (Perloff dkk, 1976).
Apabila terdapat gaya-gaya rembesan. Kita perlu menentukan lokasi garis freatik dan membuat sketsa suatu jaringan aliran. Garis-garis ekipotensial memotong busur percobaan dan dengan tinggi tekan (head) yang diketahui, tekanan pada titik-titik ini dapat dihitung untuk memberikan profil tekanan seperti terlihat pada gambar 12.b. Intergritas numerik atas daerah ini dapat dibuat untuk mendapatkan gaya air total U, yang garis kerjanya berpusat dilingkaran O. nilai U ini ditambah secara vektor terhadap vektor berat W dengan garis kerja yang baru dan lengan mopmen yang diukur sepanjang x. Faktor keamanan yang dihasilkan adalah:
X W cAB R( ) Fs ………….(31)
Gambar 16. Lingkaran Keruntuhan Percobaan dengan dan Tanpa Gaya-gaya Air
Analisis busur lingkaran untuk lereng yang homogen (Gambar 16.a) dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Dapatkan berat massa keruntuhan W dan lengan momennya terhadap titik O. ini dapat dilakukan dengan memakai planmeter untjk luas (dan berat) dan membuat potongan kertas tebal yang digantung dengan tali pada dua atau lebih titik untuk mendapatkan pusatnya.
2. Ukur sudut, ubah menjadi radian, dan hitung panjang busur sebagai AB = RQ
3. Hitung faktor keamana sebagai:
X W cAB R Guling Momen Lawan momen R ( ) ………….(32)2. Metode Analisa Kestabilan Lereng
Secara garis besar, metode analisis kestabilan lereng dapat dibagi menjadi:
a Metode pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.
b Metode komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi :
(1) tak terdrainase,
(2) efektif untuk beberapa kasus pembebanan,
(3) meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau dengan kedalaman,
(4) berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu) atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi peningkatan air tanah.
Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam analisis lereng tanah melalui metoda sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang gelincir saya yang dapat dihitung.
c Metode grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen (terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara komputasi). Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip lapisan batuan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi yang menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang Faktor Keamanan (F) ditinjau dari intensitas kelongsorannya (Bowles, 1989), seperti yang diperlihatkan pada tabel dibawah.
Tabel 4. Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng Dan Intensitas Longsor
Nilai Faktor Keamanan Kejadian (Intensitas Longsor) F kurang dari 1,07
F antara 1,07 sampai 1,25 F diatas 1,25
Longsor biasa terjadi (Lereng labil) Longsor pernah terjadi (Lereng kritis) Longsor jarang terjadi (Lereng relatif Stabil
Faktor Keamanan (Fs) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai metode. Longsoran dengan bidang gelincir (slip surface), Fs dapat dihitung dengan metoda sayatan (slice method) menurut Fellenius atau Bishop. Untuk suatu lereng dengan penampang yang sama, cara Fellenius dapat dibandingkan nilai faktor keamanannya dengan cara Bishop.
Dalam mengantisipasi lereng longsor, sebaiknya nilai Fs yang diambil adalah nilai Fs yang terkecil, dengan demikian antisipasi akan diupayakan maksimal.
a. Metode lingkaran
Ketika kelongsoran terjadi dimana permukaan kelongsoran berpotongan dengan lereng tepat pada atau di bawah kaki lerengnya, maka ini disebut suatu kelongsoran pada kaki lereng (toe failure) dan lingkaran kelongsorannya disebut sebagai suatu lingkaran kaki lereng (toe circle) (Gambar 2.17).
Apabila garis kelongsoran berpotongan pada lereng di atas kaki lereng, maka model ini disebut kelongsoran pada badan lereng (slope failure) dan lingkaran kelongsoran disebut sebagai suatu lingkaran badan lereng (slope circle) (Gambar 2.18). Kelongsoran yang terjadi pada permukaan kelongsoran dan melewati beberapa jarak di bawah kaki lereng disebut sebagai suatu kelongsoran dasar Gambar 17. Tipe Kelongsoran kaki lereng (toe circle) (Das, 1990)
(base failure) dan lingkaran kelongsoran dalam kasus ini disebut suatu lingkaran tengah (a midpoint circle) (Gambar 2.19). Di bawah lingkup tertentu, kelongsoran lereng dangkal dapat juga terjadi (Gambar 2.15).
Salah satu prosedur yang digunakan dalam analisis stabilitas lereng dengan permukaan kelongsoran berbentuk lingkaran yaitu Prosedur Massa.
Dalam kasus ini, massa tanah di atas permukaan kelongsoran diambil sebagai satu kesatuan. Prosedur ini berguna apabila tanah yang membentuk lereng diasumsikan homogen, walaupun ini tidak sesuai untuk lereng-lereng alami (Das, 1990) .
Gambar 18 Kelongsoran Badan Lereng (slope failure) (Das, 1990)
Konsep lingkaran frisik dapat dipakai untuk kondisi lereng tertentu pada tanah homogen dengan kuat gesar sebesar
s =cd + tan d ………….(33)
dimana:
cd , d = parameter-parameter kuat geser desaign dan xx tegangan normal pada permukaan gelincir
Gambar 2.21 memperlihatkan konsep umum. Gambar 2.21.a mengilustrasikan lingkaran percobaan dan gaya yang berkerja pada tanah yang tidak mengandung air. Tahanan geser diperoleh dengan
Gambar 20. Kelongsoran lereng dangkal
(Das, 1990)
menjumlahkan gaya friski disepanjang busur untuk mendapatkan (telah diketahui bahwa kita memakai nilai-nilai desaign C dan )
FR =
cds
dN tan ………….(34)Gambar 21. Sistem Gaya Lingkaran
Atau secara alternatif: F R = Cs + Fs
= cAB + N tan
= cAB + W cos tan ………….(35)
Seperti pada gambar 21.c, bahwa tahanan geser berkombinasi dengan huruf N untuk memberikan sebuah vektor P yang berkerja pada sudut xxx terhadap garis singgungan pada busur. Garis kerja P yang diperpanjang akan memberikan lengan momen terhadap titik O sebesar xxx dihitung sebagai:
X = R sin ………….(36) Untuk semua vektor dp, lengan momen xx merupakan bagian dari lingkaran kecil dengan jari-jari R sin xx. Lingkaran kecil dengan pusat O ini disebut lingkaran. Kohensi adalah bebas terhadap data dedngan memperhatikan bahwa garis singgung yang umum dapat diperoleh untuk komponen dari Cs ditiadakan, dengan menyebabkan momen-momen disepanjang busur La dan terhadap panjng tali busur lc lita daptkan
cLca = cLaR ………….(37)
Yang mengahsilkan lengan momen ekivalen sebesar C = R c a L L ………….(38)
Dengan nilai lengan momen ini, gaya kohesi ekuivalen dapat dihitung sebagai :
Cs = cLc ………….(39)
Untuk suatu sistem gaya dalam keseimbangan momen dan statis, sistem harus berimpit, dengan FH dan Fv= 0. Sebuah poligon gaya dapat dipakai untuk gaya-gaya seperti terlihat pada gambar 1c, dengan kemiringan P didapat dari perpotongan-perpotongan bahwa P tepat menyinggung lingkaran . Biasanya kita anggap bahwa P tepat mentingggung lingkaran , karena perbedaan maksimumnya biasanya kurang dari 7 persen. Gaya berat W didapat dengan mengukur luas dengan planimeter atau dengan analisis penampang-penampang geometris yang sederhana. Garis
kerjanya diperoleh dengan memotong model kertas tebal dan menggantungnya pada dua atau lebih titik. Beberapa lingkaran percobaan akan diperlukan untuk mendapatkan F minimum, yang telah dihitung sebelumnya, yaitu:
guling Momen LAwan Momen F ………….(40)Pemeriksaan atas poligon gaya dalam gambar 16-4c menunjukan bahwa:
W = f ( H) ………….(41)
C = f(c) ………….(42)
P = f () ………….(43)
Maka terdapat lima variabel. Kita dapat mengkombinasikan H, x, dan c kedalam variabel tunggal Ns seperti telah dibahas sebelumnya sehingga variabelnya berkurang menjadi tiga. Dalam prakteknya, empat dari variabel-variabel tersebut harus diketahui; walaupun demikian, dengan memakai variabel tidak berdimensi Ns, studi paramatrik untuk suatu lereng tertentu akan dapat dibuat dengan cukup mudah.
b. Metode Sayatan
Dalam prosedur ini, tanah di atas permukaan kelongsoran dibagi menjadi beberapa buah irisan vertikal yang paralel. Stabilitas setiap irisan dihitung secara terpisah (Das, 1990). Para peneliti menemukan banyak jenis metode analisis berdasarkan metode irisan dan variasi hasil perhitungan nilai faktor keamanan antar
metode-metode analisis ini adalah berkisar kurang lebih lima persen (5%)
(Singh, 1970 dalam Al-Karni dkk, 1999).
1. Analisis stabilitas lereng metode irisan biasa (Ordinary method of slices)
Metode irisan biasa secara umum digunakan untuk membagi bagian kelongsoran ke dalam beberapa irisan vertikal (Das, 1990).
Diasumsikan bahwa berat irisan ke n atau ke i (Wn atau Wi ) di atas pias berlaku pada titik tengah area irisan. Dengan asumsi-asumsi tersebut hubungan di bawah ini dibuat (Bowles,1984):
i i i W Cos N . …...…...………(44)
i i i W T .sin ...………(45) i i i x b cos ……….………..(46)
i i i i si x c W cb N F cos tan cos tan …..…….(47) ) arctan( x y i ...(48) dengan:i = Nomor urut pias dihitung dari kiri gambar. Wi = Berat pias ke –i (kN)
Ni = Beban tegak lurus pada dasar pias ke –i (kN) Ti = Vektor gaya berat Wi sejajar dasar pias (kN)
si
i
b = Lebar alas pias (m)
Δx = Jarak horisontal antar pias (m) Δy = Jarak vertikal antar pias (m)
α = Sudut kemiringan lereng pias ke –i (0) c = Kohesi (kN/m2)
= Sudut friksi (0)
= Tegangan normal pada permukaan kelongsoran potensial (kN/m2)
Gambar 22. Pembagian massa tanah dalam beberapa irisan
(Das, 1990)
Keseimbangan momen di sekitar titik O menggunakan penjumlahan semua irisan yang ada di dalam lingkaran kelongsoran, dirumuskan dalam persamaan di bawah ini (Bowles,1984): 0 sin RFsi RWi i ...………(49) dengan:
R =Jari-jari lingkaran kelongsoran kritis (m)
si
F = Gaya tahan geser tanah (kN) O bi αi Wi R R i Fsi
Gambar 23. Gaya-gaya pada elemen pias ke- i (Bowles, 1984) Momen penahan adalahRF, dan faktor keamanan (Fs) adalah
i i si s W R RF F sin ) ( ...………(50)
Eliminasi R dan substitusi (2.6) untuk gaya tahan geserFsi, menentukan:
i i i i s W W cb F sin ) ( tan cos ) ( ...………..(51)Baik tegangan total maupun tegangan efektif dengan c dan ф yang sesuai dalam persamaan (2.3) dapat digunakan. Tegangan efektif sering secara konvensional ditentukan dengan menggunakan γ dan γ’ sebagaimana yang dipakai dalam perhitungan berat vektor Wi.
Metode irisan biasa (Ordinary Method of Slices) hanya memenuhi keseimbangan momen dari massa lereng, mengabaikan keseimbangan momen dari setiap masing-masing elemen irisannya dan kurang mempertimbangkan keseimbangan gaya setiap irisan
(Dunn dkk, 1980). Metode ini menghasilkan nilai faktor aman yang mendekati hasil analisis menggunakan metode Bishop apabila sudut geser tanah sama dengan nol ( 0) (Atkinson, 1981).
2. Metode Bishop yang disederhanakan (Simplified Bishop Analysis Method)
Dalam metode analisis Bishop, terdapat beberapa asumsi sebagai berikut (Albataineh, 2006):
1) Kelongsoran massa tanah terjadi karena rotasi massa tersebut pada permukaan kelongsoran yang berbentuk lingkaran.
2) Gaya-gaya pada sisi irisan diasumsikan menghasilkan resultan horisontal sehingga tidak ada tegangan di antara irisan.
3) Titik tangkap total gaya normal bekerja tegak lurus terhadap dasar tiap irisan.
Total gaya normal tersebut diturunkan melalui persamaan berikut (Bowles, 1984): ) 52 ...( sin tan cos sin cos 1 s i s i i i si i i i i F cb F N N F N X W ) 53 .( ... ... ... ... ... ... ... sin tan cos sin s i i s i i i i i F F cb X W N ) 54 ..( ... ... ... ... ... ... ... sin tan cos s i i i F m
Karena (Wi)cosi adalah Ni, maka dengan substitusi menghasilkan :
sin ....(55) sin tan cos tan cos sin tan sin tan cos sin 1 1 i i i s s i i i i i s i i s i i i i i s W F F X W cb W F F cb X W cb F Apabila panjang sisi dasar pias dianggap trapezoid, maka menurut persamaan (2.5) i i i x b cos
, dan apabila gaya vertikal pada sisi pias
dianggap nol (Xi 0), maka biasanya disederhanakan sebagai
berikut:
...(56) sin sin tan cos tan 1 i i i s s i i s W F F W x c F ) 57 ...( ... ... ... ... ... ... . . . i i i bh A W dengan:Xi= Selisih gaya vertikal pada sisi-sisi pias ke –i. (N)
= Berat satuan tanah (kN/m3) hi = Tinggi pias (m)
Ai = Luas pias (m2)
Menurut Bowles (1984), suatu analisis iteratif diperlukan untuk menentukan Fs dalam persamaan di atas, karena Fs terdapat di kedua sisi persamaan. Pemrograman pada komputer akan
memberikan pemecahan yang cepat setelah beberapa putaran (biasanya 2 atau 3 kali). Cara iterasinya yaitu dengan mengasumsikan Fs =1 (Fs bagian kanan persamaan) pada mulanya untuk menentukan nilai dari Fs sebelah kiri persamaan. Kemudian nilai ini dibandingkan dengan nilai yang diasumsikan. Jika tidak memadai, diperlukan perhitungan berikutnya dengan menggunakan nilai Fs yang telah didapat. Proses ini diulang terus hingga nilai Fs pada ruas kiri dan kanan persamaan (nilai Fs yang ditentukan dan nilai Fs yang diasumsikan) sama atau hampir sama satu sama lain.
3. Penyelesaian atas kesalahan numerik metode irisan akibat ketidakrasionalan nilai gaya normal (unreasonable normal force)
Perhitungan numerik analisis stabilitas lereng menggunakan metode irisan terkadang dapat mengalami kesalahan (Hoek dan bray, 1981 dalam Ari, 2008). Nilai gaya normal pada dasar irisan dapat menjadi tidak rasional dan hal ini dapat menyebabkan nilai faktor aman menjadi tidak proporsional (Whitman dan Bailey, 1967 dalam Fredlund dan Rahardjo, 1993). Nilai gaya normal yang tidak rasional itu disebabkan oleh nilai mi yang tidak realistis (bernilai
negatif). Ketidak realistisan nilai mi biasanya terjadi sebagai hasil dari sebuah bentuk permukaan gelincir (slip surface) yang diasumsikan, yang mana tidak konsisten dengan teori tekanan tanah (earth pressure theory). Masalah ini bisa diatasi dengan cara
membatasi sudut kemiringan permukaan gelincir pada puncak lereng (the active zone) dengan sudut maksimum (max) tanah aktif (the active state) (Fredlund dan Rahardjo, 1993):
) 58 .( ... ... ... ... ... ... 2 45 max
dengan cara yang sama, sudut kemiringan permukaan gelincir pada kaki lereng (the passive zone) dibatasi dengan sudut maksimum (
max
) tanah pasif (the passive state):
) 59 .( ... ... ... ... ... ... 2 45 max
Gambar 24. Pembatasan kemiringan permukaan gelincir lereng pada puncak dan kaki lereng (Fredlund dan Rahardjo, 1993) Sebagian besar lereng alamiah dan banyak lereng buatan lainnya terdiri lebih dari satu jenis tanah, atau sifat-sifat tanahnya bervariasi sedemikian banyaknya sehingga suatu penyelesaian elemen harus diadakan. Metode elemen hingga biasanya dipakai untuk membagi
Zona retak tarik
Pusat rotasi
Permukaan kelongsoran lingkaran
bagian keruntuhan ADCD kedalam serangkaian vertikal (vertical Sileces),
Lebar sayatan dibuat sedemikian kecilnya sehingga bentuk sebenarnya dapat dianggap sebagai trapesium,. dianggap bahwa berat sayatan wi bekerja pada titik tengah luas yang diperhatikan. Dengan asumsi ini, hubungan berikut dapat dibuat: