• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter hingga berlakunya kebijakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter hingga berlakunya kebijakan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kita ketahui krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia sejak Tahun 1997 yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter hingga berlakunya kebijakan menaikkan Bahan Bakar Minyak ( BBM) awal maret 2005, mengakibatkan banyak terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Kelompok ini disebut juga oleh Suyanto sebagai “masa rentan, kelompok marjinal” atau masyarakat miskin. Saat ini ada 37,4% dari total penduduk yang mencapai 227 juta jiwa lebih berada di bawah garis kemiskinan.

Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, pada tahun 2006 lalu terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di Jakarta. Sementara pada tahun 2007 di Sumatera Utara, Yayasan KKSP ( Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) memperkirakan jumlah anak jalanan sebanyak 5000 anak jalanan. Namun berdasarkan data yang telah di peroleh dari Dinas Sosial Kota Medan pada tahun 2008 jumlah anak jalanan berjumlah sekitar 675 jiwa, Dan pada bulan Oktober 2009 jumlah anak jalanan meningkat khususnya di kota Medan berjumlah sekitar 220 anak atau meningkat 1,8 % dibanding tahun 2008 yang hanya 150 anak jalanan. Terjadinya peningkatan jumlah anak tersebut disebabkan faktor kemiskinan ditengah himpitan ekonomi keluarga yang melanda (Dinas Sosial 2008).

(2)

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak memiliki masa depan yang jelas, dimana keberadaan mereka seringkali menjadi ”masalah” bagi banyak pihak keluarga, masyarakat dan negara. Namun perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar, padahal mereka adalah saudara kita, mereka juga adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang manjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

Dalam pandangan Soetarso, bahwa dampak krisis moneter dan ekonomi dalam kaitannya dengan anak jalanan adalah:

1. Orang tua mendorong anak untuk membantu ekonomi keluarga.

2. Pola pendidikan dan pengasuhan yang salah terhadap anak oleh orang tua sehingga menyebabkan anak lari kejalan.

3. Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah.

4. Makin banyaknya anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah meningkat.

5. Timbulnya persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga terpuruk melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi anak oleh orang dewasa di jalanan.

(3)

7. Anak jalanan lebih lama menjadi korban pemerasan dan eksploitasi seksual, terutama terhadap anak jalanan yang perempuan. ( Huraerah, 2006:78).

Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus dalam kehidupan di jalanan, disamping kondisi ekonomi keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinan, permasalahan anak jalanan juga tidak lepas dari ketidak harmonisan rumah tangga, pengasuhan yang terlalu keras dan pengaruh lingkungan komunitas anak. Kondisi dari faktor-faktor ini seringkali memaksa anak-anak mengambil inisiatif mencari nafkah atau hidup mandiri di jalanan.

Aktivitas anak-anak jalanan di Kota Medan beraneka ragam, diantaranya sebagai pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, tukang semir sepatu, dan lain sebagainya. Mereka terutama beroperasi di tempat-tempat keramaian atau umumnya seperti di perempatan jalan, pusat-pusat pasar, stasiun/terminal bus, pusat perbelanjaan. Dan rumah makan yang mengijinkan mereka masuk untuk beroprasi seperti menyemir sepatu dan mengamen.

Anak-anak yang hidup di jalanan atau yang melakukan kegiatan di jalanan sangat rentan dengan perlakuan kekerasan dan eksploitasi. Sudah menjadi hukum di jalanan, siapa yang kuat merekalah yang menang. Masa anak-anak yang mestinya dihiasi dengan keceriaan dan kemanjaan, terpaksa harus berhadapan dengan dunia yang keras dan kejam yaitu dunia jalanan.

Tidak jarang kita temukan, anak jalanan seringkali menjadi objek kekerasan, Anak-anak jalanan ditantang oleh resiko yang mau tidak mau harus dihadapi saat berada di jalanan. Resiko-resiko yang dapat diidentifikasi adalah menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiayaan, eksploitasi seksual, penangkapan dan

(4)

perampasan modal kerja), kelangsungan hidup terancam, kurang gizi (miniman keras, penyalah gunaan obat, tindakan kriminal dan seks bebas), ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIV/AIDS) serta keterkucilan dan stigmatisasi sosial (Huraerah, 2006:79).

Kahadiran anak-anak di jalanana adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan yang memuat mereka bisa bertahan hidup dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun, disisi lain mereka bermasalah, karena tindakannya seringkali merugikan orang lain. Mereka acapkali melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengganggu ketertiban di jalanan misalnya: memaksa pengemudi kendaraan bermotor untuk memberi sejumlah uang (walaupun tidak seberapa), dan melakukan tindakan kriminal lainnya.

Menurut UUD 1945, ”Anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya Pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak-anak jalanan. Hak-hak asasi anak-anak terlantar dan anak-anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convension on the Right of the Chil (konvensi tentang hak-hak anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, rekreasi dan budaya dan perlindungan khusus.

(5)

Konvensi hak-hak anak merupakan komitmen dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak agar dapat tumbuh secara wajar. Kemudian, pemerintah juga menerbitkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, sehingga konsekuensinya Pemerintah berkewajiban semaksimal mungkin berupaya memenuhi hak-hak anak indonesia.

Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya sebelum sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan tersebut. Orang tua memang merupakan pihak utama untuk memberikan hak-hak tersebut, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung, maka peran Pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial berkewajiban memberikan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak.

Melihat berbagai kondisi yang dialami oleh anak jalanan, maka Pemerintah Daerah Kota Medan melalui Dinas Sosial harus mengadakan Program Pembinaan Anak Jalanan, dimana dengan program yang realistis akan tercipta kebijakan utama untuk mengentaskan masalah anak jalanan. Disamping itu, kelanjutan dari program pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas Sosial adalah implementasi yang nyata, dan yang paling diharapkan oleh anak jalanan misalnya, dengan terciptanya lapangan pekerjaan, bila memang pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan usia anak dan tidak terlalu membahayakan keselamatan jiwanya serta masih mendapatkan kesempatan untuk sekolah dan bermain maka tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak akan terdidik melalui pekerjaan itu untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab.

(6)

Terlepas dari pembinaan yang diberikan kepada anak jalana, hal terpenting yang juga harus diperhatikan oleh Dinas Sosial adalah pembinaan terhadap keluarga anak jalanan tersebut. Jika karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung menjadi faktor anak turun ke jalanan untuk bekerja membantu orang tuanya, maka pembinaan terhadap keluarga yang harus dilakukan oleh Dinas Sosial adalah dengan pemberdayaan ekonomi keluarga yang menciptakan kemandirian , sehingga akhirnya dengan berbagai program pembinaan yang diberikan, baik kepada si anak maupun kepada keluarganya diharapkan mereka tidak kembali lagi ke jalanan.

B. Perumusan masalah

Mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

” Bagaimana Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak-Anak Jalanan di Dinas Sosial Kota Medan”?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak-anak Jalanan di Dinas Sosial Kota Medan.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala atau hambatan Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak-anak jalanan di Dinas sosial Kota Medan.

(7)

D. Manfaat Penelitian

Disamping tujuan yang hendak dicapai, maka suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang jelas. Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Dapat memberikan masukan dan informasi yang bermanfaat terutama bagi Dinas Sosial untuk lebih memperhatikan keberadaan anak jalanan ini, karena bagaimanapun mereka adalah tanggung jawab pemerintah dan juga tanggung jawab kita bersama.

2. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan informasi tentang hal yang diteliti serta mengembangkan kemampuan berfikir penulisan karya ilmuah ini. 3. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang baik secara langsung atau

tidak langsung bagi akademik,

E. Kerangka Teori

Untuk memudahkan penulisan dalam rangka menyusun penelitian ini, maka dibutuhkan suatu landasan berfikir yang dijadikan pedoman untuk menjelaskan masalah yang sedang disorot. Pedoman tersebut disebut sebagai kerangka teori. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.dengan demikian yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini adalah:

(8)

1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Dalam setiap perumusan suatu kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksana atau implementasi. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi, maka tidak akan banyak berarti. Berikut ini disampaikan beberapa pengertian implementasi menurut para ahli.

Menurut Jeffri L.Pressman and Aaron B.Wildavski dalam buku Charles O.Jones (1996:295), mengartikan Implementasi sebagai suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk meraihnya. Implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab-akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan. Perangkat-perangkat yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut: adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources. Dengan demikian berdasar pada pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan dari implementasi tersebut dibutuhkan: manusia, anggaran dan juga kemampuan organisasi ataupun instansi seperti teknoligi informasi.

Sementara itu, Van Meter dan Van Horn (Winarno 2002:101) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.

(9)

Kebijakan (policy) diberi arti yang bermacam-macam oleh berbagai pakar. Seperti Fridrick mendefenisikan kebijakan sebagai berikut “Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesenpatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu”.(Islamy, 2001:17)

Sedangkan menurut Charles O.Jones, istilah kebijakan (policyterm) digunakan dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan, program, keputusan, standar, proposal, dan grand design.

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatui lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicara-pembicaraan yang lebih bersifat ilmuah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Oleh karena itu kita memerlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat (Winarno,2002:14).

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kebijakan itu diartikan sebagai ”Pedoman untuk bertindak”. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks,bersifat umun atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat.

(10)

Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana (Wahab,2004:2).

Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Raksasataya, yang memberikan definisi kebijakan sebagai”suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan”, oleh karena itu suatu tujuan kebijakan memuat tiga elemen yaitu:

a. Identifikasi dari tujuan yang dicapai.

b. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

c. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi (Islamy, 2001: 17).

Dari beberapa pengertian yang diuraikan oleh berbagai pakar tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kabijakan merupakan “segala tindakan atau kegiatan yang mengarah pada tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan berbagai prosedur dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk memecahkan berbagai masalah”.

Dalam setiap perumusan suatu kebijakan apakah itu menyanghkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi, karena betapa pun baiknya suatu kegiatan tanpa diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti.

(11)

Kamus Weber, merumuskan secara pendek bahwa to implement ( mengimplementasikan ) berarti to provide the means for carrying out; (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Kalau pandangan ini kita ikuti, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai “Suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden”) (Wahap, 2001:64).

Mazmania dan Sabatier mengatakan bahwa, makna implementasi adalah “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan focus perhatian implementasi kebijakan, kayni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan tang timbul sesudah disahkannya usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.(Wahab, 2001:65)

Sedangkan menurut Grindle, implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ini menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang menperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji dengan tegas mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada sekedar berupa impian atau rencana

(12)

bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. (Wahab, 2001:59).

Dari apa yang disampai kan oleh Grindle, dapat dinyatakan bahwa keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh benyak hal, terutama menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat didalamnya. Sebuah kebijakan sederhana tentu saja tidak melibatkan kepentingak banyak orang, kelompok dan masyarakat sehingga pada akhirnya tidak akan membawa perubahan yang besar. Sebaliknya semakin melibatkan banyak kepentingan, maka keterlibatan seseorang atau kelompok dalam implementasi kebijakan tersebut akan sangat tergantung pada apakah kepentingannya terlindungi, maka dia akan berusaha untuk terlibat dalam implementasi karena bagaimanapun juga manfaatnya pasti akan sampai kepada yang bersangkutan. Akan tetapi kalau kepentingan seseorang terganggu atau akan merugikannya, maka dengan sendirinya yang bersangkutan akan menghalangi implementasi sebuah kebijakan.

Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan. Dimana suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan, karena implementasi kebijakan adalah salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan didalam memecahkan persoalan-persoalan. Atau juga implementasi kebijakan adalah merupakan segala tindakan atau kegiatan yang berpengaruh pada tujuan tertentu yang

(13)

ingin dicapai dengan berbagai prosedur dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk berbagai masalah.

2. Tahapan Kebijakan

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proases maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Seperti misalnya, tahapan penelitian kebijakan seperti yang tercantum dalam bagan dibawah ini bukan merupakan tahap akhir dari proses kebijakan publik, sebab masih ada satu tahap lagi, yakni tahap perubahan kebijakan dan terminasi atau penghentian kebijakan. Tahap-tahap kebijakan publik adalah :

a. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.

(14)

b. Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicare pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan ”bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

c. Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumusan kebijkan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

d. Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecah masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan

(15)

kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

e. Tahap penilaian kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakay. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan (Winarno,2004:28).

3. Model-Model Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan.

Sekalipun benyak dikembamgkan model-model yang membahas tentang implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran meiupun tulisan para ahli.

(16)

a. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn.

Model mereka ini kerap kali oleh para ahli disebut sebagai ”The top

dwon approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat

mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

1. kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

Beberapa kendala/hambatan pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut tersebut diantaranya mungki bersifat fisik. Adapula kemungkinan hambatan tersebut bersifat politis, dalam artian bahwa baik kebijakan maupun tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima/tidak disepakati oleh berbagai pihak yang kepentingannya terkait. Kendala-kendala semacam itu cukup jelas dan mendasari sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh para administrator guna mengatasinya. Dalam hubungan ini yang mungkin dapat dilakukan para administrator ialah mengingatkan bahwa kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu dipikirkan matang-matang sewaktu merumuskan kebijakan.

(17)

Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama, dalam pengertian bahwa kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Jadi, kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Alasan yang biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya ialah bahwa para politis kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratam kedua, dalam artian bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kandala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperelukan dan di lain pihak pada setiap tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus benar-benar dapat disediakan.

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.

Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri tidak tepat penempatannya.

(18)

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

Pada kenyataannya program Pemerintah, sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih kompleks dari pada sekedar berupa jika X dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai kualitas hubungannya hanya sekedar jika X, maka terjadi Y, dan Jika Y terjadi maka akan diikuti oleh Z. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavski memperingatkan, bahwa kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya.

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil

Implementasi yang sempurna menurut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat Badan pelaksana tunggal untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada Badan-badan lain kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan Badan-badan/Instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program tenyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu meleinkan juga kesepakatan terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar pelaku yang

(19)

terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

Persyaratan ini menharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang penting keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses omplementasi. Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik dan lebih baik lagi apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami,serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksanaan program dapat dimonitor

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengfayunkan langkah menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Kesukaran-kesukaran untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna ini tidak dapat kita sngsikan lagi. Disamping itu juga duiperlukan bahkan dapat dikatakan tidak dapat dihindarkan keharusan adanya ruangan yang cukup bagi kebebasab bertindak dan melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat.

(20)

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Persyatratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlukan suatu sistem administrasi tunggal.

10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Persyaratan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi loyalitas penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dari siapapun dalam sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu maka iya harus dapat diidentifikasikan oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini mungkin oleh sistem pengendalian yang handal.

b. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai model proses implementasi kebijakan.

Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa

(21)

perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi.

Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99) ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:

1. Standar da sasaran kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan kebijakan kabur, maka akan terjadi miti interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.

3. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu perlu koordinasi dan kerja sama antara instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik Agen Pelaksana

Agen pelaksana mancakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana

(22)

kelompok-kelompok kepentingan daoat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi Implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal, yakni: a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan c) intensitas disposisi implementor, yakni prefansi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Variabel-variabel kabijakan bersangkutan paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal, sedamgkan komunikasi antara organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antara hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan para pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan.( Subarsono, 2005:99)

c. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Aabatier, yang disebut kerangka analisis implementasi.

Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasu kebijakan ialah mengindentifikasikan variabel-variabel yang

(23)

mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.

Variabel –variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:

1. Mudah tidaknya masalah yang akan dianggap dikendalikan.

2. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan serta tepat proses implelemtasinya, dan

3. Pengaruh langsung berbagai variabel-variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.

4. Pengertian Program Pembinaan Anak Jalanan

Menurut Charles O. Jones Program adalah cara yang di syah kan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristi tertentu yang dapat membawa seseorang untuk mengidentifikasi suatu aktifitas sebagai suatu progran atau tidak yaitu:

a. Program cenderung membutuhkan staf

Misalnya: untuk meleksanakan ataupun sebagai pelaku program\

b. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, Program kadang bisa juga diidentifikasikan melalui anggaran

c. Program memiliki identitas tersendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik.

(24)

Program terbaik di Dunia adalah program yang di dasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan interfensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik. (Jones 1991:296).

Dalam mengatasi masalah yang dihadapai oleh anak jalana tersebut, merupakan tugas sebagaimana yang diembangkan oleh pemerintah tentang pembinaan dan kesejahteraan anak dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik jasmani dan rohani maupun sosialnya. Pembinan yang harus dilakukan bervariasi dimana melalui proses pendidikan, pembinaan mental, dan keagamaan yang berkualitas dengan segala aspek.

Arti anak jalanan adalah anak yang berusia 5-18 Tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran dijalanan maupun ditempat-tempat umum dan melakukan kegiatan tidak jelas minimal dalam waktu 4 jam/hari dalam ukuran waktu 1 Bulan, seperti pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanjaan di pesar dan lain-lain.

Sedangkan menurut Johanes, pada seminar tenteng pemberdayaan anak jalanan yang dilaksanakan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung menyebutkan bahwa anak jalanan adalah ”Anak yang menghabiskan waktunya dijalanan baik untuk bekerja maupun tidak yang terdiri dari anak-anak yang menpunyai hubungan dengan keluarga dan anak-anak yang mandiri

(25)

Lebih lanjut, Sudijar mendefinisikan anak jalanan sebagai ”Anak-anak usia 7-21 tahun yang bekerja di jalanan raya dan tempat-tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketertiban dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya, yang pada umumnya bekerja sebagai pengamen, penjual koran, penyemir sepatu, pedagang asongan dan pemulung”.

Dari batas pengertian tersebut Sudijar mengemukakan bahwa ciri-ciri anak jalanana yaitu:

a. Anak (laki-laki/perempuan) usia 7-21 tahun, melakukan kegiatan tidak menentu, dan membahayakan dirinya sendiri di tempat-tempat umum (jalanan, pasar, tempat hiburan, terminal. Dan stasiun)

b. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, dan sedikit sekali yang tamat SD).

c. berasal dari keluarga yang tidak mampu (beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya).

d. Melakukan aktifasi ekonomi.

Sementara dalam pengertian Sosiologi, istilah anak jalanan menunjukkan pada aktivitas sekelompok anak dan perilaku mereka dianggap mengganggu ketertiban sosial. Sedangkan menurut pengertian ekonomi, istilah anak jalanan menunjukkan pada aktivitas sekelompok anak (pekerja anak) yang terpaksa mencari nafkah dijalanan karena kondisi ekonomi orang tua yang miskin. (Nugroho,2003:97).

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan waktunya untuk

(26)

melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan termasuk di lingkungan pasar dan pusat-pusat keramaian lainnya.

5. Karakteristik Anak Jalanan

Menurut data yang telah saya peroleh dari Dinas Sosial, ciri anak jalanan terbagi dalam dua kategori yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak jalanan adalah anak jalanan yang mempunyai warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, dan berpakaian kotor. Sedangkan ciri psikis adalah mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, tidak berfikir panjang (berani menanggung resiko) dan mandiri. (Dinas Sosial Kota Medan)

Dapat kita lihat bahwa seseorang anak dikatakan anak jalanan bilamana mempunyai indikasi sebagai berikut:

a. Usia dibawah 18 Tahun.\

b. Orientasi hubungan dengan keluarganya adalah hubungan yang sekedarnya, tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka :

1. Ada yang sama sekali tidak berhubungan dengan keluarganya

2. Masih ada hubungan sosial secara teratur minimal dalam arti bertemu sekali setiap hari.

3. Masah ada kontak dengan keluarganya, namun tidak teratur. c. Orientasi waktu

(27)

Mereka tidak mempunyai orientasi mendatang. Orientasi waktunya adalah masa kini. Dan waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4 jam setiap harinya.

d. Orientasi tempat tinggal

1. Tinggal bersama orang tuanya

2. Tinggal dengan teman-teman sekelompoknya

3. Tidak mempunyai tempat tinggal, tidur disembarang tempat.

e. Orientasi tempat berkumpul mereka adalah tempat-tempat yang kumuh, kotor, banyak makanan sisa, tempat berkumpulnya orang-orang misalkan: pasar, terminal bus, tempat lokalisai WTS, perempatan jalan atau jalan raya. f. Orientasi aktivitas pekerjaan

Keiatan atau aktivitas yang mereka kerjakan adalah aktivitasnya yang berorientasi pada kemudahan mendapatkan uang sekedarnya untuk menyambung hidup, seperti menyemir sepatuy, mengamen, menjajakam koran, kuli angkut, pemulung, dan penghubung penjualan jasa.

g. Permasalahan yang dihadapi

1. Konflik dengan kelompok lain atau teman dalam kelompok 2. Dikejar-kejar aparat.

3. Korban eksploitasi sex. 4. Ditolak masyarakat. 5. Terlibat kriminal.

6. Potensi kecelakan lalu lintas h. Pendanaan dalan aktivitasnya

(28)

1. Modal sendiri. 2. Modal majikan. 3. Modal kelompok. 4. Stimulan/bantuan

i. Kebutuhan-kebutuhan anak jalanan 1. Rasa aman.

2. Haus kasih sayang.

3. Kebutuhan sandang pangan (gizi), kesehatan

Disamping itu, yayasan KKSP juga mengatakan karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan diantaranya adalah:

a. Kelihatan kumuh atau kotor, baik kotor tubuh maupun kotor pakaian. b. Memandang orang lain, yang tidak hidup dijalanan sebagai oarang yang dapat dimintai uang.

c. Mandiri artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur dan makan.

d. Mimik wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi dan berbicara dengan siapapun selama di jalanan.

e. Malas untuk melakukan kegiatan anak ”rumahan” misalnya jadwal tidur selalu tidak beraturan, mandi, mebersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut, mencuci pakaian dan menyimpan pakaian.

(29)

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Anak Jalanan

Anak adalah sebagai generasi penerus pewaris cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Anak mempunyai hak dan kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi yaitu: Hak kebutuhan untuk makan yang bergizi, kesehatan, bermain, kebutuhan emosional, pengembangan moral, spiritual, pendidikan serta memerlukan lingkungan keluarga dan sosial yang mendukung kelangsungan hidupnya.

Krisis ekonomi, adalah sebagai pemicu utama terjadinya berbagai bencana yang telah menyebabkan banyak orang tua dan keluarga mengalami penurunan daya beli, pemutusan hubungan kerja sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan akan hak-hak anaknya. Berkaitan dengan itu jumlah anak putus sekolah, terlantar dan marginal semakin bertambah, selain itu akibat yang ditimbulkan terpaksa banyak anak-anak yang harus membantu orang tuanya karena kemiskinan.

Di sisi lain tidak sedikit anak yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, diakibatkan karena situasi perkotaan yang begitu dinamis dan tidak memberi ruang bagi masyarakat marginal, hal ini terlihat mudahnya terjadi penggusuran serta terjadinya konflik yang tak dapat dielakkan. Konflik yang dapat dilihat seperti perkelahian antar kelompok, dengan menggunakan senjata tajam bisa terjadi kapan saja, dan tidak sedikit pula anak terlibat didalamnya.

(30)

Modernisasi, Industrialisasi, migran dan urbanisasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup membuat dukungan sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang. Faktor yang menyebabkan anak-anak turun ke jalan dikarenakan adanya konflik yang terjadi pada rumah tangganya, mereka bosan dengan keadaan yang terjadi di rumah. Peraturan serba ketat tanpa memberi peluang kepada anak mengutarakan keinginannya, tidak jarang sering terjadi tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga sebagai mana yang sering kita saksikan akhir-akhir ini, untuk itu sebagai alternatif dalam mengurangi meningkatnya anak terlantar perlu pemberian modal usaha dan penciptaan lapangan kerja dari pemerintah yang merupakan tugas pokok dinas sosial sebagaimana yang diembangkan oleh pemerintah kota tentang kesejahteraan anak dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik jasmani, rohani maupun sosialnya. Karena mereka terlanjur hidup dan mencari nafkah di jalanan dan ditempat-tempat umum lainnya maka mereka dikenal dengan istilah anak jalanan. (RCMM-Kopa Gelar Khitanan Massal ; Anak Jalanan di Kota Medan Meningkat/Analisa/ Medan/www.google.com)

7. Sasaran Program Pembinaan Anak Jalana

Menurut Soedijar, isi dari program pembinaan harus sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai, dengan demikian sasaran tersebut akan menjadi jawaban dari permasalahan yang dihadapi para anak jalanan.

(31)

a. Melindungi dan berusaha mengangkat derejat anak jalanan.

b. Memberikan pelayanan secara teliti sehingga kesehatan dan gizi mereka tetap terjamin.

c. Menumbuhkan rasa sadar diri, semangat kerja dan mengangkat derejat hidup mereka sendiri bahkan keluarga dan masyarakat sekitarnya. d. Memberikan pengarahan pada waktu bermain, rekreasi dan pada saat

waktu luangnya.

Di dalam program pembinaan perlu diperhatikan integritas dari seluruh program pembinaan, maka:

a. Perlu djaga agar dalam seluruh program diciptakan variasi, metode dalam mengolah kegiatan agar program berjalan lancar serta memikat dan tidak monoton serta membosankan.

b. Perlu diketrahui sikap, pengalaman dan keahlian Pembina dalam bidang pembinaan. Sikap Pembina sangat menentukan cara pelaksanaan program. (Soedirja, 1990:9)

F. Defenisi Konsep

Konsep merupakan anbstraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisis dari sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan kelompok atau individu. Oleh karena itu yang menjadi defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:

a. Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Individu-individu atau kelompok-kelompok Pemerintah yang diarahkan

(32)

untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

b. Program Pembinaan adalah prosedur yang disediakan sebagai landasan untuk menentukan isi dan ukuran kegiatan pembinaan.

c. Anak jalanan adalah anak yang sebahagian besar waktunya berada dijalanan atau ditempat-tempat umum.

G. Defenisi Operasional

Definisi operasional adalah sebagian petunjuk pelaksana bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau suatu informasi ilmiah yang membantu penlitian sehingga dari informasi tersebut diketahui bagaimana caranya mengukur variabel penelitian tersebut. (Singarimbun, 1999 : 46-47).

Adapun yang menjadi indicator dari implementasi kebijakan program pembinaan anak jalanan adalah

a. Standar dan sasaran dari implementasi kebijakan program pembinaan anak jalanan, yaitu meliputi mekanisme prosedur (Standard Operating Procedurs) yaitu pengaturan yang mengatur tata cara kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan kebijakan program pembinaan anak jalanan.

b. Sumber daya, yaitu meliputi:

1. Sumber daya manusia yang terdiri dari jumlah pegawai, tingkat pendidikan pegawai, keahlian, keterampilan, dan kemampuan para pegawai untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

(33)

2. Sumber anggaran yitu sumber dan besarnya pembiayaan untuk melaksanakan porgam pembinaan anak jalanan tersebut.

3. Fasilitas yaitu sarana dan prasarana yang diperlukan dalam melaksanakan program pembinaan anak jalanan.

c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, yaitu meliputi sosialisasi, baik itu sosialisasi internal maupun eksternal, ditambah dengan adanya forum diskusi antar pegawai dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam implementasi kebijakan program pembinaan anak jalanan.

d. Karakteristik Agen Pelaksana, yaitu meliputi struktur organisasi, pembagian tugas dan wewenang, garis komando atau rentang kendali serta ketepatan atau kesesuaian pelaksanaan program dengan tingkat structural organisasi yang melaksanakan program tersebut.

e. Kondisi sosial, ekonomi dan politik, yaitu meliputi sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh organisasi dan juga keadaan sosial ekonomi dari masyarakat yang bersangkutan.

1. Pendapat dari anak jalanan yang menjadi target implementasi kebijakan program pembinaan anak jalanan,

2. Adanya penyesuaian kondisi ekonomi Dinas Sosial terhadap kelangsungan implementasi kebijakan program pembinaan anak jalanan. f. Disposisi implementor, yaitu kognisi implementor dalam meleksanakan

Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak Jalanan meliputi: 1. Netralitas maupun obyaktivitas implementor,

(34)

2. Serta respon dari implementor terhadap pelaksanaan Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak Jalanan.

H. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional dan sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data. BAB II I : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan gambaran umum lokasi penelitian, yaitu kanyor Dinas Sosial Kota Medan..

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Bab ini berisikan tentang data-data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan untuk dianalisis.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini maemuat kajian dan analisa data yang diperoleh dari lokasi penelitian.

(35)

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilaksanakannya kegiatan evaluasi penawaran atas kegiatan Pekerjaan Pengurukan Dan Pematangan Tanah Pengadilan Agama Tanjung Selor. Oleh karena hal tersebut, maka

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah

Semakin lama waktu ekstraksi maka semakin banyak terjadi penguapan air pada filtrat daun jambu biji sehingga pada saat dikeringkan dalam waktu yang sama

Seba liknya, apabila perbandingan kinerja syaraf baru dan kinerja syaraf lama kurang dari maksimum kenaikan kerja, maka nilai bobot-bobot akan dipertahankan, dan nilai

Frasa kerja pasif diri pertama ialah frasa yang terdiri daripada kata kerja yang tidak berawalan men- tetapi didahului oleh kata ganti diri pertama aku, kami, kita, saya

Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan dicatat dalam

Untuk itu, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa makna pesan dakwah dalam Komik Karung Mutiara Al-Ghazali Karangan Hermawan dan Jitet Koestana

Yang menarik dari kajian ulama kontemporer ini adalah kritikan mereka terhadap hukum Islam yang sudah digariskan dalam al-Qur`an dan Sunnah ketika hukum itu tidak