• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batunanggar, Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Batunanggar, Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan

1

S. Batunanggar

2

Februari 2003

Abstrak

Krisis keuangan di Asia Tenggara termasuk Indonesia tahun 1997 memberikan pelajaran yang amat berharga mengenai pentingnya ketahanan sistem keuangan. Dalam beberapa tahun terakhir, topik stabilitas sistem keuangan (SSK) atau sering disingkat stabilitas keuangan menjadi agenda utama para pembuat kebijakan baik di level nasional maupun internasional. Apa sebenarnya SSK itu dan mengapa penting? Bagaimana peran dan kerangka bank sentral dalam memelihara SSK? Bagaimana penerapannya di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang hendak dibahas dalam artikel ini.

JEL classification: F34, G18, G21,

Keywords: financial stability, financial crises, banking crisis, crisis management

1Telah dimuat dalam Pengembangan Perbankan Edisi 99 Maret – April 2003

2Peneliti Senior di Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia, Jakarta. Tulisan ini adalah

(2)

1. Pendahuluan

Dua diantara pelajaran paling berharga dari krisis moneter dan perbankan tahun 1997 adalah bahwa penyelesaian krisis tersebut sangat kompleks dan berbiaya sangat mahal. Biaya fiskal yang terpaksa harus dikeluarkan pemerintah untuk merestrukturisasi perbankan sangat besar mencapai 51% dari PDB tahunan. Krisis Indonesia adalah yang terparah kedua di dunia dalam seperempat abad terakhir setelah krisis Argentina (1980-1982) dengan biaya sebesar 55%. Dampak buruknya tidak hanya menimpa perekonomian nasional tetapi juga mengganggu stabilitas sosial dan politik Indonesia. Pelajaran dari krisis tersebut telah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang membentuk sistem keuangan.

Pada dasarnya, krisis tersebut disebabkan oleh dua faktor yakni (i) kelemahan fundamental perekonomian Indonesia serta inkonsistensi kebijakan (faktor internal); dan (ii) dampak mewabah (contagion effect) krisis mata uang yang berawal di Thailand pada bulan Juli 1997 (faktor eksternal). Secara umum, kelemahan internal dimaksud meliputi besarnya hutang luar negeri sektor swasta yang tidak dihedge, pemberian kredit yang tidak berhati-hati dan pelampauan batas maksimum pemberian kredit khususnya kepada pihak terkait, kelemahan manajemen risiko dan governance, serta kelemahan pengawasan bank.

Dalam beberapa tahun terakhir, topik SSK menjadi agenda utama para pembuat kebijakan baik di level nasional maupun internasional. Pada tahun 1999 dibentuk beberapa badan dan forum internasional yang ditujukan membantu bank sentral dan otoritas pengawasan untuk memperkuat sistem keuangan, yakni Financial Stability Institute1 dan Financial

Stability Forum (FSF)2. Perhatian serupa juga dimunculkan oleh IMF dan Worldbank yang

kemudian memperkenalkan program Financial System Assesment Programme (FSAP) dalam rangka peningkatan stabilitas keuangan negara yang dinilai3.

Sementara itu, terdapat peningkatan publikasi baik dalam bentuk buku, artikel dan paper serta seminar dan konferensi mengenai krisis keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Disamping itu, semakin banyak bank sentral yang membentuk suatu unit bahkan group

(wings) yang menangani masalah stabilitas keuangan serta menerbitkan kajian stabilitas

(3)

2. Apa itu stabilitas keuangan?

Pada intinya, stabilitas sistem keuangan atau sering disebut sebagai stabilitas keuangan adalah terhindar dari krisis keuangan (avoidance of financial crisis) ((MacFarlane (1999), dan Sinclair (2001)). Secara lebih spesifik, stabilitas sistem keuangan adalah stabilitas lembaga-lembaga dan pasar keuangan yang membentuk suatu sistem keuangan (Crockett, 1997). Sedangkan Mishkin (1991) mendefinisikan krisis keuangan sebagai gangguan terhadap pasar keuangan dimana masalah adverse selection dan moral hazard memburuk sehingga pasar keuangan tidak dapat menyalurkan dana secara efisien kepada pihak yang memiliki peluang investasi paling produktif4. Dari tiga pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa stabilitas sistem keuangan ditujukan untuk menciptakan lembaga dan pasar keuangan yang stabil guna menghindari terjadinya krisis keuangan yang dapat menganggu tatanan perekonomian nasional.

3. Mengapa penting?

Terdapat tiga alasan utama mengapa SSK itu penting. Pertama, sistem keuangan yang stabil akan menciptakan kepercayaan dan lingkungan yang mendukung bagi nasabah penyimpan dan investor untuk menanamkan dananya pada lembaga keuangan, termasuk menjamin kepentingan masyarakat terutama nasabah kecil. Kedua, sistem keuangan yang stabil akan mendorong intermediasi keuangan yang efisien sehingga pada akhirnya dapat mendorong invetasi dan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kestabilan sistem keuangan akan mendorong beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi sumberdaya dalam perekonomian.

Sedangkan instabilitas sistem keuangan dapat menimbulkan konsekuensi yang membahayakan yakni besarnya biaya fiskal yang harus dikeluarkan untuk menyelamatkan lembaga keuangan yang bermasalah dan penurunan PDB akibat krisis mata uang dan perbankan.

Sejumlah perkembangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah menempatkan stabilitas keuangan sebagai agenda prioritas dari bank sentral, otoritas pengawas dan pemerintah yakni: (i) pertumbuhan transaksi keuangan dalam jumlah besar; (ii) perkembangan lembaga keuangan non-bank termasuk produk dan jasa yang ditawarkan;

(4)

(iii) peningkatan kompleksitas dan risiko kegiatan bank; dan (iv) besarnya biaya fiskal untuk penyelesaian krisis perbankan.

Disamping itu berbagai perubahan mendasar lainnya aspek seperti perubahan kebijakan dan instrumen moneter, permasalahan yang masih dihadapi oleh sektor perbankan dan sektor riil membuat tugas pemeliharaan stabilitas sistem keuangan semakin kompleks.

4. Elemen Pokok Sistem Keuangan yang Stabil

Stabilitas sistem keuangan bergantung pada lima elemen yang saling terkait yakni: (i) lingkungan makro-ekonomi yang stabil; (ii) lembaga finansial yang dikelola dengan baik; (iii) pasar keuangan yang efisien; (iv) kerangka pengawasan prudensial yang sehat; dan (v) sistem pembayaran yang aman dan handal (MacFarlane, 1999).

Krisis dapat dipicu oleh berbagai risiko yang bersumber dari elemen-elemen yang terkait dengan sistem keuangan (lihat Gambar 1). Krisis keuangan dapat bersumber dari permasalahan yang terjadi dalam berbagai elemen terkait dengan sistem keuangan yakni lembaga keuangan itu sendiri yakni bank, lembaga keuangan non bank atau pasar modal (ring pertama); atau dapat juga ditimbulkan oleh salah satu atau kombinasi permasalahan di sektor riil, fiskal atau sistem pembayaran (ring kedua). Namun demikian, krisis dapat juga disebabkan oleh factor eksternal yang bersumber dari perekonomian internasional melalui dampak mewabah

(contagion effect) seperti yang terjadi pada krisis Asia tahun 1997 (ring ketiga). Proses

terjadinya krisis keuangan diuraikan secara ringkas pada Boks 1.

Stabilitas sistim keuangan dapat dijaga dengan meningkatkan ketahanan lembaga

keuangan dan pasar keuangan terhadap gejolak eksternal. Berbagai upaya dapat dilakukan dengan menerapkan ketentuan prudensial dan good governance dalam lembaga keuangan dan pasar modal, kebijakan moneter dan fiskal yang kondusif serta sektor riil yang mampu mendukung perekonomian.

(5)

Boks 1. Penyebab dan Proses Terjadinya Krisis Keuangan

Belajar dari krisis Asia dan Indonesia tahun 1997, instabilitas sistem keuangan terjadi melalui tiga tahapan utama (Mishkin, 2001).

Pada tahap awal, terjadi penurunan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai permasalahan dalam perekonomian dan sistem keuangan seperti memburuknya kondisi keuangan perbankan, peningkatan suku bunga, penurunan harga saham, dan peningkatan ketidakpastian.

Pada tahap kedua, ketidakpercayaan nasabah dan investor terhadap perekonomian nasional dan rupiah menimbulkan depresiasi rupiah dan kemudian mengakibatkan krisis mata uang

(currency crisis)

Pada akhirnya, krisis mata uang tersebut menimbulkan krisis perbankan yang dipicu oleh penarikan simpanan secara besar-besar (systemic bank run) yang mengakibatkan kesulitan likuiditas pada sistem perbankan. Disamping itu, perbankan menderita kerugian akibat peningkatan kredit bermasalah terutama atas debitur korporasi yang memiliki pinjaman luar negeri yang tidak dihedge. Beban hutang luar negeri yang ditanggung oleh sektor korporasi meningkat drastic akibat depresiasi rupiah terhadap US dollar yang tajam.

Krisis ganda (twin crises), krisis mata uang dan perbankan, yang tidak berhasil diatasi secara cepat dan efektif telah menimbulkan dampak yang lebih luas dan mendorong instabilitas social dan politik nasional.

Sebagai implikasinya, pemerintah harus mengeluarkan biaya fiskal yang sangat besar (50% dari PDB tahunan) untuk menyelamatkan sistem perbankan. Biaya fiskal tersebut tentunya akan dibebankan kepada masyarakat sebagai pembayar pajak. Disamping itu, krisis keuangan yang berkepanjangan berdampak sangat buruk terhadap perekonomian nasional antara lain penurunan pertumbuhan ekonomi dan output yang diperparah pula oleh terjadinya disintermediasi keuangan.

Mengingat bahwa permasalahan di lembaga keuangan dan pasar modal dapat menimbulkan krisis keuangan yang berdampak sangat buruk, diperlukan suatu kebijakan penyelesaian krisis. Untuk itu perlu diperlukan suatu mekanisme safety net dan rencana kontijensi sebagai antisipasi apabila krisis terjadi. Dalam hal ini, bank sentral memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga stabilitas sistim keuangan, baik dalam pencegahan maupun penyelesaian krisis. Hal ini mengingat berbagai komponen yang mempengaruhi stabilitas sistim keuangan dimaksud seperti pengawasan bank, dan kebijakan moneter besar berada dalam kewenangan bank sentral.

5. Kerangka SSK

Memelihara stabilitas sistem keuangan (SSK) merupakan salah satu fungsi utama dari bank sentral modern, yang tidak kalah pentingnya dengan memelihara stabilitas moneter

(6)

(Sinclair, 2001). Kedua tugas tersebut terkait erat dan saling mempengaruhi. Efektivitas kebijakan moneter hanya bisa diwujudkan apabila terdapat sistem keuangan yang sehat. Lembaga keuangan berperan penting dalam perekonomian sebagai perantara keuangan dan media transmisi kebijakan moneter.

Mengapa SSK perlu dipelihara? Ada tiga alasan utama. Pertama, “keunikan” lembaga keuangan khususnya bank karena selain berperan penting dalam perekonomian seperti telah disebutkan juga memiliki risiko yang tinggi dalam usahanya. Karena itu, lembaga keuangan merupakan salah satu sumber instabilitas yang paling membahayakan sistem keuangan. Kedua, krisis keuangan berdampak sangat luas terhadap ekonomi yakni penurunan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang tajam. Hal ini pada akhirnya dapat berdampak negatif pada aspek sosial dan politik apabila tidak dapat diselesaikan secara cepat dan efektif. Ketiga, instabilitas keuangan menimbulkan biaya fiskal penyelesaian krisis yang sangat tinggi. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa rata-rata biaya penyelesaian krisis mencapai 20% dari PDB tahunan.

Perumusan fungsi SSK tersebut cukup beragam diantara bank-bank sentral. Sebagian besar menetapkannya secara eksplisit dalam Undang-Undang. Namun ada juga yang hanya mengaturnya dalam Nota Kesepahaman seperti Inggris yakni antara Bank of England, Financial Services Authority dan HM Treasury.

Secara umum, terdapat dua kebijakan umum dalam menghadapi krisis. Pertama mencegah agar krisis tersebut tidak terjadi (crisis prevention). Kedua, menangani krisis (crisis

resolution) yang terjadi untuk meminimalkan dampak buruknya agar tidak meluas (lihat

gambar).

Pencegahan krisis (Crisis prevention)

Pencegahan krisis dapat ditempuh melalui tiga kegiatan utama yakni penetapan kebijakan dan regulasi, mendorong disiplin pasar dan peningkatan pemantauan (surveillance) terhadap sistem keuangan.

Untuk mencegah timbulnya krisis, umumnya ditempuh dua pendekatan. Pertama, bersandar pada kekuatan atau disiplin pasar (market discipline) seperti yang diterapkan di Selandia Baru. Disiplin pasar ini didorong melalui kebijakan transparansi dan penerapan aturan standar internasional seperti principles of corporate governance, international

(7)

Pendekatan kedua ini diadopsi secara lebih luas oleh otoritas moneter atau bank sentral baik di negara maju maupun di negara berkembang. Hal ini mencakup baik transparansi dalam kebijakan moneter dan fiskal maupun regulasi prudensial untuk sektor keuangan yang mengacu pada core principles for effective banking supervision, principles for

securities regulation dan core principles for insurance supervision yang dirumuskan oleh

forum-forum internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin disadari bahwa kedua pendekatan itu perlu diadopsi secara konsisten untuk lebih meningkatkan stabilitas sistem keuangan.

Namun kebijakan, regulasi dan standar belumlah cukup menjamin terpeliharanya SSK. Diperlukan pengawasan yang efektif untuk meyakinkan bahwa segala kerangka aturan yang telah ditetapkan tersebut dilaksanakan secara konsisten oleh pelaku pasar. Pengawasan ini dapat bersifat mikro (micro-prudential supervision-MiPs) atau makro (macro-prudential

supervision-MaPS) atau sering juga disebut sebagai surveillance. Otoritas pengawas

bertanggung-jawab untuk melakukan MiPS untuk meyakinkan terpeliharanya kesehatan lembaga keuangan secara individual.

(8)

Sedangkan bank sentral bertanggung-jawab untuk melakukan surveillance (MaPS) terhadap SSK secara keseluruhan. Perkembangan dan risiko-risiko dalam sistem keuangan baik yang bersumber dari domestik maupun internasional perlu dikaji dan dipantau secara seksama. Dalam hal ini umumnya digunakan sistem deteksi dini (early warning systems) yang mencakup pemantauan dan analisis terhadap perkembangan indikator makro-prudensial dan mikro-prudensial53. Surveillance ditunjang dengan riset untuk menghasilkan suatu

analisis dan rekomendasi kebijakan kepada lembaga terkait dalam rangka memelihara stabilitas keuangan. Kajian tersebut dipublikasikan secara berkala oleh bank sentral baik dalam laporan secara tersendiri maupun digabungkan dalam laporan tahunannya. Koordinasi antara MiPS dan MaPS mutlak diperlukan demi terpeliharanya SSK.

Penyelesaian krisis (crisis resolution)

Penyelesaian krisis merupakan kebijakan dan tindakan bank sentral untuk menyelesaikan krisis bila telah terjadi. Untuk itu, terdapat dua alat utama yang umumnya digunakan yakni (i) pemberian fasiltas kepada lembaga keuangan yang bermasalah dalam rangka

lender of the last resort (LLR); dan (ii) penjaminan simpanan (deposit insurance).

3Indikator ekonomi makro-prudensial meliputi besaran mengenai pertumbuhan ekonomi, neraca

pembayaran, inflasi, suku bunga dan nilai tukar, contagion effect dan factor terkait lainnya. Indikator mikro-prudensial meliputi rasio-rasio mengenai Capital Adequacy, Asset Quality, Management, Earnings, Liquidity dan Sensitivity to Market Risk (CAMELS).

(9)

LLR umumnya diberikan oleh bank sentral baik dalam kondisi normal maupun krisis sistemik. Dalam kondisi normal, fasilitas LLR hanya diberikan mengatasi kesulitan likuiditas yakni kepada illiquid bank tetapi solvent dengan agunan yang mencukupi. Sedangkan dalam kondisi krisis sistemik terdapat beberapa pengecualian dalam pemberian fasilitas LLR misalnya dalam rangka restrukturisasi sistem perbankan akibat krisis.

Sedangkan dalam penyelesaian krisis terdapat beberapa alat yang mencakup lender of last

resort, jaring pengaman keuangan (financial safey nets) seperti asuransi simpanan dan

metode penyelesaian krisis lainnya seperti restrukturisasi korporasi dan lembaga keuangan. Termasuk melalui partisipasi swasta (private sector solution) dan intervensi pemerintah.

Mekanisme Koordinasi

SSK adalah sasaran kebijakan publik (Crockett, 1997). Karenanya mutlak diperlukan kerja sama dan koordinasi antar lembaga terkait, khususnya bank sentral, otoritas pengawas (jika terpisah dari bank sentral) dan pemerintah dalam rangka mewujudkan dan memelihara SSK.

Pada prinsipnya bank sentral bertanggung-jawab terhadap stabililitas moneter, infrastruktur keuangan ternasuk sistem pembayaran dan stabilitas keuangan secara kesuluruhan. otoritas pengawas sektor keuangan bertanggung-jawab terhadap perizinan, pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan secara individual. Sedangkan pemerintah bertanggung jawab atas kelembagaan dan perundang-undangan. Pemerintah tidak memiliki tanggung-jawab operasional dan sama sekali tidak boleh mencampuri tugas bank sentral dan otoritas pengawas. Apabila dinilai terdapat risiko yang membahayakan sistem keuangan, bank sentral dan otoritas pengawas memberitahukan kepada pemerintah.

Standing Committee yang beranggotakan Gubernur Bank Sentral, Otoritas Pengawas

Lembaga Keuangan Non Bank dan Otoritas Pengawas Pasar Modal, Pimpinan Lembaga penjamin Simpanan, dan Menteri Keuangan, bertemu secara berkala untuk membahas masalah-masalah SSK. Beberapa bank sentral seperti Bank of England menuangkan mekanisme koordinasi tersebut dalam Memorandum of Understanding (MoU). MoU tersebut juga mengatur mengenai pertukaran dan sharing informasi antara Bank of England dengan Financial Services Authority.

(10)

6. Bagaimana di Indonesia?

Secara tradisional fungsi stabilitas keuangan merupakan wilayah bank sentral. Setelah terjadi krisis keuangan 1997, semakin disadari pentingnya stabilitas sistem keuangan tersebut. Dengan berlakunya UU No.23 tahun 1999, Bank Indonesia memasukkan aspek stabilitas sistem keuangan tersebut dalam misinya yakni “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang dan berkesinambungan”. Hal ini mengingat fungsi menjaga kestabilan moneter dan kestabilitan sistem keuangan tersebut saling terkait satu sama lain ibarat dua sisi mata uang. Kedua fungsi tersebut diarahkan untuk mencapai suatu tujuan akhir yang sama, yaitu menjaga stabilitas harga.

Perlunya kerangka hukum

Namun demikian, hingga saat ini belum terdapat suatu kerangka legal yang jelas mengenai tugas memelihara stabilitas sistem keuangan. Dalam UU No.23 tahun 1999 tugas memelihara SSK tidak dinyatakan secara eksplisit. Pasal 7 menyatakan bahwa “tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”. Selanjutnya, dalam pasal 8 ditetapkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, BI bertugas untuk: (a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan (3) mengatur dan mengawasi bank.

Selama ini, tampaknya BI melakukan fungsi SSK secara parsial dan simultan dengan tugas pokoknya di bidang pengawasan bank, moneter dan sistem pembayaran. Permasalahannya adalah apakah kebijakan dan tugas SSK tersebut cukup diserahkan saja kepada BI untuk mengatur dan melaksanakan sebagai bagian dari tugasnya sesuai pasal 8 Undang-undang? Mengacu pada praktek di negara-negara lain, tugas memelihara SSK tersebut diatur dalam suatu kerangka hukum yang jelas yang memuat pembagian tugas dan mekanisme koordinasi antar lembaga terkait (bank sentral, otoritas pengawas dan pemerintah) dalam rangka memelihara SSK. Karena SSK tersebut adalah kebijakan publik strategis, seyogianya diatur dalam amandemen UU No.23 yang sedang dirumuskan.

Selanjutnya, mekanisme operasionalnya perlu diatur dalam peraturan pemerintah atau nota kesepahaman yang memuat mengenai dua hal pokok yakni: (i) tanggung-jawab yang jelas antara Bank Indonesia, otoritas pengawas dan pemerintah baik dalam pencegahan maupun penyelesaian krisis; (ii) mekanisme koordinasi antara lembaga terkait tersebut,

(11)

termasuk dalam mekanisme pertukaran dan sharing informasi. Aspek koordinasi ini menjadi semakin penting dan kompleks apabila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) jadi dibentuk. Koordinasi tersebut dapat diwujudkan melalui pembentukan suatu Komite SSK Nasional yang beranggotakan Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan dan pimpinan lembaga terkait serta melalui interlocking management.

Jaring pengaman dan alat penyelesaian krisis

Pengalaman krisis ini dalam seperempat abad terakhir menunjukkan bahwa krisis itu sulit diprediksi dan dihindarkan. Karenanya, tiada jalan lain kecuali menyiapkan kebijakan dan alat penyelesaian krisis yang memadai yang mencakup jaring pengaman (safety nets) dan

lender of last resort (LLR). Apabila krisis terjadi alat tersebut dapat digunakan secara

efektif sehingga dampak negatifnya dapat diminimalkan dengan biaya serendah mungkin. Hingga saat ini belum terdapat kerangka hukum mengenai kebijakan dan prosedur penyelesaian krisis yang komprehensif. Sejalan dengan itu, terdapat dua kebijakan penting yang perlu segera dirumuskan. Pertama, peran Bank Indonesia sebagai LLR. Sesuai UU No. 23/1999, BI hanya dapat memberikan pinjaman kepada bank untuk memenuhi kesulitan likuiditas pada kondisi normal. Perlu dirumuskan secara jelas dalam UU peran Bank Indonesia sebagai LLR dalam kondisin krisis. Kebijakan LLR yang lebih transparan selain lebih menjamin akuntabilitas dan dapat menghindarkan campur tangan politis juga akan bermanfaat sebagai alat penyelesaian krisis yang efektif. Kedua, membentuk asuransi simpanan yang eksplisit dan terbatas (limited and explicit guarantee) sebagai pengganti program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) yang mengandung moral hazard dan tidak mendorong disiplin pasar. Namun demikian, peralihan tersebut perlu dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesehatan sistem keuangan dan perekonomian serta didahului dengan sosialisasi yang baik.

7. Penutup

SSK sangat tergantung pada kesehatan lembaga keuangan khususnya perbankan yang mendominasi sistem keuangan di Indonesia. Selanjutnya, kesehatan sistem perbankan sangat ditentukan oleh efektivitas pengawasan bank. Karenanya, mutlak diperlukan otoritas pengawas yang independen dan kompeten. Hal tersebut sangat penting untuk meyakinkan bahwa risiko-risiko bank mampu dinilai secara dini dan akurat serta permasalahan yang perbankan yang dapat membahayakan SSK dapat dicegah dan dikoreksi

(12)

secara cepat pula – terlepas dari strukturnya apakah berada di dalam atau di luar bank sentral.

Untuk mewujudkan SSK mutlak diperlukan kerjasama dan koordinasi yang efektif antara lembaga terkait. Kerangka hukum yang mengatur siapa bertanggung-jawab untuk apa dan mekanisme koordinasi secara jelas adalah penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah komitmen dan kapasitas dari lembaga terkait untuk mengoptimalkan peranannya dalam SSK tersebut. Lebih jauh, SSK menuntut kesadaran dan komitmen dari seluruh pelaku pasar khususnya dan masyarakat umumnya untuk berperan secara bertanggung-jawab. Pengalaman mengajarkan kita bahwa krisis itu sangat mahal sering berulang. Karenanya, adalah selalu lebih baik mencegah dari pada mengobati. ***

Referensi

Batunanggar, S. (2002), ‘Indonesia’s Banking Crisis Resolution: Lessons and the Way Forward’ paper yang disusun dan disajikan pada Crisis Resolution Conference, Centre for Central Banking Studies, Bank of England, December 9.

_____ (2003), ‘Reformulasi Manajemen Krisis Indonesia: Deposit Insurance and the Lender of Last Resort’, Working Paper, Bank Indonesia, Januari.

Brealey, Richard et al. (2001) Financial Stability and Central Banks: A Global Perspective, Routledge and CCBS, Bank of England.

Crockett, Andrew (1997) ‘Why is Financial Stability a Goal of Public Policy?’, paper presented at Maintaining Financial Stability in a Global Economy Symposium, the Federal Reserve Bank of Kansas City, August 28-30.

Djiwandono, J. Soedradjat (2000) ‘Bank Indonesia and the Recent Crisis’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.36 No.1, April.

Honohan, Patrick and Daniella Klingebiel (2002) ‘The Fiscal Costs Implications of an Accommodating Approach to Banking Crisis’, Journal of Banking and Finance (forthcoming).

McFarlane, I.J. (1999) ‘The Stability of Financial System’ Reserve Bank of Australia Bulletin, August. Mishkin, Frederic (2001) ‘Financial Policies and the Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries’, NBER Working Paper No. 8087, January.

Nasution, Anwar (2000) ‘The Meltdown of the Indonesian Economy: Causes, Responses and Lessons’, ASEAN Economic Bulletin, August.

Sabirin, Syahril (2002) ‘Bank Indonesia’s Role in Financial Stability’, Paper presented at the seminar on Financial Services Authority, Jakarta, February 27.

Sinclair, P. J. N. (2000) ‘Central Banks and Financial Stability’, Bank of England Quarterly Bulletin, Vol.40, No.4, November.

(13)

1FSI dibentuk oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) dan ditujukan untuk membantu

otoritas pengawasan untuk memperkuat sistem keuangan mereka. Lihat detailnya di http://www.bis.org/fsi/index.htm

2FSF ditujukan untuk meningkatkan stabilitas keuangan internasional melalui pertukaran informasi

dan kerjasama internasional di bidang pengawasan dan surveillance FSF beranggotakan otoritas terkait (Departemen Keuangan, bank sentral, otoritas pengawas) dari 11 negara, lembaga-lembaga internasional (IMF, World Bank, BIS, OECD), komite dan asosiasi internasional (Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), International Accounting Standards Board (IASB), International Association of Insurance Supervisors (IAIS), International Organisation of Securities Commissions (IOSCO), Committee on Payment and Settlement System (CPSS), Committee on the Global Financial System (CGFS) dan European Central Bank.

Lihat detailnya di http://www.fsforum.org/home/home.html

3FSAP merupakan upaya bersama IMF dan Worldbank yang mulai diperkenalkan pada May 1999.

Program ini bertujuan untuk meingkatkan efektivitas upaya peningkatan kesehatan sistem keuangan dari negara-negara anggotanya. Lihat detailnya di http://www.imf.org/external/np/fsap/fsap.asp

4Adverse selection timbul sebelum transaksi terjadi apabila peminjam (borrower) potensial yang

kemungkinan besar menimbulkan hasil yang tidak diharapkan - risiko kredit macet - yang akan terpilih. Karena adverse selection berpotensi besar menimbulkan kredit macet, yang meminjamkan (lender) mungkin tidak meminjamkan meskipun di pasar terdapat debitur yang memiliki risiko kredit yang rendah. Sedangkan moral hazard timbul setelah transaksi terjadi karena lender berpotensi dirugikan oleh borrower yang terdorong melakukan aktivitas yang diharapkan misalnya tidak membayar kewajibannya. Moral hazard terjadi akibat informasi asimmetrik dimana lender kurang mengetahui aktivitas borrower yang memungkinkan borrower melakukan moral hazard. Konflik kepentingan antara borrower dan lender akibat moral hazard (agency problem) menunjukkan bahwa banyak lender memutuskan untuk tidak memberikan pinjaman, sehingga kredit dan investasi tidak mencapai tingkat optimal.

5Indikator ekonomi makro-prudensial meliputi besaran mengenai pertumbuhan ekonomi, neraca

pembayaran, inflasi, suku bunga dan nilai tukar, contagion effect dan factor terkait lainnya. Indikator mikro-prudensial meliputi rasio-rasio mengenai Capital Adequacy, Asset Quality, Management, Earnings, Liquidity dan Sensitivity to Market Risk (CAMELS).

Referensi

Dokumen terkait

merupakan teknik penanganan untuk serangan CSRF dengan cara mengirimkan informasi tambahan pada setiap pengiriman data ke server. Informasi tersebut berisi nilai acak

Judul Skipsi : Analisis Potensi Endapan Skarn Berdasarkan Zona Dan Karakteristik Batuan Kalk Silikat Pada Endapan Porfiri Cu-Au Batu Hijau, Sumbawa, Nusa

Jika kita mendapatkan informasi mengenai hasil ujian dalam volume yang lebih besar, seperti dari semua siswa di satu kelas atau satu sekolah, hal tersebut bisa digunakan untuk

Aqip (2009: 19) menjelaskan penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelas atau sekolah tempat mereka mengajar dengan penekanan

Teknik pembuatan iklan televisi dengan konsep stop motion masih jarang digunakan diindonesia dapat memberikan sajian unik dan nuansa yang berbeda, sehingga membuat menarik

Setelah perenungan selesai, saya tutup dengan doa, agar menyadarkan mereka kalau menjadi orang sukses harus memiliki rasa Ketuhanan Yang Maha Esa.. Yach menjadi anak-anak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kualitas pelayanan yang terdiri dari bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan dan empati terhadap

Masih dalam penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 yang dimaksud dengan rumah susun sederhana sewa yang juga disebut Rusunawa adalah bangunan gedung