• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan suatu negara dipengaruhi oleh karakteristik geografis negara tersebut serta mempunyai pengaruh timbal-balik dengan karakteristik rakyatnya.

Pengertian kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kebudayaan dalam arti luas dan kebudayaan dalam arti sempit (Ienaga Saburo dalam Situmorang, 2006:2-3). Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata) dan tidak bersifat alamiah. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah keseluruhan hal yang terdiri dari tradisi, ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu, Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah budaya yang berisikan sesuatu yang bersifat semiotik.

(2)

kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Oleh karena itu, budaya selalu dibedakan dengan kebudayaan. Budaya merupakan sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak. Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang konkret.

Maka dari itu, dapat kita lihat bahwa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya senioritas (nenkoujoretsu), budaya malu, dan sebagainya. Sedangkan contoh kebudayaan Jepang adalah chanoyu, ikebana, origami, dan sebagainya (Situmorang, 2006:2).

Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Jepang. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya, masyarakat Jepang mendasarkan tindakan mereka pada suatu ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan menimbulkan malu atau tidak. Jika iya, maka mereka akan berusaha untuk menghindari tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jepang, standar untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung mengarah keluar (masyarakat), bukan ke dalam dirinya. Sifat mengarah keluar inilah yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gaimenteki. Dan sifat gaimenteki (mengarah keluar) ini merupakan suatu ciri dari budaya malu.

(3)

politheis (mempercayai banyak Tuhan atau Dewa) memiliki dua istilah yang disebut Kami dan Hotoke sebagai objek penyembahan. Jumlah Kami dan Hotoke ini sangat banyak, bahkan roh leluhur yang sudah lama disembah juga akan menjadi Kami atau Hotoke. Oleh karena itu objek yang disembah oleh masing-masing keluarga berbeda-beda. Ketika di rumah, anggota keluarga menyembah dewa leluhur (sousen), ketika di perusahaan mereka menyembah dewa atau roh orang yang telah mengabdi untuk perusahaan, ketika bekerja untuk kepentingan wilayah mereka menyembah dewa wilayah yang disebut dengan Ubusuna gami, dan ketika bekerja untuk kepentingan negara mereka menyembah dewa negara atau dewa kaisar (Hori Ichiro, 1968). Hal ini didukung oleh pernyataan Shintarou dalam Mushakojuji Kinhide (1982:61) bahwa Jepang adalah unik, satu-satunya negara tanpa Tuhan yang membimbing geraknya.

Ruth Benedict dalam bukunya “The Crysanthemum and The Sword”

(Bunga Seruni dan Pedang Samurai) mengatakan bahwa malu merupakan suatu reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik dari orang lain, atau timbul pada saat ditertawakan orang lain. Orang Jepang akan merasa malu jika dikritik atau ditertawakan orang lain. Akan tetapi, konsep tersebut belum dapat menampilkan seluruh segi dari konsep malu, khususnya konsep malu yang ada di dalam diri orang Jepang. Ternyata bukan hanya kritikan dan tertawaan orang lain yang dapat membuat orang Jepang merasa malu. Konsep yang lebih dapat mengungkapkan pemikiran malu dalam diri orang Jepang adalah ketika seseorang mendapat perhatian yang sifatnya khusus dari orang lain.

(4)

saat pemerintahan Tokugawa. Berupa penanaman konsep malu yang menjelaskan bahwa, pada masyarakat bertani di era Yayoi, seorang individu tidak mempunyai arti jika terpisah dari komunitasnya. Sedangkan bagi masyarakat berburu dan beternak di era Yayoi, seorang individu dapat berdiri sendiri, meskipun terpisah dari komunitasnya. Sakuta juga menambahkan bahwa pada periode Tokugawa, sistem sentralisasi pemerintahan dianggap sebagai ladang subur penerapan budaya malu.

Selain itu, Ruth Benedict (1989) dan Sakuta Keichi dalam Raphaela Dwianto (1991) menganalisa budaya malu masyarakat Jepang dari dua sisi berbeda.

Pertama, Ruth Benedict (1989:338) menyatakan bahwa, malu muncul dikarenakan ketidak mampuan membalas budi dari orang lain, atau disebut on, yang terdiri dari giri dan gimu. Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan. Benedict juga menambahkan bahwa, malu yang dimiliki masyarakat Jepang bukan malu yang muncul karena keberadaan Tuhan atau takut karena dosa. Akan tetapi, lebih kepada malu yang muncul dengan adanya keberadaan pihak lain.

(5)

pengabdian seorang manusia kepada Sang Pencipta, sebagai makhluk yang lemah dan tidak luput dari salah dan khilaf.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang bertindak pada suatu ukuran yang dijadikan dasar untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan akan menimbulkan perasaaan malu atau tidak. Jadi, standar penilaian baik buruknya suatu tindakan adalah malu. Dan pihak yang menilainya adalah masyarakat dan diri sendiri, bukan keberadaan Tuhan. Hal ini didefenisikan sebagai budaya malu umum (kouchi).

Kedua, Sakuta Keichi dalam Raphaela Dwianto (1991:14) menyatakan bahwa budaya malu Masyarakat Jepang bukan hanya sebatas balas budi, namun juga berupa penilaian pihak lain yang bersifat positif, seperti pujian dan sanjungan. Maksudnya, budaya malu bukanlah sekedar balas budi, atau tidak hanya sebatas kritikan, sindiran atau cemoohan dari pihak lain. Akan tetapi, perhatian berupa pujian dan sanjungan pun mempengaruhi ada atau tidaknya rasa malu dalam diri seseorang. Budaya malu seperti ini disebut dengan malu khusus (shichi). Yaitu malu yang bertolak ukur pada diri sendiri (naimenteki), dan tidak mengacu pada penilaian dari pihak lain (gaimenteki).

(6)

Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang (http://www.ianfuindonesia.webs.com/).

Hingga sekarang para korban Jugun Ianfu ini menuntut kepada Jepang agar sejarah kelam tersebut diakui Jepang dan dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan Jepang dan menuntut hak mereka dalam bentuk kompensasi dari pemerintah Jepang (Eka Hindra, 2007:289). Hal inilah yang menimbulkan rasa malu bagi bangsa Jepang sehingga menimbulkan keinginan untuk memperbaiki rasa malu tersebut.

Dari hal ini, dapat kita pahami bahwa budaya malu yang terdapat pada masyarakat Jepang adalah bagian dari budaya dalam arti sempit. Seperti yang dikatakan Ienaga Saburo dalam Dwianto (1991:4), bahwa kebudayaan dalam arti sempit meliputi ilmu pengetahuan, kesenian, agama, pemikiran, moral dan lain-lain.

Dari pemahaman yang telah diuraikan tersebut, jelas lah bahwa budaya malu yang telah tertanam dalam diri masyarakat Jepang sejak dahulu menjadi suatu pendorong timbulnya keinginan bangsa Jepang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada para korban Jugun Ianfu yang menderita pada masa penjajahan bangsa Jepang.

(7)

dengan bangsa-bangsa lain. Dan meneliti budaya malu pada masyarakat Jepang, artinya menelaah malu sebagai suatu kebudayaan. Hal inilah yang menjadi alasan sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang dilihat dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang terhadap Korban Jugun Ianfu di Indonesia Pasca Perang Dunia II”.

1.2. Perumusan Masalah

Budaya malu merupakan salah satu tema yang sangat menarik perhatian diantara sekian banyak tema tentang kebudayaan Jepang yang unik dan sangat beragam. Hal ini dapat dilihat dari konsep budaya malu yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Jepang. Bahkan beberapa teori mengatakan bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya standar untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa Jugun Ianfu merupakan sebutan bagi para wanita yang dijadikan budak seks dan pemuas nafsu para tentara Jepang selama penjajahannya di negara-negara Asia Pasifik terutama Indonesia pada masa Perang Dunia II. Mereka dipaksa untuk melayani para tentara Jepang tanpa dapat menolak, dan kejadian itu merupakan hal yang sulit untuk diterima oleh moral sosial para korban Jugun Ianfu tersebut.

(8)

direalisasikan dalam bentuk permintaan maaf dan ganti rugi terhadap para korban Jugun Ianfu tersebut.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep budaya malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang? 2. Bagaimana realisasi budaya malu masyarakat Jepang dalam

mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap para korban Jugun Ianfu di Indonesia pasca Perang Dunia II?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk memudahkan dalam menganalisa topik permasalahan, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan. Sehingga masalah yang akan dibahas lebih terarah.

Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada penerapan budaya malu masyarakat Jepang dilihat dari pertanggungjawaban terhadap para korban jugun ianfu pasca Perang Dunia II yang diwujudkan dalam bentuk permintaan maaf dan memberikan ganti rugi terhadap para korban Jugun Ianfu. Selain itu, agar lebih jelas penulis juga menjelaskan konsep budaya malu yang tertanam di dalam diri masyarakat Jepang sebagai karakteristik bangsa Jepang.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Budaya malu merupakan suatu konsep yang tertanam di dalam diri orang

(9)

atau mengendalikan pola hidup masyarakat Jepang. Konsep malu yang khas ini telah membentuk suatu pola tingkah laku yang memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan pola dalam masyarakat lain.

Sebuah filsuf konfusius kuno di Jepang mengatakan “kesalahan mendasar

kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya” (the real fault is to have faults and not to amend it). Setiap kali seorang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu ia akan menggugat diri dengan melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai bunuh diri karena malu (http://www.antaranews.com/).

Ajaran Konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi juga dalam keseharian bersosialisasi dengan masyarakat. Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan perilaku bermasyarakat dalam memahami konsep respect dan rasa malu. Respect berarti tahu diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dan rasa malu merupakan sebuah tolak ukur dalam menentukan kualitas seseorang. Mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal (minimum quality of a human being).

(10)

setidaknya bayangan adanya kehadiran orang lain. Sementara rasa berdosa tidak memerlukan hal tersebut.

Sementara Sakuta menyatakan dengan lebih luas bahwa kita merasa malu tidak saja ketika dihadapkan pada penolakan dari orang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, atau pada saat kita mendapatkan perhatian khusus dari orang lain kita juga akan merasakan malu. Menurut Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:55-59), rasa malu mempunya pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh malu yang bersifat positif adalah malu yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau di sebut dengan jiko kenji. Sedangkan pengaruh malu yang bersifat negatif, adalah pengaruh malu yang mencegah seseorang dalam bertindak atau di sebut dengan sifat teishisei dan sifat hikaeme. Serta dianggap sebagai dampak dari penerapan budaya malu masyarakat

Jepang.

1.4.2. Kerangka Teori

Teori merupakan asas atau hukum-hukum umum yang menjadi dasar atau pedoman suatu ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, teori adalah aturan (tuntutan kerja) untuk melakukan sesuatu, menurut Moeliono dalam Sangidu (2007:13). Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret, suatu teori yang dipakai peneliti sebagai kerangka yang memberi pembahasan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam kenyataan masyarakat yang harus diperhatikan.

(11)

budaya yang ada serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku budaya tersebut (Moleong, 1994:8). Dalam pendekatan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu.

Berbicara mengenai budaya malu dan jugun ianfu, erat sekali hubungannya dengan sejarah Jepang. Menurut Nazir (1988:55), sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk untuk mencari kebenaran. Maka dari itu, selain menggunakan pendekatan fenomenologis, penulis juga menggunakan pendekatan historis.

(12)

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui secara jelas bagaimana konsep Budaya Malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang

2. Untuk mendeskripsikan realisasi Budaya Malu masyarakat Jepang dalam konteks pertanggungjawaban terhadap para korban jugun ianfu di

Indonesia

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Menambah pengetahuan tentang Budaya Malu masyarakat Jepang

2. Menambah pemahaman tentang konsep Budaya Malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang

3. Menambah referensi atau informasi untuk penelitian lain yang berhubungan dengan Budaya Malu masyarakat Jepang.

1.6. Metode Penelitian

Secara etimologis, metode berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti

(13)

Drs. Agum M. Hardjana, metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai (http://carapedia.com/).

Metode penelitian merupakan salah satu hal yang sangat diperlukan dalam melakukan penelitian, yaitu untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada pembaca. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara alamiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Untuk itu, dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif.

Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Metode deskriptif termasuk dalam cakupan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, dan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

(14)

Penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktivitas yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Beberapa aspek yang yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Data yang diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat sitarik kesimpulan (Nasution, 1996:14).

Referensi

Dokumen terkait