REALISASI BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG DILIHAT DARI PERTANGGUNGJAWABAN BANGSA JEPANG TERHADAP KORBAN
JUGUN IANFU DI INDONESIA PASCA PERANG DUNIA II
NIBANGME NO SEKAI TAISEN GO NO INDONESIA NI JUGUN IANFU NO KENSHIN NI TAISHITE NIHONSHAKAI NO SEKININ KARA
MIRARETE NIHONSHAKAI NO HAJI BUNKA NO JITSUGEN
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu persyaratan mengikuti
ujian Sarjana bidang ilmu Sastra Jepang
Oleh
SAMUEL. H. M. MANIK 070708027
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
REALISASI BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG DILIHAT DARI PERTANGGUNGJAWABAN BANGSA JEPANG TERHADAP KORBAN
JUGUN IANFU DI INDONESIA PASCA PERANG DUNIA II
NIBANGME NO SEKAI TAISEN GO NO INDONESIA NI JUGUN IANFU NO KENSHIN NI TAISHITE NIHONSHAKAI NO SEKININ KARA
MIRARETE NIHONSHAKAI NO HAJI BUNKA NO JITSUGEN
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu persyaratan mengikuti
ujian Sarjana bidang ilmu Sastra Jepang
Oleh
SAMUEL. H. M. MANIK 070708027
PEMBIMBING I
Zulnaidi, S.S, M. Hum. NIP. 196708072004011001
PEMBIMBING II
Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum. NIP. 196009191988031001
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui Oleh :
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Departemen Sastra Jepang Ketua,
PENGESAHAN Diterima Oleh :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Pada : Tanggal : Hari :
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M. A NIP. 195110131976031001
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. ( )
2. ( )
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “REALISASI
BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG DILIHAT DARI
PERTANGGUNGJAWABAN BANGSA JEPANG TERHADAP KORBAN JUGUN IANFU DI INDONESIA PASCA PERANG DUNIA II”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari
segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara
terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi
kekurangan-kekurangan tersebut.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:
1. Bapak Drs. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra
Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Zulnaidi, S.S, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing serta memberikan
arahan dan dorongan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
4. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing II, yang
telah membimbing, memeriksa, dan memberikan saran-saran serta masukan
dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan penulisan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang
telah memberikan ilmu dan pendidikan kepada penulis selama duduk di
bangku perkuliahan.
6. Seluruh staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang
telah membantu penulis dalam hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini.
7. Orang tua tercinta, Ayahanda Edison Manik dan Ibunda Nurmasinta Purba
yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama masa
pendidikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda terimakasih atas segenap
cinta, kasih sayang dan dukungan yang selalu kalian berikan sampai hari ini.
8. Yang tersayang Lia Indriani Tobing, yang tidak pernah lelah untuk
membantu dan memberikan dukungan kepada penulis selama kuliah hingga
penyelesaian skripsi ini. Uda Sediman Manik yang selalu menjaga dan
memperhatikan penulis sejak kecil hingga sekarang. Juga sahabat-sahabatku
Saefudin Zuhri Dalimunthe, Vernando Simanullang, Nelson Silalahi, Otorio
Siregar, Indy oioi(Alm.), Dwi Nuriza Nasution, Veni Pratama Nasution,
Hany Humaira, Rizayu Paradita, Yuni Amanda Sari, Erma Dani Sembiring,
dan Frans ‘Kodok’ Sitorus. Terimakasih udah jadi kelurga dan sahabat
terbaikku yang selalu memberi semangat dan dukungan.
9. Rekan-rekan seperjuangan, angkatan 2007 Departemen Sastra Jepang,
10. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi
ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan,
baik dari isi maupun uraianya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.
Medan, 21 Januari 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 . Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 . Perumusan Masalah ... 7
1.3 . Ruang Lingkup Pembahasan ... 8
1.4 . Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 8
1.5 . Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
1.6 . Metode Penelitian ... 12
BAB II KONSEP BUDAYA MALU SEBAGAI KARAKTERISTIK BANGSA JEPANG DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA ... 15
2.1. Konsep Malu dalam Masyarakat Jepang ... 15
2.1.1. Kouchi (Malu Umum) ... 16
2.1.2. Shichi (Malu Khusus) ... 19
2.2. Kouchi, Shichi dan Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang ... 22
2.2.1. Kouchi dan Shichi dalam Keluarga ... 22
2.2.3. Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang ... 27
2.3. Sejarah Jugun Ianfu ... 30
2.3.1. Peran Wanita pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia ... 30
2.3.2. Peristiwa Terjadinya Jugun Ianfu ... 32
2.3.3. Berakhirnya Jugun Ianfu ... 37
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP KORBAN JUGUN IANFU DI INDONESIA SEBAGAI WUJUD REALISASI BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG ... 40
3.1. Permintaan Maaf Oleh Pemerintah Jepang ... 40
3.2. Ganti Rugi Terhadap Korban Jugun Ianfu ... 43
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 54
4.1. Kesimpulan ... 54
4.2. Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak.
Beberapa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya senioritas
(nenkoujoretsu), budaya malu, dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis didalam
skripsi ini akan menganalisis tentang budaya malu masyarakat Jepang.
Malu adalah suatu reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik dari
orang lain, atau timbul pada saat ditertawakan orang lain. Rasa malu berarti
mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya.
Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi
masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang mendasarkan tindakan mereka pada suatu
ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan menimbulkan malu atau tidak. Jika
iya, maka mereka akan berusaha untuk menghindari tindakan tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa bagi orang Jepang, standar untuk menilai baik atau buruknya
suatu tindakan adalah malu. Dan pihak yang menilainya adalah masyarakat dan
diri sendiri, bukan keberadaan Tuhan. Hal ini didefenisikan sebagai budaya malu
umum (kouchi). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung mengarah keluar (masyarakat), bukan ke dalam dirinya. Sifat mengarah keluar
inilah yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gaimenteki. Dan sifat
gaimenteki (mengarah keluar) ini merupakan suatu ciri dari budaya malu.
Malu muncul dikarenakan ketidak mampuan membalas budi dari orang
lain, atau disebut on (konsep kebaikan), yang terdiri dari giri (mengabdi memikirkan untung rugi) dan gimu (pembalasan kebaikan setulus hati). Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran,
Menurut paham Shintoisme dan Budhisme diajarkan bahwa nilai yang
paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktifitas mereka
difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut. Dan seseorang yang tahu malu
di defenisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang
terhormat.
Pada dasarnya orang Jepang akan merasa malu jika dikritik atau
ditertawakan orang lain. Akan tetapi, konsep tersebut belum dapat menampilkan
seluruh segi dari konsep malu, khususnya konsep malu yang ada di dalam diri
orang Jepang. Ternyata bukan hanya kritikan dan tertawaan orang lain yang dapat
membuat orang Jepang merasa malu. Konsep yang lebih dapat mengungkapkan
pemikiran malu dalam diri orang Jepang adalah ketika seseorang mendapat
perhatian yang sifatnya khusus dari orang lain. Juga berupa penilaian pihak lain
yang bersifat positif, seperti pujian dan sanjungan. Maksudnya, budaya malu
bukanlah sekedar balas budi, atau tidak hanya sebatas kritikan, sindiran dan
cemoohan dari pihak lain. Akan tetapi, perhatian berupa pujian dan sanjungan pun
mempengaruhi ada atau tidaknya rasa malu dalam diri seseorang. Yaitu malu yang
bertolak ukur pada diri sendiri (naimenteki), dan tidak mengacu pada penilaian dari pihak lain (gaimenteki). Budaya malu seperti ini disebut dengan malu khusus (shichi).
Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Dua faktor yang
paham. Shikou no kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yang bersangkutan.
Sedangkan yuretsu kijun merupakan standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain, yaitu standard
superior (makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain) dan standard
inferior (makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain).
Peran keluarga sangat berkaitan dalam budaya malu, yaitu keluarga
mengatas namakan rasa malu pada proses pembelajaran norma dan kaidah
kehidupan. Maka dari itu, keluarga yang pada dasarnya dipimpin oleh orang tua,
berperan aktif dalam menanamkan rasa malu pada setiap keluarganya. Shichi atau malu khusus yang berhubungan erat dengan shikou no kuichigai dan yuretsu kijun, merupakan hal yang sangat mempengaruhi ada tidaknya rasa malu dalam diri
seorang individu pada saat berada dalam lingkungan keluarga.
Begitu juga didalam masyarakat, dalam bersosialisasi di kalangan
masyarakat seorang individu hanya ditempatkan sebagai salah satu bagian yang
sangat kecil di dalam mekanisme sosial yang sangat besar. Sehingga
menimbulkan rasa kesepian dan ketidakberdayaan di dalam diri individu tersebut.
Rasa kesepian dan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan seorang individu
akan sangat peka terhadap perhatian orang lain. Sehingga timbul lah shiko no kuichigai dan yuretsu kijun yang secara mutlak akan menimbulkan rasa malu di dalam diri individu tersebut.
Budaya malu juga memiliki dua fungsi yaitu fungsi aktif dan pasif. Fungsi
malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan
menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh
masyarakat di sekitarnya.
Fungsi malu yang bersifat aktif dapat kita lihat dari pertanggungjawaban
bangsa Jepang yang berupa permintaan maaf dan ganti rugi kepada para korban
jugun ianfu, dan merupakan suatu realisasi budaya yang di tunjukkan oleh bangsa Jepang terhadap masyarakat dunia.
Pemerintah Jepang melakukan suatu pertanggungjawaban sebagaimana
yang diharapkan oleh masyarakat dunia untuk memperbaiki hal buruk yang
mereka lakukan di masa lalu. Mereka menetapkan kebijakan hukum yang terdiri
dari beberapa hal pokok. Yaitu, menerangkan dan mengakui fakta-fakta paksa
seksual dan kerugian yang disebabkan olehnya selama perang dunia ke-2, juga
melaksanakan tindakan sosial berupa permintaan maaf dan ganti rugi terhadap
para korban jugun ianfu, yaitu dukungan moral dan materi berupa dana kompensasi sebesar 380 juta yen dan tertuang secara resmi dalam Memorandum of Understanding (MOU) yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1997.
Fungsi malu yang bersifat pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang
dalam menonjolkan dirinya secara berlebihan. Seorang individu akan
menonjolkan diri untuk menghindari kritikan dari orang lain yang menimbulkan
gejala malu, dengan cara mencapai suatu prestasi tertentu untuk memenuhi
perannya ditengah-tengah masyarakat. Namun sifat menonjolkan diri yang
berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi sumber perhatian dan
Fungsi malu seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi
kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan suatu negara dipengaruhi oleh
karakteristik geografis negara tersebut serta mempunyai pengaruh timbal-balik
dengan karakteristik rakyatnya.
Pengertian kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
kebudayaan dalam arti luas dan kebudayaan dalam arti sempit (Ienaga Saburo
dalam Situmorang, 2006:2-3). Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara
hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata) dan tidak bersifat alamiah. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah keseluruhan hal yang terdiri dari
tradisi, ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu, Ienaga
mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat
konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan
kebudayaan dalam arti sempit adalah budaya yang berisikan sesuatu yang bersifat
semiotik.
Konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Takari, dkk (2008:5)
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Sebuah budaya berkaitan erat dengan masyarakat karena budaya itu sendiri lahir
kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Oleh
karena itu, budaya selalu dibedakan dengan kebudayaan. Budaya merupakan
sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak. Sedangkan kebudayaan
adalah sesuatu yang konkret.
Maka dari itu, dapat kita lihat bahwa contoh budaya Jepang adalah budaya
balas budi (giri), budaya senioritas (nenkoujoretsu), budaya malu, dan sebagainya. Sedangkan contoh kebudayaan Jepang adalah chanoyu, ikebana, origami, dan sebagainya (Situmorang, 2006:2).
Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi
masyarakat Jepang. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian
masyarakat pada umumnya. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang
dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya, masyarakat Jepang mendasarkan
tindakan mereka pada suatu ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan
menimbulkan malu atau tidak. Jika iya, maka mereka akan berusaha untuk
menghindari tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jepang,
standar untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu. Maka dari
itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung mengarah keluar
(masyarakat), bukan ke dalam dirinya. Sifat mengarah keluar inilah yang dalam
bahasa Jepang disebut dengan istilah gaimenteki. Dan sifat gaimenteki (mengarah keluar) ini merupakan suatu ciri dari budaya malu.
Masyarakat Jepang selain memiliki budaya malu, juga menganut
kepercayaan politheis dan merupakan masyarakat yang tidak mengenal konsep
politheis (mempercayai banyak Tuhan atau Dewa) memiliki dua istilah yang
disebut Kami dan Hotoke sebagai objek penyembahan. Jumlah Kami dan Hotoke
ini sangat banyak, bahkan roh leluhur yang sudah lama disembah juga akan
menjadi Kami atau Hotoke. Oleh karena itu objek yang disembah oleh masing-masing keluarga berbeda-beda. Ketika di rumah, anggota keluarga menyembah
dewa leluhur (sousen), ketika di perusahaan mereka menyembah dewa atau roh
orang yang telah mengabdi untuk perusahaan, ketika bekerja untuk kepentingan
wilayah mereka menyembah dewa wilayah yang disebut dengan Ubusuna gami, dan ketika bekerja untuk kepentingan negara mereka menyembah dewa negara
atau dewa kaisar (Hori Ichiro, 1968). Hal ini didukung oleh pernyataan Shintarou
dalam Mushakojuji Kinhide (1982:61) bahwa Jepang adalah unik, satu-satunya
negara tanpa Tuhan yang membimbing geraknya.
Ruth Benedict dalam bukunya “The Crysanthemum and The Sword”
(Bunga Seruni dan Pedang Samurai) mengatakan bahwa malu merupakan suatu
reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik dari orang lain, atau timbul
pada saat ditertawakan orang lain. Orang Jepang akan merasa malu jika dikritik
atau ditertawakan orang lain. Akan tetapi, konsep tersebut belum dapat
menampilkan seluruh segi dari konsep malu, khususnya konsep malu yang ada di
dalam diri orang Jepang. Ternyata bukan hanya kritikan dan tertawaan orang lain
yang dapat membuat orang Jepang merasa malu. Konsep yang lebih dapat
mengungkapkan pemikiran malu dalam diri orang Jepang adalah ketika seseorang
mendapat perhatian yang sifatnya khusus dari orang lain.
Menurut Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:42), budaya malu
saat pemerintahan Tokugawa. Berupa penanaman konsep malu yang menjelaskan
bahwa, pada masyarakat bertani di era Yayoi, seorang individu tidak mempunyai arti jika terpisah dari komunitasnya. Sedangkan bagi masyarakat berburu dan
beternak di era Yayoi, seorang individu dapat berdiri sendiri, meskipun terpisah dari komunitasnya. Sakuta juga menambahkan bahwa pada periode Tokugawa,
sistem sentralisasi pemerintahan dianggap sebagai ladang subur penerapan budaya
malu.
Selain itu, Ruth Benedict (1989) dan Sakuta Keichi dalam Raphaela
Dwianto (1991) menganalisa budaya malu masyarakat Jepang dari dua sisi
berbeda.
Pertama, Ruth Benedict (1989:338) menyatakan bahwa, malu muncul
dikarenakan ketidak mampuan membalas budi dari orang lain, atau disebut on,
yang terdiri dari giri dan gimu. Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan. Benedict juga
menambahkan bahwa, malu yang dimiliki masyarakat Jepang bukan malu yang
muncul karena keberadaan Tuhan atau takut karena dosa. Akan tetapi, lebih
kepada malu yang muncul dengan adanya keberadaan pihak lain.
Menurut paham Shintoisme dan Budhisme diajarkan bahwa nilai yang
paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktifitas mereka
difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut. Dan seseorang yang tahu malu
di defenisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang
terhormat (Ruth Benedict, 1989:234). Sedangkan malu yang bertolak ukur
pengabdian seorang manusia kepada Sang Pencipta, sebagai makhluk yang lemah
dan tidak luput dari salah dan khilaf.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat
Jepang adalah masyarakat yang bertindak pada suatu ukuran yang dijadikan dasar
untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan akan menimbulkan perasaaan
malu atau tidak. Jadi, standar penilaian baik buruknya suatu tindakan adalah malu.
Dan pihak yang menilainya adalah masyarakat dan diri sendiri, bukan keberadaan
Tuhan. Hal ini didefenisikan sebagai budaya malu umum (kouchi).
Kedua, Sakuta Keichi dalam Raphaela Dwianto (1991:14) menyatakan
bahwa budaya malu Masyarakat Jepang bukan hanya sebatas balas budi, namun
juga berupa penilaian pihak lain yang bersifat positif, seperti pujian dan sanjungan.
Maksudnya, budaya malu bukanlah sekedar balas budi, atau tidak hanya sebatas
kritikan, sindiran atau cemoohan dari pihak lain. Akan tetapi, perhatian berupa
pujian dan sanjungan pun mempengaruhi ada atau tidaknya rasa malu dalam diri
seseorang. Budaya malu seperti ini disebut dengan malu khusus (shichi). Yaitu malu yang bertolak ukur pada diri sendiri (naimenteki), dan tidak mengacu pada penilaian dari pihak lain (gaimenteki).
Rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalas budi
orang lain dan ketika berbuat salah kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat dari
perlakuan bangsa Jepang terhadap Jugun Ianfu di Indonesia semasa
pendudukannya pada tahun 1942-1945. Jugun Ianfu merupakan istilah Jepang
terhadap perempuan penghibur tentara Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah
Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur
tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat
internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu
perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara
Jepang (http://www.ianfuindonesia.webs.com/).
Hingga sekarang para korban Jugun Ianfu ini menuntut kepada Jepang
agar sejarah kelam tersebut diakui Jepang dan dimasukkan kedalam kurikulum
pendidikan Jepang dan menuntut hak mereka dalam bentuk kompensasi dari
pemerintah Jepang (Eka Hindra, 2007:289). Hal inilah yang menimbulkan rasa
malu bagi bangsa Jepang sehingga menimbulkan keinginan untuk memperbaiki
rasa malu tersebut.
Dari hal ini, dapat kita pahami bahwa budaya malu yang terdapat pada
masyarakat Jepang adalah bagian dari budaya dalam arti sempit. Seperti yang
dikatakan Ienaga Saburo dalam Dwianto (1991:4), bahwa kebudayaan dalam arti
sempit meliputi ilmu pengetahuan, kesenian, agama, pemikiran, moral dan
lain-lain.
Dari pemahaman yang telah diuraikan tersebut, jelas lah bahwa budaya
malu yang telah tertanam dalam diri masyarakat Jepang sejak dahulu menjadi
suatu pendorong timbulnya keinginan bangsa Jepang untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara meminta maaf dan
memberikan ganti rugi kepada para korban Jugun Ianfu yang menderita pada
masa penjajahan bangsa Jepang.
Berdasarkan keterangan dan penjelasan diatas, dapat kita pahami bahwa
dengan bangsa-bangsa lain. Dan meneliti budaya malu pada masyarakat Jepang,
artinya menelaah malu sebagai suatu kebudayaan. Hal inilah yang menjadi alasan
sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menuangkannya dalam
bentuk skripsi dengan judul “Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang dilihat dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang terhadap Korban Jugun Ianfu di
Indonesia Pasca Perang Dunia II”.
1.2. Perumusan Masalah
Budaya malu merupakan salah satu tema yang sangat menarik perhatian
diantara sekian banyak tema tentang kebudayaan Jepang yang unik dan sangat
beragam. Hal ini dapat dilihat dari konsep budaya malu yang sudah menjadi
tradisi bagi masyarakat Jepang. Bahkan beberapa teori mengatakan bahwa
masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang dikendalikan oleh budaya malu.
Yang artinya standar untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan adalah
malu.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa Jugun Ianfu merupakan
sebutan bagi para wanita yang dijadikan budak seks dan pemuas nafsu para
tentara Jepang selama penjajahannya di negara-negara Asia Pasifik terutama
Indonesia pada masa Perang Dunia II. Mereka dipaksa untuk melayani para
tentara Jepang tanpa dapat menolak, dan kejadian itu merupakan hal yang sulit
untuk diterima oleh moral sosial para korban Jugun Ianfu tersebut.
Namun pemahaman atas konsep budaya malu tersebut diatas merupakan
pemahaman yang menjadi dasar pemikiran bangsa Jepang untuk
direalisasikan dalam bentuk permintaan maaf dan ganti rugi terhadap para korban
Jugun Ianfu tersebut.
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep budaya malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang?
2. Bagaimana realisasi budaya malu masyarakat Jepang dalam
mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap para korban Jugun
Ianfu di Indonesia pasca Perang Dunia II?
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Untuk memudahkan dalam menganalisa topik permasalahan, penulis
membatasi ruang lingkup pembahasan. Sehingga masalah yang akan dibahas lebih
terarah.
Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada penerapan
budaya malu masyarakat Jepang dilihat dari pertanggungjawaban terhadap para
korban jugun ianfu pasca Perang Dunia II yang diwujudkan dalam bentuk
permintaan maaf dan memberikan ganti rugi terhadap para korban Jugun Ianfu.
Selain itu, agar lebih jelas penulis juga menjelaskan konsep budaya malu yang
tertanam di dalam diri masyarakat Jepang sebagai karakteristik bangsa Jepang.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka
atau mengendalikan pola hidup masyarakat Jepang. Konsep malu yang khas ini
telah membentuk suatu pola tingkah laku yang memiliki karakteristik tersendiri
dan berbeda dengan pola dalam masyarakat lain.
Sebuah filsuf konfusius kuno di Jepang mengatakan “kesalahan mendasar
kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya” (the real fault
is to have faults and not to amend it). Setiap kali seorang Jepang membuat
kesalahan fatal, karena malu ia akan menggugat diri dengan melakukan meditasi
dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai
bunuh diri karena malu (http://www.antaranews.com/).
Ajaran Konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi
sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam
keseharian keluarga, tapi juga dalam keseharian bersosialisasi dengan masyarakat.
Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan perilaku
bermasyarakat dalam memahami konsep respect dan rasa malu. Respect berarti
tahu diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi
juga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dan rasa malu merupakan sebuah
tolak ukur dalam menentukan kualitas seseorang. Mereka yang tidak memiliki
rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal (minimum quality of a human
being).
Ruth Benedict (1989:223) mengatakan bahwa malu adalah suatu reaksi
terhadap kritik orang lain. Seseorang merasa malu apabila ia dijadikan
bulan-bulanan atau ditolak dihadapan orang lain, atau dengan membayangkan bahwa
dirinya telah dijadikan bulan-bulanan. Dalam kasus manapun, malu merupakan
setidaknya bayangan adanya kehadiran orang lain. Sementara rasa berdosa tidak
memerlukan hal tersebut.
Sementara Sakuta menyatakan dengan lebih luas bahwa kita merasa malu
tidak saja ketika dihadapkan pada penolakan dari orang lain. Baik itu merupakan
penolakan maupun pujian, atau pada saat kita mendapatkan perhatian khusus dari
orang lain kita juga akan merasakan malu. Menurut Sakuta dalam Raphaela
Dwianto (1991:55-59), rasa malu mempunya pengaruh positif dan pengaruh
negatif. Pengaruh malu yang bersifat positif adalah malu yang mendorong
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau di sebut dengan jiko kenji. Sedangkan pengaruh malu yang bersifat negatif, adalah pengaruh malu yang
mencegah seseorang dalam bertindak atau di sebut dengan sifat teishisei dan sifat
hikaeme. Serta dianggap sebagai dampak dari penerapan budaya malu masyarakat Jepang.
1.4.2. Kerangka Teori
Teori merupakan asas atau hukum-hukum umum yang menjadi dasar atau
pedoman suatu ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, teori adalah aturan (tuntutan
kerja) untuk melakukan sesuatu, menurut Moeliono dalam Sangidu (2007:13).
Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari
alam abstrak ke alam konkret, suatu teori yang dipakai peneliti sebagai kerangka
yang memberi pembahasan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang
banyaknya dalam kenyataan masyarakat yang harus diperhatikan.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan fenomenologis. Pendekatan
budaya yang ada serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku
budaya tersebut (Moleong, 1994:8). Dalam pendekatan fenomenologis, peneliti
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang
dalam situasi tertentu.
Berbicara mengenai budaya malu dan jugun ianfu, erat sekali
hubungannya dengan sejarah Jepang. Menurut Nazir (1988:55), sejarah adalah
pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi
yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis
berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk untuk mencari kebenaran.
Maka dari itu, selain menggunakan pendekatan fenomenologis, penulis juga
menggunakan pendekatan historis.
Penelitian sejarah merupakan penelitian yang bertujuan untuk membuat
rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, yang dilakukan dengan
cara mengumpulkan, mengevaluasi, mensintesis, memverifikasi bukti-bukti untuk
menegakkan fakta-fakta, dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Ginting,
2006:24). Penelitian dengan menggunakan pendekatan sejarah penyelidikan yang
kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa
lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas
dari sumber sejarah serta interpretasi dan sumber-sumber keterangan tersebut.
Dengan pemikiran tersebut, penulis akan berusaha mendeskripsikan bagaimana
konsep budaya malu masyarakat Jepang dan wujudnya dalam
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui secara jelas bagaimana konsep Budaya Malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang
2. Untuk mendeskripsikan realisasi Budaya Malu masyarakat Jepang dalam konteks pertanggungjawaban terhadap para korban jugun ianfu di
Indonesia
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Menambah pengetahuan tentang Budaya Malu masyarakat Jepang
2. Menambah pemahaman tentang konsep Budaya Malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang
3. Menambah referensi atau informasi untuk penelitian lain yang
berhubungan dengan Budaya Malu masyarakat Jepang.
1.6. Metode Penelitian
Secara etimologis, metode berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti
melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh
untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah
Drs. Agum M. Hardjana, metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak
dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan
yang hendak dicapai (http://carapedia.com/).
Metode penelitian merupakan salah satu hal yang sangat diperlukan dalam
melakukan penelitian, yaitu untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan
disampaikan penulis kepada pembaca. Metode penelitian pada dasarnya
merupakan cara alamiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan
tertentu. Untuk itu, dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan metode
deskriptif.
Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan
suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan,
mengkaji dan menginterpretasikan data. Metode deskriptif termasuk dalam
cakupan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan
lain-lain, dan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Menurut Koentjaraningrat dalam Exe Citra (2006:12), penelitian yang
bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai
suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data
yang diperoleh akan dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan sekaligus dikaji dan
kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan
Penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan
merupakan studi aktivitas yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Beberapa
aspek yang yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan
penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan
data dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian.
Data yang diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat sitarik
kesimpulan (Nasution, 1996:14).
Di samping itu, penulis juga memperoleh data-data dari beberapa situs di
internet berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Seluruh data-data yang
didapat baik dari proses studi kepustakaan maupun data internet, akan dianalisa
BAB II
KONSEP MALU BAGI MASYARAKAT JEPANG DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA
2.1. Konsep Malu dalam Masyarakat Jepang
Menurut Ruth Benedict (1989:232), di dalam studi-studi antropologis
mengenai berbagai kebudayaan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma
moralitas yang absolut dan mengandalkan dikembangkannya suatu nurani oleh
para penganutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Tetapi orang di dalam
masyarakat yang demikian juga menderita karena rasa malu kalau ia menuduh
dirinya sendiri dengan kekakuan-kekakuan yang sama sekali bukan dosa. Ia bisa
merasa menyesal hanya karena tidak berbusana layak untuk suatu kesempatan,
atau karena salah berbicara.
Dalam masyarakat dimana rasa malu merupakan sanksi utama, orang
menyesali tindakan-tindakan yang oleh umum dianggap seharusanya membuat
orang merasa bersalah. Penyesalan ini bisa mendalam sekali dan tidak dapat
diperingan, seperti halnya rasa bersalah dapat diperingan dengan suatu pengakuan
atau penebusan.
Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur
pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan shichi
2.1.1. Kouchi atau Malu Umum
Malu merupakan suatu reaksi psikologis. Dalam ilmu psikologi dikatakan
bahwa reaksi timbul karena adanya suatu rangsangan, baik dari luar diri orang
yang bersangkutan maupun dari dalam diri sendiri. Dalam bahasa Jepang,
rangsangan yang berasal dari luar diri orang yang bersangkutan disebut bersifat
gaimenteki sedangkan yang berasal dari dalam diri sendiri disebut bersifat
naimenteki.
Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain.
Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau dia
membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu
merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau
setidaknya hadirin dalam khayalan orang (Ruth Benedict, 1989:233).
Ruth Benedict (1989:105) juga menjelaskan bahwa malu akan muncul
apabila seseorang tidak mampu menunaikan kewajibannya dengan baik. Oleh
sebab itu, bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya kewajiban. Dan
kewajiban itu mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang
paling kecil, yaitu on. On berarti suatu hutang atau suatu beban yang harus ia pikul sebaik mungkin.
Hal tersebut juga dikuatkan oleh skema kewajiban-kewajiban bangsa
Jepang dan pemenuhannya yang dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:125), yang
isinya antara lain:
ko on : on yang diterima dari kaisar.
oya on : on yang diterima dari orang tua.
nushi no on : on yang diterima dari majikan atau tuan.
shi no on : on yang diterima dari guru.
II. Pemenuhan on. Si penerima on membayar kembali utang-utang ini; ia memenuhi kewajiban-kewajiban ini terhadap orang –on nya. Artinya : ini
adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayaranya kembali secara
aktif. Ada dua jenis pemenuhan on :
A. Gimu : Pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu
pembayarannya.
chu : kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara.
ko : kewajiban terhadap orang tua dan nenek moyang.
nimmu : kewajiban terhadap pekerjaan seseorang
B. Giri : Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima, dan ada batas waktu
pembayarannya.
1. Giri terhadap dunia.
- Kewajiban terhadap tuan pelindung.
- Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh.
- Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on
yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu
kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan (dalam suatu
- Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat (paman,
bibi, kemenakna pria dan wanita) walaupun on yang diterima bukan berasal dari mereka, melainkan dari nenek moyang yang
sama.
2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre.
- Kewajiban seseorang untuk membersihkan reputasinya dari
penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban
membalas dendam.
- Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui
kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan
jabatannya.
- Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun
Jepang, misalnya melaksanakan semua perilaku ketakziman,
tidak hidup diatas tempatnya yang sesuai, mengekang
pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak
cocok, dan seterusnya.
Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa malu merupakan suatu
reaksi yang timbul akibat adanya rangsangan berupa kritik dan sejenisnya dari
orang lain.
Ruth Benedict (1989:233) juga menyebutkan bahwa kebudayaan yang
benar-benar berdasarkan rasa malu, mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah
laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan
2.1.2. Shichi atau Malu Khusus
Pada dasarnya malu akan timbul ketika seseorang mendapat kritik dari
orang lain. Akan tetapi, bagi masyarakat Jepang rasa malu juga akan timbul pada
saat ia mendapat pujian. Seperti yang dikatakan Sakuta dalam Raphaela Dwianto
(1991:14), kita merasa malu hanya ketika kita dihadapkan pada penolakan dari
orang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, pada saat kita
mendapat perhatian khusus dari orang lain pun, kita akan merasa malu.
Dari pernyataan Sakuta tersebut dapat kita simpulkan bahwa selain kritik,
perhatian khusus dari orang lain juga dapat menimbulkan malu dalam diri orang
Jepang. Hal inilah yang disebut shichi atau malu khusus. Namun, muncul atau tidaknya shichi pada diri seseorang tergantung pada bagaimana ia menempatkan keberadaannya.
Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Berikut ini merupakan
dua faktor yang menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu
Shikou no Kuichigai dan Yuretsu Kijun.
1. Shikou no Kuichigai
Shikou no Kuichigai ialah salah pengertian atau salah paham. Shikou no Kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yang bersangkutan yang disebut juga dengan naimenteki. Faktor ini muncul akibat dari adanya perhatian khusus dari pihak lain, sehingga timbul rasa malu di dalam diri
orang yang bersangkutan.
Max Scheler dalam Raphaela Dwianto (1991:16-17) mengemukakan
Manusia digolongkan sebagai eksistensi universal dan eksistensi partikular. Pada
saat anda mengharap dilihat sebagai manusia universal, meskipun orang lain
memperhatikan anda sebagai eksistensi tersebut, anda tidak akan merasa malu
(dalam kasus pragawati atau pasien). Di lain pihak, pada saat anda mengharapkan
dilihat sebagai individu, dan anda diperhatikan seperti yang anda harapkan, maka
akan sama halnya (dalam kasus sepasang kekasih).
Dari pendapat Max Scheler tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa
eksistensi seseorang dapat dilihat sebagai suatu eksistensi universal dan eksistensi
partikular. Ketika seseorang berada pada eksistensi universal, maka orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang umum. Dan ketika seseorang berada pada
eksistensi partikular, orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang khusus. Ketika berada di dalam dua golongan eksistensi ini, seseorang akan
menjadi individu dan orang lain dalam dua posisi yang berbeda. Seseorang tidak
akan merasa malu selama tidak terjadi kesalah pahaman dalam menilai eksistensi
ini. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam kasus pragawati. Mereka tidak akan
malu berjalan di atas panggung meskipun ditatap oleh ratusan orang. Hal ini
terjadi akibat adanya kesadaran bahwa pada saat itu mereka berada dalam
eksistensi universal dan orang-orang yang melihat mereka pun menempatkan dan
menganggap mereka sebagai suatu eksistensi universal. Sebagai contoh lain, dapat
kita lihat dalam suatu pasangan. Seseorang tidak akan merasa malu ketika
pasangan nya memberikan perhatian khusus. Orang tersebut akan menempatkan
dirinya dalam eksistensi partikular dan pasangannya tersebut juga melihatnya
dalam eksistensi partikular.
Namun, tidak jarang juga terjadi kesalah pahaman dalam diri seseorang
ketika berada di dalam eksistensi ini yang menyebabkan timbulnya rasa malu di
Hal ini dapat kita lihat pada kasus seorang pasien yang canggung atau
malu ketika memeriksakan dirinya ke dokter. Pada dasarnya, setiap dokter akan
menempatkan dirinya kedalam eksistensi universal. Namun beberapa pasien
menempatkan dirinya ke dalam eksistensi partikular. Kesalah pahaman seperti
inilah yang biasanya akan menimbulkan rasa malu.
Dari sini dapat kita lihat bahwa shiko no kuichigai merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan rasa malu bagi orang Jepang. Dan dapat kita
simpulkan bahwa malu yang timbul merupakan malu yang berasal dari dalam diri
orang yang bersangkutan yaitu shichi.
2. Yuretsu Kijun
Yuretsu Kijun merupakan faktor kedua yang dapat menimbulkan shichi. Yaitu standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri
sendiri dengan orang lain.
Di dalam yuretsu kijun, terdapat dua golongan standar yang selalu digunakan orang Jepang yaitu superior dan inferior. Superior merupakan makna
yang menyatakan lebih baik daripada orang lain, sedangkan inferior ialah makna
kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain. Dengan adanya yuretsu kijun, seseorang akan masuk ke dalam golongan superior atau inferior.
Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:22) berpendapat bahwa selain
berlaku secara umum di masyarakat luas, yuretsu kijun juga berlaku secara khusus dan bersifat pribadi. Berikut pernyataan Sakuta mengenai hal tersebut:
Akan tetapi, standar superior dan inferior yang menjadi dasar timbulnya malu ini
tidak selalu merupakan standar yang berlaku di dalam kelompok di mana
seseorang menjadi anggotanya. Ada pula standar yang lebih luas (misalnya kelas,
Dari pernyataan Sakuta diatas, dapat kita lihat bahwa yuretsu kijun
menjadi dasar timbulnya malu. Berbeda dengan Benedict yang dalam konsepnya
tidak menjelaskan adanya standar tertentu yang dipakai masyarakat dalam
mengkritik seseorang, Sakuta di sini secara jelas menagatakan bahwa adanya
yuretsu kijun yang digunakan dalam menilai kadar superior dan inferior seseorang, yang kemudian menjadi dasar bagi timbulnya malu di dalam diri orang tersebut.
Di sini dapat kita lihat dengan jelas bahwa shichi yang melibatkan yuretsu kijun ini, rangsangannya berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan. Dan hal inilah yang membedakannya dari kochi yang proses timbulnya hanya dikaitkan dengan faktor rangsangan dari luar diri orang tersebut.
Konsep malu umum atau kochi yang dikemukakan oleh Ruth Benedict bahwa rasa malu timbul karena adanya rangsangan berupa kritik dari masyarakat,
menurut Sakuta belum cukup untuk menimbulkan gejala malu. Dasar bagi
timbulnya malu adalah adanya perhatian dari orang lain. Perhatian ini melibatkan
adanya shikou no kuichigai dan yuretsu kijun. Sakuta menegaskan bahwa di balik segala kritik dan ejekan orang lain, terdapat hal yang lebih mendasar yang dapat
menimbulkan malu yaitu perhatian dari orang lain.
2.2. Kouchi, Shichi dan Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang 2.2.1. Kouchi dan Shichi dalam Keluarga
Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang tekun, ulet, disiplin dan
berdedikasi tinggi. Karakteristik bangsa Jepang ini tidak diperoleh secara instan,
untuk kemudian diwariskan ke cucu dan keturunan selanjutnya. Keluarga menjadi
tempat pendidikan awal bagi anak sebelum memasuki masyarakat yang lebih luas.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang peranan nya
sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena keluarga
mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam kelangsungan hidup
bermasyarakat. Fungsi yang sangat penting itu terutama dijumpai pada
peranannya untuk melakukan sosialisasi, yang bertujuan untuk mendidik warga
masyarakat agar memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianut, untuk
pertama kalinya diperoleh dalam keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto (1992:40) bahwa pola perilaku yang benar dan tidak
menyimpang untuk pertama kalinya dipelajari dari keluarga.
Keluarga juga merupakan tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar
mengenal lingkungan di sekitarnya. Selain itu, keluarga juga menekankan
nilai-nilai dan pendidikan moral dengan maksud agar anak tersebut dapat bergaul dan
diterima dengan baik di lingkungan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang
dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:280) bahwa pembelajaran budaya malu
dimulai dari sikap sopan dalam hal duduk melipat kaki, adab membungkuk, adab
anak perempuan dalam hal tidur, adab sopan di meja makan, dan adab memegang
sumpit, bahkan juga adab bertindak dalam pengetahuan pertamanya dalam ilmu
seksologi.
Pada umumnya, seorang individu akan berusaha semampunya untuk
meraih prestasi maksimal pada masa remaja. Karena, ketika seorang individu
tersebut berada pada tahap pendidikan sekolah dasar, ia telah diajarkan mengenai
keluarganya apabila si anak tersebut memiliki kebiasaan buruk di sekolah yang
menyebabkan prestasinya kurang memuaskan. Sehingga ketika ia sudah dewasa,
apabila cita-cita yang ia harapkan tidak tercapai, akan timbul rasa malu di dalam
diri individu tersebut.
Menurut Ruth Benedict (1989:225), kaitan keluarga dengan budaya malu
ialah, keluarga mengatas namakan rasa malu pada proses pembelajaran norma dan
kaidah kehidupan. Maka dari itu, keluarga yang pada dasarnya dipimpin oleh
orang tua, berperan aktif dalam menanamkan rasa malu pada setiap keluarganya.
Seperti pengenalan displin waktu belajar dan bermain, penanaman prinsip bahwa
seorang anak akan malu akibat menangis, dan pemahaman konsep yang
mengajarkan bahwa anak laki-laki lebih berkuasa dari anak perempuan.
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, shichi atau malu khusus yang berhubungan erat dengan shikou no kuichigai dan yuretsu kijun, merupakan hal yang sangat mempengaruhi ada tidaknya rasa malu dalam diri seorang individu
pada saat berada dalam lingkungan keluarga. Selain itu Sakuta dalam Raphaela
Dwianto (1991:35) juga menyebutkan bahwa kedudukan keluarga dalam
masyarakat sangat lemah. Pada umumnya, ketika salah seorang anggota keluarga
diadili oleh masyarakat, keluarga tidak akan melindungi anggotanya tersebut
bahkan ikut mengadilinya. Hal ini terjadi akibat keluarga merasa anggota tersebut
pantas untuk menerima hukuman, karena dianggap telah membuat malu
keluarganya di mata masyarakat.
Dari sini dapat kita lihat bahwa keluarga tidak dapat menolak penilaian
masyarakat dan tunduk pada tuntutan masyarakat. Dan jelas bahwa kedudukan
psikologis bagi anggota keluarga dan dianggap sebagai sifat mengarah keluar atau
gaimenteki, berupa standarisasi penilaian pihak lain.
Sifat gaimenteki ini akan menimbulkan perasaan di dalam diri anggota keluarga bahwa dirinya tidak memiliki arti penting dan muncul rasa kesepian. Dan
pada situasi seperti ini biasanya akan mudah timbul kesalah pahaman akibat
terlalu pekanya perasaan individu tersebut terhadap perhatian dari orang lain yaitu
yang disebut dengan shikou no kuichigai dan juga akan berlanjut kearah sifat
yuretsu kijun di dalam dirinya.
2.2.2. Kouchi dan Shichi dalam Masyarakat
Pada masyarakat Jepang, proses sosialisasi dirasakan sangat penting
karena dalam sudut pandang kemasyarakatan, hal itu dilakukan untuk menjaga
agar masyarakat terus memiliki anggota yang berkualifikasi (Lebra, 1976;137).
Berkualifikasi maksudnya adalah mengerti dan mampu menjalankan nilai-nilai
yang dianut dalam masyarakatnya untuk kemudian menjadikannya sebagai
identitas diri atau karakter.
Masyarakat luas dalam bahasa Jepang diartikan sebagai taishu shakai. Tadashi Fukutake (1988:116) mendefenisikan taishu shakai sebagai berikut :
Taishu shakai mengacu kepada masyarakat yang beranggotakan sejumlah besar
individu. Individu-individu di dalam masyarakat tersebut saling terpisah, tidak
membentuk organisasi yang satu dan menyeluruh secara erat. Tidak terdapat
ikatan erat antar individu. Tiadanya hubungan erat ini menyebabkan rasa
kesepian dan rasa tidak aman di dalam diri individu.
Masyarakat taishu shakai muncul di Jepang sekitar tahun 1920-an, tepatnya setelah Perang Dunia I berakhir menjelang timbulnya fasisme Jepang.
Dunia II berakhir yang juga merupakan awal mula pendudukan Amerika Serikat,
dan terus berlangsung hingga saat ini.
Masyarakat taishu shakai merupakan masyarakat yang tidak memiliki ikatan emosional yang erat antar individu. Hubungan yang sering terjadi di antara
individu hanya hubungan formal yang tidak akrab. Di dalam masyarakat taishu shakai juga tidak terdapat satu tradisi atau adat istiadat yang yang sama (Soerjono Soekanto, 1985:26). Hal inilah yang merupakan penyebab tidak dapat terjalinnya
hubungan erat antar individu.
Seperti pendapat Tadashi Fukutake tersebut diatas, individu dalam
masyarakat taishu shakai tidak saling memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Tidak adanya ikatan erat ini menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap
pandangan individu-individu lain yang ada di sekitarnya. Adanya pandangan atau
perhatian dari orang lain, akan menyebabkan seseorang menempatkan dirinya
pada eksistensi universal atau partikular yang menimbulkan munculnya shiko no kuichigai dan berakhir dengan timbulnya gejala malu.
Dalam masyarakat taishu shakai terdapat suatu sistem sosial masyarakat yang mutlak, yaitu seorang individu hanya ditempatkan sebagai salah satu bagian
yang sangat kecil di dalam mekanisme sosial yang sangat besar. Sehingga
menimbulkan rasa kesepian dan ketidakberdayaan di dalam diri individu tersebut.
Rasa kesepian dan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan seorang individu
2.2.3. Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang
Malu bagi bangsa Jepang memiliki fungsi yang sangat penting dan sangat
mempengaruhi karakteristik masyarakatnya sendiri. Secara umum, fungsi malu di
dalam mayarakat Jepang terbagi menjadi 2 yaitu fungsi malu yang bersifat aktif
dan fungsi malu yang bersifat pasif.
1. Fungsi Aktif
Fungsi malu berhubungan erat dengan status dan peran. Fungsi aktif yang
dimaksud di sini adalah fungsi malu yang dapat mendorong seorang individu
untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan status dan peran nya di dalam
masyarakat sekitarnya. Sebagai mana pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto (1990:264) bahwa di dalam setiap kalangan masyarakat, setiap
anggotanya memiliki status dan peran masing-masing. Pembagian status dan
peran ini sangat perlu untuk mempertahankan tatanan masyarakat, dan
menghindarkan kemungkinan timbulnya kekacauan dalam masyarakat.
Dilihat dari defenisi nya, status dan peran hampir memiliki pengertian
yang sama. Yaitu posisi atau kedudukan seseorang di mata masyarakat. Namun
jika kita mengamatinya lebih dalam, status dan peran memiliki pengertian spesifik
yang berbeda. Status merupakan kedudukan seorang individu di dalam
masyarakatnya. Contohnya, status sebagai walikota, status sebagai bupati, status
sebagai guru dan sebagainya. Sedangkan peran merupakan pola tindakan seorang
individu dalam berinteraksi dan lebih tepatnya membantu masyarakat di
sekitarnya. Sebagai contohnya dapat kita lihat seorang polisi. Seorang polisi pada
hakekatnya merupakan seseorang yang berperan besar dalam menolong dan
dalam memberantas kejahatan, menertibkan lalu lintas dan sebagainya sesuai
dengan statusnya sebagai seorang polisi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat
Soerjono Soekanto (1985:37) bahwa status adalah posisi seseorang di dalam suatu
sistem sosial masyarakat, sedangkan peran adalah pola perilaku yang
berhubungan dengan dengan status orang tersebut.
Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status,
meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu
dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan
orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka
akan selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya.
Seseorang yang tidak menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat,
akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh
masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah
gagal menjalankan perannya sebagaimana yang telah dituntut oleh masyarakatnya.
Dengan demikian, malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang untuk
sedapat mungkin bertindak memenuhi perannya sesuai dengan tuntutan
masyarakat di sekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak sesuai
dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan
mewujudkannya ke dalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk
menghindari kritikan dan penolakan seperti yang telah disebutkan diatas. Maka,
fungsi malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan
menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh
2. Fungsi Pasif
Di dalam kehidupan bermasyarakat, seorang individu biasanya memiliki
sifat menonjolkan diri untuk menunjukkan keberadaan serta perannya kepada
orang-orang di sekitarnya. Orang tersebut biasanya akan berusaha menonjolkan
kemampuan intelektualnya yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga
masyarakat akan sadar dengan eksistensi orang tersebut. Misalnya, seorang guru
akan selalu bersikap ramah dan berusaha berbicara secara formal kepada
orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang-orang-orang-orang disekitarnya tersebut akan sangat
menghormati dan menjadikannya sebagai peran yang patut untuk dipanuti.
Seorang individu juga akan menghindari kritikan dari orang lain yang akan
menimbulkan gejala malu dengan sifat menonjolkan diri tersebut. Ia akan
menunjukkan kepada orang lain bahwa ia sedang berusaha atau telah mencapai
suatu prestasi tertentu, untuk memenuhi perannya ditengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi, sifat menonjolkan diri yang berlebihan akan menyebabkan
seorang individu menjadi sumber perhatian dan menimbulkan kesan negatif bagi
orang lain. Perhatian orang lain seperti ini akan menimbulkan rasa malu. Begitu
juga dengan orang lain yang melihatnya. Orang yang melihat tersebut akan
menghindari perbuatan serupa karena khawatir akan mendapat malu dan akhirnya
akan menahan tindakan-tindakan yang bersifat terlalu menonjolkan diri.
Oleh karena itu, dari sini dapat kita lihat bahwa malu juga memiliki fungsi
pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang dalam menonjolkan dirinya secara
berlebihan (Keiichi Sakuta dalam Raphaela Dwianto, 1991:55). Fungsi malu
seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang yang selalu
2.3. Sejarah Jugun Ianfu
2.3.1. Peran Wanita Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia
Jepang semasa Perang Dunia II memiliki sesuatu yang kompleks dalam
kemajuan industrinya, yaitu kemajuan industri berjalan seiring dengan
dipertahankannya apa yang disebut-sebut sebagai tradisi khas. Hal ini berarti
bahwa meskipun jepang berhasil mengadopsi kemajuan industri barat, tetapi tidak
segala-galanya pikiran barat dipakai. Jepang tetap feodal,otoriter dan fasis. Tetapi
sejalan dengan itu, industri Jepang terus merangsak maju dan persenjataan
modern juga dimiliki, sehingga dimata dunia Jepang telah menjadi kekuatan baru
yang patut diperhitungkan.
Negeri Jepang yang pada satu sisi berhadapan dengan Sekutu, dan pada
sisi yang lain dihantam oleh kontradiksi tajam di lingkungan internalnya terutama
oleh kekuatan industri dan konservatisme feodal, pada dasarnya telah
menampakkan corak rejim fasis yang vulgar. Franz Magnis (1995:27) mengatakan
bahwa kekuasaan militer yang mutlak, cara memerintah yang totaliter dan
genangan ideologi nasionalisme yang kental, merupakan sejumlah bukti dari
fasisme Jepang. Realitas perwatakan Jepang yang demikian merupakan ancaman
yang paling nyata bagi rakyat jajahannya. Tragedi kehidupan yang menimpa
rakyat tersebut pada dasarnya mengenai siapa saja, tua-muda, laki-laki atau
perempuan, tentu saja dengan skala dan bentuk yang berbeda-beda.
Segi yang menimbulkan ironi adalah bahwa apa yang secara faktual
berlangsung, dalam kenyataannya tidak semua dapat hadir berimbang dalam fakta
sejarah. Apa yang cenderung hadir adalah adanya bias gender yang menyebabkan
peran kaum perempuan di masa pendudukan Jepang sangat kecil. Hal ini
tampaknya seiring dengan pandangan yang sangat umum yang melihat bahwa
dunia perang dan perjuangan adalah wilayahnya kaum laki-laki, sedangkan kaum
perempuan hanyalah penjaga rumah atau pengasuh anak-anaknya.
Setiap perang senantiasa berisi heroisme, kekuatan, kejantanan, dan semua
atribut yang dikonstruksikan sebagai sifat laki-laki. Artinya, perang merupakan
bagian atau dunia untuk kaum laki-laki, dan perempuan hanya menjadi pelengkap
atau pendukung yang bisa aktif maupun pasif. Keterlibatan kaum perempuan
dalam perang, lebih merupakan suatu keterlibatan yang ‘dijatahkan’, ketimbang
suatu keterlibatan yang memang harus dipikulnya.
‘Penjatahan’ tersebut merupakan gambaran hidup bagi perempuan sebagai
kaum ‘rendahan’, yaitu mereka yang mengisi lapisan bawah struktur. Fakta
sejarah menggoreskan bahwa kaum perempuan dikerahkan untuk kepentingan dua
hal. Yang pertama, diperbantukan bagi keperluan organ-organ resmi Jepang, dan
diperas tenaganya dalam pekerjaan-pekerjaan massal, maupun pekerjaan yang
lazim dikatakan sebagai pekerjaan perempuan, seperti menjadi pembantu rumah
tangga, bekerja sebagai pelayan, dan lain-lain.
Yang kedua, untuk keperluan biologis balatentara jepang yaitu sebagai
‘wanita penghibur’. Hal tersebut, pada dasarnya adalah suatu pengerahan kaum
perempuan, yang diproyeksikan sebagai pemuas nafsu seks orang jepang yang ada
di negara jajahan nya pada masa pendudukan tersebut, baik kalangan militer
maupun sipil. Apa yang di hadirkan oleh pemerintahan pendudukan tersebut tidak
Praktek kedua inilah yang pada dasarnya menempatkan kaum perempuan
dalam posisi yang paling tidak beruntung, dan merupakan suatu tindakan yang
menjadi dalih lahirnya praktek Jugun Ianfu.
Jugun Ianfu atau ‘wanita penghibur’ adalah sebuah konsep yang
belakangan ini berkembang, yang menunjuk kepada setiap wanita yang
dinyatakan sebagai korban nafsu tentara Jepang selama masa pendudukan di
daerah-daerah jajahannya.
2.3.2. Peristiwa Terjadinya Jugun Ianfu
Jugun Ianfu adalah sebutan atau istilah untuk perempuan-perempuan Asia yang direkrut oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukannya semasa Perang
Dunia II untuk dijadikan budak nafsu seksual bala tentara Jepang. Diperkirakan
200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi
budak seks tentara Jepang (http://www.ianfuindonesia.webs.com/).
Sebenarnya hingga sekarang ini belum ada suatu kesepakatan bulat atas
konsep Jugun Ianfu ini. Menurut Hartono dan Juliantoro (1997:81-82), setidaknya ada dua pendapat mengenai Jugun Ianfu ini. Satu pendapat menyatakan bahwa
Jugun Ianfu adalah pelacur pada masa pendukan Jepang. Pelacur disini bermakna sebagai kaum perempuan yang memiliki profesi sebagai pekerja seks, tetapi
dalam hal ini melakukan secara khusus kepada orang-orang Jepang selama masa
pendudukan di negeri jajahannya tersebut.
Pada dasarnya penjajah memang bertujuan untuk meraih keuntungan dari
negara yang dijajah. Begitu pula yang dilakukan oleh pemerintah Jepang pada
perempuan-perempuan dari negara jajahannya sebagai pelampiasan nafsu.
Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam bagi negara-negara
bekas jajahan Jepang.
Sebagian besar masyarakat yang mengetahui adanya keterlibatan
perempuan, khususnya mereka yang dimasukkan ke dalam sebuah rumah bordil
(khusus Jepang), tidak melihat bahwa keberadaan Jugun Ianfu sebagai akibat dari sebuah sistem penjajahan. Dalam hal ini mayarakat tidak percaya bahwa praktek
yang dilakukan oleh para perempuan tersebut merupakan suatu tindakan yang
sama sekali tidak dikehendaki, suatu tindakan paksa yang tidak bisa ditolak.
Terlebih lagi posisi sosial,ekonomi dan politik mereka sangat lemah.
Pendapat lain mengatakan bahwa Jugun Ianfu adalah keseluruhan perempuan yang menjadi korban nafsu seks bangsa Jepang (apakah itu bala
tentara Jepang ataupun aparat sipil dari pemerintah Jepang tersebut). Pandangan
ini sendiri, justru banyak berkembang di kalangan masyarakat Jepang sendiri,
terutama mengacu kepada berbagai protes yang telah dilancarkan oleh kelompok
masyarakat yang memberikan dukungan kepada eks Jugun Ianfu, khususnya dari Korea, Filipina, Singapura, Cina maupun Indonesia.
Hadirnya konsep Jugun Ianfu ini, bukan saja berat bagi pihak yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, tetapi juga bagi mereka yang
mengalami atau telah dipaksa menjadi Jugun Ianfu. Masalahnya tidak semata-mata pada penderitaan, kesakitan fisik dan mental, bukan hanya pada kekerasan,
bukan hanya pada kekasaran kata, bukan hanya kemiskinan yang mereka alami