• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP BUDAYA MALU SEBAGAI KARAKTERISTIK

2.3. Sejarah Jugun Ianfu

2.3.2. Peristiwa Terjadinya Jugun Ianfu

Jugun Ianfu adalah sebutan atau istilah untuk perempuan-perempuan Asia yang direkrut oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukannya semasa Perang Dunia II untuk dijadikan budak nafsu seksual bala tentara Jepang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang (http://www.ianfuindonesia.webs.com/).

Sebenarnya hingga sekarang ini belum ada suatu kesepakatan bulat atas konsep Jugun Ianfu ini. Menurut Hartono dan Juliantoro (1997:81-82), setidaknya ada dua pendapat mengenai Jugun Ianfu ini. Satu pendapat menyatakan bahwa

Jugun Ianfu adalah pelacur pada masa pendukan Jepang. Pelacur disini bermakna sebagai kaum perempuan yang memiliki profesi sebagai pekerja seks, tetapi dalam hal ini melakukan secara khusus kepada orang-orang Jepang selama masa pendudukan di negeri jajahannya tersebut.

Pada dasarnya penjajah memang bertujuan untuk meraih keuntungan dari negara yang dijajah. Begitu pula yang dilakukan oleh pemerintah Jepang pada masa jajahannya. Mereka mengeruk segala hasil bumi bahkan memanfaatkan

perempuan-perempuan dari negara jajahannya sebagai pelampiasan nafsu. Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam bagi negara-negara bekas jajahan Jepang.

Sebagian besar masyarakat yang mengetahui adanya keterlibatan perempuan, khususnya mereka yang dimasukkan ke dalam sebuah rumah bordil (khusus Jepang), tidak melihat bahwa keberadaan Jugun Ianfu sebagai akibat dari sebuah sistem penjajahan. Dalam hal ini mayarakat tidak percaya bahwa praktek yang dilakukan oleh para perempuan tersebut merupakan suatu tindakan yang sama sekali tidak dikehendaki, suatu tindakan paksa yang tidak bisa ditolak. Terlebih lagi posisi sosial,ekonomi dan politik mereka sangat lemah.

Pendapat lain mengatakan bahwa Jugun Ianfu adalah keseluruhan perempuan yang menjadi korban nafsu seks bangsa Jepang (apakah itu bala tentara Jepang ataupun aparat sipil dari pemerintah Jepang tersebut). Pandangan ini sendiri, justru banyak berkembang di kalangan masyarakat Jepang sendiri, terutama mengacu kepada berbagai protes yang telah dilancarkan oleh kelompok masyarakat yang memberikan dukungan kepada eks Jugun Ianfu, khususnya dari Korea, Filipina, Singapura, Cina maupun Indonesia.

Hadirnya konsep Jugun Ianfu ini, bukan saja berat bagi pihak yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, tetapi juga bagi mereka yang mengalami atau telah dipaksa menjadi Jugun Ianfu. Masalahnya tidak semata-mata pada penderitaan, kesakitan fisik dan mental, bukan hanya pada kekerasan, bukan hanya pada kekasaran kata, bukan hanya kemiskinan yang mereka alami ketika itu, tetapi lebih-lebih kepada masa depan. Dalam situasi di mana Jugun Ianfu diidentikkan sebagai suatu pelacuran, dimana secara faktual mereka

melakukan suatu hubungan seksual dengan bangsa Jepang ketika itu, maka yang menjadi masalah adalah bahwa kejadian itu akan sangat sulit diterima oleh moral sosial. Membuka masa lalu dirasakan sama artinya dengan kembali kepada masa silam, yang dianggap hina dan tidak diterima oleh masyarakat.

Mereka yang pada masa pendudukan Jepang menjadi Jugun Ianfu adalah perempuan yang berpendidikan rendah, bahkan ada pula yang tidak berpendidikan. Faktor pendidikan ini, dalam banyak hal sangat berpengaruh kepada kemampuan mereka untuk mengakses pengetahuan dan juga kemauan mereka untuk mengakses informasi yang lebih luas. Oleh karena itu tampak behwa mereka adalah kaum perempuan yang bodoh, patuh atau bersedia dilakukan dengan semena-mena.

Selain itu, kebanyakan dari para Jugun Ianfu adalah kaum perempuan dari desa, yang secara ekonomi dapat dikatakan berada di level bawah/ miskin (Hartono dan Juliantoro, 1997:89). Sebagian masih gadis, malah ada yang di bawah umur, ada pula yang sudah punya suami dan bahkan ada pula yang sudah punya anak. Dilihat dengan moral sosial, mereka dapat dikategorikan sebagai

‘perempuan baik-baik’, yang punya hubungan sosial yang baik dengan keluarga.

Rekrutmen jugun ianfu biasanya dilakukan dengan adanya keterlibatan pihak-pihak tertentu, yang kebanyakan adalah aparat desa yang mempunyai akses langsung untuk suatu mobilisasi. Dari kedekatan hubungan dengan para calon

jugun ianfu, maka pihak pengumpul atau pencari dapat dibedakan dalam : pihak yang punya hubungan dekat, seperti teman, tetangga, kenalan atau orang yang sudah dikenal; dan orang atau pihak yang sama sekali tidak dikenal, biasanya orang Jepang langsung.

Dilihat dari polanya, maka tampak dalam rekrutmen jugun ianfu ini, relasi-relasi sosial yang ada dimanfaatkan untuk mempermudah proses pengerahan. Adanya pihak-pihak ini membuat proses rekrutmen berjalan cukup lancar, karena masing-masing unsur dari pihak pengumpul ini memiliki akses tersendiri pada kaum perempuan, baik di desa maupun di kota.

Para wanita direkrut dengan alasan akan dijadikan penari atau penyayi di negeri Jepang. Secara sederhana, mereka terbuai oleh iming-imingan pemerintah Jepang tersebut, atau dalam kasus tertentu dipaksa oleh orang tua mereka yang harus tunduk pada pemerintah pendudukan tentara Jepang. Bahkan jika para wanita tersebut tetap bersikeras untuk menolak, mereka akan dibawa secara paksa. Seperti yang dikatakan oleh Koichi Kimura (2007:240) bahwa, ada tiga cara perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang terhadap perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu antara lain:

1. Pemaksaan melalui kekerasan fisik

2. Pemaksaan dengan jalan menyebarkan perasaan takut dan ancaman disertai terror yang merupakan kekerasan psikologi.

3. Pemaksaan dengan cara tipu daya dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan dan janji untuk disekolahkan.

Setelah dikumpulkan, kaum perempuan yang akan dipekerjakan akan

diseleksi. Mereka yang dinilai ‘layak’ untuk dipekerjakan sebagai jugun ianfu-lah

yang akan diambil. Sedangkan yang dinilai tidak sehat atau ‘tidak layak’ pada

umumnya akan dipekerjakan ditempat lain. Tempat lain yang dimaksud disini dapat berupa rumah makan, tempat hiburan, hotel atau di rumah tangga seorang pembesar militer. Sedangkan tempat penampungan utama dari mereka yang

dianggap ‘sehat’ untuk dijadikan jugun ianfu adalah rumah bordil khusus, yaitu lokasi yang secara khusus disediakan bagi orang Jepang. Disebut khusus karena orang Indonesia atau suku bangsa lain tidak boleh masuk kelokasi tersebut. Bahkan, orang Jepang sendiri tidak bisa sembarangan masuk ke lokasi selain yang ditentukan oleh pihak penguasa.

Berikut Skema Pengerahan Tenaga Jugun Ianfu :

MESIN KONTROL

Pemerintahan Militer

*Aparat Setempat, Calo, dan lain-lain yang punya akses terhadap perempuan

Individu (non-massal)

PRT (peran ganda) Masyarakat (di mana

kaum perempuan berada) (Calon-Calon) Jugun Ianfu Hotel; Restoran; Rumah Hiburan Orang-Orang Jepang Sipil-Militer Rumah Bordil

Dokumen terkait