• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP BUDAYA MALU SEBAGAI KARAKTERISTIK

2.1. Konsep Malu dalam Masyarakat Jepang

Menurut Ruth Benedict (1989:232), di dalam studi-studi antropologis mengenai berbagai kebudayaan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma moralitas yang absolut dan mengandalkan dikembangkannya suatu nurani oleh para penganutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Tetapi orang di dalam masyarakat yang demikian juga menderita karena rasa malu kalau ia menuduh dirinya sendiri dengan kekakuan-kekakuan yang sama sekali bukan dosa. Ia bisa merasa menyesal hanya karena tidak berbusana layak untuk suatu kesempatan, atau karena salah berbicara.

Dalam masyarakat dimana rasa malu merupakan sanksi utama, orang menyesali tindakan-tindakan yang oleh umum dianggap seharusanya membuat orang merasa bersalah. Penyesalan ini bisa mendalam sekali dan tidak dapat diperingan, seperti halnya rasa bersalah dapat diperingan dengan suatu pengakuan atau penebusan.

Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan shichi

(malu khusus). Berikut ini penulis akan mengemukakan konsep malu kouchi dan konsep malu shichi.

2.1.1. Kouchi atau Malu Umum

Malu merupakan suatu reaksi psikologis. Dalam ilmu psikologi dikatakan bahwa reaksi timbul karena adanya suatu rangsangan, baik dari luar diri orang yang bersangkutan maupun dari dalam diri sendiri. Dalam bahasa Jepang, rangsangan yang berasal dari luar diri orang yang bersangkutan disebut bersifat

gaimenteki sedangkan yang berasal dari dalam diri sendiri disebut bersifat

naimenteki.

Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau dia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang (Ruth Benedict, 1989:233).

Ruth Benedict (1989:105) juga menjelaskan bahwa malu akan muncul apabila seseorang tidak mampu menunaikan kewajibannya dengan baik. Oleh sebab itu, bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya kewajiban. Dan kewajiban itu mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil, yaitu on. On berarti suatu hutang atau suatu beban yang harus ia pikul sebaik mungkin.

Hal tersebut juga dikuatkan oleh skema kewajiban-kewajiban bangsa Jepang dan pemenuhannya yang dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:125), yang isinya antara lain:

I. On : kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang menerima on ; seseorang mengenakan on. Artinya : on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si penerima yang pasif.

ko on : on yang diterima dari kaisar.

oya on : on yang diterima dari orang tua.

nushi no on : on yang diterima dari majikan atau tuan.

shi no on : on yang diterima dari guru.

II. Pemenuhan on. Si penerima on membayar kembali utang-utang ini; ia memenuhi kewajiban-kewajiban ini terhadap orang –on nya. Artinya : ini adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayaranya kembali secara aktif. Ada dua jenis pemenuhan on :

A. Gimu : Pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya.

chu : kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara.

ko : kewajiban terhadap orang tua dan nenek moyang.

nimmu : kewajiban terhadap pekerjaan seseorang

B. Giri : Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima, dan ada batas waktu pembayarannya.

1. Giri terhadap dunia.

- Kewajiban terhadap tuan pelindung. - Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh.

- Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on

yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan (dalam suatu kelompok kerja).

- Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat (paman, bibi, kemenakna pria dan wanita) walaupun on yang diterima bukan berasal dari mereka, melainkan dari nenek moyang yang sama.

2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre.

- Kewajiban seseorang untuk membersihkan reputasinya dari penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam.

- Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan jabatannya.

- Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya melaksanakan semua perilaku ketakziman, tidak hidup diatas tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya.

Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa malu merupakan suatu reaksi yang timbul akibat adanya rangsangan berupa kritik dan sejenisnya dari orang lain.

Ruth Benedict (1989:233) juga menyebutkan bahwa kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu, mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah, yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa.

2.1.2. Shichi atau Malu Khusus

Pada dasarnya malu akan timbul ketika seseorang mendapat kritik dari orang lain. Akan tetapi, bagi masyarakat Jepang rasa malu juga akan timbul pada saat ia mendapat pujian. Seperti yang dikatakan Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:14), kita merasa malu hanya ketika kita dihadapkan pada penolakan dari orang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, pada saat kita mendapat perhatian khusus dari orang lain pun, kita akan merasa malu.

Dari pernyataan Sakuta tersebut dapat kita simpulkan bahwa selain kritik, perhatian khusus dari orang lain juga dapat menimbulkan malu dalam diri orang Jepang. Hal inilah yang disebut shichi atau malu khusus. Namun, muncul atau tidaknya shichi pada diri seseorang tergantung pada bagaimana ia menempatkan keberadaannya.

Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Berikut ini merupakan dua faktor yang menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu

Shikou no Kuichigai dan Yuretsu Kijun.

1. Shikou no Kuichigai

Shikou no Kuichigai ialah salah pengertian atau salah paham. Shikou no Kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yang bersangkutan yang disebut juga dengan naimenteki. Faktor ini muncul akibat dari adanya perhatian khusus dari pihak lain, sehingga timbul rasa malu di dalam diri orang yang bersangkutan.

Max Scheler dalam Raphaela Dwianto (1991:16-17) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

Manusia digolongkan sebagai eksistensi universal dan eksistensi partikular. Pada saat anda mengharap dilihat sebagai manusia universal, meskipun orang lain memperhatikan anda sebagai eksistensi tersebut, anda tidak akan merasa malu (dalam kasus pragawati atau pasien). Di lain pihak, pada saat anda mengharapkan dilihat sebagai individu, dan anda diperhatikan seperti yang anda harapkan, maka akan sama halnya (dalam kasus sepasang kekasih).

Dari pendapat Max Scheler tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa eksistensi seseorang dapat dilihat sebagai suatu eksistensi universal dan eksistensi

partikular. Ketika seseorang berada pada eksistensi universal, maka orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang umum. Dan ketika seseorang berada pada eksistensi partikular, orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang khusus.

Ketika berada di dalam dua golongan eksistensi ini, seseorang akan menjadi individu dan orang lain dalam dua posisi yang berbeda. Seseorang tidak akan merasa malu selama tidak terjadi kesalah pahaman dalam menilai eksistensi ini. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam kasus pragawati. Mereka tidak akan malu berjalan di atas panggung meskipun ditatap oleh ratusan orang. Hal ini terjadi akibat adanya kesadaran bahwa pada saat itu mereka berada dalam eksistensi universal dan orang-orang yang melihat mereka pun menempatkan dan menganggap mereka sebagai suatu eksistensi universal. Sebagai contoh lain, dapat kita lihat dalam suatu pasangan. Seseorang tidak akan merasa malu ketika pasangan nya memberikan perhatian khusus. Orang tersebut akan menempatkan dirinya dalam eksistensi partikular dan pasangannya tersebut juga melihatnya dalam eksistensi partikular.

Namun, tidak jarang juga terjadi kesalah pahaman dalam diri seseorang ketika berada di dalam eksistensi ini yang menyebabkan timbulnya rasa malu di dalam diri orang tersebut.

Hal ini dapat kita lihat pada kasus seorang pasien yang canggung atau malu ketika memeriksakan dirinya ke dokter. Pada dasarnya, setiap dokter akan menempatkan dirinya kedalam eksistensi universal. Namun beberapa pasien menempatkan dirinya ke dalam eksistensi partikular. Kesalah pahaman seperti inilah yang biasanya akan menimbulkan rasa malu.

Dari sini dapat kita lihat bahwa shiko no kuichigai merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan rasa malu bagi orang Jepang. Dan dapat kita simpulkan bahwa malu yang timbul merupakan malu yang berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan yaitu shichi.

2. Yuretsu Kijun

Yuretsu Kijun merupakan faktor kedua yang dapat menimbulkan shichi. Yaitu standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Di dalam yuretsu kijun, terdapat dua golongan standar yang selalu digunakan orang Jepang yaitu superior dan inferior. Superior merupakan makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain, sedangkan inferior ialah makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain. Dengan adanya yuretsu kijun, seseorang akan masuk ke dalam golongan superior atau inferior.

Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:22) berpendapat bahwa selain berlaku secara umum di masyarakat luas, yuretsu kijun juga berlaku secara khusus dan bersifat pribadi. Berikut pernyataan Sakuta mengenai hal tersebut:

Akan tetapi, standar superior dan inferior yang menjadi dasar timbulnya malu ini tidak selalu merupakan standar yang berlaku di dalam kelompok di mana seseorang menjadi anggotanya. Ada pula standar yang lebih luas (misalnya kelas, etnis). Kemudian bila standar ini berbeda dari standar kelompok, maka standar

Dari pernyataan Sakuta diatas, dapat kita lihat bahwa yuretsu kijun

menjadi dasar timbulnya malu. Berbeda dengan Benedict yang dalam konsepnya tidak menjelaskan adanya standar tertentu yang dipakai masyarakat dalam mengkritik seseorang, Sakuta di sini secara jelas menagatakan bahwa adanya

yuretsu kijun yang digunakan dalam menilai kadar superior dan inferior seseorang, yang kemudian menjadi dasar bagi timbulnya malu di dalam diri orang tersebut.

Di sini dapat kita lihat dengan jelas bahwa shichi yang melibatkan yuretsu kijun ini, rangsangannya berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan. Dan hal inilah yang membedakannya dari kochi yang proses timbulnya hanya dikaitkan dengan faktor rangsangan dari luar diri orang tersebut.

Konsep malu umum atau kochi yang dikemukakan oleh Ruth Benedict bahwa rasa malu timbul karena adanya rangsangan berupa kritik dari masyarakat, menurut Sakuta belum cukup untuk menimbulkan gejala malu. Dasar bagi timbulnya malu adalah adanya perhatian dari orang lain. Perhatian ini melibatkan adanya shikou no kuichigai dan yuretsu kijun. Sakuta menegaskan bahwa di balik segala kritik dan ejekan orang lain, terdapat hal yang lebih mendasar yang dapat menimbulkan malu yaitu perhatian dari orang lain.

2.2. Kouchi, Shichi dan Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang

Dokumen terkait