• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Dalam Undang-Undang DasarNegara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), baik sebelum maupun setelah amandemen tidak ada satu ketentuanpun yang secara eksplisit mengatur tentang pemilihan kepala desa.1

Dalam konteks sistem pemerintahan NKRI yang membagi daerah Indonesia atas daerah-daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk dan susunan tingkatan pemerintahan terendah adalah desa atau kelurahan. Dalam konteks ini, pemerintahan desa adalah merupakan sub sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan nasional yang langsung berada di bawah pemerintah kabupaten.

Bahkan pengaturan tentang Desa-pun secara eksplisit juga tidak ditemukan dalam UUD 1945, walaupun sebenarnya Desa dan Sistem Pemerintahanya mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI), mengingat semua masyarakat bertempat tinggal di desa atau dengan sebutan istilah lainnya. Dan pemerintahan desa-lah yang bersentuhan langsung dengan denyut nadi kehidupan masyarakat.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang pemerintah desa disebutkan bahwa :

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan

1

(2)

adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.”

Pelaksanaan pembangunan desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran masyarakat dengan kegiatan dan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.2

Sedangkan terhadap desa diluar desa gineologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa atau karena transmigrasi ataupun alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk ataupun heterogen maka otonomi desa yang merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri. Dengan demikian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

Pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada desa untuk melaksanakan pemerintahan

(3)

tertentu.Pemerintahan desa merupakan struktur pemerintahan paling bawah dan secara langsung berinteraksi dengan masyarakat sehingga kewenangan pemerintahan desa adalah untuk meningkatkan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, sumber pendapatan asli desa. Bagi hasil pajak daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah serta hibah dari pihak ketiga Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 mengatur Tentang Desa.

Kepala desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah kecil yaitu desa yang dipilih masyarakat secara langsung oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan yang berlaku dengan masa jabatan kepala desa adalah enam tahun dan ketentuan tentang tata cara pemilihan kepala desa kepala desa pada dasarnya bertanggungjawab pada rakyat desa dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati/walikota melalui camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (selanjutnya disebut BPD) kepala desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan menyampaikan informasi kepada rakyat tentang pokok-pokok pertanggungjawabannya.Masyarakat tetap diberi peluang untuk menanyakan lebih lanjut tentang pertanggungjawabannya lembaga kemasyarakatan di desa dibentuk untuk membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat.

(4)

dalam pelaksanaan pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan program dan kegiatan sesuai dengan masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat, demokrasi dalam konteks pemilihan kepala desa (selanjutnya disebut Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada UU nomor 8 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-UndangNo.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dimana desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tanggga desa.

(5)

(1) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat.

(2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil

(3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap pemilihan.

Untuk pemilih diatur dalam Pasal 45, yang berbunyi sebagai berikut: ” Penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala desa sudah berumur tujuh belas tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Panitia pemilihan melakukan pemeriksaan identitas bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara dan melaporkan pelaksanaan pemilihan kepala desa kepada BPD, panitia pemilihan melaksanakan penjaringan dan penyaringan bakal calon kepala desa sesuai persyaratan.calon kepala desa yang telah memenuhi persyaratan ditetapkan sebagai calon kepala desa oleh panitia pemilihan.

(6)

Berdasarkan uraian di atas maka judul dalam penulisan skripsi ini adalah: Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan pemerintahan desa berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005?

2. Bagaimana prosedur pemilihan kepala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005?

3. Apa saja yang menjadi kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo?

J. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pemerintahan desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005.

b. Untuk mengetahui bagaimana Prosedur Pemilihan Kepala Desaberdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005

(7)

2. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,sebagai berikut : a. Secara Teoritis

Sebagai usaha pengembangan ilmu hukum administrasi negara khususnya yang berhubungan dengan sistem pemerintahan Desa yang berkaitan dengan proses pemilihan Kepala Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

b. Secara Praktis

Memberikan masukan kepada masyarakat, berkaitan dengan proses pemilihan Kepala Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

K. Keaslian Penelitian

(8)

L. TinjauanPustaka

1. Pengertian Desa

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara dan bangsa ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi sosial yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling konkret.

Desa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 12 tahun 2008 ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenahi desa adalah keanekaragaman, partisipasi, ekonomi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

(9)

di bawah camat dan berhak untuk menyelenggarakan rumah tangganya dalam ikatan NKRI.”3

Dalam Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005melalui Pasal 1 mendefinisikan : “Desa atau dengan nama lain, sebagai suatukesatuan masyarakat hukum yag memiliki batas-batas wilayah yang berwenangdan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkanasal-usul dan adat istiadat setempat yang dihormati dan daam system pemerintahan Negera Kesatuan Republik Indonesia.

2. Otonomi Desa

Bagi masyarakat Desa, Otonomi Desa bukanlah menunjuk padaotonomi Pemerintah Desa semata-mata, tetapi juga otonomi masyarakatdesa dalam menentukan diri mereka dan mengelola apa yang mereka milikiuntuk kesejahteraan mereka sendiri. Otonomi Desa berarti juga memberi ruang yang luas bagi inisiatif dari bawah/desa. Kebebasan untukmenentukan dirinya sendiri dan keterlibatan masyarakat dalam semuaproses baik dalam pengambilan keputusan berskala desa, perencanaan danpelaksanaan pembangunan maupun kegiatan-kegiatan lain yang dampaknyaakan dirasakan oleh masyarakat desa sendiri, merupakan pengejawantahanotonomi desa. Keberadaan otonomi desa mengacu pada konsep komunitas,yang tidak hanya dipandang sebagai suatu unit wilayah, tetapi juga sebagaisebuah kelompok sosial, sebagai suatu sistem sosial, maupun sebagai suatukerangka kerja interaksi.

3

(10)

Akhir-akhir ini, tuntutan daerah untuk diberi otonomi yang seluas-luasnyamakin menonjol. Bahkan, beberapa daerah memilih untukmemisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikanNegara baru, misalnya Sulawesi Selatan, Maluku dan Aceh, serta Papua. Kondisi seperti inisebagian orang dinilai sebagai benih-benih terjadinya disintegrasi bangsasebaliknya, oleh sebagian orang dinilai bahwa pemberian otonomi yangseluas-luasnya ini merupakan satu-satunya jalan keluar untukmempertahankan integrasi nasional.Dalam sejarah ketatanegaraanIndonesia, fenomena tentang daerah yang memiliki otonomi seluas-luasnyatadi sesungguhnya bukan hal yang baru bahkan bukan lagi sesuatu yangmembahayakan keutuhan Bangsa dan Negara.Demikian pula, keberadaandesa-desa adat yang memiliki susunan asli ternyata tidak menimbulkangagasan pemisah diri dari unit pemerintahan yang begitu luas.Oleh karenaitu, otonomi luas sesungguhnya bukan paradoksi bagi integrasi bangsa dansebaliknya.Artinya cita-cita memberdayakan daerah melalui kebijakanotonomi luas tidak perlu disertai dengan sikap “buruk sangka” yangberlebihan tentang kemungkinan perpecahan bangsa.

(11)

(termasukpemerintahan desa) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999, UU No 32tahun 2004 serta yang terbaru dengan adanya perubahan Undang-UndangPemerintahan Daerah melalui penetapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun2008, membawa implikasi yang sangat besar. Salah satu implikasi tersebutadalah bahwa desa tidak sekedar merupakan wilayah administrative sebagaikepanjangan tangan pemerintahan pusat di daerah (pelaksana asasdekonsentrasi), tetapi memiliki lebih merupakan kesatuan masyarakathukum yang memiliki otonomi luas. Berdasarkan kerangka waktunya (timeframe), perkembangan otonomi pada kesatuan hukum masyarakat terkecil(desa) mengalami pergeseran yang sangat fluktuatif, dimana pada satu desamemiliki otonomi yang sangat luas (most desentralized), sedang disaat laindesa tidak memiliki otonomi sama sekali dan hanya berstatus sebagaiwilayah administrative (most centralized). Pada awalnya, terbentuknya suatukomunitas bermula dari berkumpul dan menetapnya individu-individu disuatu tempat terdorong oleh alasan-alasan yang mereka anggap sebagaikepentingan bersama.Alasan-alasan untuk membentuk masyarakat yangmasih bersifat sederhana atau tradisional ini adalah pertama untuk hidup,kedua untuk mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar, danketiga untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya.4

Kumpulan individu-individu yang membentuk desa dan merupakansebuah daerah hukum ini, secara alami memiliki otonomi yang sangat luas,lebih luas dari pada otonomi daerah-daerah hukum diatasnya yang lahir dikemudian hari, baik

4

(12)

yang terbentuk oleh bergabungnya desa-desa dengansukarela atau yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat. Otonomiatau kewenangan desa itu antara lain meliputi hak untuk menentukan sendirihidup matinya desa itu, dan hak untuk menentukan batas daerahnya sendiri.Selanjutnya disebutkan juga bahwa masyarakat sebagai daerah hukum,menurut hukum adat mempunyai norma-norma sebagai berikut : berhakmempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh batas-batas yang sah,berhak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri,berhak memilih dan mengangkat Kepala Daerahnya atau MajelisPemerintahan sendiri, berhak mempunyai harta benda dan sumberkeuangan sendiri, berhak atas tanah sendiri, dan berhak memungut pajaksendiri.5

Namun dalam penyusunan peraturan tentang pemerintahan desasebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,kenyataannya desa bukan lagi dianggap sebagai kesatuan masyarakathukum yang otonom, khususnya dalam masalah administrasi pemerintahansecara umum.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Republik Indonesia,pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa mendapat landasan yuridispada Pasal 18 UUD 1945 yang mengakui kenyataan histories bahwasebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerahdaerahSwapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalampenyelenggaraan berbagai urusan di wilayahnya. Ini berarti, desa secarateoritis juga memiliki hak yang bersifat autochtoon atau hak yang telahdimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia.

5Ibid

(13)

Terlebih lagi dengan pembentukan kelurahan, maka kesatuanmasyarakat “Desa” ini hanya berstatus wilayah administrative yangditempatkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat (pelaksana asasdekonsentrasi).

3. Sejarah Otonomi Desa

Pasang surut keadaan Pemerintahan Desa sekarang ini adalah sebagai akibat pewarisan undang-undang lama yang pernah ada, yang mengatur Pemerintahan Desa sejak penjajahan Belanda, yaitu Inlandsche Gemeente

Ordonnantie atau IGO (Stbl No. 83/1906) yang berlaku untuk Jawa dan Madura

dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten atau IGOB (Stbl No.

490/1938 jo Stbl No. 681/1938) yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura.

Desa di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Hermawan WarnerMuntinge, seorang Belanda anggota Raad van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jendral Inggris yangberkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Dalam sebuah laporanya tertanggal 14Juli 1817 kepada pemerintahanya disebutkan tentang adanya Desa-desa didaerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa. Dan dikemudian hari ditemukan jugadesa-desa di kepulauan luar jawa yang kurang lebih sama dengan desa yangada dijawa.6

Keberadaan otonomi desa secara tidak langsung erat kaitannya dengankeberadaan pemerintahan desa.Karena selama ini otonomi desa juga mengaturketentuan tentang keberadaan pemerintah desa yang pasa saat ini terdiri

6

(14)

dariunsur perangkat desa dan badan permusyawaratan desa.7

Perkembangan pemerintahan desa di Indonesia pada perkembangannyabanyak mengalami perubahan di tiap periodenya. Hal ini terkait dengan pasangsurut pergeserannya dari sistem penjajahan ke pola sentralisasi dankedesentralisasi. Sejarah perkembangan pemerintahan desa secara legal formaldiawali dari:

Selain itu,keberadaan otonomi desa juga terkait dengan peraturan perundang-undanganyang mengatur tentang pemerintahan desa yang di Indonesia sudah lahir sejakkeberadaannya di era pemerintahan Hindia Belanda (Penjajahan) sampaiterbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang PemerintahanDaerah.

a. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Ketentuan yang mengatur khusus tentang Desa pertama kali terdapatdalam

Regeringsregelement (RR) tahun 1854 yaitu Pasal 71 yang mengaturtentang

Kepala Desa dan Pemerintahan Desa, sebagai pelaksana dariketentuan tersebut, kemudian Pemerintah Kolonial mengeluarkan peraturanInlandse Gemeente Ordonantie (IGO) pada tahun 1906, yaitu peraturan dasarmengenahi Desa khusus

di Jawa dan Madura33. IGO pada dasarnya tidakmembentuk Desa, melainkan hanya memberikan landasan sebagai bentukpengakuan adanya Desa sebelumnya.

Warisan Undang-Undang lama yang pernah ada yang mengatur tentangdesa, yaitu Inlandsche Gementee Ordonantie (Stbl. 1906 Nomor 83) yangberlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Gementee OrdonantieBuitengewesten (Stbl. 1983 Nomor 490 jo Stbl. 1938 Nomor 681)

7

(15)

yang berlakudi luar Jawa dan Madura. Pengaturan dalam kedua Undang-Undang ini tidakmengatur pemerintahan desa secara seragam dan kurang memberikandorongan kepada masyarakatnya untuk tumbuh kearah kemajuan yang dinamis.Akibatnya desa dan pemerintahan desa yang ada sekarang ini bentuk dancoraknya masih beraneka ragam, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinyasendiri, yang kadang-kadang merupakan hambatan untuk pembinaan danpengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakatnya.Sedangkan disebutkan juga bahwa :“Sebagai peraturan desa (pranata) tentang Pemerintahan Desa (IGO/S83 Tahun 1906 yang berlaku untuk pulau Jawa dan Madura dan IGOB/S1938 untuk daerah diluar Jawa dan Madura merupakan landasan pokokbagi ketentuan-ketentuan tentang susunan organisasi, rumah tangga dantugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang Pemerintah Desa, KepalaDesa dan Anggota Pamong Desa.”8

8

Sumber Saparin, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal 31.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa ada dua ketentuan dasar yangmengatur Pemerintahan Desa IGO untuk Jawa dan Madura, IGOB untuk luarJawa dan Madura.Pasal 1 Inlandsche Gementee Ordonantie (IGO) tahun 1906Staatblad Nomor 83 menyatakan “Penguasaan Desa

(16)

IGO manetapkan bahwa Kepala Desa dibantu beberapaorang yang ditunjuk olehnya. Pengertian ditunjuk olehnya dijelaskan pada Pasal2 ayat (2) IGO Staatblad Nomor 83 yang mengatur “Tentangmengangkat/melepas anggota Pemerintah Desa, kecuali Kepala Desadiserahkan kepada adat-istiadat kebiasaan pada tempat itu”. Jadi pada masa ituotonomi desa telah diatur secara konteks yuridis dan ini merupakan periodeawal pemberian kewenangan kepada desa untuk berkembang sesuai dengankemampuan dan adat-istiadat yang berlaku ditingkat lokal.Demikianlah secara institusional/kelembagaan Pemerintah Desa terdiridari Kepala Desa dan beberapa orang yang ditunjuk oleh adat kebiasaan.Pendapat lain menyebutkan, yaitu:“Meskipun Pasal 1 kelihatannya kabur mengenai siapa yang menjadiPemerintah Desa, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa PemerintahDesa bersifat 1 (satu) orang (eenhofding bestuur)”.9

Disamping itu pengaturan tentang Pemerintah Desa kemudian oleh PemerintahBelanda diterbitkan Inlandsche Gementee Ordonantie Buitengewesten (IGOB)tahun 1938 yang berlaku diluar pulau Jawa dan Madura. Sumber lainmenyebutkan bahwa:“Ketentuan-ketentuan yang berlaku di desa-desa diluar pulau Jawa danMadura ialah IGOB pada hakekatnya tidak berbeda dengan peraturanperaturanyang dicakup dalam IGO yang berlaku di pulau Jawa danMadura.”10

Tetapi secara garis besar, Saparin menyebutkan bahwa :

9

Bayu Surianingrat, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Bandung: Ghalia Yayasan Beringin KORPRI unit Depdagri ,2011, hal :98

10

(17)

a) Adanya ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah Desa untuk setiapakhir triwulan membuat anggaran dan belanja. Dalam IGO hal ini tidakdijumpai. b) Ketentuan mengenai kerja bakti bagi warga desa, untuk

kepentinganumum. Di dalam IGOB warga desa ganti rugi, misalnya membayarsejumlah uang yang disetor ke kas desa;

c) Mengenai masalah tanah bengkok, didalam IGOB tidak dijumpaikarena diluar Jawa dan Madura, tersedia banyak tanah bila setiaporang mau berusaha.

b. Masa Pendudukan Militer Jepang

Pengalaman penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia sedikitmengalami perubahan setelah adanya pendudukan Militer Jepang. Mengutipdari tulisan Bayu bahwa pada masa Pemerintahan Militer Jepang ini telahditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 Pasal 2 sebagai berikut:“Pembesar Tentara Dai Nippon memegang kekuatan pemerintahan militeryang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu ada di tanganGubernur Jenderal. Selanjutnya Pasal 3 berbunyi semua badan-badanpemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan Undang-Undang daripemerintah terdahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal sajatidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.”11

Dengan demikian ternyata pendudukan militer Jepang tidak mengubahsecara mendalam ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintahansepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

11

(18)

satunya peraturan mengenahi desa yang dikeluarkan olehPenguasa Militer Jepang adalah Osamu Seirei No. 7 Tahun 2604 (1944).Peraturan ini hanya mengatur dan merubah Pemilihan Kepala Desa (Ku-tyoo)yang menetapkan jabatan Kepala Desa menjadi empat tahun12

c. Masa Indonesia Merdeka

Pemberlakuan peraturan perundang-undangan tentang PemerintahanDesa esensinya tidak mengalami perubahan sejak jaman Kolonial Belanda,pendudukan militer Jepang dan masa Indonesia Merdeka sebelum tahun 1979.pandangan ini didasarkan pada fakta-fakta sejarah sebagai berikut:

(1) IGO dan IGOB berlaku efektif (1906-1942);

(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 dan Osamu Seirei (1942-1945), secara substantif tetap memberlakukan IGO/IGOB;

(3) 1945-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.

Dalam kurun waktu yang relative panjang, IGO/IGOB secara tidak resmi tetapdipakai sebagai rujukan dalam penyelenggaraan Pemerintahan desa sampaiterbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.Melihat kenyataan itu terkesanbahwa Pemerintah Republik Indonesia seperti tidak mampu membuat peraturanPemerintah Desa sendiri.Barangkali didorong kebutuhan dan gunamenghasilkan kesan tidak mampu, pemerintah kemudian berhasil menyusunPerundang-undangan Pemerintah desa dengan lahirnya Undang-UndangNomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja. Undang-Undang ini di undangkanpada tanggal 1 September 1965 karena tengah terjadi peristiwa

12

(19)

G30S/PKIsecara praktis Undang-Undang ini belum sempat diberlakukan, TAP MPRS No.XXI/MPRS/1966, tanggal 5 Juli 1966 menunda berlakunya Undang-UndangNomor 19 Tahun 1965.kemudian dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun1969, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi.Demikianlah setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI tahun 1965 secaratidak resmi IGO/IGOB tetap digunakan sepanjang tidak bertentangan dengankepentingan umum dan UUD 1945. kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 5Tahun 1979 yang merupakan berkah tersendiri bagi masyarakat Indonesia yangsudah merdeka selama 33 tahun. Harapan itu terwujud dengan ditetapkannyaUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, menurutUndang-undang ini adalah:“Desa diartikan satu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduksebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuanmasyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendahdibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiridalam ikatan NKRI”.13

Adapun isi materi Undang-undang ini adalah mengatur desa secara seragam diseluruh wilayah Indonesia mulai penyelenggaraan pemerintahan desa,administrasi desa, unsur-unsur desa, pembentukan desa, organisasipemerintahan desa, hak dan kewajibannya. Sebagai landasan yang dipakaidalam penyusunan Undang-Undang ini adalah Pancasila. UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi:“Pemabagian Daerah Indonesia atas daerah besar kecil dengan bentuksusunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang

13

(20)

denganmamandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistempemerintahan Negara dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifatistimewa.”14

Dan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat NomorIV/MPR/1978 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (selanjutnya disebut GBHN) yangmenegaskan bahwa perlu memperkuat pemerintahan desa agar mekin mampumenggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunandanmenyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. DalamUndang-Undang ini mengakui adanya kesatuan masyarakat termasukdidalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaanyang masih hidup sepanjang masih menunjang kelangsunganpembangunan dan ketahanan nasional. Oleh karena itu, yang dimaksudpemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 adalahkegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakanorganisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat. Tetapi kenyataanyang terjadi selama 30 (tigapuluh) tahun system pemerintahan yang dipakaiadalah sentralistis sehingga menimbulkan gejolak di tingkat masyarakat untukmenuntut adanya kekuasaan yang lebih besar kepada desa atau sering disebutotonomi desa atau penerapan sistem desentralisasi.

M. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar

14

(21)

tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif yang bersifat deskriptif.Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk dilakukannya survey ke lapangan melalui wawancara kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini15

2. Pendekatan Penelitian

.”

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan

yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan

terkait dengan Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai prilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.16

15

Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta Cet. V, Ind-Hillco, 2001, hal. 13.

16

(22)

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa penelitian studi kasus dengan penguraian secara deskriptif analitis tentang apa yang sekarang berlaku dan apa yang semestinya berlaku.17

Spesifikasi pada penelitian ini adalah deskriptif, karena data yang diperoleh dari penelitian berusaha memberikan gambaran tentang proses dan seputar permasalahan yang ada dalam pelaksanaan perjanjian leasing, serta menganalisisnya sehingga suatu kesimpulan yang bersifat umumSejalan dengan pendapatnya Peter Mahmud Marzuki bahwa:18

4. Sumber Data

“Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.”

Sumber data diperoleh dari :data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Penelitian ini, bahan hukum yang digunakan oleh peneliti adalah penjelasan terhadap sumber bahan hukum dalam pendekatan yuridis normatif terdapat bahan hukum yang dikaji meliputi:19

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia. Press, Jakarta: 2008, hal.4.

18

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Perdana Media Group, 2007, hal 22.

19

(23)

a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari:

1) Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

2) Peraturan Perundang-undangan, antara lain:

a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

b) Peraturan Pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005

b. Datasekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari:

1) Pustaka di bidang ilmu hukum, 2) Hasil penelitian di bidang hukum,

3) Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet. c. Data tersier

Bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hokum

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

(24)

teoretis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) dalam bentuk studi kasus

Pengumpulan data melalui riset dilakukan dengan melakukan wawancara kepada pihak yang terkait dalam proses pemilihan kepala desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karoyang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.

6. Analisa Data

Analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif, hal ini dilakukan terhadap data yang sifatnya data sekunder yang diperoleh melalui kajian kepustakaan.Selanjutnya menganalisis data primer maupun data sekunder yang berbentuk dokumen. Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan yang selanjutnya diolah dan dianalisis untuk dapat dipertanggungjawabkan.

N. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menguraikan bab demi bab sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN

(25)

Bab ini akan membahas tentang Pemerintahan Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Kepala Desa dan Peran Kepala Desa BAB III PROSEDUR PEMILIHAN KEPALA DESA BERDASARKAN

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005

Pada bab ini akan membahas Penjaringan dan Kampanye Calon Kepala Desa, Pemungutan dan Perhitungan Suara serta Pengumuman dan Penetapan Calon Terpilih dan Pengesahan dan Pelantikan Calon Terpilih serta Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa

BAB IV KENDALA PEMILIHAN KEPALA DESA KUTAMBARU KECAMATAN MUNTHE KABUPATEN KARO

Pada bab ini akan membahas tentang Gambaran Umum Desa Kutambaru Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo dan Kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 serta Upaya mengatasi kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

demikian dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen yang dilakukan oleh toko pempek di Kota Palembang perlu dilakukan pembenahan dari segi keakuratan, ketepatan

Antithrombotic management of atrial fibrillation patients presenting with acute coronary syndrome and/or undergoing coronary stenting: executive summary-a Consensus Document

Matriks SWOT dapat menggambarkan dengan jelas bagaimana strategi pemasaran perusahaan yang sesuai berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam rangka

Keunggulan Economic Value Added (EVA) menurut Mulia (2002: 133), yaitu (1) memfokuskan pada nilai tambah dengan memperhitungkan beban sebagai konsekuensi investasi, (2)

Hasil penelitian dapat memberikan informasi untuk masyarakat tentang perspektif pemuka agama terhadap Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama dalam sebauh forum

profesional Membuat Ide Produksi Acara Televisi profesional Menentukan Tahapan Pra Produksi Acara Radio profesional Menentukan Tahapan Pra Produksi

Pengamanan wilayah laut oleh pasukan INTERFET bertujuan untuk untuk mendukung pasukan darat dalam mencapai tujuan mereka, dengan memasukkan pasukan tempur maksimal

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah 1) dalam rangka membina dan meningkatkan kompetensi guru, Kepala SMP Negeri 2 Rambatan dalam kepemimpinanya memakai gaya yang tegas keras