• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP KEADILAN DALAM ISLAM. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP KEADILAN DALAM ISLAM. pdf"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

20 A. Keadilan Menurut Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial didefinisikan sebagai sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran.1 Kata adil (al-'adl) berasal dari bahasa Arab, dan dijumpai dalam al-Qur'an, sebanyak 28 tempat yang secara etimologi bermakna pertengahan.2 Pengertian adil, dalam budaya Indonesia, berasal dari ajaran Islam. Kata ini adalah serapan dari kata Arab ‘adl.3

Secara etimologis, dalam Kamus Al-Munawwir, al’adl berarti perkara yang tengah-tengah.4 Dengan demikian, adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-mus

â

wah). Istilah lain dari al-‘adl adalah al-qist, al-misl (sama bagian atau semisal). Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran.5 Menurut Ahmad Azhar Basyir, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporsinya yang tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya.6

Al-Qur'an memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya,

1

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 8 2

Muhammad Fu'ad Abd al-Baqiy, Al-Mu'jam Mufahras li Alfaz Al-Qur'an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1981, hlm. 448 – 449.

3M.Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan

Konsep-Konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 2002, hlm. 369. 4

Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, Yogyakarta, 1997, hlm. 906.

5

Abdual Aziz Dahlan, et. all, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 25

6

(2)

ِ

ِ

ِ

ِ

ﱠ ِ

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan" (QS Al-Nahl [16]: 90).7

Ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada kedermawanan atau ihsan. Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya jika dilakukan pada tingkat masyarakat.

Imam Ali r.a. bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan pada tempatnya." Jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang. Itulah sebabnya, mengapa Nabi Saw menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah memaafkannya.8

Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian (QS Al-Baqarah [2]: 253). Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat (49): 13. Dalam surat Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan itu dinyatakan:

ِ

ـ

ِ

ِ

ﹶ ِ

ـ ﻀ

ـ ﻀ

ِ ِ

ِ

)

:

32

(

Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka

7

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama 1986, hlm. 415

8

(3)

dalam kehidupan di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat saling mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (Az-Zukhruf 43: 32).9

Setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairât

(berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (QS Al-Baqarah [2]: 148). Setiap perlombaan menjanjikan "hadiah". Di sini hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi, tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal ini.

Artinya: Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak berjuang) kecuali yang uzur dengan orang yang berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berjuang karena uzur) satu derajat. Dan. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan baik...(QS Al-Nisa [4]: 95).10

...

Artinya: Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (QS Al-Zumar [39]: 9).11

9

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama 1986, hlm. 798

10

Ibid, hlm.136 11

(4)

Keadilan seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi. Sehubungan dengan itu, Murtadha Muthahhari mmenggunakan kata adil dalam empat hal, pertama, yang dimaksud dengan adil adalah keadaan yang seimbang; kedua, persamaan dan penafian (peniadaan) terhadap perbedaan apa pun; ketiga, memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.12

Keadilan dalam pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Maka membangun keadilan berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan.13 Masalah keadilan ialah bagaimanakah mengubah struktur-struktur kekuasaan yang seakan-akan sudah memastikan ketidakadilan, artinya yang memastikan bahwa pada saat yang sama di mana masih ada golongan-golongan miskin dalam masyarakat, terdapat juga kelompok-kelompok yang dapat hidup dengan seenaknya karena mereka menguasai sebagian besar dari hasil kerja dan hak-hak golongan yang miskin itu.

Menurut Juhaya S.Praja, dalam Islam perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Perkataan yang benar harus disampaikan apa adanya walaupun perkataan itu akan merugikan kerabat sendiri. Keharusan berlaku adil pun harus dtegakkan dalam keluarga dan

12

Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, Terj. Agus Efendi, Mizan anggota IKAPI, Bandung, 1981, hlm. 53 – 56. Dalam tulisannya “Rhetorica,

Aristoteles membedakan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-masing). Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya; bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Sedangkan keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Ia memegang peranan dalam tukar menukar, pada pertukaran barang-barang dan jasa, dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Keadilan komutatif lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus, sedangkan keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus. Lihat C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 42

13

(5)

masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat islam diperintahkan berlaku adil. Untuk keadilan sosial harus ditegakkan tanpa membedakan karena kaya miskin, pejabat atau rakyat jelata, wanita atau pria, mereka harus diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama.14 Senada dengan itu, Sayyid Qutb menegaskan bahwa Islam tidak mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang digantungkan kepada tingkatan dan kedudukan.15

Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia adalah prinsip keadilan sosial dan pelaksanaannya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Islam memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan oleh semua orang yang beriman. Setiap anggota masyarakat didorong untuk memperbaiki kehidupan material masyarakat tanpa membedakan bentuk, keturunan dan jenis orangnya. Setiap orang dipandang sama untuk diberi kesempatan dalam mengembangkan seluruh potensi hidupnya.16

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Islam bertujuan membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis. Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga. Karenanya semua anggota keluarga itu mempunyai derajat yang sama dihapan Allah. Islam tidak membedakan pria ataupun wanita, putih atau hitam. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada kemanusiaan.

14

Juhaya S.Praja, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA, Bandung, 1995, hlm. 73.

15

Sayyid Qutb, “Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Terj. Machnun Husein, CV Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 224.

16

(6)

B. Aspek-Aspek Keadilan dalam Islam

1. Aspek Hukum

Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu.17 Menurut Siti Musdah Mulia, hukum adalah aturan-aturan normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Hukum tidak tumbuh di ruang vakum (kosong), melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya suatu aturan bersama.18 Sedangkan hukum Islam oleh TM. Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip oleh Ismail Muhammad Syah dirumuskan sebagai koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat.19

Dalam kaitannya dengan aspek hukum, bahwa keadilan hukum Islam bersumber dari Tuhan yang Maha Adil, karena pada hakikatnya Allah-lah yang menegakkan keadilan (quiman bilqisth), maka harus diyakini bahwa Allah tidak berlaku aniaya (zalim) kepada hamba-hamba-Nya (Q.S. 10/Yunus: 449). Oleh karena itu setiap perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya pada hari keadilan (Q.S. 4/al-Nisa: 110). Adil dalam pengertian persamaan (Equality), yaitu persamaan dalam hak, tanpa membedakan siapa; dari mana orang yang akan diberikan sesuatu keputusan oleh orang yang diserahkan menegakkan keadilan, sebagaimana dimaksud firman Allah Q.S. 4/al-Nisaa': 58:

...

E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ihtiar, Jakarta, 1966, hlm. 13.

18

Siti Musdah Mulia, “Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Editor), Islam Negara dan Civil Society, Paramadina (Anggota IKAPI), Jakarta, 2005, hlm. 302.

19

(7)

Artinya: Dan ...Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau putuskan dengan adil.20

Ketegasan prinsip keadilan tersebut dijelaskan oleh salah satu ayat al-Qur'an Q.S. 57/al-Hadid:25.

ﹸِ

ﹶ ِ

ِ

ِ

ﹾ

ِ

ﹾﹶ

ِ

ِ

ِ

ِ

ِ

ِ

ِ ﹾ

ِ

ِ

ِ

)...

:

25

(

Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti nyata, dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan al-Mizan padanya terdapat kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi manusia...21

Pada ayat itu, terdapat kata mizan (keadilan) dengan hadid (besi). Besi adalah suatu benda yang keras, dan dijadikan sebagai senjata. Demikian pula halnya hukum dan keadilan harus ditegakkan dengan cara apapun, jika perlu dengan paksa dan dengan kekerasan, agar yang bersalah atau yang batil harus menerima akibatnya berupa sanksi atau kenistaan, sedangkan yang benar atau yang hak dapat menerima haknya.22

Dalam prinsip keadilan hukum ini Nabi SAW menegaskan adanya persamaan mutlak (egalitarisme absolut, al-musawah al-muthlaqah) di hadapan hukum-hukum syariat. Keadilan dalam hal ini tidak membedakan status sosial seseorang, apakah ia kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, dan tidak pula karena perbedaan warna kulit serta perbedaan bangsa dan agama, karena di hadapan hukum semuanya sama.

Konsep persamaan yang terkandung dalam keadilan tidak pula menutup kemungkinan adanya pengakuan tentang kelebihan dalam beberapa aspek, yang dapat melebihkan seseorang karena prestasi yang

20

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama 1986, hlm. 128

21

Ibid, hlm. 904 22

(8)

dimilikinya. Akan tetapi kelebihan tersebut tidaklah akan membawa perbedaan perlakuan hukum atas dirinya. Pengakuan adanya persamaan, bahkan dalam al-Qur'an dinyatakan sebagai "pemberian" Allah yang mempunyai implikasi terhadap tingkah laku manusia, adalah bagian dari sifat kemuliaan manusia (al-karamah al-insaniyah), yang juga bagian dari ketetapan Tuhan (Q.S. 17/al-Isra: 70).

Martabat dan harkat manusia dalam pandangan al-Qur'an adalah sebagai anugerah Allah SWT,. Oleh karena itu tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat merusakkan dan menghancurkannya, kecuali sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Pengakuan tentang adanya harkat dan kehormatan ini sekaligus juga memperkuat adanya kewajiban dan tanggungjawab manusia yang seimbang dalam kehidupan ini. Kecuali itu, keadilan hukum berarti pula adanya keseimbangan dalam hukuman terhadap kejahatan atau pelanggaran, hukuman seimbang atau setimpal dengan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.

Penegakan keadilan secara adil dan merata tanpa pilih bulu adalah menjadi keharusan utama dalam bidang peradilan, walaupun berkaitan dengan diri sendiri, keluarga dekat, atau orang-orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan, sebagaimana dikemukakan secara gamblang dalam surat an-Nisa ayat 135.23 Untuk melihat bagaimana praktek penerapan keadilan bidang hukum dalam sejarah, berikut ini dikemukakan suatu peristiwa bahwa setelah penaklukan kota Mekah, ada seorang perempuan keturunan suku Quraisy dari Bani Makhzum melakukan pencurian. Menurut ketentuan hukum Islam, hukuman yang harus dijatuhkan terhadap pencuri adalah potong tangan (Q.S. 5/al-Maidah: 38). Mengetahui betapa beratnya hukuman tersebut, maka salah seorang pemuka Quraisy menemui Usamah bin Zaid meminta agar Usamah menemui Nabi SAW untuk menyampaikan permohonan suku Makhzum ini kepada Nabi agar wanita tersebut diberi dispensasi, dibebaskan dari hukuman pidana tersebut. Mendengar permintaan Usamah ini, Nabi SAW.

23

(9)

balik bertanya kepada Usamah, apakah mereka ini meminta syafa'at bagi seseorang dalam kejahatan yang telah jelas hukumannya dari Allah. Kemudian serta merta Nabi SAW. berdiri seraya memberikan penjelasan singkat: sesungguhnya kebinasaan umat sebelummu bahwa jika terjadi pencurian yang dilakukan orang dari golongan bangsawan, mereka dibebaskan tidak dihukum, tetapi jika pencurian dilakukan oleh orang lemah (rakyat biasa) mereka melaksanakan hukumannya, maka Nabi SAW mengucapkan sumpah, Demi Allah jika Fatimah anak Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.

Keadilan hukum dalam Islam tidak menyamakan hukuman di antara orang kuat dan orang lemah, tetapi memiliki persepsi lain yang belum pernah ada sebelumnya, dan tidak dapat disamakan dengan sistem hukum manapun sekarang ini, bahwa hukuman bisa menjadi lebih berat bila pelakunya orang besar, dan hukuman sesuai dengan tindakan pidana, maka haruslah hukuman itu menjadi lebih berat sesuai dengan kelas pelaku tindak pidana tersebut. Keadilan dalam hukum Islam membawa suatu prinsip yang belum pernah dikenal sebelumnya. Sebagian negara-negara di dunia sekarang tidak memberikan hukuman terhadap tindakan pidana yang dilakukan seorang kepala negara, karena hukum itu tidak mengandaikan terjadinya tindakan pidana dari seorang kepala negara. Para pembuat undang-undang menganggap pribadi kepala negara sebagai orang yang dilindungi dan tidak dapat disentuh oleh hukum.24

Terlepas dari kenyataan itu semua, para fuqaha telah sepakat bahwa para penguasa dan pemimpin tertinggi negara tetap bisa dikenakan hukum seperti halnya kebanyakan orang, tanpa perbedaan apapun. Jadi, tidak ada perbedaan antara pimpinan besar yang menjadi kepala negara dan orang biasa dalam perlakuan hukum. Kedudukannya sebagai kepala negara tidak dapat menyelamatkan dari ancaman hukuman bila terbukti bersalah.

24

(10)

Sebagai ilustrasi, berikut ini dikemukakan pula suatu konsep model konstitusi Islam yang ideal yang mengatur hak dan kewajiban berdasarkan keadilan. Di antara isi konsep institusi itu adalah (1) setiap orang berhak mendapat perlindungan bagi kebebasan pribadinya. (2) setiap orang berhak memperoleh makanan, perumahan, pakaian pendidikan dan perawatan medis. Negara harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas untuk itu sesuai dengan kemampuan. (3) setiap orang berhak mempunyai pikiran, mengemukakan pendapat dan kepercayaan selama ia masih berada dalam batas-batas yang ditetapkan oleh hukum. (4) semua orang sama kedudukannya dalam hukum. (5) semua orang dengan kemampuan yang sama berhak atas kesempatan yang sama, dan penghasilan yang sama atas pekerjaan yang sama, tanpa membedakan agama, etnis, asal-usul dan sebagainya (6) setiap orang dianggap tidak bersalah sampai akhirnya dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dan beberapa hak dan kewajiban yang menyangkut beberapa aspek sosial, politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan sebagainya.25

Keadilan hukum menempatkan secara formal semua orang sama di hadapan hukum. Martabat dan kehormatan manusia dalam pandangan al-Qur'an adalah anugerah Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat merusakkan dan menghancurkannya, kecuali sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan Allah. Berkaitan dengan materi hukum, keadilan yang diterapkan adalah keadilan berimbang. Dalam bidang hukum pidana, asas keberimbangan ini terlihat pada sanksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan. Semakin tinggi kualitas kejahatan, semakin tinggi sanksi yang diberikan, dan semakin tinggi status sosial dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, semakin berat hukuman yang dijatuhkan. Sementara itu, dalam bidang hukum perdata juga berlaku prinsip keadilan berimbang. Perbandingan dan perbedaan porsi bagi ahli waris sebagaimana yang telah ditentukan oleh al-Qur'an,

25

(11)

adalah disesuaikan dengan perimbangan tanggung jawab yang dibebankan antara laki-laki dan perempuan. Di sini kelihatan jelas sekali, bahwa keadilan diterapkan dalam upaya menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya.

Termasuk keadilan dalam hukum, adalah pengenaan denda atau hukuman atas orang-orang yang melanggar ketentuan-ketentuan agama, seperti seorang suami yang menzihari istrinya atau suami isteri yang melakukan hubungan seksual pada siang hari bulan Ramadhan. Atas mereka dikenakan kifarat (semacam hukuman), yaitu memberi makan 60 orang fakir miskin, sedangkan bagi orang yang mengambil haji tamattu'; kepadanya dikenakan denda, yaitu dalam bentuk memotong seekor kambing sebagai dam.

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa keadilan sosial dalam aspek hukum ditandai dengan adanya persamaan semua orang dihadapan hukum, selain itu hukum ada di atas segalanya dan setiap orang dilindungi hak-haknya.

2. Aspek Ekonomi

Perkataan ekonomi berasal dari perkataan Yunani “oikonomia”, arti yang sesungguhnya dari perkataan tersebut ialah peraturan rumah tangga (oekos = rumah dan nomos = peraturan).26 Sedangkan ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan As-Sunnah, serta merupakan bangunan perekonomian yang didirikan di atas landasan tersebut sesuai dengan lingkungan dan masa.27

Dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi, bahwa keadilan dalam bidang ekonomi pada prinsipnya harta itu tidak boleh terpusat pada

26

Kaslan A. Thohir, Ekonomi Selayang Pandang, NV. Penerbitan W. Van Hoeve, Bandung, 1951, jilid 1, hlm. 239.

27

(12)

kelompok aghniya (golongan kaya) saja sebagaimana dikemukakan dalam surat al-Hasyr: 7. Jika terjadi pemusatan kekayaan, maka akan timbul ketimpangan sosial, akan terjadi kemiskinan dan proses pemiskinan. Islam memandang bahwa kemunduran umat Islam bukan hanya terletak pada kejahilan terhadap syariat Islam saja, tetapi juga pada ketimpangan struktur ekonomi dan sosial. Ini dilukiskan oleh Al-Qur'an ketika menjelaskan bahwa kemiskinan itu bukanlah semata-mata diakibatkan oleh kemalasan individual, melainkan disebabkan tidak adanya usaha bersama untuk membantu kelompok lemah, adanya kelompok yang memakan kekayaan alam dengan rakus dan mencintai kekayaan dengan kecintaan yang berlebihan (al-Fajr: 17-20).28

Kemiskinan dan keterbelakangan umat adalah tanggung jawab bersama, ditegaskan berulang kali dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasul. Misalnya: pertama, menolong dan membela manusia yang lemah (mustadh'afin), adalah tanda-tanda orang yang bertakwa (al-Ma'ârij: 24-25). Kedua, mengabaikan golongan fakir miskin, acuh tak acuh terhadap mereka, dan enggan memberikan pertolongan dianggap mendustakan agama (al-Mâ'un: 1-3). Ketiga, Rasulullah Saw menyatakan bahwa keberpihakan kepada golongan dhuafa akan menyebabkan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Umar bin Abdul Aziz berhasil membangun kemakmuran rakyatnya melalui institusi zakat dalam waktu relatif singkat melalui penegakan amanah dan keadilan yang ditegakkan oleh para aparatnya. Sejalan dengan ini, menarik untuk dikaji, ungkapan dari ahli sosiologi seperti Lappe, Collins, dan George yang dikutip Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa pengamatan yang cermat terhadap situasi yang terjadi saat ini, menunjukkan pola ketidakadilan dan penghisapan yang berakar dalam, baik yang tumbuh di dalam negeri maupun yang "diimpor" dari luar negeri, merintangi orang miskin untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Atas dasar itu maka rasa keadilan harus terus-menerus ditumbuhkan dan diusahakan, mulai dari lingkungan yang kecil

28

(13)

(rumah tangga) sampai kepada lingkungan yang besar dalam semua bidang kehidupan, agar kemakmuran yang dicita-citakan semakin mendekat pada kenyataan.29

Islam tidak menuntut adanya pemerataan kekayaan dalam arti yang sebenarnya secara harafiyah, karena distribusi kekayaan tergantung pada kemampuan masing-masing individu yang satu sama lain tidak seragam. Dengan demikian keadilan dalam arti yang mutlak menuntut agar imbalan kepada semua orang sama-sama berbeda, dan bahwa sebagian di antara mereka mendapatkan imbalan lebih besar daripada yang lain selama keadilan dalam arti kemanusiaan itu dipertahankan dengan disediakannya kesempatan yang sama bagi semua orang. Jadi tingkat atau kedudukan seseorang, asal-usul atau kelas dalam masyarakat jangan sampai menghalangi siapa saja untuk mendapatkan kesempatan itu, atau jangan sampai ada orang yang terhalang kesempatannya untuk berusaha karena belenggu itu. Keadilan juga harus dipertahankan dengan segala macam nilai yang berlaku, dan dengan pembebasan fikiran manusia secara tuntas dari pelaksanaan nilai-nilai ekonomik murni secara sewenang-wenang, serta dengan meletakkan kembali nilai-nilai ditempatnya yang wajar. Nilai-nilai ekonomik secara intrinsik tidak boleh ditempatkan pada posisi yang tinggi, sehingga menguasai posisi masyarakat yang tidak memiliki nilai-nilai yang pasti atau yang kurang memperhatikannya; sehingga dalam kondisi semacam itu uang merupakan satu-satunya nilai yang paling tinggi dan azasi.30

Islam menentang pendapat yang menyatakan bahwa hidup itu dapat diperhitungkan dengan istilah cukup pangan, cukup sandang atau cukup uang. Akan tetapi Islam pada saat yang sama menuntut adanya kemampuan pada setiap individu untuk mengembangkan dirinya, dan bahkan tidak hanya satu macam kemampuan, agar ia tidak tercekam oleh perasaan takut menjadi miskin. Pada sisinya yang lain Islam juga

29

Ibid 30

(14)

melarang kemewahan dan pemborosan yang melampaui batas yang dapat menimbulkan kelas-kelas dalam masyarakat. Islam memberikan hak kepada orang-orang miskin atas harta orang-orang kaya sekedar memenuhi kebutuhan mereka, dan sesuai dengan kepentingan yang baik bagi masyarakat, sehingga karenanya kehidupan masyarakat dapat sempurna, adil dan produktif. Jadi Islam tidak memisah-misahkan aspek-aspek kehidupan, antara material, intelektual, keagamaan dan duniawi; akan tetapi Islam mengatur keseluruhannya sehingga satu sama lain dapat dirangkaikan sebagai satu bentuk kehidupan yang utuh terpadu dan sulit untuk diperlakukan dengan diskriminasi. Setiap bagian dari kehidupan ini satu sama lain merupakan suatu kesatuan yang terorganisasi rapi, sama seperti keteraturan organisasi alam semesta yang terpadu itu, keteraturan hidup, keteraturan bangsa dan keteraturan seluruh umat manusia.31

Sesungguhnya diturunkan al-Qur'an adalah untuk membangun suatu sistem masyarakat yang bermoral dan egalitarian. Hal ini terlihat jelas di dalam celaan al-Qur'an terhadap disequilibrium ekonomi dan ketidakadilan sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman:

Al-Qur'an terus-menerus mengecam ketimpangan ekonomi itu (yang terjadi di kota Mekkah. pen.), karena inilah yang paling sulit untuk disembuhkan, dan ia merupakan inti dari ketimpangan sosial.32

Celaan dan kritikan al-Qur'an terhadap ketimpangan sosial ekonomi tampaknya dipertajam dengan perbandingan sikap dan perilaku yang tidak berkeadilan umat terdahulu, seperti Qarun, Fir'aun dan Haman, (al-Ankabut: 39 dan Q.S. 40/al-Mu'min: 24) yang mewakili kelompok-kelompok ekonomi, politik dan teknokrat dalam masyarakat. Ketidakadilan dalam aspek-aspek tersebut, jelas membawa dampak kehancuran dan kebinasaan seperti diungkapkan dalam al-Qur'an, tentang sikap orang-orang yang hidup bermewahan dalam suatu negeri, tetapi mereka bersikap durhaka, bakhil dan berbuat zalim (Q.S. 17/al-Israa': 16).

31

Ibid, hlm. 224 32

(15)

Dalam konsep keadilan ekonomi terkandung suatu prinsip, bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh kehidupan yang layak sebagai manusia, meskipun dalam kenyataannya setiap orang dibedakan oleh Tuhan tentang potensi dan berbagai kemampuan, balk fisik dan intelektual serta latar belakang profesi kehidupan ekonomi, sehingga ada yang lebih mudah mendapat rezeki dan ada yang sulit. Hal itu telah ditetapkan oleh Tuhan seperti dimaksud dalam firman-Nya Q.S. 43/al-Zukhruf: 32:

ِ

ـ

ِ

ِ

ﹶ ِ

ـ ﻀ

ـ ﻀ

ِ ِ

ِ

)

:

32

(

Artinya; Kami telah menentukan sumber kehidupan di antara manusia, dan Kami juga yang melebihkan sebagian dari sebagian yang lain, agar mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhan lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.33

Pengertian mempergunakan dalam ayat di atas termasuk berzakat. Maka zakat merupakan sub sistem keadilan sosial ekonomi yang ditegakkan oleh ajaran al-Qur'an, baik dilihat dari perspektif keadilan Tuhan maupun dari keadilan sosial kemanusiaan. Mengingkari kenyataan ini pasti akan melahirkan suatu bentuk masyarakat liberalistik-kapitalistik, yang tidak mengenal adanya hubungan fungsional antara keyakinan (akidah) dengan kegiatan ekonomi dan masyarakat, atau berdasarkan pertimbangan moral dengan pertimbangan ekonomi material. Mereka cenderung untuk melakukan segala cara dalam upaya mendapatkan harta kekayaan dan menggunakannya sesuka hati, serta menganggap harta itu sepenuhnya menjadi hak miliknya tanpa sedikitpun adanya keyakinan hak orang lain di dalamnya. Sikap demikian akan menimbulkan sikap perilaku

33

(16)

egoistis tanpa kepedulian sosial berdasarkan pertimbangan akal yang sehat dan rasa keadilan.

Konsep keadilan sosial ekonomi yang diamanatkan oleh al-Qur'an tidak pula menghendaki dijalankannya prinsip kesamarataan mutlak, seperti yang diajarkan oleh teori komunisme, karena jika prinsip ini diterapkan, justru bertentangan dengan prinsip dan konsep keadilan yang hakiki, di mana setiap orang akan menikmati perolehan yang sama, padahal secara faktual setiap orang memiliki latar belakang kemampuan yang berbeda, baik dari segi kualitas kecerdasan maupun dari segi motivasi dan etos kerja serta faktor-faktor internal lainnya.

Fakta fenomena sosial tentang adanya kaya miskin ini sesungguhnya tidak mungkin dihapuskan sama sekali, karena ia merupakan barometer untuk mengukur berfungsi atau tidaknya prinsip keadilan sosial, namun ia tidak boleh dibiarkan berkembang sedemikian rupa agar tidak terjadi jurang sosial yang terlalu dalam, yang dapat menimbulkan perbedaan kelas, dan akhirnya dapat memicu terjadinya kecemburuan sekaligus kerawanan sosial.

Upaya yang paling strategis dan efektif mengantisipasi kerawanan sosial itu adalah menyuburkan rasa keadilan sosial melalui penggalakan kesadaran berzakat, bersedekah, memberi pinjaman kebajikan (qardhan hasan) kepada golongan ekonomi lemah agar mereka mampu mandiri, karena dengan dana zakat yang sangat potensial itu dapat memberi peluang dan kesempatan untuk berusaha, melakukan berbagai kegiatan dan usaha-usaha ekonomi untuk mengaktualkan potensi yang ada pada dirinya, meskipun persamaan kesempatan itu tidak sama bobotnya sebagaimana pengertian yang dikembangkan oleh masyarakat liberalisme-kapitalisme.34

Menurut al-Qur'an, persamaan kesempatan itu memuat pengertian bahwa, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang layak dan sejahtera berdasarkan rasa keadilan Ilahi, dan

34

(17)

rasa saling membutuhkan. Oleh karena itu, terdapat tuntutan sekaligus ada pengakuan bahwa untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik perlu diseimbangkan antara kepentingan jasmaniah dengan kepentingan rohaniah.

Sesungguhnya al-Qur'an telah menggariskan suatu tatanan masyarakat yang bermoral dan egalitarian yaitu terwujudnya suatu masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial, bukan disequilibrium

sebagaimana gambaran pada sikap Qarun, Fir'aun dan Hamman yang tidak berperikeadilan sosial (Q.S. 28/ al-Qashash: 76) .

Beberapa bentuk keadilan tersebut, keadilan ekonomi dalam bentuk kewajiban zakat adalah wujud keadilan sosial yang paling konkrit yang mempunyai obyek dan tujuan yang luas, yaitu mengurangi berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan dalam masyarakat sebagai akibat dari sikap dan perilaku yang tidak berkeadilan sosial. Konsep keadilan sosial Islami mengajarkan dan mengusahakan untuk mendekatkan jarak antara yang kaya dan yang miskin, agar jangan sampai terjadi jurang pemisah yang terlalu dalam dan terhindar dari berbagai kerawanan sosial.

Konsep keadilan ekonomi ini mendapat perhatian penting bersama pelurusan akidah (tauhid), oleh Fazlur Rahman disebut sebagai elan dasar al-Quran. Hal itu dapat dilihat dari beberapa ayat al-Qur'an yang diturunkan dalam periode Mekah (Makkiyah) yang mencela sikap masyarakat jahiliah yang berlaku zalim dalam bidang ekonomi dengan berbagai bentuk dan manifestasi.35

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsepsi keadilan ekonomi yang Islami mempunyai ciri khas dari konsep ekonomi yang lain, di antaranya: pertama, keadilan sosial Islami dilandasi prinsip keimanan yaitu, bahwa semua yang ada di alam semesta adalah milik Allah. (Q.S. 10/Yunus:55). Kedua, keadilan sosial dalam Islam berakar

35

(18)

pada moral, ketiga, secara filosofis, konsep keadilan sosial berlandaskan pada pandangannya mengenai sesuatu yang memaksimumkan kebahagiaan manusia. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah wujud apa saja yang membahagiakan manusia.

3. Aspek Politik

Politik yang bahasa Arabnya as-siyasah (ﺔ ﺎ ّ ﻟا ) merupakan

mashdar dari kata sasa yasusu (سﻮ سﺎ ), yang pelakunya sa'is ( ﺋﺎ ). Ini merupakan kosa kata bahasa Arab asli, Tapi yang aneh, ada yang mengatakan bahwa kata ini diadopsi dari selain Bahasa Arab.36 Secara terminologi, bahwa pada umumnya dikatakan, politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.37

Hakikat politik adalah perilaku manusia, baik berupa aktivitas ataupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi ataupun mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Ini berarti bahwa kekuasaan bukanlah hakikat politik, meskipun harus diakui bahwa ia tidak dapat dipisahkan dari politik, justru politik memerlukannya agar sebuah kebijaksanaan dapat berjalan dalam kehidupan masyarakat.38

Wacana politik yang berkaitan dengan keadilan sosial akan berhubungan langsung dengan demokrasi dan penegakan hak-hak asasi. Pembahasan politik selalu diidentikkan dengan kekuasaan, padahal dalam proses sejarah politik tidak harus dilihat dari kacamata kekuasaan belaka, bahkan makna politik akan semakin absurd (kabur) jika hanya dilihat dalam perspektif kekuasaan.

36

Yusuf al-Qardawi, As-Siyasah Asy-Syar’iyah, Maktabah Wahbah, Cairo, 1419 H/1998 M, hlm. 28.

37

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 8. 38

Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur'an,

(19)

Ada beberapa hal yang perlu dikaji, yang berhubungan dengan keadilan dalam bidang politik:

a. Keadilan dalam memegang kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala kekuasaan ini adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk masyarakat.39 Mekanisme perimbangan kekuasaan itu menjadi dasar semua tatanan keadilan, yang jika manusia ikut serta dalam menegakkannya akan menjadi jaminan bagi kelangsungan hidup masyarakat atau bangsa sendiri.

Mekanisme kontrol dan perimbangan di zaman modern ini telah dibentuk menjadi sistem kenegaraan, yaitu sistem demokrasi. Prinsip utama dalam sistem demokrasi adalah kekuasaan ada di tangan rakyat yang berjalan melalui mekanisme perwakilan. Di mana rakyat berpartisipasi aktif dalam mekanisme pemerintahan baik melakukan kontrol secara langsung maupun tidak langsung (wakil mereka).

Istilah demokrasi tersebut terdiri dari dua perkataan, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti pemerintah. Dengan demikian dilihat dari arti kata-katanya demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.40 Dalam hal ini, demokrasi dalam bidang politik harus memandang dasar keadilan yang didampingi oleh rasa kemerdekaan (hurrihyah) dan persamaan (musawah). Jika hal ini digabungkan akan membentuk hukum yang "demokratis" tertinggi di mana negara kerakyatan dapat memayungi rakyat dengan keadilan dan

39

Miriam Budiardjo, op. cit, hlm. 245 40

(20)

ketentraman.41 Jadi yang dimaksud keadilan di sini keadilan yang harus dipegang seorang pemimpin yang mengandung arti perimbangan atau keadaan seimbang, tidak pincang dalam menunaikan tugas yang diamanatkan Allah ataupun rakyat kepada dirinya, agar amanat itu dijalankan sebagaimana mestinya menurut undang-undang dan hukum yang berlaku.

b. Keadilan dalam memberikan hak warga negara

Keadilan tidak akan pernah lepas dari masalah-masalah penegakan hak-hak asasi. Di mana keadilan itu sendiri harus ditegakkan lewat pemberian hak kepada yang berhak.

Keadilan itu yang dimaksud adalah keadilan dalam pemberian hak-hak warga negara. Inilah keadilan yang tidak dapat diabaikan dalam ranah politik. Adanya tingkat partisipasi politik yang tinggi, dalam Islam itu berakar dalam adanya hak-hak pribadi dan hak-hak masyarakat yang tidak dapat diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat menghasilkan adanya tanggung jawab bersama terhadap kesejahteraan para warga. Hak masyarakat itu atas pribadi warga negaranya menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga itu kepada masyarakat. Jadi, hak dan kewajiban adalah sesungguhnya dua sisi dari satu kenyataan hakiki manusia, yaitu harkat dan martabatnya.42

Disinilah fungsi negara sebagai sistem kekuasaan, yaitu menjamin kepada seluruh warganya untuk dapat menikmati hak-hak. Hak-hak yang paling asasi yang dimiliki manusia bukanlah hadiah dari negara tetapi merupakan kodrat martabat kemanusiaan yang telah diberikan Tuhan sejak lahir. Di antara hak-hak dasar itu adalah hak berpendapat, hak kebebasan beragama, hak hidup yang layak, hak berserikat. Hak-hak ini harus selamanya dijamin dalam realisasinya

41

H, Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, op.cit,, hlm, 44 42

(21)

dan jika negara atau orang lain merampasnya sudah seharusnya dituntut.

C. Konsep Keadilan Gender dalam Islam

Inti keadilan adalah persamaan hak, sedangkan yang disebut gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.43 Pengertian lain menganggap gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.44 Gender adalah usaha sebagai perbedaan yang tampak (kelihatan) antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Tetapi oleh beberapa ahli gender keterangan itu mesti ditambah dan disempurnakan. Wilson yang dikutip Yudhie R.Haryono menulis; gender adalah sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan kolektif (masyarakat), yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Jadi ada aspek fungsi yang membedakan antar keduanya, yaitu antara laki-laki dan perempuan.45

Gender adalah perbedaan sosial antara kaki-laki dan perempuan yang di titik beratkan pada prilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan gender adalah sebuah kontruksi sosial (social contruction).

43

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 8. Kata “kultural” berarti kebudayaan, dan kata kebudayaan menurut E.B. Tylor yang dikutip Soerjono Soekanto yaitu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Definisi yang singkat yaitu semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 167.

44

Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 4.

45

(22)

Singkat kata, gender adalah interprestasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin.46

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah usaha mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi-segi sosial budaya, psikologis bahkan moral etika dan seni. Inti dari wacana gender itu sendiri adalah persamaan hak. Dari pengertian itu maka keadilan gender itu sebenarnya sudah ada, tapi hakikat keadilan gender yang memperkuat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan itu dalam pelaksanaannya seringkali mengalami distorsi.

Berbicara tentang konsep gender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat dalam Al-Qur'an, antara lain QS Al-Hujurat, [49]:13, Al-Nisa', [4]:1, Al-A'raf, [7]:189, Al-Zumar, [39]:6, Fatir, [35]:11, dan Al-Mu'min, [40]: 67 menegaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas jender terhadap lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa Al-Qur'an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki. Senada dengan Al-Qur'an, sejumlah hadis Nabi pun menyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki. Dengan demikian, pada hakikatnya manusia itu adalah sama dan sederajat, mereka bersaudara dan satu keluarga.

Meskipun secara biologis keduanya: laki-laki dan perempuan berbeda sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur'an, namun perbedaan jasmaniah itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan mengistimewakan laki-laki. Perbedaan biologis jangan menjadi pijakan untuk menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan

46

(23)

laki-laki pada posisi superordinat. Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan seharusnya menuntun manusia kepada kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan dengan bekal perbedaan itu keduanya diharapkan dapat saling membantu, saling mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Karena itu, keduanya harus bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang damai menuju kepada kehidupan abadi di akhirat nanti.47

Islam secara tegas menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah Swt. Dari perspektif penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni sama-sama dari tanah (saripati tanah), sehingga sangat tidak beralasan memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Pernyataan ini misalnya terdapat dalam QS. Mukminun, [23]:12-16; Al-Hajj, [22]:5; dan Shad, [3 8] 71. Dari perspektif amal perbuatan, keduanya dijanjikan akan mendapat pahala apabila mengerjakan perbuatan yang makruf dan diancam dengan siksaan jika berbuat yang mungkar (Nisa', [4]:24; Al-Nahl, [16]:97; Al-Maidah, [5]:38; Al-Nur, 2; Al-Ahzab,[33]:35-36; Al-An'am, [6]: 94; Al-Jatsiyah, [45]:21-22; Yunus, [10]:44; Al-Baqarah, [2]:48; dan Ali Imran, [3]:195). Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam disebut amar ma'ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera (baldatun thayyibah wa rabun ghafur).

Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali diperlakukan tidak setara dengan laki-laki. Kondisi yang timpang ini muncul karena masyarakat sudah terlalu lama terkungkung oleh nilai-nilai patriarkhi dan nilai-nilai bias gender dalam melihat relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai patriarki selalu menuntut pengakuan masyarakat atas kekuasaan laki-laki dan segala sesuatu yang berciri laki-laki.

47

(24)

Dalam pandangan patriarki, laki-laki dan perempuan adalah dua jenis makhluk yang berbeda sehingga keduanya perlu dibuatkan segregasi ruang yang ketat; laki-laki menempati ruang publik, sedangkan perempuan cukup di ruang domestik. Posisi perempuan hanyalah merupakan subordinate dari laki-laki.48

Karena itu, perlu sekali memberikan wawasan baru yang lebih humanis dan lebih sensitif jender kepada para pemuka agama, laki-laki dan perempuan, sehingga pada gilirannya nanti terbangun kesadaran di kalangan mereka akan perlunya reinterprestasi ajaran agama, khususnya ajaran yang berbicara tentang relasi gender. Tidak ada jalan lain untuk keluar dari kondisi demikian selain melakukan pembongkaran (dekonstruksi) atas seluruh penafsiran agama yang memposisikan perempuan sebagai objek. Selanjutnya, akan terbangun penafsiran yang menempatkan perempuan sebagai manusia yang utuh, sebagai subjek yang otonom yang memiliki kebebasan memilih (freedom of choice) atas dasar hak-haknya yang sama dengan laki-laki. Bukankah Al-Qur'an sudah menegaskan:

ـ 

ِ ﹶ

ِ

ِ

ِ

ﹾﹶ

ِ

ِ

ِ

)

:

97

(

Artinya: "Siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Kami juga akan memberikan balasan berupa pahala yang lebih baik daripada yang telah mereka kerjakan" (QS Al-Nahl, [16]:97).49

Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat keseluruh alam, termasuk kepada kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang mendasari ajaran Islam seperti perdamaian, pembebasan, dan egalitarianisme termasuk persamaan derajat antara lelaki dan perempuan banyak tecermin dalam ayat-ayat Al-Quran. Kisah-kisah tentang peran penting kaum perempuan di zaman Nabi

48

Ibid, hlm. 8 49

(25)

Muhammad Saw., seperti Siti Khadijah, Siti Aisyah, dan lain-lain, telah banyak ditulis. Begitu pula tentang sikap beliau yang menghormati kaum perempuan dan memperlakukannya sebagai mitra dalam perjuangan.

Namun dalam kenyataan dewasa ini dijumpai kesenjangan antara ajaran Islam yang mulia tersebut dengan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang kesederajatan antara lelaki dan perempuan, masih banyak tantangan dijumpai dalam merealisasikan ajaran ini, bahkan di tengah masyarakat Islam sekalipun. Kaum perempuan masih tertinggal dalam banyak hal dari mitra lelaki mereka. Dengan mengkaji data dan mencermati fakta yang menyangkut kaum perempuan seperti tingkat pendidikan mereka, derajat kesehatan, partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan, tindak kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual dan perkosaan, eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan, dan sebagainya, kita dapat menyimpulkan betapa masih memprihatinkannya status kaum perempuan.

Perjuangan untuk mencapai kesederajatan dengan kaum lelaki sebagaimana diajarkan Al-Qur'an masih panjang dan memerlukan dukungan dari semua pihak termasuk kaum lelaki. Bagaimanapun juga, masalah perempuan adalah masalah kemanusiaan, termasuk di dalamnya kaum lelaki. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an, lelaki dan perempuan itu saling menolong, saling memuliakan, dan saling melengkapi.

Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama. Namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Banyak faktor seperti lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat, sistem (termasuk sistem ekonomi dan politik), serta sikap dan perilaku individual yang menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut.

(26)

patriarkat dapat dikurangi. Kesejajaran akan tercapai jika perempuan di satu sisi meningkatkan kemampuannya dan lelaki di sisi lain mengurangi tuntutan akan pengistimewaan tersebut.50

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena alasan sebagai berikut. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial. Maka sesungguhnya terjadi keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan ketidakadilan sosial lainnya. Pemahaman atas konsep gender sangat diperlukan mengingat dari konsep ini telah lahir suatu analisis gender.51

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan

50

Lili Zakiyah Munir et. all, (Editor), Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 11-12

51

(27)

lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satu pun manifestasi ketidakadilan gender yang lebih penting, lebih esensial, dari yang lain. Misalnya, marginalisasi ekonomi kaum perempuan justru terjadi karena stereotipe tertentu atas kaum perempuan dan itu menyumbang kepada subordinasi, kekerasan kepada kaum perempuan, yang akhirnya tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri. Dengan demikian, kita tidak bisa menyatakan bahwa marginalisasi kaum perempuan adalah menentukan dan terpenting dari yang lain dan oleh karena itu perlu mendapat perhatian lebih. Atau sebaliknya, bahwa kekerasan fisik (violence) adalah masalah paling mendasar yang harus dipecahkan terlebih dahulu.52

Proses marginalisasi, yang mengakibatkan kemiskinan/ sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya, program swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Di Jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak

52

(28)

memungkinkan lagi panenan dengan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin di desa termarginalisasi, yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Berarti program revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender.

Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.53

Islam banyak sekali memberikan hak-hak kepada kaum perempuan di mana hak tersebut tidak pernah diperoleh sebelum Islam. Sebagai contoh antara lain dapat dikemukakan:

1. Mahar. Mahar (maskawin) adalah sudah dikenal pada masa jahiliah, jauh sebelum Islam datang. Akan tetapi mahar sebelum datangnya Islam tidak diperuntukkan kepada calon istri, melainkan kepada ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak istri. Karena konsep perkawinan menurut berbagai bentuk hukum adat ketika itu sama dengan transaksi jual beli. Yakni jual beli antara calon suami dengan ayah si perempuan selaku pemilik barang. Ketika Al-Quran datang, pranata mahar tetap dilanjutkan, hanya saja konsepnya yang mengalami perubahan. Kalau dahulu mahar dibayarkan ke pihak orang tua (ayah) calon istri, maka sekarang mahar tersebut diperuntukan kepada calon istri. Dengan demikian, Al-Quran mengubah status perempuan sebagai "komoditi" barang dagangan menjadi subjek yang ikut terlihat dalam suatu kontrak.

53

(29)

2. Talak. Institusi talak dikenal pada masa jahiliah, akan tetapi talak ketika itu merupakan hak otonom kaum laki-laki. Kapan dan di mana saja ia mau menalak istrinya. Al-Qur'an tetap mengakui institusi talak ini, tetapi dengan pembatasan-pembatasan. Salah satu pembatasan tersebut ialah pemberlakukan masa iddah yang terutama bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada suami untuk rujuk kepada istrinya. Lagi pula selama dalam masa iddah, istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Pembatasan talak serta beban dan konsekuensi talak tidak umum dikenal sebelum Islam.

3. Poligami. Poligami (ta'addud al-zaujat) dalam masyarakat adalah salah satu bagian dari budaya masyarakat pra-Islam. Seorang laki-laki dapat mengawini perempuan dalam jumlah yang tidak terbatas. Bahkan banyaknya istri menjadi simbol kehebatan seorang laki-laki.

Al-Quran dan hadis membatasi kebiasaan berpoligami dengan memberikan isyarat dan syarat yang tidak ringan. Lagi pula dibatasi tidak boleh lebih dari empat orang. Dari satu segi Al-Quran memberikan syarat kebolehan melakukan poligami bagi orang yang dapat memenuhi persyaratannya. Akan tetapi pada ayat lain memustahilkan persyaratan itu dapat dicapai.

(30)

mendapatkan warisan meskipun porsinya belum seperti yang diterima kaum laki-laki. Perubahan hukum dalam masyarakat, dari tidak mendapat menjadi dapat warisan tidak lepas dari konteks historis masyarakat Arab ketika itu sudah berlangsung bergeser dari masyarakat yang bertumpu pada kabilah ke masyarakat yang bertumpu kepada keluarga sebagaimana yang diperkenalkan dalam Islam. Logikanya, porsi dua banding satu ( al-dzakarī mitslũ hazhzhi al-untsayain) QS Al-Nisa' [4]: 11) dalam hukum kewarisan Islam bukanlah bentuk final dari hukum tersebut. Ide pokok dari hukum kewarisan Islam, sebagaimana juga hukum-hukum lainnya, adalah mewujudkan rasa keadilan (al-'adl) dan menegakkan amanah dalam masyarakat (tuadd al-amanah).

Dengan kata lain, Islam berangsur-angsur mengubah konsep ekonomi kabilah ke konsep ekonomi keluarga. Dalam Islam, kaum perempuan selalu berada pada posisi yang selalu diuntungkan secara fisik-material. Misalnya, jika ia sebagai istri dipertanggungjawabkan oleh suaminya, sebagai anak ia diurus oleh ayahnya, sebagai saudara ia di bawah perwalian saudara laki-lakinya. Jadi pandangan stereotip terhadap perempuan yang dikaitkan dengan porsi pembagian warisan satu berbanding dua (lī al-zakari mislu hazzi al-untsayain) mestinya tidak menimbulkan problem jika seandainya masyarakat kita konsisten dengan pranata dan tatanan sosial dalam Islam.

Dalam Islam, kaum perempuan memperoleh berbagai hak sebagaimana halnya kaum laki-laki. Sebagai contoh dapat dilihat pada beberapa hal.

Tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Sebaliknya Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut.

(31)

lembaga swasta. Selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Dalam Islam, kaum perempuan mendapatkan kebebasan bekerja selama mereka memenuhi syarat dan mempunyai hak untuk bekerja dalam bidang apa saja yang dihalalkan dalam Islam. Terbukti di masa Nabi, kaum perempuan banyak terjun dalam berbagai bidang usaha, seperti Khadijah bind Khuwailid (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan, Zainab binti Jahsy, yang berprofesi sebagai penyamak kulit binatang, Ummu Salim binti Malham yang berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah bin Mas'ud dan Ailat Ummi Bani Ammar yang dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses, Al-Syifa' yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh Khalifah Umar sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.

Begitu aktifnya kaum perempuan pada masa Nabi, Aisyah pernah mengatakan, "Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan kaum laki-laki." Dalam suatu riwayat lain Nabi pernah mengatakan, "Sebaik-baiknya permainan seorang perempuan Muslimah di dalam rumah adalah memintal/menenun."

Jabatan kontroversi bagi kaum perempuan adalah menjadi kepala negara. Sebagian ulama masih menganggap jabatan ini tidak layak bagi seorang perempuan. Namun, akibat perkembangan masyarakat dari zaman ke zaman jumlah pendukung pendapat ini mulai berkurang. Bahkan Al-Maududi, yang dikenal sebagai ulama yang secara lebih tekstual mempertahankan ajaran Islam, sudah memberikan dukungan kepada perempuan untuk menduduki jabatan perdana menteri di Pakistan.

(32)

Kalimat pertama diturunkan dalam Al-Quran adalah kalimat perintah dan kalimat perintah tersebut adalah perintah untuk membaca (iqra'), lalu disusul dengan sumpah pertama Tuhan dalam Al-Quran yaitu

Nun wa al-qalami wa ma yasthurun (Demi kalam dan apa yang dituliskannya). Hal ini menegaskan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam Islam. Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya kepada laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan, seperti ditegaskan dalam hadis yang populer di dalam masyarakat, "Menuntut ilmu pengetahuan adalah difardukan kepada kaum Muslim laki-laki dan perempuan." Al-Quran dan hadis banyak memberikan pujian kepada laki-laki dan perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah didatangi kelompok kaum perempuan yang memohon kesediaannya untuk menyisihkan waktunya guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam klasik ditemukan beberapa nama perempuan yang menguasai ilmu pengetahuan penting seperti Aisyah istri Nabi, Sayyidah Sakinah, putri Husain bin Ali bin Abi Thalib, Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari dengan "Fakhr Al-Nisa'" (Kebanggaan Kaum Perempuan), adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, Mu'nisat Al-Ayyubi (saudara Salahuddin Ayyubi), Syamiyat Taimiyah, Zainab, putri sejarahwan Al-Bagdady, Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain sebagainya.

Kemerdekaan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan banyak dijelaskan dalam beberapa hadis, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat perempuan yang membuat keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi tidak dilarang mengadakan perserupaan dalam hal kecerdasan dan amar ma'ruf.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah peristiwa penegakan jembatan emas kemerdekaan Indonesia mengandung nilai–nilai perjuangan ’45 yang harus dihayati para siswa sebagai kader penerus

Implementasi Metode Pembelajaran Drill Sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Mata Diklat Plc (Programmable Logic Control) Smk Muhammadiyah

Fay’s critical social science in combination with Dewey’s notion of curriculum as experience and critical, participatory action research proved pivotal in the framing and writing

Maka, apabila suatu nilai boolean dinegasikan sebanyak X kali yang mana X adalah bilangan genap, nilai boolean tersebut akan sama dengan nilai awal sebelum diberikan operasi

dengan metode drill dapat meningkatkan keterampilan memakai sepatu bertali. pada subjek DP, maka peneliti mengajukan beberapa rekomendasi, antara lain

 Klitoris merupakan alat reproduksi betina bagian luar yang homolog dengan gland penis pada hewan jantan yang terletak pada sisi ventral sekitar 1 cm dalam labia. Klitoris

Sebuah mobil ambulans menempuh jarak 10 km pada kecepatan 50 km/jam, Berapakah kecepatan (dalam km/jam) yang harus dicapai oleh ambulans tersebut agar total waktu tempuh

Pendamping atas segala bimbingan, masukan dan telah meluangkan waktunya mulai dari awal penyusunan hingga akhir penelitian skripsi ini.. Wuryatno, dr., Sp.OG, selaku