• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDIKATOR VARIABEL DAN PARAMETER SISTEM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INDIKATOR VARIABEL DAN PARAMETER SISTEM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

- 1 -

INDIKATOR, VARIABEL DAN PARAMETER SISTEM TRANSPORTASI KOTA YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI BBM

Prof. Ir. Pinardi Kustalan, M.Sc, Program Doktor Teknik Sipil Undip Dr. Ir. Bambang Riyanto, DEA, Program Doktor Teknik Sipil Undip

Ir. Mudjiastuti Handajani MT, (Candidat Doktor), Program Doktor Teknik Sipil Undip

Abstrak

Peningkatan kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi memberi dampak negatif pada pemborosan energi, khususnya negara maju dan negara berkembang. Sektor transportasi menggunakan bahan bakar dari fosil (mahal dan tidak terbarukan). Strategi dan kebijakan transportasi darat adalah penghematan energi/BBM Transportasi dan konsumsi BBM, keduanya strategis karena berkaitan dengan sistem perekonomian dan sistem lingkungan berskala lokal, nasional maupun global.

Ada korelasi pola tata guna lahan dengan sistem transportasi dan kepadatan penduduk. BBM per kapita dipengaruhi sistem jaringan jalan, tetapi bentuknya belum ditemukan. Kondisi lalulintas berhubungan erat dengan sistem jaringan jalan dan konsumsi BBM. Pola jaringan jalan dan kondisi lalulintas dapat menggambarkan tingkat kebutuhan BBM.

Struktur kota tidak masuk dalam sistem transportasi tetapi struktur kota saling berpengaruh terhadap sistem transportasi kota, sehingga struktur kota dalam hal ini dimasukkan sebagai faktor yang mempengaruhi sistem transportasi kota. Lebih rinci, sistem transportasi kota terhadap konsumsi BBM dipengaruhi oleh faktor-faktor: a) Struktur kota Demand: jumlah penduduk, kepadatan penduduk, tata guna lahan, PDRB. b) Sistem transportasi: Supply : panjang jalan, pola jaringan jalan, pelayanan angkutan umum, kondisi jalan, kecepatan kendaraan, Demand : jumlah kendaraan, panjang perjalanan. c). Konsumsi BBM : solar, premium, pertamax, pertamax +. Namun demikian, kenyataan di Indonesia, data dan informasi itu belum tentu tersedia sesuai dengan kebutuhan.

Kata Kunci : Sistem Transportasi, Struktur Kota, Konsumsi BBM.

1. Latar Belakang

Transportasi berkelanjutan (Sustainable Transportation), adalah kegiatan yang melindungi sumber/urban resource conserving mobility (CST,1997; Cheng Min dan Cheng Hsien, 2007). Peningkatan kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi memberi dampak negatif (kemacetan, pemanfaatan tata ruang, kelestarian lingkungan). Ini terjadi di kota-kota besar negara maju dan di kota-kota besar negara berkembang (Rio de Jenairo, Mexico City, Jakarta, New Dehli, Bangkok).

Konsumsi dan ketersediaan BBM langka, tidak terbaharui, mahal, mendapat perhatian ahli transportasi. Transportasi penyerap terbesar bahan bakar dari fosil, sehingga perlu efisiensi penggunaan BBM. Strategi dan kebijakan transportasi darat adalah penghematan energi.

Konsumsi BBM rendah bila kendaraan berkecepatan 50-70 km/jam, (Haryono Sukarto, 2006), diperkuat A. Caroline Sutandi (2007), Dail U. A. dan Budi H. (2005) serta Rodrigue (2004), kecepatan kendaraan 40-55 km/jam, konsumsi BBM paling efisien. Taylor Bridget dan Brook Linsay (2004), makin padat kawasan kota, kecepatan makin rendah dan konsumsi BBM makin tinggi. Kecepatan yang rendah di ruas jalan akan meningkatkan kebutuhan BBM hingga 50%. Mitchell (2003) dan William M. Wesel serta Josep L. Schofer (1980), menyatakan konsumsi BBM dipengaruhi sistem jaringan jalan, jalan tersentralisasi hemat BBM dibandingkan jaringan jalan terpencar.

(2)

- 2 -

(2005), konsumsi BBM dapat dikurangi dengan menggantikan kendaraan kapasitas sedikit menjadi kapasitas besar/massal.

Hensher David A. dan Button Kenneth J., (2005), sistem transportasi kota terkait dengan konsumsi BBM adalah sesuatu yang masih langka. Guna menekan konsumsi BBM perlu dilakukan usaha mengetahui indikator, variabel dan parameter sistem transportasi kota. Tulisan ini sebagai awal dari penelitian (suatu literary review) untuk penelitian berikutnya, yaitu Model Pengaruh System Transportasi Kota Terhadap Konsumsi BBM, dimana dibutuhkan indikator, variabel dan parameter sistem transportasi untuk memprediksi konsumsi BBM. Kunci pengendalian sumber energi, dipengaruhi sistem transportasi kota. Transportasi dan konsumsi BBM, keduanya strategis karena berkaitan dengan sistem perekonomian dan sistem lingkungan berskala lokal, nasional maupun skala global.

2. Konsep Sistem Transportasi Kota, Struktur Kota dan Konsumsi BBM 2.1. Konsep Sistem Transportasi Kota

Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu obyek dari suatu tempat ke tempat lain agar lebih bermanfaat atau berguna untuk tujuan tertentu (Miro, 2005). Pengertian sistem transportasi secara operasional yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan perpindahan barang dan atau orang (dengan memakai energi) yang bermanfaat bagi manusia. Sedangkan pengertian transportasi kota adalah transportasi yang dilakukan di dalam suatu kota, dalam hal ini sistem transportasi kota jalan raya.

Sumber energi yang umum digunakan sektor transportasi di Indonesia adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Transportasi berwawasan lingkungan merupakan hal strategis, yaitu tata guna lahan yang diintegrasikan dengan transportasi, hingga meminimalkan biaya transportasi, mereduksi emisi gas buang dan pengurangan konsumsi BBM (Harun Al Rasyid et al, 2003).

2.2. Konsep Struktur Kota

Kota dipandang sebagai wadah dimana terdapat manusia sangat komplek di dalamnya, mengalami proses interaksi antar manusia dengan lingkungan, menghasilkan pola keteraturan penggunaan lahan, (Jean Paul-Rodrigue, 2005). Bentuk kota terjadi akibat proses interaksi antar penghuninya. Individu dalam masyarakat kota tidak terisolasi kegiatan individual, tapi terinteraksi dalam bentuk ruang kota. Dari proses dan pelakunya dihasilkan kondisi fisik kota yang berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Model utama struktur kota : model Pemusatan Burgess, model Sektor Hoyt, model Multi-Pusat Ullman-Harris, (Jean Paul-Rodrigue, 2005).

Model Pemusatan Burgess : Dasar modelnya adalah perkembangan sosial- ekonomi penduduk kota. Teori E.W. Burgess, bahwa suatu kota terdiri dari zona yang

Gambar 2.1. Model Guna Lahan Kota-Burgess (Jean Paul-Rodrigue, 2006)

konsentris, masing-masing zona mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda. Ada lima zona melingkar berlapis, terdiri : pusat kegiatan, zona peralihan, zona

Daerah perumahan kelas menengah

Daerah Perumahan kelas tinggi Loop (pusat kota)

Daerah pertokoan

Daerah perumahan kelas rendah

(3)

- 3 -

perumahan pekerja, zona perumahan pekerja (pabrik maupun industri), zona permukiman lebih baik, zona dihuni penduduk berstatus konomi menengah tinggi. Model Sektor Hoyt: Model ini dibentuk dari pemetaan delapan variabel perumahan di 142 kota di Amerika Serikat dan menjelaskan perubahan serta distribusi dari pola pemukiman. Penggunaan lahan terfokus pada pusat kota dan sepanjang jalur transportasi. Lihat Gambar 2.1, Gambar 2.2, Gambar 2.3.

Gambar 2.2. Struktur Kota Model Hoyt (Jean Paul-Rodrigue, 2006)

Model Multi-Pusat Ullman-Harris: Model ini lebih mendekati kenyataan, tapi lebih rumit. Model yang rumit ini menjadi diskriptif dibanding prediktif. Asumsi dasar kota modern memiliki struktur yang komplek, kota tidak tumbuh dari satu pusat, tapi dari inti-inti yang bebas, tiap inti berfungsi sebagai pendorong pertumbuhan dan berbeda satu sama lainnya. Inti akan menyatu menjadi suatu pusat urban besar; jika pertumbuhan terlalu besar dan menimbulkan kongesti maka fungsi kawasan menyebar, membentuk inti baru dan menghasilkan pertokoan pinggir kota.

1

Gambar 2.3. Struktur Kota Model Ullman-Harris (Jean Paul-Rodrigue, 2006) 2.3. Konsep Pola Konsumsi BBM

Energi fosil adalah jenis energi yang tak terbarukan, jenis energi ini dikenal sebagai Bahan Bakar Minyak (BBM). Cadangan BBM terbatas sifatnya, energi tak terbarukan, pada saatnya tidak dapat mencukupi kebutuhan/habis (Dephubdat, 2008). Perlu penghematan konsumsi BBM secara nasional terutama transportasi darat. Jenis BBM: avgas, premium, karosen, avtur, solar. (Direktorat Hilir, Pertamina, 2001).

BBM hanya istilah populer yang terbakukan karena sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari (Sayogo, 1999). Konsumsi energi sektor transportasi biasanya diasosiasikan besarnya konsumsi BBM yang digunakan untuk produksi dan operasi kendaraan bermotor (United Nation Division for Sustainable Development, 2003). Analisis konsumsi BBM transportasi penting dan strategis, sebagai upaya pengelolaan transportasi agar hemat BBM (Haryono Sukarto, 2006), juga bagi pengelolaan perekonomian negara dan pembangunan berkelanjutan.

3. Sistem Transportasi Kota dan Konsumsi BBM 2

3. Perumahan kelas rendah

-

4 Perumahan kelas menengah

-

-5 Perumahan kelas tinggi

6 Pabrik kelas berat 7 Sub business district 8 Residential suburb

(4)

- 4 -

Sektor transportasi tergantung BBM sekitar 50% dari konsumsi BBM dunia. Transportasi jalan raya mengkonsumsi 80% dari konsumsi transportasi. Tahun 2000, konsumsi BBM sektor transportasi dunia naik 25%, diproyeksikan kenaikkannya 90% sampai tahun 2030. Pertumbuhan ekonomi nasional, menyebabkan meningkatnya kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor. Kepemilikan kendaraan pribadi meningkat secara tajam dibandingkan dengan kendaraan umum (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Jumlah Kendaraan Bermotor dan Konsumsi BBM di Indonesia Tahun 1983-2003. Sumber : Dept ESDM, 2004).

Transportasi kota yang berkembang pesat adalah transportasi jalan raya dan paling banyak mengkonsumsi BBM, maka sub-sektor transportasi ini perlu mendapat perhatian dalam berbagai kebijakan, perencanaan, dan penelitian transportasi. Biaya BBM dan rata-rata panjang perjalanan per kendaraan tahun 1960 sampai tahun 2000 di Amerika pernah dihitung sesuai dengan Gambar 3.2. (Rodrigue Jean-Paul, 2004).

Gambar 3.2 Biaya BBM – Rata rata perjalanan per kendaraan dalam setahun di Amerika tahun 1960 -2000 (Rodrigue Jean-Paul, 2004)

Rata-rata panjang perjalanan masyarakat tiga negara kota metropolitan di Asia dengan income tinggi, untuk kota Kuala Lulmpur–Malaysia 2,7 km, panjang perjalanan rata-rata masyarakat kota Manila-Filipina 4 km, panjang perjalanan masyrakat kota Chengdu–Cina 9 km (Xiao Luo, 2007). Kendaraan cc besar membutuhkan BBM lebih banyak, hal ini sesuai penelitian Manuel Jose et al, (2005). Konsumsi BBM per kendaraan dan kecepatan berbeda, A. Caroline Sutandi (2007), lihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Konsumsi BBM berdasar Tes Laboratorium

Kendaraan Konsumsi BBM

Konsumsi BBM Kendaraan berhenti 0,2083 mil/detik Konsumsi BBM kendaraan berjalan dengan kecepatan konstan 90

km/jam

Konsumsi BBM kendaraan berjalan dengan kecepatan konstan 120 km/jam

10,9 liter per 100 km

11,3 liter per 100 km

Konsumsi BBM minimum pada kecepatan konstan 60 km/jam

7,35 liter per 100 km

Konsumsi BBM pada perlambatan 0,2083 mil/detik

Sumber : A. Caroline Sutandi (2007)

4. Parameter, Faktor, dan Variabel Penting yang Berpengaruh

R2 = 0 .88 2 5

1983 1988 1993 1998 2003

(5)

- 5 -

Konsumsi BBM untuk transportasi kota jalan raya dipengaruhi oleh faktor utama : karakteristik kendaraan; karakteristik jalan; aspek pengguna kendaraan; pengelolaan yang mengkoordinasikan ketiga unsur tersebut (Dephubdat, 2008). Menurut Andry Tanara (2003), faktor yang mempengaruhi konsumsi BBM adalah: jumlah penduduk, panjang jalan, jumlah kepemilikan kendaraan, jumlah kendaraan berdasar bahan bakar, pendapatan perkapita. Sedangkan menurut Dail Umamil Asri, Budi Hidayat (2005), kebutuhan BBM dipengaruhi oleh atribut kendaraan, jalan, dan regional pengoperasiannya. Konsumsi BBM juga dipengaruhi oleh: efektifitas pemakaian kendaraan; rata-rata perjalanan per hari; frequensi pemakaian kendaraan; panjang perjalanan; konsumsi bahan bakar/jenis kendaraan. Selain menambah beban lalu lintas, kendaraan umur tua dapat meningkatkan penggunaan BBM.

Iskandar, Abubakar (2001), pemborosan BBM disebabkan: pertambahan jumlah angkutan, tidak adanya angkutan umum yang nyaman dan terjangkau, terutama di kota besar, sehingga mendorong masyarakat menggunakan mobil pribadi, faktor perawatan kendaraan dan cara mengemudi yang benar tidak banyak diterapkan pengguna jalan dan pemilik kendaraan, akhirnya menimbulkan boros energi.

4.1. Pengaruh Tata Guna Lahan

Menurut Mitchel (2003), pengaruh pola pertumbuhan kota yang berkembang dengan pola struktur konsentrik (pusat kota tunggal) lebih hemat dalam konsumsi BBM dibandingkan dengan struktur kota dengan banyak pusat kota. Tetapi terdapat pandangan konservatif yang mengatakan bahwa tata guna lahan sekarang tidak akan banyak berubah meskipun terjadi perubahan dalam sistem transportasi umum. Kenyataan empiris selalu membuktikan bahwa pola tata guna lahan memiliki korelasi yang kuat dengan transportasi kota karena tata guna lahan menentukan besaran dan distribusi pergerakan yang berpengaruh terhadap gerak perjalanan, moda angkutan yang digunakan dan konsumsi BBM (Gambar 4.1). Pengaruh tata guna lahan terhadap sistem transportasi kota (konsumsi BBM), tidak hanya terjadi dari jenis penggunaan lahan, tetapi juga dari kepadatan penduduk.

Agar integrasi antara tataguna lahan dan trasportasi dapat berjalan dengan baik maka perlu peningkatan akses menuju ke angkutan publik, memperpendek perjalanan dan mengurangi kepemilikan kendaraan (Departement of Urban Affairs Planning, 2002; Ales Sarec, 1998). Pengaruh tata guna lahan terhadap sistem transportasi kota dalam hal ini konsumsi penggunaan lahan. Intensitas penggunaan lahan dapat ditunjukkan dengan kepadatan penduduk

Gambar 4.1. Siklus Tata Guna Lahan dan Transportasi (Wagener, 2003)

Perjalanan

Nilai lahan Tata guna lahan

Kebutuhan transportasi

Moda dan fasilitas transportasi

(6)

- 6 -

Gambar 4.2..Transportasi, Tata guna lahan, Konsumsi Bahan Bakar Sumber :C. Jotin Khisty, 2005

Peningkatan kepadatan penduduk lebih memungkinkan terjadi mix use. Pada daerah dengan kepadatan penduduk rendah, penggunaan BBM per kapita semakin tinggi, sebaliknya pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, penggunaan BBM per kapita semakin rendah, (J. Kenworthy, 2002), Lihat Gambar 4.2.

Jenis tata guna lahan di daerah perkotaan pada jam-jam tertentu menjadi tujuan dan asal gerakan transportasi dan arahnya akan berbalik pada jam-jam tertentu lain. Semakin beragam tata guna lahan di bagian wilayah kota semakin tinggi interaksi, konsumsi BBM semakin rendah, seperti di kawasan pusat kota. Daerah semakin padat, jarak perjalanan lebih pendek atau dapat ditempuh dengan berjalan kaki dan tidak tergantung dari kendaraan bermotor. Penggunaan kendaraan pada masyarakat dengan income lebih tinggi, cenderung lebih lama dan lebih banyak dibanding masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari (Xiao Luo, 2007). Pengaruh tata guna lahan tidak hanya pada jenis dan intensitasnya tetapi juga kemampuan menjadi daya tarik dan daya dorong kegiatan lalu lintas sebagai wujud dari interaksi tata ruang sehingga menjadi daya bangkit lalu lintas (Gambar 4.3).Untuk mengoptimasikan model lahan maka harus integrasi antara transportasi, tata guna lahan, dan lingkungannya, Otkur et al (2007).

Gambar 4.3. Hubungan Penggunaan BBM Perkapita dengan Kepadatan di Perkotaan (J.Kenworthy, 1999)

Tata guna lahan

Perumaha n

Penduduk Guna lahan lain

Pencemaran Perjalanan Konsumsi

bahan bakar

Persediaan bahan bakar

Fasilitas transportasi

(7)

- 7 -

Menurut A. Caroline Sutandi (2007), penelitian yang dilakukan di Bandung, konsumsi BBM di ruas jalan daerah pusat kota (CBD) lebih tinggi bila dibandingkan konsumsi BBM di ruas jalan pada daerah perumahan.

Gambar 4.4. Jenis dan Intensitas Interaksi Ruang, (Rodrigue Jean-Paul, 2004)

4.2. Pengaruh Interaksi Tata Ruang

Gambar 4.5. memberikan contoh interaksi tata ruang yang diwujudkan dalam pergerakan transportasi, yang disajikan dalam empat sub kategori dari model:

Gambar 4.5.A model tata guna lahan yang secara umum dibatasi oleh daerah administratif. Gambar 4.5.B model interaksi ruang biasanya memperhatikan distribusi ruang pergerakan, yaitu fungsi dari permintaan dan infrastruktur transportasi (ketersediaan), yang menghasilkan pergerakan, menaksir antara kesatuan ruang, ditandai oleh origin-destination pasangan, yang dapat dipisahkan secara alami, gaya dan waktunya. Gambar 4.5.C model jaringan transportasi berupaya untuk mengevaluasi pergerakan dibagi-bagikan di suatu jaringan transportasi. Beberapa model, khususnya kendaraan pribadi dan angkutan umum, menyediakan perkiraan lalu lintas untuk segmen yang dibagi dari jaringan transportasi. Konsumsi BBM menurut Morton Brian J. et al (2003), juga dipengaruhi oleh tata guna lahan yang akan membuat model perilaku perjalanan dan pola ruang. Hubungan interaksi ruang yang terbagi beberapa daerah administratif dan tata guna lahan, dengan jaringan transportasi akan membuat suatu jaringan transportasi tertentu (lihat Gambar 4.5.D).

Gambar 4.5. Interaksi Ruang dan Jaringan Transportasi (Rodrigue Jean-Paul, 2004)

A

i1 i2

i3

i4 i5

i6

B

C D

L1

L2

L3

L4

Modal node Intermodal node Mode k Mode l

Lalu lintas Pusat kegiatan

Jaringan Transportasi Interasi ruang

Tata guna lahan

(8)

- 8 - 4.2.Pengaruh Faktor Sistem Jaringan Jalan

Jaringan adalah suatu konsep matematis yang dapat digunakan untuk menerangkan secara kuantitatif sistem transportasi dan sistem lain yang mempunyai karakteristik dan ruang. Jaringan transportasi terdiri dari simpul (node) dan ruas (link). Secara grafik simpul adalah titik dan ruas adalah garis yang menghubungkan titik-titik tadi (McCabe, Frank., 2004). Menurut Rodrigue Jean-Paul (2004), jaringan jalan dibagi menjadi tersentralisasi, terpencar dan terdistribusi (Gambar 4.6.).

Gambar 4.6. Struktur Jaringan Jalan (Rodrigue Jean-Paul,2004)

Jenis jaringan transportasi ada 6 macam menurut (Morlok Edward K., 1984), yaitu: jaringan grid, radial, cincin radial, spiral, heksagonal, dan delta, Gambar 4.7.

Gambar 4.7. Jenis-jenis Ideal Jaringan Transportasi (Morlok Edward K., 1984)

Gambar 4.8. Hubungan Jaringan Jalan dan Konsumsi BBM (Mitchell Goro O.,2003) Jaringan

Terpusat Tidak

terpusat

Ter distribusi

Konsumsi BBM tinggi Efisiensi energi

Jaringan Terpusat Jaringan menyebar Jaringan Jalan

Cincin Radial

Jaringan Jalan Spiral

Jaringan Jalan Delta Jaringan Jalan

Heksagonal Jaringan Jalan Grid

(9)

- 9 -

Konsumsi BBM di daerah perkotaan juga dipengaruhi oleh sistem dan pola jaringan jalan. Sementara sistem jaringan jalan atau titik kegiatan yang terpencar, konsumsi BBM lebih tinggi. Ada pengaruh yang erat antara jaringan jalan dengan konsumsi BBM (Mitchell Goro O., 2003). Gambar 4.8. menunjukkan sistem jaringan jalan tersentralisasi kegiatannya berpengaruh terhadap penghematan konsumsi BBM. 4.4. Faktor Kecepatan

Kecepatan adalah laju perjalanan, dinyatakan dalam kilometer per jam (km/jam) dan umumnya dibagi menjadi 3 (tiga) macam: kecepatan setempat (spot speed, kecepatan bergerak (running speed), kecepatan perjalanan (journey speed). Menurut Morton Brian J. et al (2003) dan Rodrigue Jean-Paul (2004), konsumsi BBM dipengaruhi kecepatan kendaraan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.9. Konsumsi BBM semakin meningkat pada kecepatan rendah (10-20 km/jam). Pada kondisi lalu lintas terjadi kemacetan (0-5 km/jam atau berhenti), konsumsi BBM yang dibutuhkan paling banyak. Konsumsi BBM rendah apabila kendaraan berjalan dengan kecepatan antara 50-70 km/jam. Apabila kendaraan bergerak dengan kecepatan diatas 80 km/jam, maka konsumsi BBM menunjukkan peningkatan lagi.

Gambar 4.9. Hubungan Faktor Emisi dan Kecepatan Kendaraan Sumber : Rodrigue (2004)

Dail U A dan Budi H (2005), menyatakan, kendaraan besar (bus dan truk) dengan laju kendaraan 35-65 km/jam, menggunakan BBM paling efisien. Ini selaras dengan Muhammad dkk. (2008) dan A. Caroline Sutandi (2007), yang menyatakan penggunaan BBM paling minimum pada kecepatan 60 km/jam. Rata – rata konsumsi BBM pada kecepatan konstan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Konsumsi BBM rata-rata pada kecepatan konstan Kecepatan (km/jam) Konsumsi BBM (ltr/100km)

10

Sumber : A. Caroline Sutandi (2007)

4.5. Faktor Panjang Perjalanan dan Waktu Perjalanan

Untuk mengetahui kebutuhan konsumsi BBM perlu diketahui rata-rata panjang perjalanan. Jarak perjalanan di Amerika tiap tahun bertambah panjang, demikian juga pada negara lain termasuk di Indonesia, ini mengakibatkan konsumsi BBM meningkat. Pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11. menunjukkan panjang perjalanan setiap tahun semakin meningkat, sehingga konsumsi BBM setiap tahun juga meningkat.

(10)

- 10 -

Gambar 4.10. Panjang Perjalanan, di Amerika (Automobile Fleet, 1970-2000)

Gambar 4.11. Panjang Perjalanan di Amerika tahun 1975-2000 (Penumpang-mil) Sumber: Rodrigue Jean-Paul (2004).

Menurut Rodrigue Jean-Paul (2004), rata-rata waktu perjalanan orang di beberapa benua seperti yang terlihat pada Gambar 4.12 dibawah ini, orang Asia termasuk orang Indonesia waktu perjalanan rata-rata adalah 30 menit. Menurut penelitian Xiao Luo et al, (2007), panjang perjalanan masyarakat penghasilan tinggi di Kuala Lumpur Malaysia 2,7 km, di Manila Pilipina 4 km dan di Chengdu Cina 9 km. Masyarakat yang mempunyai penghasilan tinggi lebih lama dan sering dalam menggunakan kendaraan pribadinya dibanding dengan pada masyarakat umumnya.

Gambar 4.12. Rata-rata waktu perjalanan di beberapa benua dan negara tahun 1990 Sumber: Rodrigue Jean-Paul (2004)

4.6. Jumlah Kendaraan

Kendaraan bemotor adalah sumber pencemaran udara yang utama di Jakarta (NAP) on Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy 2004. Dapat ditarik benang merah, konsumsi BBM dipengaruhi oleh jumlah kendaraan. Untuk mengurangi konsumsi BBM, dengan mengurangi jumlah kendaraan pribadi dan diberi pelayanan yang baik angkutan umumnya ( U A et al, 2005). Satu kilogram BBM, tiap orang dapat melakukan panjang perjalanan 20 km jika memakai kendaraan pribadi, 35 km jika menggunakan mini bus, 47 km jika menggunakan MRT, 48 km jika menggunakan metro (Paris) (Hubert dan Aurelie, 2006).

Dari penjabaran diatas, dapat diambil insisarinya, bahwa struktur kota tidak masuk dalam sistem transportasi tetapi struktur kota saling berpengaruh terhadap sistem transportasi kota, sehingga struktur kota dalam hal ini dimasukkan sebagai faktor yang mempengaruhi sistem transportasi kota. Lebih rinci, sistem transportasi kota terhadap konsumsi BBM dipengaruhi oleh faktor-faktor: a) Struktur kota

1975 1980 1985 1990 1995 2000

KA

USA Eropa Jepang Asia Lainnya Australia

M

in

ut

e

(11)

- 11 -

transportasi: Supply : panjang jalan, pola jaringan jalan, pelayanan angkutan umum, kondisi jalan, kecepatan kendaraan, Demand : jumlah kendaraan, panjang perjalanan. c). Konsumsi BBM : solar, premium, pertamax, pertamax +.

Namun demikian, kenyataan di Indonesia, data dan informasi itu belum tentu tersedia. Jika ada itu merupakan data yang diliput dalam rangka kegiatan penelitian tertentu, waktu kegiatannya dapat berbeda dan parameter yang diambil tidak sama. Jadi bukan data yang diliput secara rutin atau periodik.

`

Gambar 4.13. Diagram Besar Transportasi Kota terhadap Konsumsi BBM (pemikiran, 2007)

5. Pengaruh Sistem Transportasi Kota terhadap Konsumsi BBM

Sistem transportasi kota terhadap konsumsi BBM terdapat banyak faktor-faktor internalitas dan eksternalitas yang berpengaruh langsung dan tak-langsung. Pembangunan struktur jaringan sistem yang berpengaruh seperti yang disajikan dalam Gambar 5.1 Mendiskripsikan dunia nyata lebih sederhana melalui gagasan-gagasan dan dituangkan lebih rinci dalam bagan alir, ditentukan parameter dan variabelnya.

Gambar 5.1. Kerangka Teoritis, Faktor Yang Berpengaruh dalam Model Sistem Transportasi Kota terhadap Konsumsi BBM (Hasil pemikiran, 2009)

keterangan :

= Model Transportasi kota terhadap Konsumsi BBM

= Sistem yang berpengaruh : (struktur kota; sistem transportasi, pola konsumsi BBM) = Faktor-faktor yang berhubungan dengan suplai (panjang jalan, pola jaringan jalan,

pelayanan angkutan umum, kondisi jalan, kecepatan kendaraan) = Faktor-faktor yang berhubungan dengan permintaan

= Jenis BBM

Sistem Transpo rtasi

Kota Kondisi jalan

Panjang jalan Sistem Transportasi Kota

(12)

- 12 - Daftar Pustaka

A. Caroline Sutandi, 2007, Advanced Traffic Control System Impacts on Environmental Quality in A Large City in A Developing Country, Journal of The Eastern Asia for Transportation Studies, vol 7.

Ales Sarec, 1998, Environmental Limits to Urban Land-Use Planning for Sustainable Urban Transport : Implementing Change.

Andry Tanara, 2003, Estimasi Permodelan Kebutuhan BBM Untuk Transportasi Darat (Studi Kasus Palembang), Program Pasca Sarjana MSTT, UGM, Jogya Automobile Association Foundation for Road Safety Research, 1988, Motoring and

The Older Driver, London, AA Foundation.

Centre for Sustainable Transportation, 1997, Definition and Vision of Sustainable Transportation, Centre for Sustainable Transportation, Toronto.

Cheng-Min Feng dan Cheng-Hsien, 2007, The Implicaion of Transort Diversity for Sustainable Urban Transportation, Journal of The Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 7, 1236-1249.

Dail Umamil Asri and Budi Hidayat, 2005, Current Transportation Issues in Jakarta and Its Impacts on Environment, Proceeding of The Eastern Asia Society for Transportation Studies vol 5.pp 1792 1798

Direktorat Hilir PERTAMINA, 2001, Bahan Bakar Minyak, Elpiji dan BBG, Jakarta.

Departement of Urban Affairs and Planning, 2002, Integrating Land use and Transport, TRANSPORT NSW.

Dephubdat, 2008, Perencanaan Umum Pengembangan Transportasi Massal di Pulau Jawa, Jakarta.

Departemen ESDM, 2004, Konsumsi Energi di Indonesia.

Harun Al Rasyid, M Isnaeni, S. Dwi Nurjaya, 2003, Urban Transport and Land-Use Planning Toward The Sustainable Development (Case Study of Bandung Metropolitan Area), Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol 5.

Haryono Sukarto, 2006, Transportasi Perkotaan dan Lingkungan, Jurnal Teknik Sipil vol.3 no 2.

Hensher David A. dan Button Kenneth J., 2005, Hand Book of Transport Modelling, Pergamon, London.

Hubert M and Aurelie, 2006, A Panorama of Urban Mobility Strategies in Developing Countries. World Bank.

Iskandar, Abubakar, 2001, Menuju Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Yang Tertib, Direktorat Jendral Perhubungan Darat.

Jeff Kenworthy,1999, Sustainability and Cities.

Jeff Kenworthy dan Fellix Laube, 2002, Urban Transport Patterns in a Global Sample of Cities and Their Linkages to Transport Infrastructure, Land-use, Economics and Environment.

Manuel Jose DC, Ricardo GS, Karl NV, Aura CM, Louis Angelo, 2005, Development of Emission and Engine Testing Prosedures and Standard Sidecar Design Prototype For Tricycle, Journal of the Eastern Asia Society for transportation Studies, vol 6, pp 3151-3166

McCabe, Frank., 2004, Modelling Transport : Theory and Practice, Dublin Transportation,Office:http://www.icetact.tcd.ie/icetact/news/transport/mccabe.h tml (last accessed 11/14/04).

(13)

- 13 -

Mitchell Goro O., 2003, The Indicators of Minority Transportation Equity (TE), Sacramento Transportation & Air Quality Collaborative Community Development Institute.

Morlok, Edward K., 1984, Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi, Erlangga, Jakarta.

Morton Brian J., Shay Elizabeth dan Cho Eun Joo, 2003, Advanced Modelling System for forcasting Regional Development, Travel Behavior, and the Spatial Patterns of Emission, Center for Urban an Regional Studies University of North California at Chapel Hill.

Muhammad Nanang Prayudyanto, Corry Jacub, R Driejana, Ofyar Z. Tamin, 2008, Background For Optimization Of Fuel Consumtion At Congested Network Using Hydrodynamic Traffic Theory, Proceeding FSTPT International Symposium.

Otkur Gojash, Atsushi Fukuda, Yuichiro Kaneko, Tomonobu Inokuchi, 2007, Maximum Trips Under Environment Constraint, Journal of The Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 7.

Rodrigue Jean-Paul, 2004, Transportation and The Environment, Dept. of Economics & Geography Hofstra University, Hempstead, NY, 11549 USA. Sayogo, Kartiyoso, 1999, Migas dan Usaha Migas (kumpulan pokok-pokok

pikiran), Hupnas Pertamina.

T. F. Fwa, 2005, Sustainable Urban Transportation Planning and Development Issues and Chalenges for Singapore, Dept of Civil Engineering of Singapore Taylor Bidget dan Brook Linsay, 2004, Public Attitudes to Transport Issue: Finding

from The British Social Attitudes Surveys.

Taylor Michael A. P., 2005, A Non EC Perspetice an LUTR Issues, Transport Systems Centre University of South Australia.

United Nations Division for Sustainable Development, 2003, Intensity of Energy Use: in Transportation.

United Nations Environment Programme, 2005, Urban Environmental Accords, Green Cities Declaration, World Environment day.

Wegener, 2003, A Land Use – Transportation Perspective of Urban Processes, Xiao Luo, Hajime Daimon, Akinori Marimoto, Hirotaka Koike, 2007, A Study on

Gambar

Gambar 2.3. Struktur Kota Model Ullman-Harris (Jean Paul-Rodrigue, 2006)  2.3. Konsep Pola Konsumsi BBM
Gambar 3.1.   Jumlah Kendaraan Bermotor dan Konsumsi BBM  di Indonesia  Tahun 1983-2003
Gambar 4.2..Transportasi, Tata guna lahan, Konsumsi Bahan Bakar  Sumber :C. Jotin Khisty, 2005
Gambar 4.4. Jenis dan Intensitas  Interaksi Ruang, (Rodrigue Jean-Paul, 2004)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan Energi Nasional sampai dengan tahun 2025 masih mengandalkan sumber energi dari bahan bakar fosil yang memberikan kontribusi 83 % dari kebutuhan sumber energi..

2. Diversifikasi energi atau penggalian sumber energi lain yang dapat digunakan sebagai bahan bakar altematif sebagai pengganti BBM untuk d.igunakan pada sektor transportasi

Kenyataan bahwa koefisien untuk emisi karbon lebih besar dari energi terbarukan menunjukkan bahwa penggunaan energi dengan sumber bahan bakar fosil masih lebih

Kelemahan energi terbarukan adalah bahwa sulit untuk menghasilkan listrik dalam jumlah yang besar seperti yang dihasilkan oleh pembangkit bahan bakar fosil, nuklir dan tenaga

Sektor energi mempunyai pangsa sebesar 46 % dari total emisi GRK yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil pada bermacam-macam aktivitas seperti: produksi energi,

1) Ketergantungan akan bahan bakar fosil mengakibatkan menipisnya pasokan energi dan perlunya pengembangan Energi Baru dan Terbarukan seperti biogas, air, panas bumi, serta

Tidak jauh berbeda dari Swedia, Pemerintah Finlandia juga mengenakan pajak karbon atas bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon, baik yang digunakan untuk sektor transportasi

Terus meningkatnya kebutuhan ini membuat cadangan energi listrik semakin berkurang.sebagai usaha penghematan energi, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai konservasi energi,