• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompilasi Hukum Islam Dalam Kaitannya De

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kompilasi Hukum Islam Dalam Kaitannya De"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kaitannya Dengan Fikih Indonesia

Dosen Pengampu : Drs. Oman Fathurrahman

Kelompok 7

M. Abdil Bar (15370022)

Hukum Tata Negara (Siyasah)

Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(2)

KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. PENGERTIAN

Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengutip A. Hamid S. Attamimi, menjelaskan bahwa “kompilasi” dalam Black’s Law Dictionary berarti suatu produk berbentuk tulisan hasil karya orang lain yang disusun secara teratur.1 Pada dasarnya, istilah “kompilasi” berasal

dari bahasa latin compailare (compilation (Inggris), compilatie (Belanda)) yang diartikan mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar dimana-mana.2 Dapat diambil kesimpulan, bahwa kompilasi adalah sebuah buku hukum atau

buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau aturan hukum.3

Dengan demikian, menurut A. Hamid S. Attamimi, KHI adalah himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur4, yang diambil, dicomot, dan

diadaptasi dari berbagai macam pendapat ulama yang tersebar dalam berbagai macam pula kitab fikih (klasik maupun kontemporer). Atau definisi lain, KHI adalah rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.5

KHI bukanlah peraturan perundang-undangan, bukan hukum tertulis meskipun ia dituliskan, bukan undang-undang, bukan peraturan pemerintah, bukan keputusan presiden dan seterusnya. KHI menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menelusuri norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukanna, baik di dalam maupun diluar.6

1 A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam buku Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm, 152.

2 A. Rahmat Rosyadi, H.M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 94.

3 Ibid.,

4 A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit., hlm. 152.

(3)

B. SEJARAH KHI

Sejak lahirnya Peradilan Agama (PA) pada tahun 1882, para hakim PA tidak memiliki pedoman atau dasar pijakan yang seragam atas putusannya. Sehingga, tidak jarang dalam kasus yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan. Hal itu terjadi dikarenankan PA belum memiliki buku pedoman yang seragam bagi para hakimnya dalam mendasarkan putusannya. Hingga akhirnya pada tahun 1958, lewat Surat edaran Biro PA No. 8/1/735, ditetapkanlah 13 buah kitab7 yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi para

hakim PA dalam setiap putusannya. Dengan harapan rekomendasi tersebut dapat mengatasi permasalah yang dihadapi. Meskipun pada kenyataannya, kesimpangsiuran dalam pengambilan landasan hukum relatif dapat diredam, tetapi bukan berarti telah tercapai keseragaman dalam putusan.8

Untuk mengatasi permaslahan yang belum teratasi tersebut, muncullah wacana untuk menyusun sebuah buku yang menghimpun hukum terapan yang berlaku di lingkungan PA yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim PA dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, dapatlah dicapai kesatuan dan kepastian hukum.9 Gagasan inilah yang kemudian

ditangkap oleh Busthanul Arifin tentang perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam.10

Gagasan Busthanul Arifin akhirnya disetujui. Dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985, dibentuklah Tim Pelaksanan Proyek yang terdiri dari para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama, yang Pemimpin Umumnya sendiri adalah Busthanul Arifin.11 Hingga pada tahun 1991, dihasilkanlah Kompilasi Hukum Islam (KHI),

yang isinya mengenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.12 Selanjutanya KHI tersebut

diberlakukan dengan Instruksi Presiden (inpres) No. 1 Tahun 1991, yang kemudian diikuti

7 Ketiga belas kitab tersebut adalah: 1. al-Bajuri, 2. Fathul Mu’in, 3. Syarqawi ‘alat-Tahrir, 4. Qalyubi/Mahalli, 5.

Fathul Wahhab dan syrahnya, 6. Tuhfah, 7. Targhibul Musytaghfirin, 8. Qawanin Syar’iyyah lis Sayyid bin Yahya,

9. Qawanin Syar’iyyah lis Sayyid Sadaqah Dahlan, 10. Syamsuri fil-Faraidh, 11. Bughyatul Murtasyidin, 12. Al-Fiqhu ‘alaMadzhabil Arba’ah, dan 13. Mughnil Muhtaj.

8 Lihat Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm, 10-11.

9 Ibid., hlm. 11. 10 Ibid.

11 Ibid., hlm. 12.

(4)

dengan keluaranya Keputusan Menag RI No. 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan dan Penyebarluasan Inpres tersebut.13

C. METODOLOGI PENYUSUNAN KHI

Mengutip Busthanul Arifin, Prof. Khoirudin14 mencatat ada empat metode yang

digunakan dalam penyusunan KHI. Pertama, penelusuran kitab-kitab fikih. Kedua, interview

dengan ulama-ulama Indonesia. Ketiga, yurisprudensi peradilan agama. Keempat, studi banding ke negara-negara yang mempunyai Perundang-undangan di bidang yang dibahas dalam KHI, dalam hal ini Maroko, Turki dan Mesir.15

Metode pertama, penelusuran kitab-kitab fikih dilakukan dengan cara menunjuk Perguruan Tinggi Islam Negeri untuk melaksanakan pengkajian hukum Islam yang terdapat dalam berbagai macam kitab yang ditentukan. Metode kedua, interview dengan para ulama ahli hukum Islam di berbagai daerah, mulai dari ulama pesantren, ulama yang mewakili organisasi maupin ulama yang ditunjuk secara individu. Metode ketiga, yurisprudensi peradilan agama dengan cara melihat putusan-putusan peradilan agama dalam permasalahan terkait. Metode keempat, studi banding dilakukan ke negara Maroko (mayoritas Maliki), Turki (mayoritas Hanafi) dan Mesir (mayoritas mayoritas Syafi’i). 16

Hasil kajian dari empat metode tersebut, selanjutnya dibawa ke dalam Lokakarya para Alim Ulama Indonesia pada 2-5 Februari 1988. Dalam Lokakarya tersebut, para alim ulama menerima tiga Rancangan Buku KHI: perkawinan, kewarisan dan pewakafan. Dari situ lah dibentuk tim yang bertugas untuk merumuskan teks redaksi (KHI).17

D. FIKIH INDONESIA DALAM KHI

Gagasan Fikih Indonesia pertama kali dilontarkan ke permukaan oleh Prof. Dr. Hasbi Asshidiqi pada tahun 1940-an, yang puncaknya terjadi pada tahun 1961. Dimana Hasbi,

13 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazaffa, 2013), hlm. 61.

14 Ibid., hlm. 63.

15 Tetapi, Prof Khoirudin juga menemukan dan mencatat ada pandangan lain yang menyebutkan bahwa metode penyusunan KHI ada enam. Pandangan yang menyebut ada enam tersebut, hanya menambahkan produk eksplanasi ajaran Islam melalui kajian hukum oleh Perguruan Tinggi Islam (IAIN) dan pendapat atau pandangan yang hidup pada saat lokakarya (musyawarah) alim ulama tanggal 2-6 Februari 1998, termasuk sebagai metode. Empat metode lainnya sama dengan pandangan yang berpendapat ada empat metode. Dan Prof Khoirudin menilai bahwa pada prinsipnya tambahan tersebut sudah masuk dalam empat metode yang lain, hanya saja tidak disebutkan secara tekstual. Ibid., hlm. 64.

(5)

sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, memberikan makna dan definisi Fiqh Indonesia secara artikulatif pertama kalinya pada saat acara Dies Natalis IAIN (UIN) Sunan Kalijaga yang pertama.18 Hasbi mengatakan: “Fikih Indonesia ialah fikih yang ditetapkan sesuai

dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia”.

Dengan kata lain, Fiqh yang ingin diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang dalam masyarakat Indonesia yang tidak bertentangan dengan syara’.19

Kemudian, gagasan mengenai hukum Islam yang memiliki karakteristik bangsa Indonesia diikuti oleh sederet sarjana lainnya, dengan istilah yang berbeda-beda, namun memiliki semangat substansi yang sama seperti di atas. Terhitung, sarjana seperti Prof. Hazairin dengan istilah “Fiqh Madzhab Indonesia”, Munawir Sjadzali dengan istilah “Reaktualisasi (Konstektualisasi) Hukum Islam”, Abdurrahman Wahid dengan istilah “Pribumisasi Islam”, Sahal Mahfud dan Ali Yafie dengan istilah “Fiqh Sosial”, dan Masdar F. Mas’udi dengan istilah “Agama Keadilan” pernah menghiasi wacana pemikiran hukum islam Indonesia.20

Oleh karena itu, KHI sebagai yuresprudensi hukum islam yang berlaku di Indonesia, disini berusaha dikaji dan dibahas sejauh mana rumusan-rumusan atau pasal-pasal dalam peraturan tersebut memuat, memiliki, mencerminkan dan sesuai dengan Fikih Indonesia:

18 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta, Lkis, 2005), hlm. 66.

19 Ibid., hlm. 68-69.

20 Jika mengikuti Agus Mohammad Najib, dalam karyanya Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, yang membahas para pemikir yang menawarkan Fikih Indonesia. Ada enam pemikir, yang menurutnya, enam pemikir tersebut sebagai penggagas adanya Fikih Indonesia, dengan membahasnya secara spesifik dan menuangkannya dalam buku dan karya ilmiah yang berusaha disebarluaskan dalam berbagai forum. keenam pemikir tersebut adalah: Hasbi Asshiddiqi dengan “Fikih Indonesia”, Hazairin dengan “Mazhab Indonesia”, Munawir Sjadzali dengan “Konstektualisasi Hukum Islam”, Busthanul Arifin dengan “Pelembagaan Hukum Islam”, A. Qodri Azizy dengan “Positivisasi Hukum Islam”, dan Yudian Wahyudi dengan “Reorientasi Fikih Indonesia”. Lihat Agus Mohammad Najib, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, (tempat tidak diketahui: Kementerian Agama RI, 2011), hlm. 6-7.

(6)

(mengambil definisi Hasbi) fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.

KHI yang memuat tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, dengan total 30 bab dan 229 pasal secara keseluruhan, ternyata terdapat pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang mengakomodir dan diilhami oleh realitas sosial kultural bangsa Indonesia. Dengan kata lain, dalam KHI norma-norma hukumnya, ketentuan-ketentuan pasalnya memiliki karakteristik yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia. Setidaknya terdapat enam ketentuan atau pasal dalam KHI yang mencerminkan Fikih Indonesia: pertama, pasal 45 mengenai ta’lik talak; kedua, pasal 85-97 mengenai harta bersama/gono-gini; ketiga, pasal 185 mengatur tentang ahli waris pengganti untuk cucu yatim; keempat, pasal 209 mengatur mengenai wasiat wajibah untuk anak dan orang tua angkat; kelima, pasal 211 mengatur tentang harta hibah yang diperhitungkan sebagai harta waris;21 serta keenam, pasal 153 masa iddah (waktu tunggu)

bagi wanita.

1. Berangkat dari pembahasan pasal 211 KHI mengenai “harta hibah yang diperhitungkan sebagai harta waris”, yang berbunyi: “Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”. Mengenai hal ini, dalam literatur kitab-kitab fikih klasik belum pernah ditemukan pembahasannya. Persoalan ini hanya dapat ditemukan dalam hukum adat, sebuah realita sosial-kultural empiris di masyarakat kita.22

Menurut Hilman Hadikusuma, sebagaimana dikutip oleh Mahsun Fuad, dalam hukum adat, penerusan harta warisan yang bersifat individual –seperti dalam hukum waris Islam- kepada para ahli waris dapat terjadi sebelum pewaris wafat maupun sesudahnya. Terjadinya penerusan harta warisan ketika pewaris masih hidup, dikalangan keluarga Jawa disebut “lintiran”. Hal ini berlaku melalui penunjukan dalam bentuk

hibah-wasiat tertulis maupun tidak tertulis yang berupa pesan dari orang tua (pewaris) kepada ahli warisnya.23

Hal semacam ini menujukkan bahwa KHI dalam bidang kewarisan ternyata mendasarkan diri pada realitas sosial yang hidup di sekelilingnya, yaitu fenomena aksi kolektif berupa hibah wasiat.24 Tidak hanya itu, pasal 211 KHI ini juga memiliki motif

dan tujuan untuk mendistribusikan keadilan ekonomi dan menjaga perdamaian di antara anak-anaknya, sesuai dengan asas keseimbangan dan keadilan dalam hukum kewarisan

21 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia:... Op.Cit., hlm. 270-271. 22 Ibid., hlm. 272.

(7)

Islam.25 Sebagaimana dikutip Mahsun Fuad, menurut Azhar Basyir, praktek seperti ini

dianggap sah menurut hukum Islam, karena hal itu didorong oleh semangat dan keinginan untuk menghindari kemungkinan adanya perasaan tidak adil dalam pembagian harta warisan tersebut di kalangan anak-anaknya.26

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa ketentuan KHI dalam hal ini tampak sekali mengakomodasi realitas empiris sebagaimana dikandung dalam nilai-nilai hukum adat yang telah hidup dan mapan ditengah masyarakat. juga mempertimbangkan nilai-nilai kemaslahatan, keadilan, dan kedamaian tanpa saling cemburu secara sosial dalam pembagian tersebut.27

2. Pasal 85 sampai 97 KHI mengatur tentang harta bersama (harta gono-gini), dimana dalam sebuah perkawinan suami dan istri memiliki harta yang dihasilkan secara bersama-sama. Hal ini, dalam literatur kitab fikih klasik tidak dijumpai pembahasan mengenai hal tersebut. Pembahasan mengenai harta perkawinan dalam fikih klasik – sepengetahuan penulis- hanya mengakui harta milik atau punya suami. Ilmu fikih cenderung mengabaikan masalah ini sehingga terkesan bahwa istri tidak berperan dalam pembinaan rumah tangga, lebih-lebih dalam aspek finansial. Hal ini, boleh jadi, disebabkan oleh situasi dan kondisi masyarakat pada masa para yuris hukum Islam menyusun kitabnya.28

Kini keadaan telah berubah. Semangat emansipasi wanita telah membuat seorang istri dapat dikatakan setara dengan seorang suami dalam urusan rumah tangga. Istri ikut bekerja, membantu suami membiayai kebutuhan rumah tangga. Bahkan tidak jarang sektor tenaga kerja tertentu membutuhkan dan didominasi oleh wanita.29 Agama Islam

tidak pernah menggariskan bahwa istri itu harus berada di rumah. Ajaran agama Islam lebih menekankan bahwa setiap orang adalah penanggung jawab dan akan dituntut pertanggungjawabannya.30

Dalam berbagai kasus, diketahui bahwa seorang istri dengan sukarela melepas perhiasannya agar supaya asap dapur tetap mengepul. Pemandangan semacam ini dapat ditemui di mana-mana dan di sepanjang masa. Kita semua sepakat mengacungkan jempol terhadap dedikasi mereka (istri) yang tanpa pamrih itu.31 Dilihat dari segi lain, hal

25 Ibid., hlm. 273. 26 Ibid.

27 Ibid.

28 Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional:.., hlm. 59. 29 Ibid.

30 Ibid. Sistem perkawinan dalam masyarakat kita (Indonesia) memiliki sejumlah ciri, antara lain: (a) perlunya dedikasi secara total dari suami dan istri, (b) perlunya partisipasi penuh kedua belah pihak dalam membina rumah tangga, (c) katerbukaan dan saling mempercayai, (d) kerja sama dan saling menolong dalam arti luas, dan (e) adanya jaminan hukum. Ibid., hlm. 60.

(8)

itu merupakan adat/kebiasaan yang mengakar dan berjalan turun temurun. Jadi, dalam membina rumah tangga, selain menjalankan ketentuan-ketentuan hukum normatif, kita tidak dapat mengabaikan peranan adat/kebiasaan.32

Agama Islam menunjukkan sikap yang jelas dan konsisten terhadap adat/tradisi, yaitu tidak a priori menerima dan tidak a priori menolak. Tidak ada adat yang ditolak karena ia adalah adat, dan adat juga tidak diterima karena dia adalah adat. Semua itu tergantung apakah adat yang bersangkutan sesuai dengan konsep hukum Islam atau tidak.33

Atas dasar itu semua, KHI merumuskan dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97 mengenai harta bersama ini.

3. Pasal 153 ayat 2 sampai dengan 6 KHI mengatur mengenai masa iddah (masa tunggu) bagi wanita yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Masa iddah seorang wanita (janda) adalah: 130 (seratus tiga puluh) hari apabila ia ditinggal mati suaminya, walaupun qabla dukhul; 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari apabila ia diceraikan dalam keadaan masih haid, dan 90 (sembilan puluh) hari bagi yang tidak haid; 3 (tiga) bulan apabila ia diceraikan atau ditinggal mati oleh sang suami sudah tidak berhaid lagi. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya.

Ketentuan masa tunggu bagi wanita dalam KHI ini dengan menyebut jumlah harinya secara langsung, jelas menandakan akan kepastian hukum sekaligus waktunya. Hal seperti ini tidak ditemukan dalam literatur kitab fikih klasik.

4. Kali ini, pasal 185 yang mengatur mengenai ahli waris pengganti34 akan dibahas

secara bersamaan dengan pasal 209 yang mengatur mengenai wasiat wajibah.35

Pembahasannya pun tidak akan panjang lebar, hanya sekilas saja. Ahli waris pengganti adalah membahas tentang masalah cucu yang tidak mendapatkan bagian harta warisan. Dengan pertimbangan bahwa kedua ketentuan tersebut adalah sebuah cara, pilihan atau . ketentuan ini dalam KHI merupakan sebuah terobosan dan antisipasi terhadap ketimpangan, ketidakadilan dan sebagainya terhadap cucu yang tidak bisa mendapatkan harta warisan.

32 Ibid.

33 Ibid.

34 Ahli waris pengganti adalah menempatkan seorang ahli waris, yang selama ini dipandang tidak atau belum berhak menerima harta waris, ke dalam golongan ahli waris yang berhak menerima harta warisan. Ibid., hlm. 63.

(9)

Mengenai wasiat wajibah, KHI pasal 209 ayat 1 dan 2, menetapkan wasiat wajibah

diberikan kepada orang tua angkat dan anak angkat yang tidak menerima warisan dari orang tua angkat atau anak angkatnya yang telah meninggal dunia dengan batasan maksimal 1/3 (sepertiga) harta dari pewasiat. KHI dalam menetapkan adanya kewarisan dengan adanya wasiat wajibah ini adalah dengan jalan mengkompromikan antara hukum Islam (referensi fiqih) dengan hukum Adat. Wasiat wajibah, merupakan praktek yang dilakukan di Mesir, Tunisia dan Maroko, yang diadopsi ke dalam KHI.

E. KESIMPULAN

1. Dalam pembahasan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa penyusunan KHI bertujuan untuk digunakan sebagai buku yang menghimpun hukum terapan yang berlaku di lingkungan PA yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim PA dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, dapatlah dicapai kesatuan dan kepastian hukum.

2. Metode yang digunakan dalam penyusunan KHI ada empat. Pertama, penelusuran kitab-kitab fikih. Kedua, interview dengan ulama-ulama Indonesia. Ketiga, yurisprudensi peradilan agama. Keempat, studi banding ke negara-negara yang mempunyai Perundang-undangan di bidang yang dibahas dalam KHI, dalam hal ini Maroko, Turki dan Mesir. 3. Setidaknya enam ketentuan atau pasal dalam KHI yang mencerminkan Fikih Indonesia:

pertama, pasal 45 mengenai ta’lik talak; kedua, pasal 85-97 mengenai harta bersama/gono-gini; ketiga, pasal 185 mengatur tentang ahli waris pengganti untuk cucu yatim; keempat, pasal 209 mengatur mengenai wasiat wajibah untuk anak dan orang tua angkat; kelima, pasal 211 mengatur tentang harta hibah yang diperhitungkan sebagai harta waris;36 serta keenam, pasal 153 masa iddah (waktu tunggu) bagi wanita.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992). Attamimi, A. Hamid S., Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:

Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam Drs. Amrullah Ahmad, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional:

(10)

Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Ahmad, Drs. Amrullah, SF. dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr Bustahnul Arifin, S.H., Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,

(Yogyakarta, Lkis, 2005).

Najib, Agus Mohammad, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, (tempat tidak diketahui: Kementerian Agama RI, 2011).

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazaffa, 2013).

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan produktivitas, realisasi pinjaman di BPRS Cempaka, berdasarkan tahun penelitian 2010 - 2012 telah mencapai target sesuai yang telah ditetapkan, yang harus

Antropologi kesehatan merupakan bagian dari ilmu antropologi yang sangat penting sekali, karena di dalam antropologi kesehatan diterangkan dengan jelas kaitan

Tim Hak pasien dan keluarga mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan mem!angun keper"ayaan, komunikasi ter!uka dengan pasien dan keluarga serta

Nilai total ketakteraturan titik dari graf

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul penggunaan LKS komik untuk meningkatkan prestasi belajar siswa

Hasil analisis ragam dan uji F tabel α = 0,05 menunjukkan tidak terdapat interaksi antara jenis jamur dengan berat substrat terhadap penerimaan usaha tani, Penerimaan

gigi serta manfaat bagi kehidupan anak tunenetra tersebut dalam kehidupan sehari-hari. c) Peneliti menginstruksi tentang teknik atau cara yang harus dilakukan oleh anak

Bentuk- bentuk emosi ini terhasil adalah disebabkan oleh cabaran kehidupan yang dialami oleh mereka antaranya adalah sumber kewangan yang tidak kukuh, gangguan emosi