• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANI VIRDHALIANA 110110150036 HUKUM PENY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RANI VIRDHALIANA 110110150036 HUKUM PENY"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

RANI VIRDHALIANA 110110150036

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PROF. DR. HUALA ADOLF, S.H., LL.M., PH.D.

Permanent Court of Arbitration sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Internasional

rmanent Court of Arbitration (PCA) adalah penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga (institusional), atau juga arbitrase sementara (ad hoc). Penyelesaian sengketa melalui arbitrase mengharuskan adanya persetujuan dari kedua pihak yang bersengketa untuk membawa sengketanya ke arbitrase. Hal ini harus terpenuhi lebih dulu sebelum arbitrase dapat menjalankan yurisdiksinya. Dalam penyelesaian arbitrase ini para pihak bebas memilih hakim (arbiter) yang menurut mereka netral dan ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang sedang mereka hadapi.

e

A. Sejarah Terbentuknya Permanent Court of Arbitration

Didirikan berdasarkan Convention for the Pacific Settlement of International Disputes, di Den Haag tahun 1899 selama konvensi damai Den Haag pertama. Konvensi tersebut diadakan atas prakarsa Nicolas Tsar II dari Rusia. Di antara tujuan Konvensi tersebut adalah untuk penguatan sistem penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase. Para delegasi pada konferensi sadar bahwa selama 100 tahun sebelumnya, telah ada sejumlah kasus yang sukses diselesaikan melalui arbitrase internasional, dimulai dengan kombinasi Komisi "Jay Treaty" pada akhir abad ke-18, dan mencapai puncak dengan Alabama arbitrase di tahun 1871-1872. Kemudian Insitut de Droit International mengadopsi kode prosedur arbitrase pada tahun 1875. Gerakan ini cenderung menunjukan bahwa arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa internasional dilanjutkan pada tahun 1899. Dan pencapaian paling kuat dari Konvensi Den Haag tahun 1899 tersebut adalah pembentukan Permanent Court Of Arbitration sebagai mekanisme pertama yang secara global hadir untuk penyelesaian sengketa antar negara. Pasal 16 dari Konvensi 1899 diakui bahwa dalam

(2)

pertanyaan yang bersifat hukum, dan khususnya dalam penafsiran atau penerapan Konvensi Internasional, arbitrase adalah upaya paling efektif dan paling adil ketika cara penyelesaian sengketa secara diplomasi telah gagal dilakukan.

Dengan demikian, Pasal 20 Konvensi 1899 secara resmi mendirikan Permanent Court Of Arbitration , menyatakan:

With the object of facilitating an immediate recourse to arbitration for international differences which it has not been possible to settle by diplomacy, the signatory Powers undertake to organize a Permanent Court of Arbitration, accessible at all times and operating, unless otherwise stipulated by the parties, in accordance with the rules of procedure inserted in the present Convention.

Permanent Court Of Arbitration berkedudukan di Gedung Peace Palace, Den Haag, Belanda. Didirikannya badan arbitrase ini merupakan prestasi masyarakat internasional yang luar biasa. Permanent Court of Arbitration, pada saat itu merupakan badan peradilan arbitrase pertama yang menyelesaikan sengketa antarnegara. Namun dalam perkembangannya Permanent Court of Arbitration kurang popular. Antara tahun 1900-1932, badan ini hanya menangani 20 kasus. Sedikitnya kasus yang diserahkan ke Permanent Court of Arbitration disebabkan oleh dua alasan, yaitu:

1) meskipun namanya “court” namun sebenarnya bukan “court” dalam arti yang sebenarnya. Ini hanya badan arbitrase, bukan badan peradilan dalam arti yang sebenarnya.

2) lahirnya Permanent Court of International Justice sedikit banyak telah memadamkan pamor badan arbitrase ini.

(3)

internasional di luar arbitrase. Permanent Court Of Arbitration berwenang memberi jasa penyelesaian secara konsiliasi, inquiry (komisi penyelidik), jasa baik, dan mediasi.

Selama menjalankan fungsinya, sejak 1899 hingga akhir 1996 badan tersebut telah menyelesaikan 32 kasus. Sengketa terakhir saat itu yang ditanganinanya adalah sengketa perbatasan maritime antara Eriteria dan Yaman. Kesepakatan (Acta Compromis) kedua negara tersebut untuk menyerahkan sengketa kepada badan arbitrase permanen ditandatangani pada tanggal 3 Oktober 1996. Untuk proses arbitrase, Permanent Court Of Arbitration menerapkan the 1967 UNCITRAL Arbitration Rules. Sedangkan untuk proses acara berkonsiliasi, Permanent Court Of Arbitration menerapkan the 1980 UNCITRAL Conciliation Rules. Dari tahun 1899 hingga tahun 2004, terdapat 97 negara yang meratifikasi salah satu atau kedua konvensi tersebut. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Permanent Court Of Arbitration telah mendapat sambutan cukup besar dari masyarakat internasional. Saat ini Permanent Court Of Arbitration menyediakan layanan untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan berbagai negara, entitas negara, organisasi antar pemerintah, maupun pihak swasta.

Konvensi 1899 ini telah direvisi di konferensi damai Den Haag II pada tahun 1907. Sekarang Permanent Court Of Arbitration menyediakan layanan untuk penyelesaian sengketa internasional yang melibatkan berbagai kombinasi dari negara, entitas negara, organisasi antar pemerintah dan pihak swasta.

B. Yuridsiksi Permanent Court of Arbitration

(4)

The United Nations Model on Arbitral Procedure mengusulkan negara-negara untuk menyerahkan sengketanya kepada International Court of Justice atau Permanent Court of Arbitration (sesuai Pasal 3 ayat (1)). Pasal 3 ayat (3) menyatakan bahwa apabila para pihak telah menunjuk suatu badan peradilan apakah International Court of Justice atau Permanent Court of Arbitration maka badan peradilan yang disebut itulah yang memiliki yurisdiksi untuk menangani dan memutuskan sengketa.

C. Kasus yang Pernah Diselesaikan

Pada 15 September 2015, Timor-Leste mengajukan upaya penyelesaian dengan arbitrase melawan Australia sesuai dengan perjanjian Laut Timor antara pemerintah Timor Leste dan Pemerintah Australia. Timor Leste mengajukan kasus sengketa perbatasan laut itu ke Mahkamah Arbitrase yang diharapkan bisa menetapkan batas-batas laut di kawasan Greater Sunrise. Timor Leste menyatakan bahwa perjanjian sebelumnya cacat karena ada kegiatan spionase Australia terhadap para diplomatnya. Kawasan Greater Sunrise diperkirakan punya cadangan gas sekitar 5,1 triliun kaki kubik dan 226 juta barel kondensat. Selama ini, eksploitasi kawasan itu dihentikan karena rendahnya harga gas bumi dan sengketa perbatasam antara kedua negara.

(5)

Australia sudah mengeluarkan pernyataan, bahwa Mahkamah Arbitrasi Internasional Permanent Court Of Arbitration di Den Haag tidak punya yurisdiksi dalam kasus ini. Artinya, Australia tidak akan memperhatikan keputusan yang dihasilkan di sana. Pihak Australia bersikeras, perjanjian yang dibuat dengan Indonesia dan dengan Timor Leste tetap punya kekuatan legal yang mengikat dan menegaskan bahwa perjanjian itu menguntungkan kedua belah pihak. Namun pemerintah Timor Leste menuduh Australia melakukan spionase selama perundingan tahun 2006, beberapa tahun setelah Timor Leste resmi merdeka dari Indoensia antara lain dengan bantuan dari Australia.

Timor Leste menuntut agar batas laut harus ditarik di jarak tengah antara kedua negara. Namun Australia menolak interpretasi itu dengan alasan, cara pendefinisian seperti itu bisa mendorong Indonesia untuk juga berusaha menggeser perbatasan lautnya dan memperoleh kepemilikan ladang minyak yang disengketakan. Akhirnya, Mahkamah Arbitrase memutuskan menerima keberatan yang diajukan Timor Leste dan meminta Australia menegosiasikan lagi kesepakatan bagi hasil antara kedua negara

D. Perbedaan Permanent Court of Arbitration dengan International Court of Justice

Ada beberapa perbedaan antara Permanent Court of Arbitration dengan International Court of Justice, antara lain sebagai berikut:

1. Permanent Court Of Arbitration terbentuk pada tahun 1899 berdasarkan Convention for the Pacific Settlement of International Disputes di Den Haag. Sedangkan, International Court Of Justice terbentuk pada tahun 2002 dan merupakan pengganti Permanent Court of International Justice (ketika masih Lembaga Bangsa-Bangsa)

2. Dalam Permanent Court Of Arbitration tidak ada hakim duduk dalam proses peradilannya, sedangkan dalam International Court Of Justice memiliki 15 (lima belas) hakim duduk yang terdiri dari perwakilan berbagai negara sebagai representatif dari sistem hukum yang dianut.

(6)

siapa yang menjadi hakimnya dan lain lain, melainkan segala sesuatu akan ditentukan oleh Majelis Hakim.

4. Dalam Permanent Court Of Arbitration proses acara diadakan secara pribadi (tertutup) dan privat artinya para pihak dan yang berkepentingan yang dapat mengikuti proses arbitrase tersebut. Sedangkan dalam International Court Of Justice proses pengadilannya tidak dirahasiakan dari publik.

5. Dalam Permanent Court Of Arbitration bukan hanya negara yang dapat mengajukan kasus sengketa melainkan pihak swasta seperti perusahaan multnasional juga dapat mengajukan kasus sengketa. Sedangkan, dalam International Court Of Justice yang dapat mengajukan kasus sengketa hanyalah negara, artinya negara yang menjadi anggota United Nations.

6. Dalam Permanent Court Of Arbitration proses penyelesaian sengketanya dirasa lebih cepat yaitu sekitar satu sampai tiga tahun. Sedangkan, dalam International Court Of Justice proses penyelesaian sengketanya lebih lama yaitu bisa memakan waktu lebih dari lima tahun lamanya.

7. Dalam Permanent Court Of Arbitration dapat diajukan sengketa yang bersifat public maupun privat, sedangkan dalam International Court Of Justice hanya dapat diajukan sengketa yang merupakan sengketa hukum,

Referensi:

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Di wilayah Sodong terdapat situs sejarah bernama Jati Ombo yang merupakan lokasi Sunan Kalijaga saat menebang kayu jati untuk digunakan sebagai tiang Masjid Agung

Libby dan Frederick (1990) juga berpendapat bahwa auditor yang telah memiliki banyak pengalaman tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk menemukan kekeliruan (error) atau kecurangan

Desa di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan berskala lokal Desa

Di sisi lain, implementasi manajemen berbasis sekolah merupakan bagian dari kewenangan satuan pendidikan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat lebih optimal, karena selama

Kualitas suatu perguruan tinggi salah satunya ditentukan dari hasil riset. Riset ini dimaksudkan perguruan tinggi mampu memberikan peningkatan ilmu

Kegiatan awal yang dilakukan sebelum memulai pelajaran yaitu mengucapkan salam, kemudian mengabsen siswa dan mengecek kesiapan siswa untuk belajar dan menyampaikan tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Current Ratio, Quick Ratio, Cash Ratio, Gross Profit Margin, Return on Asset dan Return on Equity terhadap Harga

Konflik yang muncul tersebut adalah Wandi merasa bosan dengan kangkung yang kemudian diungkapkan dengan nada menyindir melalui perkataan hidup sayur kangkung, sayur kanggung