• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH LAHIRNYA HUKUM LAUT INTERNASIONA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH LAHIRNYA HUKUM LAUT INTERNASIONA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS 1

MATA KULIAH HUKUM LAUT

SEJARAH LAHIRNYA HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Dosen :

Khomsin, S.T., M.T.

Oleh :

Riva Dianita (3515100048)

TANGGAL PENGUMPULAN

4 September 2017

Departemen Teknik Geomatika

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya

(2)

SEJARAH LAHIRNYA HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Riva Dianita

3515100048

Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Email : riva.dianita@gmail.com

Abstrak.

Terdapat dua konsepsi mengenai laut, yaitu res nullius dan res communis. Kedua teori tersebut saling melengkapi, yakni dalam batas tertentu yang dimiliki sampai jarak tertentu. Pada zaman bangsa Romawi, kekuasaan terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu “res communis omnium” yang berarti bahwa laut merupakan hak bersama seluruh ummat. Azas “res communis ommnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut yang berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok (bajak laut). Negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam. Selden mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas laut tersebut. Terdapat tahapan-tahapan pelaksanaan konferensi hukum laut yaitu Konfrensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930, Hukum Laut setelah PD II, Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958.

(3)

PENDAHULUAN

Sejak dahulu kala telah terdapat dua konsepsi mengenai laut, yaitu:

1. Res nullius, berpendapat bahwa laut sebagai ranah tak bertuan atau kawasan yang tidak ada pemiliknya.karena tidak ada pemiliknya, maka laut dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara.

2. Res communis, berpendapat bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil dan dimiliki secara individual oleh negara-negara. Sebagai milik bersama, maka laut harus dipergunakan untuk kepentingan semua negara dan

pemanfaatannya terbuka bagi semua negara.

Dalam pelaksanaanya, kedua teori tersebut saling melengkapi, yakni dalam batas-batas tertentu dapat dimiliki, tetapi dibatas-batasi sampai jarak tertentu dapat dilihat dalam praktik yang dianut Negara-negara sejak dulu hingga sekarang.

Demikian hukum laut internasional baru yang sedang dalam proses pembentukannya tidak dapat sama sekali dilepaskan dari hukum laut internasional yang dasar-dasarnya diletakkan dalam abad XVI di Eropa Barat. Perkembangan yang kini sedang terjadi di bidang hukum internasional merupakan lanjutan dari suatu proses perubahan yang telah dimulai sejak akhir perang dunia ke-II. Gerakan-gerakan ini yang melahirkan konsepsi-konsepsi hukum laut baru seperti continental shelf dan fisheries zone (jalur perikanan) mengakibatkan diadakannya Konferensi-konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 yang berhasil merumuskan perkembangan-perkembangan baru dalam perpaduan dengan hukum laut tradisionil, sehingga terbentuklah Hukum Laut Internasional Modern (Modern International Law of the Sea) sebagaimana tercantum dalam Konvensi-konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958.

ISI

Hukum laut internasional modern (Modern International Law Of The Sea) yang diciptakan oleh Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 adalah sebagai pengganti hukum laut internasional tradisionil (Traditional Law Of The Sea) yang dirumuskan oleh Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930, dalam waktu kurang lebih 10 tahun sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan bidang pengakuan hukum laut internasional yang terus berkembang dengan cepatnya menuju suatu hukum laut internasional baru (A New International Law Of The Sea) yang sekarang telah terbentuk dalam Konferensi Hukum Laut III.

Untuk dapat memahami proses pembentukan hukum internasional laut baru (A New International Law Of The Sea) ini perlu terlebih dahulu mengetahui sejarah latar belakang hukum laut internasional, baik hukum laut internasional Jenewa maupun hukum laut internasional tradisionil.

1.

Zaman Romawi

(4)

ada yang menentang atau menggugat kekuasaan mutlak Roma atau Lautan Tengah. Laut Tengah dapat dianggap sebagai danau. Penguasaan tersebut bertujuan untuk membebaskan Laut Tengah dari ancaman bajak laut.

Dasar penguasaan bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu “res communis omnium” yang berarti bahwa laut merupakan hak bersama seluruh ummat. Menurut konsepsi ini penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Azas “res communis ommnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut yang berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok (bajak laut).

Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Roma dan munculnya berbagai kerajaan dan negara di sekitar Lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri.

Mengingat kenyataan bahwa pemikiran tentang hukum dikuasai oleh konsepsi-konsepsi dan azas-azas yang ditinggalkan oleh bangsa Romawi, maka konsepsi-konsepsi-konsepsi-konsepsi tentang hubungan antara negara di tepi dan laut dituangkan dalam konsepsi-konsepsi atau azas-azas hukum Romawi hidup terus walaupun Imperium Roma sendiri telah hancur lenyap.

2. Abad Pertengahan

Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut bagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam.

Post-Glossator atau komentator mencari penyelesaian hukum didasarkan atas azas-azas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori, diantaranya yang paling terkenal adalah yang dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad pertengahan.

Bartolus meletakkan dasar bagi pembagian dua dari laut yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini merupakan dasar bagi pembagian dua dari laut yang klasik dalam laut teritorial (laut wilayah) dan laut lepas. Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yakni: (1) kepemilikan laut, (2) pemakaian laut, dan (3) yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut. Di dalam masa pembentukan hukum laut internasional ini dengan demikian terjadi perjuangan untuk menguasai lautan yang berdasarkan berbagai alasan dan kepentingan yang berlainan.

(5)

Kehebatan adu pendapat antara ahli-ahli hukum yang masing-masing mempertahankan laut bebas dan laut yang dikuasai oleh negara pantai ini bertambah meningkat dengan meningkatnya kemampuan manusia untuk mengarungi lautan dan mengambil kekayaan dari laut dengan bertambahnya kapal-kapal yang digunakan. Dengan demikian sejak permulaan sejarah hukum laut internasional di samping faktor-faktor politik berlaku pula faktor-faktor ekonomi dan teknologi dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan negara-negara terhadap laut.

3. Zaman Modern

a. Mare Clausum (laut tertutup) vs Mare Liberum (laut terbuka)

Dikemukakan oleh John Selden pada tahun 1635. Teori ini dikemukakan pada abad XVII oleh Inggris untuk menentang teori yang telah dikemukakan oleh Grotius. Selden mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas laut tersebut. Teori ini dikembangkan oleh Pontanus yang mengemukakan bahwa : Kedaulatan suatu Negara (souvereignty) atas laut mencakup di dalamnya wewenang untuk melarang pihak ketiga, tidak lagi dikaitkan dengan dominium atas laut Laut yang berdekatan dengan daratan yang bisa menjadi kedaulatan negara pantai, selebihnya adalah laut bebas. Teori Mare Clausum kembali dikembangkan oleh Cornelis van Bynkershoek yang menyatakan terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis atau lebih dikenal dengan teori tembakan meriam, yang menyebutkan bahwa lebar laut territorial suatu negara adalah sejauh 3 mil laut. Alasannya karena 3 mil laut adalah jarak yang paling jauh yang bisa ditempuh oleh tembakan meriam.

b.

Sengketa Perikanan Antara Inggris Dan Norwegia “Anglo-Norwegian Fisheries Case”. (Keputusan Mahkamah Internasional Tahun 1951).

Perkara antara Inggris dan Norwegia mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat sah-nya penetapan batas perikanan ekslusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam Firman Raja (Royal Decree)tahun 1935 menurut hukum internasional. Yang digugat oleh Inggris bukan lebar jalur laut wilayah Norwegia sebesar 4 mil, akan tetapi cara pernarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada pantai Norwegia. Dalam cara penarikan garis pangkal lurus yang dilakukan Norwegia ini deretan pulau dimuka pantai dianggap sebagai bagian dari pantai Norwegia.

Nelayan Inggris di antara tahun 1661 hingga tahun 1906 tidak menangkap ikan di perairan pantai Norwegia setelah Raja Norwegia dan Denmark mengajukan keberatan-keberatannya terhadap kegiatan tersebut kepada Raja Inggris. Sejak tahun 1908 Pemerintah Norwegia mulai mengambil tindakan tegas dengan menyatakan daerah-daerah tertentu terlarang bagi nelayan asing dan di tahun 1911 sebuah kapal pukat harimau (trawl) ditahan dan disita karena melanggar daerah larangan yang telah ditetapkan. Di tahun 1933 Kerajaan Inggris mengajukan protes dan mengatakan bahwa di dalam menetapkan batas-batas daerah terlarang untuk nelayan asing itu Norwegia telah menggunakan garis pangkal yang tidak dapat dibenarkan menurut hukum internasional.

(6)

Firman Raja ini yang menunjuk pada Firman-Firman Raja yang serupa yang dikeluarkan di tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889 di dalam pertimbangannya (preamble) mengemukakan atau menyebutkan hak-hak nasional yang telah lama dalam sejarah, keadaan geografis khusus dari pantai Norwegia dan tujuan melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan vital dari penduduk bagian Utara dari Norwegia.

Inggris tidak menyangkal hak-hak Norwegia untuk memiliki lebar laut teritorial 4 mil, namun menyatakan bahwa cara penarikan garis pangkal lurus sebagaimana ditetapkan dalam Firman Raja tahun 1935 bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Dari kutipan di atas jelas bahwa kedua belah pihak dalam sengketa tidak lagi mempersoalkan lebar laut 4 mil bagi Norwegia, demikian pula bahwa garis pangkal (base-lines) bisa ditarik dari tanah atau ketinggian yang minimal di permukaan air laut pada waktu pasang surut (low tide elevations).

c. Kekuasaan Negara atas Laut

Sejarah menunjukan mengenai telah adanya kesepakatan tentang pembagian lautan menjadi 2 bagian: laut teritorial & laut lepas. Demikian pula, pada akhirnya telah ada kesepakatan tentang rejim lebar laut teritorial 3 ml dan masalah isi pengertian kedaulatan yang mencakup segala segi kepentingan negara pantai.

Berbagai kepentingan yang ingin diamankan dan yang mendorong negara untuk menguasai laut yang berbatasan dengan pantainya, antara lain: perikanan, keamanan & pertahanan netralitas, kesehatan umum, pencegahan penyelundupan, dsb.

d. Terdapat tahapan-tahapan pelaksanaan konferensi hukum laut

a. Konfrensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930

Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil.

Konferensi ini menetapkan :

1. Wilayah negara yang meliputi jalur laut disebut Laut Teritorial. Wilayah negara pantai meliputi ruang udara di atas laut territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya yang dikenal dengan istilah tiga demensi laut teritorial. Khusus batasan ruang udara, dikenal teori grafitasi, yaitu benda yang masih jatuh ke bawah, masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa negara tersebut.

2. Hak Lintas Damai, pada prinsipnya kapal asing boleh masuk, melintas wilayah laut asal tidak membuang jangkar, mencemarkan lingkungan, menyelundup, dan lain-lain yang dapat menimbulkan keadaan tidak damai (the right of innoucense)

(7)

4. Pengejaran seketika (hot porsuit) bila melanggar Sesudah Perang Dunia Kedua (tahun 1945).

b. Perkembangan Hukum Laut setelah PD II

Ada 3 faktor yang menyebabkan perubahan pada hukum laut internasional: - Banyak negara yang merdeka.

- Kemajuan teknologi.

- Tambah bergantungnya negara pada lautan, terutama sumber kekayaan alamnya. Proklamasi Presiden Truman-1945 tentang Landas Kontinen :

o Kelanjutan alamiah wilayah daratan.

o Masuknya aspek geologi dalam hukum laut internasional. Negara pantai mempunyai kekuasaan mengatur yang berbatasan dengan pantainya.

o Dimaksudkan untuk mencadangkan kekayaan alam (mineral) dasar laut & tanah di bawahnya untuk rakyat Amerika Serikat

o Status hukum lautnya tetap sebagai laut lepas.

o Tidak mengklaim jarak, tetapi kedalaman 100 fathom (200 m).

Pengambilan kekayaan alam dasar laut:

 Penambangan batu bara di selat inggris ( di daerah cornwall).

 Pengambilan mutiara di pantai ceylon & di teluk persia berdasarkan kebiasaan.

 Perjanjian inggris-venezuela (1942), membagi dasar laut yang terletak antara venezuela dan trinidad dan tobago di luar laut teritorial masing-masing

 Para ahli sepakat bahwa suatu negara pantai hanya dapat memiliki yurisdiksi atau penguasaan atas dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdekatan dengan pantainya atas dasar okupasi efektif (effective occupation) atau hak sejarah yang didasarkan atas kebiasaan (prescription).

Proklamasi Presiden Truman-1945 Tentang Perikanan

 Perikanan penting sebagai sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah pantai (nelayan) dan sebagai bahan industri makanan amerika serikat.

 Alasan melindungi perikanan untuk kemajuan peralatan & teknik penangkapan serta bahaya lebih tangkap (over exploitation).

 Kebijakan pencadangan dan perlindungan.

 Daerah perlindungan tidak mempengaruhi status laut lepas yang bersangkutan.

(8)

- Inggris menggugat cara penarikan garis pangkal lurus (straight baselines) yang menghubungkan titik2 terluar norwegia

- Inggris minta agar mi menyatakan bahwa tindakan norwegia tidak sesuai dengan hukum dan azas-azas hi

- Pada waktu itu yang berlaku umum adalah garis pangkal pasang surut. Ada 3 cara menarik garis pangkal menurut garis pasang surut:

 Trace parallele : mengikuti liku-liku garis pasang surut.

 Arcs of circle : tetapkan batas luar tanpa garis pangkal.

 Straight baseline : menarik garis-garis lurus dari titik-titik tertentu pada garis pasang surut.

c. Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958

Konferensi Jenewa tentang hukum laut menghasilkan 4 (empat) konfrensi antara lain :

a. Convention on the Territorial Sea and Contigous Zone 10 September 1964 (Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan);

b. Convention on the High Seas 30 September 1962 (Konvensi mengenai Laut Bebas); c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 20 Maret 1966 (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas);

d. Convention on the Continental Shelf 10 Juli 1964 (Konvensi mengenai Landas Kontinen)

d. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut I tahun 1958 (UNCLOS I)

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 danUNCLOS 2.

Dalam konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah:

1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II

2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas) a. Kebebasan pelayaran, b. Kebebasan menangkap ikan, c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, d. Kebebasan terbang di atas laut lepas.

3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention onfishing and conservation of the living resources of the high sea)

(9)

laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

e. Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982

Ada pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini,disepakati 2 konvensi yaitu:

1. Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara. ·

2. Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand,Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik Malagasi

Tidak kurang dari 12 kali siding konferensi, UNCLOS, sejak tahun 1973 sampai 1982, dalam mencapai hasil yang diharapkan, yang dimulai dengan suatu sidang pertama “keorganisasian” pada tahun 1973 dan berakhir pada pengesahan naskah akhir konvensi dan penanda tanganannya di Montego Bay tanggal 10 desember 1982, oleh 118 negara. Catatan resmi mengenai prosedur pengesahan, dan keputusan-keputusan yang tercapai pada tiap tahapan, dimuat-ulang dalam Final Act UNCLOS yang juga ditanda tanggani pada tanggal yang sama. Hasil pertemuan UNCLOS III Secara garis besar Konvensi memuat beberapa hal penting, yaitu:

1. Negara-negara pantai memiliki kedaulatan teritorial sampai 12 mil, tetapi kapal-kapal asing diizinkan melakukan lintas damai melalui perairan tersebut;

2. Kapal dan pesawat udara dari semua negara diizinkan melakukan lintas transit melalui selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional, negara-negara yang terletak di sepanjang selat bias mengatur navigasi dan segi-segi lintas lainnya;

3. Negara-negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari satu kelompok atau kelompok-kelompok pulau yang saling berhubungan memiliki kedaulatan atas laut wilayah yang tertutup oleh garis selat dari kepulauan tersebut; negara lain berhak melakukan lintas di garis yang ditetapkan.

PENUTUP

Kesimpulan

(10)

internasional menpelajari tentang aspek- apek hukum di laut dan peristiwa hukum yang terjadi di laut.

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Cetakan Keempat, BPHN, CV. Trimitra Mandiri, Jakarta, 1999, Hlm. xii.

Prijanto Heru. 2007. Hukum Laut Internasional. Bayumedia Publishing.Malang

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Proses Seleksi Paket Pekerjaan tersebut di atas tidak ada peserta yang mengupload..

Peristiwa Arab Spring adalah serangkaian unjuk rasa yang terjadi di sebagian wilayah Timur tengah dan Afrika Utara yang terjadi disebabkan oleh

Perubahan sistemik memberi tempat pada hubungan timbal balik dan kesalingtergantungan antar bagian-bagian dari sistem pendidikan, dengan konsekuensi bahwa perubahan yang

alat-alat laboratorium yang akan digunakan dalam kegiatan praktikum. Diharapkan agar kedua pihak UNNES dan SD Negeri Kalibanteng Kidul 02 dapat. selalu menjalin

To strengthen the analysis, postural ana- lysis using 3D SSPP was conducted to examine the real load of rice farming activities, since the first two methods (ergonomics checklist,

readiness before teaching writing of short functional text at the eleventh grade students of MAN 1 Laung Tuhup, the teaching procedure of teaching writing of short functional text

Dalam pembuatan web site C.V Regal Komputer penulis membuat sejumlah page yaitu : ⢠Membuat Page utama yang bernama index.html, page ini berisi sejumlah menu yang dapat dilink ke

• Pemikiran yang diungkapkan tidak terdiri dari kata-kata yang satu sama lain terlepas, tetapi kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang dapat dimengerti.. Itulah