Pendidikan Kewirausahaan : Konsep Paradoks di Tengah Kemelut Bangsa
Oleh Mirza B. Ahmad,Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yogyakarta.
Wirausaha, salah satu kata yang kita kenal sejak dulu itu kini diajarkan pada salah satu mata kuliah wajib di universitas yang tengah menuju impian menjadikan dirinya World Class University. Secara umum kewirausahaan dikenal juga sebagai berwiraswasta, wiraswasta secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta, kata wira berarti usaha, swa berarti sendiri dan sta yang berarti berdiri. Pengertian etimologis wiraswasta adalah bekerja/berusaha untuk bisa berdiri sendiri tanpa adanya ketergantungan. Seorang wiraswasta adalah orang yg pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Wirausahawan lebih ditekankan pada sifat dirinya yaitu, memiliki sifat keyakinan, kemandirian, individualitas, optimisme. Ciri-ciri seorang wirausahawan adalah selalu berusaha untuk berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik dan memiliki inisiatif, memiliki kemampuan mengambil risiko dan suka pada tantangan, bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain dan suka terhadap saran dan kritik yang membangun, memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serba bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas, memiliki persepsi dan cara pandang yang berorientasi pada masa depan, memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja keras.
Pendidikan kewirausahaan ini memberikan sebuah orientasi baru bagi mahasiswa, sebagai skill yang harus dimiliki nanti ketika lulus dan masuk ke dalam masyarakat sehingga tidak terlalu mengharapkan dirinya bisa masuk ke dalam formasi PNS dan menitikberatkan bahwa berwirausaha jauh lebih menguntungkan ketimbang menjadi PNS. Di dalam beberapa pertemuan mata kuliah ini berusaha men-brainwash pemikiran mahasiswa bahwa menjadi abdi negara atau karyawan hanyalah sebuah bentuk ketidaknyamanan yang akan kita dapatkan nanti dan membalikkan thesis menjadi mengangkat diri sendiri menjadi direktur dan memperkerjakan orang lain sebagai karyawan kita, bisa diproyeksikan bahwa ketika kita menjadi karyawan kita merasa tertindas/tidak bahagia sehingga kita keluar dari pekerjaan itu lantas membuat perusahaan baru dengan kita sebagai direkturnya dan balik menindas orang lain yang kita pekerjakan sebagai karyawan.
Sesungguhnya telah terjadi ketidakadilan antara direktur dan karyawan pada suatu perusahaan. Karyawan sebagai pekerja tulen bekerja menurut arahan atasannya untuk memproduksi sesuatu sedangkan sang direktur duduk manis sebagai penyedia modal dan menikmati profit di penghujung bulan. Bagaimana konsep keadilan bisa berjalan jika pemilik modal yang tidak bekerja mendapatkan upah yang sangat tinggi sedangkan para pekerjanya yang melakukan kegiataan riil mendapatkan upah rendah?
mengobjektivasikan dirinya ke dalam alam melalui pekerjaan sehingga manusia mampu melihat dirinya di dalam hasil pekerjaannya, kepastian bakat dan kemampuannya di dalam hasil pekerjaan itu, bagi petani bakat dan kemampuannya terwujud pada sawah yang hijau dan mulai menguning, bagi ilmuwan bakat dan kemampuannya terwujud pada teori/hasil eksperimen yang cemerlang. Makna pekerjaan tercermin pada perasaan bangga akan hasil yang dicapainya walaupun tak sedikit keringat yang tercurahkan sehingga kita menemukan diri kita pada pekerjaan kita.
Kewirausahaan menurut hemat penulis adalah upaya mengagungkan hak kepemilikan pribadi. Kreativitas sistem ekonomi liberal mengemas penanaman penekanan kebebasan ekonomi sedemikian rupa sehingga berwujud konsep kewirausahaan. Konsep ini buta terhadap realita yang ada, dimana kebebasan individu dijunjung tinggi sedangkan setiap individu memiliki kekuatan yang berbeda, tentu saja jika dibebaskan bersaing maka yang menang adalah yang individu yang kuat secara ekonomi sehingga modal adalah hal terpenting dalam wirausaha. Pendidikan kewirausahaan sangat kreatif mengemas brainwashnya dengan mengatakan bahwa berwirausaha yang dibutuhkan pertama bukanlah modal, melainkan semangat, niat, berani meninggalkan zona nyaman. Memang modal bukanlah hal yang utama, melainkan niat dan semangat pantang menyerah untuk mencari modal, bukankah demikian?
Soekarno pernah mengatakan bahwa perjuangannya mudah karena mengusir penjajah dari negeri ini, namun perjuangan kita jauh lebih berat karena menghadapi bangsa kita sendiri. Agaknya memang benar apa yang dikatakan beliau, dari kewirausahaan ini saja kita bisa melihat bahwa anak negeri yang terpelajar malah memperkerjakan oranglain sebagai buruhnya yang notabene orang Indonesia, menjajah negeri sendiri. Dengan demikian pemerintah turut andil dalam penjajahan negeri sendiri karena menelurkan konsep wirausaha ke dalam institusi pendidikan. Sebenarnya pemerintah ingin melepaskan tanggungjawabnya terhadap keadaan sosial yang ada sehingga rakyat diharapkan mampu mensejahterakan dirinya sendiri lewat berwirausaha yang seyogyanya mewujudkan kesejahteraan sosial adalah kewajiban negara seperti yang tercantum pada pasal 27,31,34 UUD 1945.
Ketimpangan sosial yang tengah terjadi di negeri ini adalah ekses dari pergulatan politik ekonomi kaum elit. Rakyat disodori kebohongan informasi bahwa ekonomi Indonesia mengalami kemajuan sekian persen, kestabilan kondisi ekonomi Indonesia dikarenakan suasana politik yang kondusif dan sebagainya. Padahal di dalam negeri ini masih banyak warga negara yang makan nasi basi untuk bisa mempertahankan hidupnya. Lantas apakah kita masih terus bertindak mempekerjakan mereka sebagai buruh kita yang notabene
berhidung sama dengan kita? Masihkah kita terus melanggenggkan “kekondusifan politik”
