KORBAN PRAKTIK POLIGAMI
( ANALISIS HUKUM ISLAM )
Studi Kasus Poligami Daerah Ibu Kota Jakarta Timur
Oleh:
AINUL YAQIN NIM : 103045128133
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM ( JINAYAH SYAR’IYAH )
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
KORBAN PRAKTIK POLIGAMI
( ANALISIS HUKUM ISLAM )
Studi Kasus Poligami Daerah Ibu Kota Jakarta Timur
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
AINUL YAQIN NIM : 103045128133
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM ( JINAYAH SYAR’IYAH )
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiblakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 27 Rajab 1429 H. 30 Juli 2008 M.
KORBAN PRAKTIK POLIGAMI
(Analisis Hukum Islam)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AINUL YAQIN
NIM : 103045128133
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA Sri Hidayati, M.Ag. NIP: 150 234 469 NIP: 150 282 403
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM ( JINAYAH SYAR’IYAH )
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul KORBAN PRAKTIK POLIGAMI (ANALISIS HUKUM ISLAM) telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.
Jakarta, 08 Ramadhan 1429 H 08 september 2008 M Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua : Asmawi, M.Ag. (...) NIP. 150 282 394
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag. (...) NIP. 150 282 403
3. Pembimbing I : Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A (...) NIP. 150 234 496
4. Pembimbing II: Sri Hidayati, M.Ag (...) NIP. 150 282 403
5. Penguji I : Asmawi, M.Ag. (...) NIP. 150 282 394
M O T T O
“Ingatlah, Hanya dengan mengingat Allahlah Hati menjadi tenteram”.
(QS. Ar-Raad: 28)
Tidak kah telah kami lapangkan dadamu untukmu?
Dan kami lepaskan bebanmu daripada mu
Yang memberatkan punggungmu
Dan kami meninggikan bagimu sebutan (nama-Mu)
Sebab sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Maka apabila kamu telah selesai, (urusan dunia) maka
Bersungguh-sungguhlah (dalam beribadah)
Dan hanya kepada Tuhanmu lah berharap.
ABSTRAK
Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, mulai dari penganiayaan,
pemukulan bahkan sampai hal yang lebih tragis lagi. Kini banyak dibicarakan
diberbagai tempat mulai dari media massa, televisi dan lainnya. Bahkan tidak jarang
kita melihat langsung terjadinya kasus kekerasan tersebut disekitar lingkungan kita.
Hal itu banyak membicarakan penderiataan yang dialami oleh istri dan bahkan anak.
Penderitaan yang dialami korban seakan tidak ada habisnya. Adanya kasus-kasus
yang terjadi pada sebuah keluarga dapat menimbulkan citra buruk bagi tujuan
perkawinan.
Keharmunisan dalam sebuah keluarga adalah merupakan manhaj dan tujuan
pokok dari adanya perkawinan. Lalu bagaimana keharmunisan akan di dapat dalam
sebuah keluarga kalau dalam keluarga itu sendiri tidak ada keadilan.
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam hal materiel dan immateriel.
Baik adil dalam pembagian nafkah maupun adil dalam pembagian malam seperti
yang seharusnya dilakukan oleh keluarga yang berpoligami. Bukan kekerasan yang
didapatkan oleh istri, pemukulan, penganiayaan bahkan kekerasan lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan sejumlah kasus tentang
poligami dan dampaknya terhadap keutuhan suatu keluarga. Kedua fenomena ini
dalam kajiannya senantiasa dikaitkan dengan hukum Islam. Sejalan dengan metode
penelitian yang digunakan, format penyajiannya lebih menekankan pada data dan
respinden adalah perempuan, dengan alasan karena mereka yang sering kali menjadi
pihak yang sangat dirugikan dari praktek poligami yang dilakukan para suami.
Pendekatan kualitatif digunakan pada tiga pertimbangan pokok. Pertama,
menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila apabila berhadapan dengan
gejala yang kompleks. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi. Pendekatan ini juga didasarkan pada pertimbangan
bahwa pendekatan kualitatif dapat menampilkan data-data dan informasi kepada
tingkat abstraksi yang lebih tinggi.
Dari hasil pengolahan data membuktikan bahwa perkawinan poligami
merupakan perkawinan yang tidak ideal. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kekerasan
yang dilakukan oleh para suami terhadap para istri dalam keluarga poligami.
Kekerasan tersebut tidak hanya berbentuk kekerasan fisik tapi juga berbentuk
kekerasan psikis. Disamping itu juga istri tua lebih kurang diperhatikan dalam
pembagian nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah bathin.
Mengingat hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat ketidakharmunisan
bahkan terjadinya kekerasan dalam keluarga poligami, maka disarankan kepada
semua pihak terutama para suami untuk lebih hati-hati dalam melakukan poligami.
Meskipun, disamping itu poligami buhan hal yang dilarang tapi ingat, keadilan adalah
manhaj dan tujuan dari adanya perkawinan itu sendiri, bukan sebaliknya. Poligami
ﺮ ا
ﺮ ا
ﷲا
ــــــ
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, tiada kata yang pantas untuk diucapkan selain rasa syukur
penulis kehadirat Allah SWT, Dialah sumber tertinggi spirit, optimisme, dan energi
bagi penulis sehingga skripsi ini terselesaikan meskipun melalui proses yang dalam
pengalaman pribadi peneliti.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah
SAW yang telah mengantarkan manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang benderang beserta para sahabat dan keluarganya beliau yang telah
memperjuangkan agama Allah SWT dalam berbagai gelombang kehidupan, hingga
berakhir dengan kemenangan dan kejayaan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Walaupun waktu, tenaga, dan pikiran
telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki,
demi terselesaikannya skripsi ini agar bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya.
Penulis sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu
syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum Islam. Oleh karena itu, penulis
1. Teristimewa, yang tercinta Bapak dan Ibu, dengan curahan cinta dan kasih
sayangnya telah memberikan semua bantuan yang tiada habisnya kepada
penulis. Dengan bangga penulis persembahkan skripsi ini sebagai bukti
tanggung jawab penulis merinci jasa dan kebaikan beliau berdua. “ Semoga
Allah selalu menyertai dalam setiap langkah beliau”.
2. Prof. Dr. Drs. H. Amin Suma, SH, MA.MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bpk. Asmawi, M.Ag. selaku ketua program studi dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag.
selaku sekretaris program studi Jinayah Siyasah yang selalu memberikan
kemudahan demi lancarnya dan terselesaikannya skripsi ini.
4. Bpk Dr. Abdurrahman Dahlan, MA selaku pembimbing I dan Ibu Sri
Hidayati, M.Ag. selaku pembimbing II. Terima kasih atas kebaikan dan
kesabaranya dalam membimbing penulis, semoga waktu, tenaga dan pikiran
yang tersita untuk membimbing penulis selalu dicatat sebagai amal ibadah.
5. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. Selaku pembantu Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum.
6. Para dosen dan staf karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah
membantu memberi kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan skripsi.
7. Bapak ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur serta para
informan khususnya, terima kasih karena telah banyak membantu
berpartisipasi dengan meluangkan waktunya dalam proses wawancara.
8. Semua teman-teman Fakultas Syari’ah dan Hukum Angkatan 2003,
khususnya temen-temen kelas PI, terima kasih atas senyuman dan kebaikan
kalian semangat kalian yang selalu diberikan kepada penulis
9. Semua pihak yang terkait yang tidak disebutkan satu-persatu, terima kasih
telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah semua amal baik tersebut penulis kembalikan,
semoga mendapat balasan yang berlipat ganda. Hanya kepada Allah penulis berserah
diri dan memohon ridhanya dalam menggapai masa depan yang cerah. Amin
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari
sistematika bahasa maupun dari segi materi yang terkandung. Atas dasar ini,
komentar, saran, dan kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca sekalian
dan semoga bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 27 Rajab 1429 H. 30 Juli 2008 M.
KORBAN PRAKTIK POLIGAMI:
(
Analisis Hukum Islam)
HALAMAN JUDUL ...
LEMBAR PERNYATAAN ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
MOTTO ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan... 8
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI A. Pengertian Poligami ... 19
B. Dasar Hukum dan Pengaturan Poligami ... 20
C. Praktik Poligami Rasulullah SAW... 25
BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG KORBAN PRAKTIK POLIGAMI A. Motif Terjadinya Praktik Poligami ... 37
B. Dampak Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Istri ... 40
C. Sisi Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Anak ... 42
D. Realitas Kehidupan Praktik Poligami ... 50
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KORBAN
[image:12.612.113.526.128.687.2]A. Poligami dalam Pandangan Ulama Mazhab ... 55
B. Pandangan Ulama tentang Berlaku Adil terhadap Para Istri ... 61
C. Fenomena Poligami: Gambaran Kasus ... 69
D. Tinjauan Hukum Islam terhadap Korban Praktik Poligami ... 75
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 83
B. Saran-saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 86
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Allah SWT. Menciptakan semua makhluk yang ada di alam raya ini
berpasang-pasangan, seperti ada siang dan malam, jantan dan batina, termasuk
tumbuh-tumbuhan pun masing-masing mempunyai pasangannya, begitu seterusnya.
Demikian juga manusia, yang dikenal dengan istilah laki-laki dan wanita. Melalui
pasangan ini, maka berkembanglah manusia dan hewan serta makhluk lainnya yang
membentuk sebuah kelompok yang menghuni bumi ini.1
Kehidupan rumah tangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan
merupakan faktor utama dalam membina masyarakat. Dari sebuah keluarga, segala
suasana yang harmonis dan bahagia. Mereka akan mudah bersosialisasi dengan baik
kepada anggota masyarakat di lingkungannya, karena sudah terbiasa bersikap baik
seperti yang telah dilakukan di dalam keluarganya. Suamilah sebagai kepala keluarga
dalam sebuah rumah tangga yang mempunyai kewajiban dalam membina sebuah
keluarga yang harmonis dan sejahtera. Suami sebagai kepala keluarga yang
dihasilkan oleh sebuah perjanjian dalam perkawinan. Hal ini telah tercantum dalam
al-Qur’an surat Yasin/36 ayat 36:
☺
1
☺
☺
“Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin/36: 36).
⌧
☯
⌧
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’/4: 1).
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia, sempurna, dan
istimewa serta telah dilantik sebagai khalifah di muka bumi sejak awal kejadiannya.
Mulai dari pasangan Nabi Adam dan Hawa, maka berkembangbiaklah keturunan
manusia di bumi ini hingga hari kiamat nanti.2
Untuk memlihara kesucian dan kemuliaan manusia, Allah telah menetapkan
syariat sebagai pedoman bagi kehidupan dan kemaslahatan hambanya, yaitu
undang-undang perkawinan atau hukum keluarga (mu’amalah ahliyah). Perkawinan
2
merupakan salah satu kaedah bagi pembentukan keluarga dan untuk menciptakan
regenerasi/keturunan. Ia merupakan salah satu daripada sunnah Rasulullah SAW.3
Perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim untuk menjadikan seorang
muslimah sebagai istri adalah perjanjian yang dibuat atas nama Allah SWT. Oleh
karena itu, seorang suami tidak boleh semena-semena terhadap istrinya, seperti
menceraikan istri tanpa alasan, berlaku kasar terhadap istri, berpoligami tanpa alasan
yang dapat dibenarkan dan mendapat idzin dari istri pertama.4
Salah satu bentuk perkawinan yang diatur dalam Islam ialah poligami, ia
adalah salah satu bentuk perkawinan yang sangat terkenal sejak zaman jahiliyah
sampai sekarang. Poligami dalam pengertian umum bermaksudnya seorang laki-laki
yang mengawini lebih dari seorang perempuan tanpa ada batasan dan syarat tertentu.
Tetapi setelah Islam datang, maka ajaran ini menetapkan batasan jumlah perempuan
yang boleh dinikahi dalam satu masa dan berdasarkan syarat-syarat kelayakan bagi
orang yang hendak melakukan poligami.5
Poligami tidak boleh dilakukan secara sembarangan oleh suami. Jangan
karena istri sudah tidak cantik lagi lalu cintanya kepada istri pudar begitu saja,
kemudian ia memutuskan untuk menikah lagi. Pernikahan bukan semata-mata karena
ketampanan atau kecantikan, kekayaan atau harta benda dan bukan pula karena
3
Walid Muhammad ‘Afif, Panduan dan Tata Cara Lengkap Kelahiran, Pernikahan dan Kematian menurut Aturan Islam (Kuala Lumpur: Pustaka Syuhada, 1996), h. 78.
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h. 127.
5
tujuan-tujuan lain yang bersifat duniawi. Namun pernikahan adalah perjanjian yang
sangat kokoh antara suami-istri dilandasi dengan rasa kasih sayang agar tercipta
keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Lembaga bantuan hukum APIK (LBH-APIK) menyatakan tentang semakin
meningkatnya jumlah kekerasan dalam keluarga. Pada tahun 2001 terdapat 3.169
kasus, tahun 2002 meningkat 62 % menjadi 5.163 kasus, tahun 2003 meningkat 51 %
menjadi 7.787 kasus, tahun 2004 meningkat 80 % menjadi 14.020 kasus, dan pada
tahun 2005 meningkat 45 % menjadi 20.391 kasus.6
Berdasarkan data tersebut 82 % adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga,
termasuk kasus poligami. Bahkan tahun-tahun berikutnya dipastikan jumlah tersebut
akan semakin meningkat.
Poligami bagaikan kata yang menggambarkan kesan buruk dan meresahkan
mayoritas kaum perempuan, bahkan merupakan kata yang sangat dibenci oleh
mereka. Kebencian itu timbul karena adanya semacam rasa tidak percaya terhadap
adanya keadilan dalam poligami, yang mana hal tersebut akan menyebabkan
ketidakharmonisan (keretakan) dalam rumah tangga. Memang hal ini tidak mustahil
terjadi, karena secara realitas biasanya suami lebih memperhatikan dan mencintai istri
muda dari pada istri tua. Sehingga muncullah berbagai macam problem psikologis
yang berbeda dalam bentuk konflik internal keluarga, baik di antara sesama istri
maupun anak-anak. Menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana hakikat dari pada
keadilan yang merupakan syarat dari pada poligami tersebut – termasuk bagaimana
6
LBH.APIK,”Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, diakses pada 13 November 2007 dari
mewujudkannya di tengah-tengah keluarga sebagaimana yang dimaksud dalam
Islam.7
Islam tidak melarang umatnya melakukan poligami (membolehkan seorang
laki-laki memiliki empat orang istri dalam satu masa), namun kebolehan ini dengan
syarat ia mampu berbuat adil di antara istri-istrinya. Sebagaimana firman Allah SWT:
...
☺
“… Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’/4: 3).
Pada ayat di atas, poligami memang dibolehkan. Namun pada tataran
praktiknya, poligami sering disalahgunakan sehingga kesucian poligami ternodai dan
dianggap oleh sebagian besar perempuan sebagai penyebab hancurnya keutuhan suatu
keluarga. Anggapan tersebut karena didasarkan pada mayoritas para suami yang
berpoligami tidak lagi memperhatikan dan melaksanakan keadilan di antara para istri
dan anak-anaknya. Akhirnya, istri tidak hormat dan tidak taat lagi kepada suami,
adanya permusuhan di antara istri-istri, permusuhan di antara anak-anak, pembagian
nafkah yang tidak adil merata, tempat tinggal yang tidak sama nilainya, padahal
pembagian dalam hal yang sifatnya lahiriyah seperti ini sangat mungkin dilakukan
oleh suami yang berpoligami. Dan inilah pengertian keadilan yang dimaksud oleh
7
surat an-Nisa’ ayat 3, sekaligus syarat yang membolehkan para suami berpoligami
bilamana diiringi sebab-sebab dan faktor-faktor si istri tidak mampu lagi
melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri.8
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti praktik
poligami dan dampaknya terhadap keluarga, dan mengangkatnya menjadi sebuah
karya tulis yaitu skripsi sebagai gambaran sisi lain kehidupan berpoligami.
Disamping itu juga poligami menjadi bahan diskusi yang aktual di kalangan pemikir
muslim kontemporer, sehingga banyak kalangan yang menyempatkan diri mengulas
dan membahas soal tersebut. Diantaranya; karya Dr. ‘aisyah bintusy Syathi’9 - karya
Arij Abdurrahman As-Sanan - Karya Dr. Karim Hilmi Farhat Ahmad.10 Dari
beberapa karya tersebut peneliti melihat belum ada yang mengupas secara husus
tentang korban praktik poligami, padahal penelitian ini menurut penulis sangat
penting untuk diteliti. Namun demikian, karya-karya tersebut masih punya relevansi
dan bisa dijadikan acuan dalam penelitian ini. Selanjutnya skripsi ini penulis memberi
judul: “KORBAN PRAKTIK POLIGAMI (Analisis Hukum Islam)”.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi penulis
untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas pada kajian ini.
8 Ibid.
9 ‘Aisyah Bintusy Syathi’, Istri-istri Nabi Saw: Poligami di Mata Seorang Ahli Tafsir Wanita
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2004).
Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas dan terarah penulis hanya akan
memfokuskan permasalahan mengenai pembahasan yang berkaitan dengan korban
praktik poligami yang terjadi dalam suatu keluarga, yang pokok bahasannya
dititikberatkan kepada akibat-akibat atau dampak terjadinya praktik poligami.
Berdasarkan pembatasan di atas, maka rumusan yang diajukan adalah sebagai
berikut:
Apa motif terjadinya praktik poligami?
Bagaimana dampak poligami terhadap keharmonisan rumah tangga?
Bagaimana pandangan hukum Islam tentang korban praktik poligami?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis rumuskan di
atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, di antaranya:
Untuk mengetahui dan menjelaskan motif terjadinya praktik poligami.
Untuk mengetahui dampak terjadinya praktik poligami terhadap keharmunisan
rumah tangga.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam tentang korban praktik
poligami.
Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan dan mengetahui secara umum motif terjadinya praktik poligami.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang dampak terjadinya
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam
pelaksaan praktik poligami sehingga pelaksanaanya sesuai dengan syariat
Islam.
4. Menjadi sumbangan sederhana bagi wacana keilmuan tentang praktik
poligami dari sudut pandang Islam.
Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan
Dilihat dari segi tujuannya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif.
Sedangkan dilihat dari segi jenis data, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.
Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan,
yakni dengan cara mencatat dan mendokumentasikan informasi dari bahan-bahan
tertulis, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang bersifat normatif (al-Qur’an dan
al-Sunnah) sebagai landasan analisis serta pendapat-pendapat para ahli fikih dari
berbagai literatur yang ada seperti buku-buku, jurnal, makalah serta tulisan-tulisan
lain yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
Di samping itu diterapkan juga studi lapangan, teknik observasi dan teknik
wawancara.Observasi dan wawancara dilakukan untuk memperoleh data-data primer
yang diperlukan pada korban praktik poligami. Peneliti sendiri merupakan alat
pengumpul data yang utama. Adapun teknik wawancara yang digunakan adalah
teknik wawancara mendalam (in-depth interviuw) yang tidak terstruktur.11
11 Wawancara tak terstruktur digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara ini menekankan kekecualian penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal. Wawancara jenis ini biasanya dilakukan ketika pewawancara berhubungan dengan orang “penting”. Lexy J. Moleong,
Teknik observasi diterapkan dengan cara turun langsung mengamati objek
penelitian mengenai keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan yang berkaitan
dengan korban praktik poligami.
Teknik wawancara diterapkan dengan cara mewawancarai yang berkenaan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan dibahas. Wawancara
dilakukan dengan pihak-pihak terkait.
Populasi pada penelitian ini, sebagaimana (data tahun 2007) yang penulis
dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Timur, terdapat 30 kasus (keluarga) korban
praktik poligami. Dari populasi tersebut di atas, sebanyak 10% akan dijadikan
informan, yaitu sebanyak 3 orang yang kesemuanya bertempat tinggal di kawasan
Bekasi Jakarta Timur. Ditetapkan informan semuanya perempuan, karena secara
umum yang selalu menjadi korban praktik poligami adalah pihak perempuan.
Analisis data dengan menggunakan teknik analitis kualitatif bersifat iteratif
(berkelanjutan) dan dikembangkan sepanjang program. Maksudnya, analisis data
tidak dilakukan setelah pengumpulan data selesai, tetapi dilaksanakan mulai
penetapan masalah, pengumpulan data dan setelah data terkumpulkan. Dengan
demikian, peneliti dapat mengetahui kekurangan data yang harus dikumpulkan dan
dapat mengetahui metode mana yang harus dipakai pada tahap berikutnya.12
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara induktif, yaitu penulis
berangkat dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus, kemudian
membuat generalisasi analisis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat
umum.13
Adapun Teknik dan sistematika Penulisan skripsi berpedoman pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007.14
Sistematika Penulisan
Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri
dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:
Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya
kajian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tinjauan umum tentang poligami, yang meliputi:
pengertian poligami, dasar hukumdan pengetahuan poligami dan praktik poligami
Rasulullah saw.
Bab ketiga menguraikan gambaran umum tentang korban praktik poligami.
Pada bab ini menjelaskan tentang motif terjadinya praktik poligami, dampak negatif
praktik poligami terhadap istri, sisi negatif terjadinya praktik poligami terhadap anak,
dan realitas kehidupan praktik poligami.
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 5
Bab keempat merupakan inti persolan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu
berupaya menerangkan analisis hukum Islam tentang korban praktik poligami, yang
meliputi: poligami dalam pandangan ulama mazhab, pandangan ulama tentang
berlaku adil terhadap para istri, fenomena poligami: gambaran kasus, dan terakhir
tinjauan hukum Islam terhadap korban praktik poligami.
Bab kelima merupakan akhir atau penutup dari penulisan skripsi ini, berisi
kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian penutup ini merupakan jawaban terhadap
beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI
Pengertian Poligami
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat
muslim adalah poligami. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut
ini akan diperjelas dahulu sepintas lalu apakah yang dimaksud dengan poligami itu.
Menurut tinjauan bahasa, poligami (
تﺎﺟوﺰ ا
دﺪ
)
yaitu berbilangan isteri.Kata poligami adalah berasal dari bahasa Yunani, poly atau polos yang berarti banyak
dan gamien atau gamos yang berarti kawin/perkawinan. Jadi, secara bahasa poligami
berarti suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang,
baik pria maupun wanita.15
Sedangkan dalam pengertian umum yang berlaku dalam masyarakat kita
sekarang ini, poligami diartikan seorang laki-laki yang mengawini beberapa wanita.
Poligami dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Poliandri, yaitu perkawinan seorang perempuan dengan beberapa orang
laki-laki. Poliandri tidak banyak dipraktikkan, hanya dapat ditemukan pada
suku-suku tertentu, seperti pada suku-suku Tuda dan beberapa suku-suku di Tibet.16
15
Kafrawi Ridwan (ed.), dkk., Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, cet. x (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Vanhoeve, 1997), h. 107.
16
2. Poligini, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang
perempuan.17
Namun dalam perkembangannya, istilah poligini jarang sekali kita dengar,
bahkan bisa dikatakan praktis istilah ini tidak dipakai lagi di kalangan masyarakat.
Sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini dengan
mengartikan sebagai perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang
perempuan disebut dengan poligami, dan kata ini dipergunakan sebagai lawan
poliandri.
Lawan dari poligami yang sebenarnya adalah monogami, monogami berasal
dari bahasa Yunani, mono yang berarti satu dan gamien atau gamos yang berarti
perkawinan. Jadi monogami adalah satu perkawinan yang hanya memperbolehkan
seorang laki-laki mempunyai satu isteri.18 Monogami ini merupakan satu prinsip
bahwa suami hanya mempunyai satu isteri pada jangka masa tertentu.
Poligami merupakan sebuah persoalan yang tak pernah sepi dari perdebatan
terutama kaum perempuan dalam Islam. Bahkan di kalangan pengamat luar Islam,
menganggap dibolehkannya melakukan poligami ini membuktikan bahwa Islam
sangat mengabaikan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan
suami isteri. Poligami menurut mereka, merupakan salah satu bentuk diskriminasi
terhadap kaum perempuan (isteri).19
17
Kafrawi Ridwan (ed.), dkk., Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, h. 62
18
Ibid. h. 63
19
Dasar Hukum dan Pengaturan Poligami
Dalam hukum Islam, poligami biasa dikenal dengan تﺎﺟوﺰ ادﺪ yang berarti
berbilangnya isteri, maksudnya seorang suami yang memiliki isteri lebih dari seorang
dalam waktu yang bersamaan.20
Terbukanya pintu poligami dalam ajaran Islam telah tersurat dalam firman
Allah SWT:
☺
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. an-Nisa’/4: 3)
Dan juga dalam ayat 129:
⌧
☺
☺
⌧
☺
⌧
20
⌧
⌧
☺
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nisa’/4: 129)
Kedua ayat di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam
Islam adalah asas monogami. Poligami dibolehkan, apabila syarat-syaratnya
terpenuhi dan dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isterinya dapat dipenuhi.
Syarat keadilan tersebut menurut ayat 129, terutama dalam hal membagi cinta
tidak dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat pintu
kemungkinan untuk berpoligami, atau beristeri lebih dari seorang perempuan,
sepanjang persyaratan keadilan materi di antara isteri dapat dipenuhi dengan baik.21
Terdapat beberapa pendapat tentang hukum poligami, ada yang mengatakan
mubah, sunnah, bahkan ada yang mengatakan bahwa poligami adalah haram. Namun
sebagian kalangan berpendapat, bahwa poligami merupakan suatu perkara yang
sunnah. Karena poligami adalah perkara yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad
saw. Semua perkara yang pernah dilakukan oleh Nabi baik berupa ucapan maupun
perbuatan merupakan sunnah bagi kita semua.22
21
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 170
22
Menurut Mahmud Syaltut mantan Syeikh Al-Azhar, sebagaimana dikutip oleh
Dr. Huzaimah Tahido Yanggo, MA., hukum poligami adalah mubah.23 Poligami
diperbolehkan selama tidak takut atau tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan
terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya
penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari perbuatan dosa yang dikhawatirkan itu,
maka dianjurkan bagi laki-laki untuk mencukupkan satu isteri saja. Dengan demikian,
jelas bahwa kebolehan poligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak
terjadinya penganiayaan terhadap si isteri.
Az-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kassyaf, mengatakan bahwa poligami
menurut syari’at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama
halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa
ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat
laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri.
Kecenderungan yang ada pada diri laki-laki itulah seandainya syari’at Islam tidak
memberikan kelonggaran niscaya akan membawa kepada perzinahan, oleh sebab itu
poligami diperbolehkan dalam Islam.24
Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana juga dikutip oleh Huzaimah
Tahido Yango, mengatakan: Bahwa haram berpoligami bagi seseorang yang merasa
khawatir akan berlaku tidak adil. Poligami dalam pandangan Abduh, boleh jika dalam
23
Huzaimah Tahido Yanggo, “Pandangan Islam Tentang Gender”, dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 2.
24
keadaan darurat, yaitu jika isteri tidak bisa memberikan keturunan (mandul).
Kebolehan poligami dalam keadaan darurat sama dengan hukum memakan bangkai,
darah dan babi. Umat Islam dilarang memakan bangkai, darah dan babi bilamana
dalam keadaan darurat atau terpaksa maka kita boleh memakannya (QS. 2: 137). Jadi,
hukum poligami itu sama dengan memakan bangkai, darah atau babi yang boleh
dilakukan dalam keadaan darurat saja.25
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum poligami terlingkup dari
beberapa hukum yang diantaranya sunnah, haram, wajib, mubah dan makruh. Namun,
pada tingkat pelaksanaannya sangat tergantung pada kondisi seorang laki-laki terkait
dengan kebutuhannya terhadap poligami dan kemampuannya memenuhi hak-hak
istri-istrinya.
Pada ayat tersebut (QS. 4:3), dijelaskan bahwa poligami dihalalkan dengan
anjuran berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, dimana seorang suami yakin
bahwa ia akan terjatuh kepada suatu kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak
dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram. Jika ia
merasa kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka poligami menjadi
makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan zina jika tidak
berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.
Praktik Poligami Rasulullah SAW
25
Tidak sedikit orang yang keliru dalam memahami praktik poligami Nabi
Muhammad saw., termasuk kaum muslim sendiri. Ada anggapan bahwa Nabi
melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana yang dilakukan banyak orang yakni
hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata.26
Sesungguhnya motif yang paling mendasar dari setiap perkawinan Nabi
Muhammad saw. adalah “Islamisasi” yang merupakan tugas utama beliau. Ekspresi
dakwah tercermin dalam segala aktifitas beliau baik berupa perbuatan, perkataan
maupun persetujuan beliau. Dari motifasi dakwah di atas terbawa pula motifasi lain
seperti politik, sosial kemanusiaan dan akhlak. Namun dari itu semua, dapat
dikembalikan pada satu tujuan yaitu dakwah untuk mensyiarkan Islam.27
Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasulullah saw. kawin lebih dari satu
hendaknya diteladani, karena tidak semua apa yang dilakukan Rasulullah saw. perlu
diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan
terlarang pula bagi ummatnya. Bukankah Rasulullah saw. antara lain wajib bangun
shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu’ beliau
bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan
misinya? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar-benar ingin meneladani
Rasulullah saw. dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka
sadar bahwa semua wanita yang beliau kawini, kecuali ‘Aisyah ra., adalah
janda-janda, dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan
26
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 17
27
menyelamatkan para wanita yang kehilangan suaminya, yang pada umumnya
bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat.28
Adapun istri-istri Rasulullah saw. penulis uraikan sebagai berikut:
Khadijah binti Khuailid
Rasulullah saw. menikahi Khadijah binti Khuailid dalam usia 25 tahun,
sedangkan Khadijah berumur 40 tahun. Beliau tidak menikah lagi dengan wanita
lain sampai Khadijah meninggal dunia pada usia 65 tahun. Perkawinan dengan
Sayyidah Khadijah berlangsung selama 15 tahun sebelum kenabian. Dan setelah
beliau diangkat sebagai nabi, khadijah orang pertama beriman.29
Saudah binti Zam’ah
Saudah adalah orang pertama dinikahi Rasulullah saw. sepeninggal Khadijah.
Usianya hampir mendekati 60 tahun. Ia tidak memiliki paras yang cantik dan
bukan wanita yang kaya raya. Ia hanyalah wanita muslimah yang ikut hijrah
bersama suaminya ke negeri Habasyah, karena ancaman Kafir Quraisy.
Sekembalinya dari negeri Habasyah, suami Saudah yaitu Sakran Ibnu Amr Ibn
Abi Syams meninggal dunia dan Saudah menjadi Janda. Tiada tempat untuk
berlindung terkecuali kembali ke pangkuan keluarganya yang musyrik. Jika hal
itu terjadi, tentu keluarga Saudah memaksa dirinya untuk kembali ke agama
sebelumnya atau dipaksa menikah dengan laki-laki musyrik seperti keluarga lain.
28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet. Pertama, h. 326
29
Untuk menyelamatkannya dari berbagai fitnah tersebut, maka Nabi
mengawininya ia selamat dari ancaman kaumnya dan tetap menjadi orang
beriman. Perkawinan Nabi dengan Saudah ini berlangsung di Mekkah sebelum
hijrah ke Madinah.30
Aisyah binti Abu Bakar
Perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah merupakan salah satu upaya penyebaran
ajaran hukum-hukum Islam. Walaupun hikmah ini ada pada setiap istri beliau,
namun ‘Aisyah adalah istri Nabi yang paling berperan dalam masalah ini. ‘Aisyah
adalah istri yang paling banyak meriwayatkan hadis dan paling banyak
memberikan informasi tentang ketentuan yang berlaku dalam keluarga Nabi.
Allah SWT. memilihkan Nabi saw. seorang gadis yang jenius dan mempunyai
pemikiran-pemikiran yang cemerlang yaitu ‘Aisyah.
Perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah berlangsung di Mekkah. Pada waktu
‘Aisyah baru berusia 6 tahun. Namun bersama sebagai suami istri mulai dirintis
beliau di Madinah. ‘Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang masih gadis.
Dialah istri beliau yang paling dicintai. Namun beliau tetap adil dalam hal-hal
yang lain. Selian itu, perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah juga merupakan
penghargaan terhadap Abu Bakar yang selalu mendampingi Nabi dikala suka
maupun duka. Dengan kedudukan Abu Bakar sebagai mertua membuat
kedudukannya semakin terhormat dan mulia.31
30
Ibid., h. 114-115
31
Hafshah binti Umar Ibn al-Khatthab
Perkawinan Nabi dengan Hafshah dimaksudkan untuk menghormati keberadaan
Hafshah yang suaminya meninggal dalam perang Badar, sekaligus untuk
melegakan hati sahabat beliau yaitu Umar Ibn al-Khatthab yang merasa sedih
karena anaknya hidup sendiri, setelah Umar menawarkan Hafshah kepada Abu
Bakar dan Utsman untuk dipersuntingnya, namun keduanya tidak menyambutnya.
Ketika itu Umar r.a. mengadukan kesedihannya kepada Nabi Muhammad saw.
yang kemudian bersedia mengawini Hafshah r.a. demi persahabatan dan demi
tidak membedakan antara Umar dengan Abu Bakar yang sebelumnya telah
dikawini putrinya, yakni ‘Aisyah r.a.32
Zainab binti Jahsyin
Perkawinan Nabi dengan Zainab juga atas perintah Allah SWT. untuk
merombak warisan Jahiliyah. Perkawinan ini terjadi setelah Zainab diceraikan
suaminya Zaid bin Haritsah yang merupakan anak angkat Nabi Muhammad saw.
Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai, dan sebagai
penanggung jawab perkawinan itu, Nabi Muhammad mengawininya atas perintah
Allah, sekaligus untuk membatalkan adat Jahiliyah yang menganggap anak
angkat sebagai anak kandung, sehingga tidak boleh mengawini bekas istrinya.33
Allah menjelaskan hikmah perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan Zainab
ini dalam surat al-Ahzab ayat 37:
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 326.
33
☺
☺
⌧
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. al-Ahzab: 37).
Karena ayat inilah Zainab seperti diceritakan Imam Bukhari dalam kitab
shahih-nya membanggakan terhadap istri-istri Nabi yang lain, seperti
perkatannya:
ﻜﺟوز
ﻜ ﺎهأ
ﺟوزو
ﷲا
ﻰ ﺎ
قﻮﻓ
تاوﺎ
.
)
اور
يرﺎ ا
(
“Kalian (istri-istri Nabi yang lain) dikawinkan oleh keluargamu sendiri sedang aku dikawinkan oleh Allah, dzat yang berada di luar tujuh langit.”34
Dari perkawinan Nabi di atas, umat Islam mendapatkan ketentuan
undang-undang pengangkatan anak yang baru secara islami, pengganti undang-undang-undang-undang
pengangkatan anak tradisi Jahiliyah. Sejak ini sistem Jahiliyah itu dinyatakan
tidak berlaku, karena itu Muhammad bukanlah bapaknya Zaid, juga bukan bapak
siapa-siapa. Akan tetapi beliau adalah Rasulullah, Nabi akhir zaman.35
Juwairiyah binti Harits
34
Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H / 1994 M), h. 153.
35
Perkawinan Nabi dengan Juwairiyah bertujuan untuk membebaskan sistem
perbudakan yang diakibatkan dari pertempuran antara kaum muslimin dengan
Bani Mushthaliq, yang mana umat Islam dapat menawan dua ratus keluarga yang
berisikan wanita-wanita dan anak-anaknya. Salah satu dari mereka yang tertawan
adalah Juwairiyah binti Harits. Rasulullah kemudian membebaskannya dan
mengawininya pada pertengahan tahun 6 Hijriyah.
Demi menghormati Juwairiyah, para sahabat yang menawan anggota
keluarganya kemudian membebaskan sebanyak dua ratus keluarga istri Rasulullah
ini. Setelah mereka terbebas, mereka berbondong-bondong memeluk Islam. Hal
ini tentu saja memperkuat Islam dan umat Islam.36
Hindun binti Abu Ummayyah (Ummu Salamah)
Perkawinan Nabi dengan Ummu Salamah bertujuan untuk menolong anak-anak
yatim Abu Salamah (suami Hindun binti Abi Ummayah), Abu Salamah gugur
pada perang Uhud, ia meninggalkan seorang istri yaitu Ummu Salamah dan
anak-anak yang masih kecil-kecil, lalu Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah demi
menentramkan jiwanya dan menyelamatkan anak-anaknya. Ummu Salamah
bukanlah wanita cantik, muda dan kaya.37
Zainab binti Khuzaimah
Perkawinan Nabi dengan Zainab binti Khuzaimah bertujuan untuk mendorong
wanita agar berakhlak dan berhati mulia, karena Zainab memiliki sifat ini dan
36
Ibid., h. 120.
37
tentunya sesuai dengan kepribadian Rasulullah saw. Walaupun Zainab bukan
termasuk yang cantik dan kaya, namun ia dikenal sebagai wanita yang santun,
lebih-lebih terhadap orang miskin dan anak-anak yatim, sehingga pada zaman
jahiliyah ia diberi gelar sebagai “Ummul Masakin”, yang artinya ibunya
orang-orang miskin.38
Ummu Habibah (Ramlah)
Perkawinan Nabi dengan Ummu Habibah bertujuan untuk melunakkan hati
pemimpin-pemimpin musyrik, ini terlihat ketika ayah dari Ummu Habibah yang
bernama Abi Sufyan bin Harb. Ia adalah salah seorang tokoh Kafir Quraisy yang
pada saat itu anak buahnya berbondong-bondong masuk Islam.
Ummu Habibah bukanlah seorang yang cantik, muda dan kaya raya, ia
hanyalah seorang janda dari suaminya yang bernama Ubaidillah Ibn Jahsyin yang
murtad dan masuk kristen sewaktu mereka dan rombongan umat Islam hijrah ke
Ethiopia untuk kedua kalinya.39
Shafiyah binti Huyai
Perkawinan Nabi dengan Shafiyah binti Huyai bertujuan politis. Shafiyah
merupakan putri keturunan Israel, yang amat terpandang yang berasal dari
tokoh-tokoh bangsawan Bani Nazhir. Ayahnya meninggal dunia pada perang Bani
38
Ibid., h. 122.
Quraizhah, sedangkan suaminya, Kinanah Ibn Abi Huqaq, termasuk pemimpin
Yahudi, terbunuh pada perang Khaibar.
Shafiyah bukanlah wanita yang cantik, melainkan ia termasuk wanita yang
bertubuh pendek. Nabi memilih dia, membebaskan dan mengawininya. Nabi
memberi kebebasan kepada Shafiyah untuk kembali kepada keluarganya atau
tetap menjadi istri Nabi. Penawaran pembebasan itu dilakukan karena menghargai
kedudukan Shafiyah sebagai seorang putri bangsawan yang berdarah Israel.
Shafiyah membulatkan tekad untuk tetap bersama Nabi. Perkawinan ini
mempunyai dampak positif terhadap musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi.
Mereka tidak lagi memusuhi Islam, bahkan sebagian dari mereka memeluk agama
Islam.40
Maimunah binti Harits Ibn Hazn al-Hilaliyah
Perkawinan Nabi dengan Maimunah bertujuan untuk melunakkan hati
pemimpin orang-orang musyrik. Ia adalah bibi Abdullah Ibn Abbas, Khalid bin
Walid. Kerabat Maimunah banyak berasal dari keluarga Bani Hasyim dan Bani
Makhzum, dan ini juga merupakan salah satu sebab mengapa Nabi saw. menikahi
Maimunah binti Harits Ibn Hazn al-Hilaliyah.41
Itulah istri-istri Nabi Muhammad saw. yang keseluruhannya janda, kecuali
‘Aisyah, dan yang beliau kawini setelah bermonogami hingga usia lima puluh
40
Ibid., h. 123.
tahun lebih dan selama hidup bersama ibu putra-putrinya, Khadijah r.a., istri
pertama dan tercinta beliau. Istri-istri yang disebut di atas inilah yang seringkali
disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu atau enggan memahami latar belakang
perkawinan itu.
Di samping alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, pernikahan Nabi
Muhammad saw. sampai memiliki sembilan orang istri merupakan kekhususan yang
diberikan oleh Allah SWT. kepada beliau, sebagaimana firman-Nya:
☺
☺
⌧
☺
☺
⌧
☺
⌧
⌧
⌧
☺
mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Ahzab: 50).
M. Quraish Shihab menjelaskan dengan mengutip pendapat Sayyid Quthub,
bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya menyangkut pengaturan
kehidupan bermasyarakat kaum muslimin. Kalau ayat sebelumnya menguraikan
persoalan hukum yang berkaitan dengan masyarakat umum, maka ayat ini berkaitan
dengan pribadi Nabi saw. dan istri-istri beliau – yang berbeda dengan wanita-wanita
lain seperti telah ditegaskan oleh ayat 32 pada surat al-Ahzab ini. Sebelum turunnya
ayat ini, Allah SWT. Telah menetapkan bahwa pria muslim tidak boleh menghimpun
dalam saat yang sama lebih dari empat orang wanita (Q.S. an-Nisa’: 4). Ketika itu
Nabi saw. Memiliki sembilan orang istri. Mereka semua telah menjadi Ummahat
al-Mu’minin, dan semua telah rela memilih Allah dan Rasul-Nya walau hidup dalam
kesederhanaan.42
Di samping itu, Rasulullah saw. pun menikahi mereka atas pertimbangan
kemaslahatan dakwah dan dalam konteks pemberdayaan (pemeliharaan kaum lemah).
Dari hal ini, sangat berat bagi mereka jika Rasulullah saw. Menceraikannya, karena
tidak mungkin lagi mereka mendapatkan jodoh setelah pintu pernikahan mereka
ditutup oleh Allah SWT. (sebagaimana dijelaskan dalam ayat 53 surat al-Ahzab),
berbeda dengan wanita-wanita lain. Atas dasar inilah, maka Allah membenarkan
Rasulullah saw. mempertahankan perkawinan beliau dengan mereka, dan dalam saat
42
yang sama beliau tidak lagi diperkenankan menikahi wanita lain, tidak juga
mengganti salah seorang di antara mereka dengan wanita lain.43 Demikian lebih
kurang apa yang dipaparkan oleh Quraish Shihab.
Dalam ayat di atas, terdapat pernyataan
ﺆ ا
نود
ﻚ
ﺔ ﺎ
(hanya khususbagimu, bukan untuk semua orang mukmin), menurut para mufassir merupakan
penegasan bahwa hal tersebut hanya khusus buat Nabi Muhammad saw. tidak berlaku
kepada semua orang mukmin secara keseluruhan.44 Kata
ﺔ ﺎ
adalah kata mashdarmuakkad (bentuk kata yang memperkuat dan mempertegas) semua kandungan pada
kalimat sebelumnya. Dengan kata lain kalimat seperti itu berarti: Kami (Allah) telah
mengkhususkan bagimu (Muhammad saw.) penghalalan terhadap siapa saja yang
telah kami halalkan.45
Dengan demikian, hemat penulis, jelas bahwa poligami yang dilakukan
Rasulullah saw. merupakan kekhususan bagi beliau, bukanlah suatu sunnah yang
dianjurkan atau harus dilaksanakan oleh semua ummatnya.
* * *
43
Ibid., h. 300
44
Ibid., h. 302
45
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG KORBAN PRAKTIK POLIGAMI
A. Motif Terjadinya Praktik Poligami
Kalau kita mengkaji perihal poligami tentu akan didapatkan bahwa poligami
dilaksanakan dengan berbagai motifasi. Ada di antaranya bermotif penyaluran hasrat
seksual semata, kemegahan diri, kebutuhan ekonomis, menata pembagian kerja,
untuk memperoleh keturunan atau mempertahankan bahkan meningkatkan mutu gen
melalui generasi, dan motif-motif lain seperti motif Rasulullah saw. berpoligami
dengan motif untuk mendukung keberhasilan dakwahnya atau perjuangan ajaran
Islam,46 sebagaimana penulis telah uraikan pada bab dua tentang tujuan perkawinan
Nabi Muhammad saw. dengan istri-istrinya.
Mushfir Al-Jahrani mengutip pendapat Musthafa As-Syiba’i membagi
alasan-alasan berpoligami secara umum ke dalam dua motif, yaitu: Motif sosial dan Motif
pribadi. 2
1. Motif sosial
Motif sosial ini berupa fakta sejarah yang terjadi pada masyarakat dunia, yakni
bahwa:
a. Jumlah wanita ternyata secara kuantitas melebihi jumlah laki-laki.
46
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 159.
b. Kurangnya jumlah laki-laki akibat terjadinya peperangan yang mengakibatkan
banyaknya janda-janda yang terabaikan tanpa suami.
2. Motif pribadi
Motif pribadi ini berupa hal-hal yang melekat pada diri suami atau istri yang
bersangkutan. Motif ini sangat subjektif mengingat betapa seorang istri selalu
harus selalu mengalah dami kebahagiaan sang suami tanpa ada yang peduli
terhadap kebahagiaannya.
Sehubungan dengan motif ini, orang yang melakukan poligami harus
mempunyai alasan yang dapat dibenarkan dan dapat dipertanggung jawabkan, di
antaranya:
a. Sebab yang ada pada wanita itu sendiri, seperti: sakit keras yang
menyebabkan dirinya tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai
seorang istri, mandul, lemah nafsu seksnya, panjang masa haid dan nifasnya,
kurang setia sehingga menyebabkan hubungan tidak intim, atau mengidap
penyakit kronis. Suami dalam kondisi itu ada dalam dua pilihan, yaitu:
menceraikan istrinya yang dalam keadaan sakit dan tentunya perbuatan ini
tidak berprikemanusiaan, kecuali atas izinnya karen tidak mau dipoligami
walaupun dalam keadaan sakit keras. Atau suami menikah lagi dengan
untuk mendapatkan nafkah termasuk di dalamnya biaya pengobatan. Dan hal
ini adalah pilihan yang tepat dan lebih bijaksana dari keduanya.47
b. Sebab yang berada pada diri suami, seperti: suami memiliki kemauan
seksualitas yang sangat tinggi sehingga tidak cukup hanya dengan seorang
istri, ingin memiliki keturunan yang banyak karena mampu memenuhi
kebutuhan hidup dan pendidikan kepada anak-anaknya, suami sangat
mencintai perempuan lain khawatir berbuat zina, suami suka bepergian jauh
dan tidak memungkinkan untuk selalu membawa istrinya bersama.
c. Sebab yang berupa kejadian yang bersifat pribadi, seperti ada kerabat yang
menjanda dan membawa tanggungan banyak anak, maka ia mengawininya
untuk menanggung nafkah mereka.48
Selain motif di atas, menurut Musjfir Al-Jahrani, ada dua motif lagi yang
menjadi alasan seseorang melakukan poligami, yaitu:
1. Motif yang bersifat ekonomis, seperti poligami untuk membantu usaha atau
pekerjaannya. Contohnya yang terjadi pada masyarakat agraris.
2. Motif yang bersifat tidak menentu, seperti seseorang yang pekerjaannya
mengharuskan dia untuk hidup merantau dalam waktu yang cukup lama dan tidak
47
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW; Poligami dalam Islam VS. Monogami Barat, terj. Ilyas Ismail al-Sendany (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. Pertama, h. 57-63.
48
mampu membawa istrinya, karena khawatir melakukan perzinahan maka lebih
baik menikah lagi (berpoligami).49
Itulah beberapa motif seseorang melakukan poligami, tentu saja kebolehan itu
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan syari’at Islam, seperti keharusan berbuat
adil dan memperlakukan dengan baik terhadap semua istri-istrinya.
B. Dampak Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Istri
Pada dasarnya dampak psikologis yang terjadi pada sebuah keluarga yang
berpoligami tidak hanya terjadi pada istri dan anak-anaknya, tetapi bisa juga terjadi
kepada suami. Seorang suami atau pelaku poligami adalah seseorang yang dituntut
untuk berlaku adil dan dituntut untuk selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
dalam dua, tiga atau empat keluarga yang dipimpinnya. Apabila suami yang
berpoligami tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia akan berusaha untuk
menutup-nutupi keterbatasan atau kesalahannya agar kharisma dan wibawanya
sebagai seorang suami dan seorang ayah tidak ternodai akibat ulah perbuatannya.
Pada kondisi seperti inilah suami berbuat kebohongan kepada istri yang satu dan
kepada yang lainnya.
Adapun dampak psikologis yang terjadi pada istri, salah satu akibat dari
poligami adalah bermula dari masalah cemburu, terlebih lagi terhadap istri yang
dipoligami tanpa izinnya. Maka ia akan merasa dikhianati cintanya, akan marah dan
49
sakit hati. Adapun dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya
berpoligami adalah sebagai berikut:50
1. Munculnya perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan
suaminya berpoligami adalah akibat ketidakmampuan dirinya memenuhi
kebutuhan biologis suaminya atau tidak dapat memenuhi kewajiban lainnya
sebagai seorang istri.
2. Selama masa perkawinan, sudah ketergantungan secara ekonomi kepada suami.
Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi
tidak jarang pula dalam praktiknya, suami lebih mementingkan istri muda dan
menelantarkan istri tua dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak
memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-harinya.
3. Hal lain yang sering kita saksikan akibat adanya poligami adalah seringnya terjadi
kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang dikenal dengan istilah KDRT
(Kekerasan dalam Rumah Tangga), baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual
maupun psikologis.
4. Mayoritas laki-laki yang berpoligami, melakukan perkawinan dengan wanita lain
di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan
nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak
dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah
menurut agama. Bilamana hal ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak
perempuan karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara.
50
Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti harta
gono gini, hak waris dan sebagainya.
5. Budaya perkawinan poligami dikhawatirkan menjadi pemicu munculnya penyakit
menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.51 Namun,
hal ini terbantahkan dengan tujuan disyariatkannya poligami dalam Islam, karena
Islam tidak akan mensyariatkan sesuatu yang akan membawa kemudharatan bagi
umat manusia.
C. Sisi Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Anak
Tidak diragukan lagi bahwa orang tua memiliki tanggung jawab menyiapkan
putra putrinya, mendidik mereka menuju kehidupan yang baik dan memberikan
pertolongan dengan berbagai macam petunjuk sehingga kebahagiaan mereka dapat
diwujudkan, sesuai dengan firman Allah surat At-Tahrim ayat 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6).52
Oleh karena itu, seorang anak membutuhkan pemeliharaan jiwa, pemberian
rasa cinta dan kasih sayang orang tuanya. Dengan kasih sayang itulah mereka akan
51
Ibid., h. 42
52
tumbuh dengan lurus, selamat dan terlepas dari kompleksitas penyakit jiwa dan
kerapuhan pribadi.
Anak-anak selalu menjadi korban bila suatu kehidupan keluarga tidak
seimbang, penuh konflik dan pertengkaran orang tua, perkembangan akan terhambat,
ia bisa menjadi anak bermasalah. Seorang anak memerlukan kasih sayang dari ayah
dan ibunya. Bisa terjadi bahwa orang tua yang merasa dibohongi bersekutu dengan
anaknya melawan bapaknya, ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga menjadi
nyata. Cara menghadapi situasi yang tidak menyenangkan ini bisa dengan membolos
sekolah atau berkelahi dengan teman-teman, anak-anak yang sering
terombang-ambing dalam menentukan kepada siapa (ayah/ibu) mereka harus loyal. Bila konflik
loyalitas terjadi, anak-anak sering bereaksi dengan mencoba melindungi secara
berlebihan salah satu orang tua dengan mengabaikan kebutuhan sendiri untuk
menyenangkan mereka, tetapi lama kelamaan bisa menjadi depresif dan melakukan
tindakan yang destruktif.53
Dampak negatif dari kehidupan keluarga di atas, tidak akan hilang walaupun
anak sudah meninggalkan rumah tangga. Kualitas rumah tangga atau kehidupan
keluarga jelas memerankan peranan yang amat signifikan dalam membentuk karakter
dan kepribadian anak. Misalnya rumah tangga yang berantakan disebabkan oleh
kematian ayah atau ibu, perceraian antara ayah dengan ibu, hidup terpisah, poligami,
ayah mempunyai simpanan “istri lain”, keluarga yang diliputi konflik keras, semua
53
itu merupakan sumber yang subur untuk memunculkan kenakalan remaja. Adapun
sebabnya antara lain sebagai berikut:
1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan
pendidikan, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing
sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.
2. Tidak terpenuhinya kebutuhan fisik maupun psikis anak. Keinginan dan harapan
anak tidak bisa tersalur dengan baik dan memuaskan, atau tidak mendapatkan
kompensasinya.
3. Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat
diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan hidup disiplin dan
kontrol diri yang baik.54
Sebagai akibatnya dari ketiga pengabaian di atas, anak menjadi bingung,
risau, sedih, malu, sering diliputi perasaan dendam dan benci, sehingga anak menjadi
kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin
sendiri di luar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu kelompok
kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal.
Adakalanya ia secara terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan terhadap
orang tuanya, dan mulai melawan atau memberontak, sambil melakukan tindakan
yang destruktif, baik terhadap orang tua maupun terhadap dunia luar yang kelihatan
tidak ramah baginya. Tegasnya, anak-anak yang merasa tidak bahagia dipenuhi
banyak konflik batin serta mengalami frustasi terus menerus akan menjadi sangat
54
agresif. Kemudian ia mulai mengadakan “serangan-serangan kemarahan” ke dunia
sekitar, menteror lingkungan, mengambil milik orang lain dan sebagainya. Semua itu
dilakukan sebagai tindakan penyalur atau pelepas bagi semua ketegangan, kerisauan
dan dendam hatinya.55
Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku delinkuen (perilaku yang
menyimpang aturan) tidak hanya terbatas pada strata sosial di bawah dan strata
ekonomi rendah saja, akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya pada
keluarga berantakan. Semua bentuk ketegangan batin dan bentuk konflik keluarga itu
mengakibatkan ketidak seimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu, juga akan
mengakibatkan tidak berkembangnya tokoh (sosok) ayah sebagai sumber otoritas
bagi anak laki-laki. Sehingga anak berkembang menjadi kasar, binal, brutal, tidak
terkendali, sangat agresif dan kriminal.
Peran orang tua sebagai tempat orientasi dan identifikasi bagi seorang anak
dalam perkembangan psikisnya tidak bisa digantikan. Kalau seorang anak tidak bisa
menjalin hubungan keakraban yang tetap dengan satu atau dua orang, maka
perkembangan afektif, mental dan sosial secara sehat dan seimbang dari anak tersebut
akan terancam.56
Selanjutnya, pola keluarga yang patologis (dalam keadaan sakit atau
abnormal/ gangguan jiwa) selalu membutuhkan masalah psikologis, konflik terbuka
dan tertutup, serta menjadi penyebab utama timbulnya kenakalan remaja. Misalnya
55
Ibid., h. 61
56
90 % dari keluarga tidak bahagia dan berantakan akan mengembangkan emosi
kepedihan dan sikap negatif pada lingkungannya. Anak juga ikut menjadi tidak
bahagia dan bingung. Misalnya anak merasa ditolak oleh orang tua, menjadi iri
terhadap adik atau kakaknya, merasa minder kepada teman-temannya, selalu
menderita konflik batin yang serius dan lain sebagainya.57
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak akan menjadi kriminal dan
melakukan pola kebiasaan delinkuen sangat bergantung kepada interaksi yang
kompleks dari berbagai penyebab sebagai latar belakangnya. Jadi, ada interrelasi
internal dan eksternal dari macam-macam variabel yang membawa anak-anak ke
jalan kriminal.
Namun demikian, variabel-variabel yang memberikan dampak buruk itu dapat
dikompensir oleh beberapa peristiwa berikut:
a. Pengaruh buruk subkultur gang delinkuen (suatu budaya tingkah laku yang
selalu melanggar aturan) yang ada di sekitar (misalnya daerah rawan/kriminal,
kampung miskin, tetangga yang a-susila, daerah yang tradisional yang cepat
berubah dan lain-lain) itu dapat dikompensir (diatasi atau diimbangi) oleh
keluarga yang kohesif (sebuah keluarga yang memiliki hubungan yang sangat
erat/kokoh), penuh perhatian dan kasih sayang, serta akrab dalam bantu
membantu (bergotong-royong).
b. Ayah yang kejam, sadis, suka mengabaikan bahkan menolak anak
laki-lakinya, dapat dikompensir oleh sikap ibu yang lembut, penuh cinta kasih,
57
sehingga anak tidak menjadi delinkuen karena masih memiliki tempat
bertumpu.
c. Tidak konsekwen pendisiplinan terhadap anak, dan kontroversi antara proses
pendisiplinan dengan perbuatan nyata orang tua, mendorong timbulnya
kriminalitas anak remaja. Hal ini bisa dikompensir oleh disiplin yang
diterapkan dengan baik dan contoh perilaku orang tua yang utama.58
Biasanya antara ketiga hal di atas, terdapat jalinan yang akrab, yang bisa
mencetak anak-anak delinkuen atau justru memberantasnya. Oleh karena itu, usaha
preventif dan rehabilitatif terhadap anak-anak jahat itu sangat bergantung pada
kondisi ketiga peristiwa di atas.
Dampak psikologi pada anak akibat dari beberapa hal di atas akan membawa
pengaruh pada mental kejiwaan. Anak akan menjadi rendah diri, pendiam, tidak dapat
bergaul dengan teman-temannya. Dengan demikian, keluarga yang kurang harmonis
akan mengakibatkan anak menjadi kurang cerdas/pemurung. Sebagaimana Sarlito
Wirawan Sarwono mengatakan:
“Anak yang kurang mendapat perhatian orang tua kabanyakan menjadi pemurung, tidak semangat dan daya tangkapnya kurang baik, karena itu perkembangan kecerdasannyapun terbelakang.”59
Dari pernyataan di atas, penulis berkesimpulan bahwa dalam keluarga
berpoligami apabila berkurangnya perhatian orang tua terhadap anak-anaknya akan
menyebabkan anak tersebut kurang cerdas dan ini akan berpengaruh kepada prestasi
58
Ibid., h. 64
59
belajar si anak. Tetapi keadaan ini dapat pula terjadi pada keluarga monogami, hal ini
tergantung dari kemampuan orang tua dalam memberikan perhatian dan kasih sayang
pada anaknya.
Agar anak sukses dalam belajar, maka faktor pendukungnya harus terpenuhi.
Belajar adalah suatu proses yang memerlukan banyak faktor pendukung. Bilamana
salah satu faktor tidak terpenuhi maka kegiatannya akan terganggu. Faktor tersebut
yakni lingkungan suasana keluarga yang harmonis dan menunjang proses kegiatan
belajar sang anak.
Suasana rumah yang selalu tegang, selalu berada dalam kesedihan dan sering
terjadi pertikaian antara ayah dan ibu akan melahirkan anak yang tidak sehat
mentalnya. Jika sudah demikian, maka tidak heran jika anak memilih menghabiskan
waktu di luar rumah bersama teman-temannya. Dan melupakan tugasnya yakni
belajar. Hal ini akan terjadi dalam keluarga poligami, di mana tidak ada kerukunan
keluarga dan keharmonisan yang menyebabkan anak-anaknya menjadi korban.
Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh, dalam kritiknya terhadap
poligami, mengatakan:
“Pada masa permulaan Islam betul ada faedahnya poligami dan belum ada lagi bahaya sebagaimana yang kelihatan di zaman sekarang, kalau ada bahayanya maka bahaya itu tidak melampaui perempuan yang dimadu. Adapun di zaman sekarang bahaya permaduan telah mengenai anak, suami dan karib kerabat yang lain. Perempuan yang dimadu telah menyebabkan permusuhan di antara semua karib kerabat, maka rusak binasalah keluarga karena permaduan.”60
60
Dari uaraian di atas, penulis dapat simpulkan bahwa keluarga yang tidak
harmonis dimana suasana rumahnya tidak menunjang untuk proses kegiatan belajar
anak, karena seringnya terjadi konflik antara kedua orang tua akan mengganggu
proses kegiatan belajar anak. Apalagi sarana/fasilitas belajar anak kurang memadai.
Hal ini dapat dilihat dari nilai prestasi belajar anak.
Oleh karena itu, Peranan keadaan keluarga terhadap perkembangan anak tidak
hanya terbatas pada situasi sosio ekonomi atau keutuhan struktur dan keutuhan
interaksinya. Juga cara-cara dan sikap dalam pergaulannya memegang peranan yang <