• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korban Ptaktik Poligami : Analisis Hukum Islam studi kasus poligami daerah Ibu Kota Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korban Ptaktik Poligami : Analisis Hukum Islam studi kasus poligami daerah Ibu Kota Jakarta Timur"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

KORBAN PRAKTIK POLIGAMI

( ANALISIS HUKUM ISLAM )

Studi Kasus Poligami Daerah Ibu Kota Jakarta Timur

Oleh:

AINUL YAQIN NIM : 103045128133

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM ( JINAYAH SYAR’IYAH )

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

KORBAN PRAKTIK POLIGAMI

( ANALISIS HUKUM ISLAM )

Studi Kasus Poligami Daerah Ibu Kota Jakarta Timur

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

AINUL YAQIN NIM : 103045128133

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM ( JINAYAH SYAR’IYAH )

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiblakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 27 Rajab 1429 H. 30 Juli 2008 M.

(4)

KORBAN PRAKTIK POLIGAMI

(Analisis Hukum Islam)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

AINUL YAQIN

NIM : 103045128133

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA Sri Hidayati, M.Ag. NIP: 150 234 469 NIP: 150 282 403

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM ( JINAYAH SYAR’IYAH )

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(5)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul KORBAN PRAKTIK POLIGAMI (ANALISIS HUKUM ISLAM) telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.

Jakarta, 08 Ramadhan 1429 H 08 september 2008 M Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Asmawi, M.Ag. (...) NIP. 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag. (...) NIP. 150 282 403

3. Pembimbing I : Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A (...) NIP. 150 234 496

4. Pembimbing II: Sri Hidayati, M.Ag (...) NIP. 150 282 403

5. Penguji I : Asmawi, M.Ag. (...) NIP. 150 282 394

(6)

M O T T O

“Ingatlah, Hanya dengan mengingat Allahlah Hati menjadi tenteram”.

(QS. Ar-Raad: 28)

Tidak kah telah kami lapangkan dadamu untukmu?

Dan kami lepaskan bebanmu daripada mu

Yang memberatkan punggungmu

Dan kami meninggikan bagimu sebutan (nama-Mu)

Sebab sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

Maka apabila kamu telah selesai, (urusan dunia) maka

Bersungguh-sungguhlah (dalam beribadah)

Dan hanya kepada Tuhanmu lah berharap.

(7)

ABSTRAK

Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, mulai dari penganiayaan,

pemukulan bahkan sampai hal yang lebih tragis lagi. Kini banyak dibicarakan

diberbagai tempat mulai dari media massa, televisi dan lainnya. Bahkan tidak jarang

kita melihat langsung terjadinya kasus kekerasan tersebut disekitar lingkungan kita.

Hal itu banyak membicarakan penderiataan yang dialami oleh istri dan bahkan anak.

Penderitaan yang dialami korban seakan tidak ada habisnya. Adanya kasus-kasus

yang terjadi pada sebuah keluarga dapat menimbulkan citra buruk bagi tujuan

perkawinan.

Keharmunisan dalam sebuah keluarga adalah merupakan manhaj dan tujuan

pokok dari adanya perkawinan. Lalu bagaimana keharmunisan akan di dapat dalam

sebuah keluarga kalau dalam keluarga itu sendiri tidak ada keadilan.

Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam hal materiel dan immateriel.

Baik adil dalam pembagian nafkah maupun adil dalam pembagian malam seperti

yang seharusnya dilakukan oleh keluarga yang berpoligami. Bukan kekerasan yang

didapatkan oleh istri, pemukulan, penganiayaan bahkan kekerasan lainnya.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan sejumlah kasus tentang

poligami dan dampaknya terhadap keutuhan suatu keluarga. Kedua fenomena ini

dalam kajiannya senantiasa dikaitkan dengan hukum Islam. Sejalan dengan metode

penelitian yang digunakan, format penyajiannya lebih menekankan pada data dan

(8)

respinden adalah perempuan, dengan alasan karena mereka yang sering kali menjadi

pihak yang sangat dirugikan dari praktek poligami yang dilakukan para suami.

Pendekatan kualitatif digunakan pada tiga pertimbangan pokok. Pertama,

menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila apabila berhadapan dengan

gejala yang kompleks. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat

hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih

dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap

pola-pola nilai yang dihadapi. Pendekatan ini juga didasarkan pada pertimbangan

bahwa pendekatan kualitatif dapat menampilkan data-data dan informasi kepada

tingkat abstraksi yang lebih tinggi.

Dari hasil pengolahan data membuktikan bahwa perkawinan poligami

merupakan perkawinan yang tidak ideal. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kekerasan

yang dilakukan oleh para suami terhadap para istri dalam keluarga poligami.

Kekerasan tersebut tidak hanya berbentuk kekerasan fisik tapi juga berbentuk

kekerasan psikis. Disamping itu juga istri tua lebih kurang diperhatikan dalam

pembagian nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah bathin.

Mengingat hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat ketidakharmunisan

bahkan terjadinya kekerasan dalam keluarga poligami, maka disarankan kepada

semua pihak terutama para suami untuk lebih hati-hati dalam melakukan poligami.

Meskipun, disamping itu poligami buhan hal yang dilarang tapi ingat, keadilan adalah

manhaj dan tujuan dari adanya perkawinan itu sendiri, bukan sebaliknya. Poligami

(9)

ﺮ ا

ﺮ ا

ﷲا

ــــــ

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tiada kata yang pantas untuk diucapkan selain rasa syukur

penulis kehadirat Allah SWT, Dialah sumber tertinggi spirit, optimisme, dan energi

bagi penulis sehingga skripsi ini terselesaikan meskipun melalui proses yang dalam

pengalaman pribadi peneliti.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah

SAW yang telah mengantarkan manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang

terang benderang beserta para sahabat dan keluarganya beliau yang telah

memperjuangkan agama Allah SWT dalam berbagai gelombang kehidupan, hingga

berakhir dengan kemenangan dan kejayaan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Walaupun waktu, tenaga, dan pikiran

telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki,

demi terselesaikannya skripsi ini agar bermanfaat bagi penulis khususnya dan

pembaca pada umumnya.

Penulis sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu

penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu

syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum Islam. Oleh karena itu, penulis

(10)

1. Teristimewa, yang tercinta Bapak dan Ibu, dengan curahan cinta dan kasih

sayangnya telah memberikan semua bantuan yang tiada habisnya kepada

penulis. Dengan bangga penulis persembahkan skripsi ini sebagai bukti

tanggung jawab penulis merinci jasa dan kebaikan beliau berdua. “ Semoga

Allah selalu menyertai dalam setiap langkah beliau”.

2. Prof. Dr. Drs. H. Amin Suma, SH, MA.MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bpk. Asmawi, M.Ag. selaku ketua program studi dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag.

selaku sekretaris program studi Jinayah Siyasah yang selalu memberikan

kemudahan demi lancarnya dan terselesaikannya skripsi ini.

4. Bpk Dr. Abdurrahman Dahlan, MA selaku pembimbing I dan Ibu Sri

Hidayati, M.Ag. selaku pembimbing II. Terima kasih atas kebaikan dan

kesabaranya dalam membimbing penulis, semoga waktu, tenaga dan pikiran

yang tersita untuk membimbing penulis selalu dicatat sebagai amal ibadah.

5. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. Selaku pembantu Dekan Fakultas Syari’ah

dan Hukum.

6. Para dosen dan staf karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah

membantu memberi kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan skripsi.

7. Bapak ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur serta para

informan khususnya, terima kasih karena telah banyak membantu

berpartisipasi dengan meluangkan waktunya dalam proses wawancara.

(11)

8. Semua teman-teman Fakultas Syari’ah dan Hukum Angkatan 2003,

khususnya temen-temen kelas PI, terima kasih atas senyuman dan kebaikan

kalian semangat kalian yang selalu diberikan kepada penulis

9. Semua pihak yang terkait yang tidak disebutkan satu-persatu, terima kasih

telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, hanya kepada Allah semua amal baik tersebut penulis kembalikan,

semoga mendapat balasan yang berlipat ganda. Hanya kepada Allah penulis berserah

diri dan memohon ridhanya dalam menggapai masa depan yang cerah. Amin

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari

sistematika bahasa maupun dari segi materi yang terkandung. Atas dasar ini,

komentar, saran, dan kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan.

Semoga skripsi ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca sekalian

dan semoga bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 27 Rajab 1429 H. 30 Juli 2008 M.

(12)

KORBAN PRAKTIK POLIGAMI:

(

Analisis Hukum Islam)

HALAMAN JUDUL ...

LEMBAR PERNYATAAN ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan... 8

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI A. Pengertian Poligami ... 19

B. Dasar Hukum dan Pengaturan Poligami ... 20

C. Praktik Poligami Rasulullah SAW... 25

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG KORBAN PRAKTIK POLIGAMI A. Motif Terjadinya Praktik Poligami ... 37

B. Dampak Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Istri ... 40

C. Sisi Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Anak ... 42

D. Realitas Kehidupan Praktik Poligami ... 50

BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KORBAN

[image:12.612.113.526.128.687.2]
(13)

A. Poligami dalam Pandangan Ulama Mazhab ... 55

B. Pandangan Ulama tentang Berlaku Adil terhadap Para Istri ... 61

C. Fenomena Poligami: Gambaran Kasus ... 69

D. Tinjauan Hukum Islam terhadap Korban Praktik Poligami ... 75

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 83

B. Saran-saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Allah SWT. Menciptakan semua makhluk yang ada di alam raya ini

berpasang-pasangan, seperti ada siang dan malam, jantan dan batina, termasuk

tumbuh-tumbuhan pun masing-masing mempunyai pasangannya, begitu seterusnya.

Demikian juga manusia, yang dikenal dengan istilah laki-laki dan wanita. Melalui

pasangan ini, maka berkembanglah manusia dan hewan serta makhluk lainnya yang

membentuk sebuah kelompok yang menghuni bumi ini.1

Kehidupan rumah tangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan

merupakan faktor utama dalam membina masyarakat. Dari sebuah keluarga, segala

suasana yang harmonis dan bahagia. Mereka akan mudah bersosialisasi dengan baik

kepada anggota masyarakat di lingkungannya, karena sudah terbiasa bersikap baik

seperti yang telah dilakukan di dalam keluarganya. Suamilah sebagai kepala keluarga

dalam sebuah rumah tangga yang mempunyai kewajiban dalam membina sebuah

keluarga yang harmonis dan sejahtera. Suami sebagai kepala keluarga yang

dihasilkan oleh sebuah perjanjian dalam perkawinan. Hal ini telah tercantum dalam

al-Qur’an surat Yasin/36 ayat 36:

1

(15)

“Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin/36: 36).

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’/4: 1).

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia, sempurna, dan

istimewa serta telah dilantik sebagai khalifah di muka bumi sejak awal kejadiannya.

Mulai dari pasangan Nabi Adam dan Hawa, maka berkembangbiaklah keturunan

manusia di bumi ini hingga hari kiamat nanti.2

Untuk memlihara kesucian dan kemuliaan manusia, Allah telah menetapkan

syariat sebagai pedoman bagi kehidupan dan kemaslahatan hambanya, yaitu

undang-undang perkawinan atau hukum keluarga (mu’amalah ahliyah). Perkawinan

2

(16)

merupakan salah satu kaedah bagi pembentukan keluarga dan untuk menciptakan

regenerasi/keturunan. Ia merupakan salah satu daripada sunnah Rasulullah SAW.3

Perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim untuk menjadikan seorang

muslimah sebagai istri adalah perjanjian yang dibuat atas nama Allah SWT. Oleh

karena itu, seorang suami tidak boleh semena-semena terhadap istrinya, seperti

menceraikan istri tanpa alasan, berlaku kasar terhadap istri, berpoligami tanpa alasan

yang dapat dibenarkan dan mendapat idzin dari istri pertama.4

Salah satu bentuk perkawinan yang diatur dalam Islam ialah poligami, ia

adalah salah satu bentuk perkawinan yang sangat terkenal sejak zaman jahiliyah

sampai sekarang. Poligami dalam pengertian umum bermaksudnya seorang laki-laki

yang mengawini lebih dari seorang perempuan tanpa ada batasan dan syarat tertentu.

Tetapi setelah Islam datang, maka ajaran ini menetapkan batasan jumlah perempuan

yang boleh dinikahi dalam satu masa dan berdasarkan syarat-syarat kelayakan bagi

orang yang hendak melakukan poligami.5

Poligami tidak boleh dilakukan secara sembarangan oleh suami. Jangan

karena istri sudah tidak cantik lagi lalu cintanya kepada istri pudar begitu saja,

kemudian ia memutuskan untuk menikah lagi. Pernikahan bukan semata-mata karena

ketampanan atau kecantikan, kekayaan atau harta benda dan bukan pula karena

3

Walid Muhammad ‘Afif, Panduan dan Tata Cara Lengkap Kelahiran, Pernikahan dan Kematian menurut Aturan Islam (Kuala Lumpur: Pustaka Syuhada, 1996), h. 78.

4

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h. 127.

5

(17)

tujuan-tujuan lain yang bersifat duniawi. Namun pernikahan adalah perjanjian yang

sangat kokoh antara suami-istri dilandasi dengan rasa kasih sayang agar tercipta

keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Lembaga bantuan hukum APIK (LBH-APIK) menyatakan tentang semakin

meningkatnya jumlah kekerasan dalam keluarga. Pada tahun 2001 terdapat 3.169

kasus, tahun 2002 meningkat 62 % menjadi 5.163 kasus, tahun 2003 meningkat 51 %

menjadi 7.787 kasus, tahun 2004 meningkat 80 % menjadi 14.020 kasus, dan pada

tahun 2005 meningkat 45 % menjadi 20.391 kasus.6

Berdasarkan data tersebut 82 % adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga,

termasuk kasus poligami. Bahkan tahun-tahun berikutnya dipastikan jumlah tersebut

akan semakin meningkat.

Poligami bagaikan kata yang menggambarkan kesan buruk dan meresahkan

mayoritas kaum perempuan, bahkan merupakan kata yang sangat dibenci oleh

mereka. Kebencian itu timbul karena adanya semacam rasa tidak percaya terhadap

adanya keadilan dalam poligami, yang mana hal tersebut akan menyebabkan

ketidakharmonisan (keretakan) dalam rumah tangga. Memang hal ini tidak mustahil

terjadi, karena secara realitas biasanya suami lebih memperhatikan dan mencintai istri

muda dari pada istri tua. Sehingga muncullah berbagai macam problem psikologis

yang berbeda dalam bentuk konflik internal keluarga, baik di antara sesama istri

maupun anak-anak. Menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana hakikat dari pada

keadilan yang merupakan syarat dari pada poligami tersebut – termasuk bagaimana

6

LBH.APIK,”Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, diakses pada 13 November 2007 dari

(18)

mewujudkannya di tengah-tengah keluarga sebagaimana yang dimaksud dalam

Islam.7

Islam tidak melarang umatnya melakukan poligami (membolehkan seorang

laki-laki memiliki empat orang istri dalam satu masa), namun kebolehan ini dengan

syarat ia mampu berbuat adil di antara istri-istrinya. Sebagaimana firman Allah SWT:

...

“… Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’/4: 3).

Pada ayat di atas, poligami memang dibolehkan. Namun pada tataran

praktiknya, poligami sering disalahgunakan sehingga kesucian poligami ternodai dan

dianggap oleh sebagian besar perempuan sebagai penyebab hancurnya keutuhan suatu

keluarga. Anggapan tersebut karena didasarkan pada mayoritas para suami yang

berpoligami tidak lagi memperhatikan dan melaksanakan keadilan di antara para istri

dan anak-anaknya. Akhirnya, istri tidak hormat dan tidak taat lagi kepada suami,

adanya permusuhan di antara istri-istri, permusuhan di antara anak-anak, pembagian

nafkah yang tidak adil merata, tempat tinggal yang tidak sama nilainya, padahal

pembagian dalam hal yang sifatnya lahiriyah seperti ini sangat mungkin dilakukan

oleh suami yang berpoligami. Dan inilah pengertian keadilan yang dimaksud oleh

7

(19)

surat an-Nisa’ ayat 3, sekaligus syarat yang membolehkan para suami berpoligami

bilamana diiringi sebab-sebab dan faktor-faktor si istri tidak mampu lagi

melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri.8

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti praktik

poligami dan dampaknya terhadap keluarga, dan mengangkatnya menjadi sebuah

karya tulis yaitu skripsi sebagai gambaran sisi lain kehidupan berpoligami.

Disamping itu juga poligami menjadi bahan diskusi yang aktual di kalangan pemikir

muslim kontemporer, sehingga banyak kalangan yang menyempatkan diri mengulas

dan membahas soal tersebut. Diantaranya; karya Dr. ‘aisyah bintusy Syathi’9 - karya

Arij Abdurrahman As-Sanan - Karya Dr. Karim Hilmi Farhat Ahmad.10 Dari

beberapa karya tersebut peneliti melihat belum ada yang mengupas secara husus

tentang korban praktik poligami, padahal penelitian ini menurut penulis sangat

penting untuk diteliti. Namun demikian, karya-karya tersebut masih punya relevansi

dan bisa dijadikan acuan dalam penelitian ini. Selanjutnya skripsi ini penulis memberi

judul: “KORBAN PRAKTIK POLIGAMI (Analisis Hukum Islam)”.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi penulis

untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas pada kajian ini.

8 Ibid.

9 ‘Aisyah Bintusy Syathi’, Istri-istri Nabi Saw: Poligami di Mata Seorang Ahli Tafsir Wanita

(Bandung: Pustaka Hidayah, 2004).

(20)

Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas dan terarah penulis hanya akan

memfokuskan permasalahan mengenai pembahasan yang berkaitan dengan korban

praktik poligami yang terjadi dalam suatu keluarga, yang pokok bahasannya

dititikberatkan kepada akibat-akibat atau dampak terjadinya praktik poligami.

Berdasarkan pembatasan di atas, maka rumusan yang diajukan adalah sebagai

berikut:

Apa motif terjadinya praktik poligami?

Bagaimana dampak poligami terhadap keharmonisan rumah tangga?

Bagaimana pandangan hukum Islam tentang korban praktik poligami?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis rumuskan di

atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, di antaranya:

Untuk mengetahui dan menjelaskan motif terjadinya praktik poligami.

Untuk mengetahui dampak terjadinya praktik poligami terhadap keharmunisan

rumah tangga.

Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam tentang korban praktik

poligami.

Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan dan mengetahui secara umum motif terjadinya praktik poligami.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang dampak terjadinya

(21)

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam

pelaksaan praktik poligami sehingga pelaksanaanya sesuai dengan syariat

Islam.

4. Menjadi sumbangan sederhana bagi wacana keilmuan tentang praktik

poligami dari sudut pandang Islam.

Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan

Dilihat dari segi tujuannya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif.

Sedangkan dilihat dari segi jenis data, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.

Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan,

yakni dengan cara mencatat dan mendokumentasikan informasi dari bahan-bahan

tertulis, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang bersifat normatif (al-Qur’an dan

al-Sunnah) sebagai landasan analisis serta pendapat-pendapat para ahli fikih dari

berbagai literatur yang ada seperti buku-buku, jurnal, makalah serta tulisan-tulisan

lain yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

Di samping itu diterapkan juga studi lapangan, teknik observasi dan teknik

wawancara.Observasi dan wawancara dilakukan untuk memperoleh data-data primer

yang diperlukan pada korban praktik poligami. Peneliti sendiri merupakan alat

pengumpul data yang utama. Adapun teknik wawancara yang digunakan adalah

teknik wawancara mendalam (in-depth interviuw) yang tidak terstruktur.11

11 Wawancara tak terstruktur digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara ini menekankan kekecualian penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal. Wawancara jenis ini biasanya dilakukan ketika pewawancara berhubungan dengan orang “penting”. Lexy J. Moleong,

(22)

Teknik observasi diterapkan dengan cara turun langsung mengamati objek

penelitian mengenai keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan yang berkaitan

dengan korban praktik poligami.

Teknik wawancara diterapkan dengan cara mewawancarai yang berkenaan

dengan hal-hal yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan dibahas. Wawancara

dilakukan dengan pihak-pihak terkait.

Populasi pada penelitian ini, sebagaimana (data tahun 2007) yang penulis

dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Timur, terdapat 30 kasus (keluarga) korban

praktik poligami. Dari populasi tersebut di atas, sebanyak 10% akan dijadikan

informan, yaitu sebanyak 3 orang yang kesemuanya bertempat tinggal di kawasan

Bekasi Jakarta Timur. Ditetapkan informan semuanya perempuan, karena secara

umum yang selalu menjadi korban praktik poligami adalah pihak perempuan.

Analisis data dengan menggunakan teknik analitis kualitatif bersifat iteratif

(berkelanjutan) dan dikembangkan sepanjang program. Maksudnya, analisis data

tidak dilakukan setelah pengumpulan data selesai, tetapi dilaksanakan mulai

penetapan masalah, pengumpulan data dan setelah data terkumpulkan. Dengan

demikian, peneliti dapat mengetahui kekurangan data yang harus dikumpulkan dan

dapat mengetahui metode mana yang harus dipakai pada tahap berikutnya.12

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara induktif, yaitu penulis

berangkat dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus, kemudian

(23)

membuat generalisasi analisis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat

umum.13

Adapun Teknik dan sistematika Penulisan skripsi berpedoman pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2007.14

Sistematika Penulisan

Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri

dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya

kajian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan tinjauan umum tentang poligami, yang meliputi:

pengertian poligami, dasar hukumdan pengetahuan poligami dan praktik poligami

Rasulullah saw.

Bab ketiga menguraikan gambaran umum tentang korban praktik poligami.

Pada bab ini menjelaskan tentang motif terjadinya praktik poligami, dampak negatif

praktik poligami terhadap istri, sisi negatif terjadinya praktik poligami terhadap anak,

dan realitas kehidupan praktik poligami.

13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 5

(24)

Bab keempat merupakan inti persolan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu

berupaya menerangkan analisis hukum Islam tentang korban praktik poligami, yang

meliputi: poligami dalam pandangan ulama mazhab, pandangan ulama tentang

berlaku adil terhadap para istri, fenomena poligami: gambaran kasus, dan terakhir

tinjauan hukum Islam terhadap korban praktik poligami.

Bab kelima merupakan akhir atau penutup dari penulisan skripsi ini, berisi

kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian penutup ini merupakan jawaban terhadap

beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah.

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI

Pengertian Poligami

Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat

muslim adalah poligami. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut

ini akan diperjelas dahulu sepintas lalu apakah yang dimaksud dengan poligami itu.

Menurut tinjauan bahasa, poligami (

تﺎﺟوﺰ ا

دﺪ

)

yaitu berbilangan isteri.

Kata poligami adalah berasal dari bahasa Yunani, poly atau polos yang berarti banyak

dan gamien atau gamos yang berarti kawin/perkawinan. Jadi, secara bahasa poligami

berarti suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang,

baik pria maupun wanita.15

Sedangkan dalam pengertian umum yang berlaku dalam masyarakat kita

sekarang ini, poligami diartikan seorang laki-laki yang mengawini beberapa wanita.

Poligami dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Poliandri, yaitu perkawinan seorang perempuan dengan beberapa orang

laki-laki. Poliandri tidak banyak dipraktikkan, hanya dapat ditemukan pada

suku-suku tertentu, seperti pada suku-suku Tuda dan beberapa suku-suku di Tibet.16

15

Kafrawi Ridwan (ed.), dkk., Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, cet. x (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Vanhoeve, 1997), h. 107.

16

(26)

2. Poligini, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang

perempuan.17

Namun dalam perkembangannya, istilah poligini jarang sekali kita dengar,

bahkan bisa dikatakan praktis istilah ini tidak dipakai lagi di kalangan masyarakat.

Sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini dengan

mengartikan sebagai perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang

perempuan disebut dengan poligami, dan kata ini dipergunakan sebagai lawan

poliandri.

Lawan dari poligami yang sebenarnya adalah monogami, monogami berasal

dari bahasa Yunani, mono yang berarti satu dan gamien atau gamos yang berarti

perkawinan. Jadi monogami adalah satu perkawinan yang hanya memperbolehkan

seorang laki-laki mempunyai satu isteri.18 Monogami ini merupakan satu prinsip

bahwa suami hanya mempunyai satu isteri pada jangka masa tertentu.

Poligami merupakan sebuah persoalan yang tak pernah sepi dari perdebatan

terutama kaum perempuan dalam Islam. Bahkan di kalangan pengamat luar Islam,

menganggap dibolehkannya melakukan poligami ini membuktikan bahwa Islam

sangat mengabaikan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan

suami isteri. Poligami menurut mereka, merupakan salah satu bentuk diskriminasi

terhadap kaum perempuan (isteri).19

17

Kafrawi Ridwan (ed.), dkk., Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, h. 62

18

Ibid. h. 63

19

(27)

Dasar Hukum dan Pengaturan Poligami

Dalam hukum Islam, poligami biasa dikenal dengan تﺎﺟوﺰ ادﺪ yang berarti

berbilangnya isteri, maksudnya seorang suami yang memiliki isteri lebih dari seorang

dalam waktu yang bersamaan.20

Terbukanya pintu poligami dalam ajaran Islam telah tersurat dalam firman

Allah SWT:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. an-Nisa’/4: 3)

Dan juga dalam ayat 129:

20

(28)

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nisa’/4: 129)

Kedua ayat di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam

Islam adalah asas monogami. Poligami dibolehkan, apabila syarat-syaratnya

terpenuhi dan dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isterinya dapat dipenuhi.

Syarat keadilan tersebut menurut ayat 129, terutama dalam hal membagi cinta

tidak dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat pintu

kemungkinan untuk berpoligami, atau beristeri lebih dari seorang perempuan,

sepanjang persyaratan keadilan materi di antara isteri dapat dipenuhi dengan baik.21

Terdapat beberapa pendapat tentang hukum poligami, ada yang mengatakan

mubah, sunnah, bahkan ada yang mengatakan bahwa poligami adalah haram. Namun

sebagian kalangan berpendapat, bahwa poligami merupakan suatu perkara yang

sunnah. Karena poligami adalah perkara yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad

saw. Semua perkara yang pernah dilakukan oleh Nabi baik berupa ucapan maupun

perbuatan merupakan sunnah bagi kita semua.22

21

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 170

22

(29)

Menurut Mahmud Syaltut mantan Syeikh Al-Azhar, sebagaimana dikutip oleh

Dr. Huzaimah Tahido Yanggo, MA., hukum poligami adalah mubah.23 Poligami

diperbolehkan selama tidak takut atau tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan

terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya

penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari perbuatan dosa yang dikhawatirkan itu,

maka dianjurkan bagi laki-laki untuk mencukupkan satu isteri saja. Dengan demikian,

jelas bahwa kebolehan poligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak

terjadinya penganiayaan terhadap si isteri.

Az-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kassyaf, mengatakan bahwa poligami

menurut syari’at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama

halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa

ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat

laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri.

Kecenderungan yang ada pada diri laki-laki itulah seandainya syari’at Islam tidak

memberikan kelonggaran niscaya akan membawa kepada perzinahan, oleh sebab itu

poligami diperbolehkan dalam Islam.24

Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana juga dikutip oleh Huzaimah

Tahido Yango, mengatakan: Bahwa haram berpoligami bagi seseorang yang merasa

khawatir akan berlaku tidak adil. Poligami dalam pandangan Abduh, boleh jika dalam

23

Huzaimah Tahido Yanggo, “Pandangan Islam Tentang Gender”, dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 2.

24

(30)

keadaan darurat, yaitu jika isteri tidak bisa memberikan keturunan (mandul).

Kebolehan poligami dalam keadaan darurat sama dengan hukum memakan bangkai,

darah dan babi. Umat Islam dilarang memakan bangkai, darah dan babi bilamana

dalam keadaan darurat atau terpaksa maka kita boleh memakannya (QS. 2: 137). Jadi,

hukum poligami itu sama dengan memakan bangkai, darah atau babi yang boleh

dilakukan dalam keadaan darurat saja.25

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum poligami terlingkup dari

beberapa hukum yang diantaranya sunnah, haram, wajib, mubah dan makruh. Namun,

pada tingkat pelaksanaannya sangat tergantung pada kondisi seorang laki-laki terkait

dengan kebutuhannya terhadap poligami dan kemampuannya memenuhi hak-hak

istri-istrinya.

Pada ayat tersebut (QS. 4:3), dijelaskan bahwa poligami dihalalkan dengan

anjuran berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, dimana seorang suami yakin

bahwa ia akan terjatuh kepada suatu kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak

dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram. Jika ia

merasa kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka poligami menjadi

makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan zina jika tidak

berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.

Praktik Poligami Rasulullah SAW

25

(31)

Tidak sedikit orang yang keliru dalam memahami praktik poligami Nabi

Muhammad saw., termasuk kaum muslim sendiri. Ada anggapan bahwa Nabi

melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana yang dilakukan banyak orang yakni

hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata.26

Sesungguhnya motif yang paling mendasar dari setiap perkawinan Nabi

Muhammad saw. adalah “Islamisasi” yang merupakan tugas utama beliau. Ekspresi

dakwah tercermin dalam segala aktifitas beliau baik berupa perbuatan, perkataan

maupun persetujuan beliau. Dari motifasi dakwah di atas terbawa pula motifasi lain

seperti politik, sosial kemanusiaan dan akhlak. Namun dari itu semua, dapat

dikembalikan pada satu tujuan yaitu dakwah untuk mensyiarkan Islam.27

Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasulullah saw. kawin lebih dari satu

hendaknya diteladani, karena tidak semua apa yang dilakukan Rasulullah saw. perlu

diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan

terlarang pula bagi ummatnya. Bukankah Rasulullah saw. antara lain wajib bangun

shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu’ beliau

bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan

misinya? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar-benar ingin meneladani

Rasulullah saw. dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka

sadar bahwa semua wanita yang beliau kawini, kecuali ‘Aisyah ra., adalah

janda-janda, dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan

26

Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h. 17

27

(32)

menyelamatkan para wanita yang kehilangan suaminya, yang pada umumnya

bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat.28

Adapun istri-istri Rasulullah saw. penulis uraikan sebagai berikut:

Khadijah binti Khuailid

Rasulullah saw. menikahi Khadijah binti Khuailid dalam usia 25 tahun,

sedangkan Khadijah berumur 40 tahun. Beliau tidak menikah lagi dengan wanita

lain sampai Khadijah meninggal dunia pada usia 65 tahun. Perkawinan dengan

Sayyidah Khadijah berlangsung selama 15 tahun sebelum kenabian. Dan setelah

beliau diangkat sebagai nabi, khadijah orang pertama beriman.29

Saudah binti Zam’ah

Saudah adalah orang pertama dinikahi Rasulullah saw. sepeninggal Khadijah.

Usianya hampir mendekati 60 tahun. Ia tidak memiliki paras yang cantik dan

bukan wanita yang kaya raya. Ia hanyalah wanita muslimah yang ikut hijrah

bersama suaminya ke negeri Habasyah, karena ancaman Kafir Quraisy.

Sekembalinya dari negeri Habasyah, suami Saudah yaitu Sakran Ibnu Amr Ibn

Abi Syams meninggal dunia dan Saudah menjadi Janda. Tiada tempat untuk

berlindung terkecuali kembali ke pangkuan keluarganya yang musyrik. Jika hal

itu terjadi, tentu keluarga Saudah memaksa dirinya untuk kembali ke agama

sebelumnya atau dipaksa menikah dengan laki-laki musyrik seperti keluarga lain.

28

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet. Pertama, h. 326

29

(33)

Untuk menyelamatkannya dari berbagai fitnah tersebut, maka Nabi

mengawininya ia selamat dari ancaman kaumnya dan tetap menjadi orang

beriman. Perkawinan Nabi dengan Saudah ini berlangsung di Mekkah sebelum

hijrah ke Madinah.30

Aisyah binti Abu Bakar

Perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah merupakan salah satu upaya penyebaran

ajaran hukum-hukum Islam. Walaupun hikmah ini ada pada setiap istri beliau,

namun ‘Aisyah adalah istri Nabi yang paling berperan dalam masalah ini. ‘Aisyah

adalah istri yang paling banyak meriwayatkan hadis dan paling banyak

memberikan informasi tentang ketentuan yang berlaku dalam keluarga Nabi.

Allah SWT. memilihkan Nabi saw. seorang gadis yang jenius dan mempunyai

pemikiran-pemikiran yang cemerlang yaitu ‘Aisyah.

Perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah berlangsung di Mekkah. Pada waktu

‘Aisyah baru berusia 6 tahun. Namun bersama sebagai suami istri mulai dirintis

beliau di Madinah. ‘Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang masih gadis.

Dialah istri beliau yang paling dicintai. Namun beliau tetap adil dalam hal-hal

yang lain. Selian itu, perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah juga merupakan

penghargaan terhadap Abu Bakar yang selalu mendampingi Nabi dikala suka

maupun duka. Dengan kedudukan Abu Bakar sebagai mertua membuat

kedudukannya semakin terhormat dan mulia.31

30

Ibid., h. 114-115

31

(34)

Hafshah binti Umar Ibn al-Khatthab

Perkawinan Nabi dengan Hafshah dimaksudkan untuk menghormati keberadaan

Hafshah yang suaminya meninggal dalam perang Badar, sekaligus untuk

melegakan hati sahabat beliau yaitu Umar Ibn al-Khatthab yang merasa sedih

karena anaknya hidup sendiri, setelah Umar menawarkan Hafshah kepada Abu

Bakar dan Utsman untuk dipersuntingnya, namun keduanya tidak menyambutnya.

Ketika itu Umar r.a. mengadukan kesedihannya kepada Nabi Muhammad saw.

yang kemudian bersedia mengawini Hafshah r.a. demi persahabatan dan demi

tidak membedakan antara Umar dengan Abu Bakar yang sebelumnya telah

dikawini putrinya, yakni ‘Aisyah r.a.32

Zainab binti Jahsyin

Perkawinan Nabi dengan Zainab juga atas perintah Allah SWT. untuk

merombak warisan Jahiliyah. Perkawinan ini terjadi setelah Zainab diceraikan

suaminya Zaid bin Haritsah yang merupakan anak angkat Nabi Muhammad saw.

Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai, dan sebagai

penanggung jawab perkawinan itu, Nabi Muhammad mengawininya atas perintah

Allah, sekaligus untuk membatalkan adat Jahiliyah yang menganggap anak

angkat sebagai anak kandung, sehingga tidak boleh mengawini bekas istrinya.33

Allah menjelaskan hikmah perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan Zainab

ini dalam surat al-Ahzab ayat 37:

32

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 326.

33

(35)

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. al-Ahzab: 37).

Karena ayat inilah Zainab seperti diceritakan Imam Bukhari dalam kitab

shahih-nya membanggakan terhadap istri-istri Nabi yang lain, seperti

perkatannya:

ﻜﺟوز

ﻜ ﺎهأ

ﺟوزو

ﷲا

ﻰ ﺎ

قﻮﻓ

تاوﺎ

.

)

اور

يرﺎ ا

(

“Kalian (istri-istri Nabi yang lain) dikawinkan oleh keluargamu sendiri sedang aku dikawinkan oleh Allah, dzat yang berada di luar tujuh langit.”34

Dari perkawinan Nabi di atas, umat Islam mendapatkan ketentuan

undang-undang pengangkatan anak yang baru secara islami, pengganti undang-undang-undang-undang

pengangkatan anak tradisi Jahiliyah. Sejak ini sistem Jahiliyah itu dinyatakan

tidak berlaku, karena itu Muhammad bukanlah bapaknya Zaid, juga bukan bapak

siapa-siapa. Akan tetapi beliau adalah Rasulullah, Nabi akhir zaman.35

Juwairiyah binti Harits

34

Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H / 1994 M), h. 153.

35

(36)

Perkawinan Nabi dengan Juwairiyah bertujuan untuk membebaskan sistem

perbudakan yang diakibatkan dari pertempuran antara kaum muslimin dengan

Bani Mushthaliq, yang mana umat Islam dapat menawan dua ratus keluarga yang

berisikan wanita-wanita dan anak-anaknya. Salah satu dari mereka yang tertawan

adalah Juwairiyah binti Harits. Rasulullah kemudian membebaskannya dan

mengawininya pada pertengahan tahun 6 Hijriyah.

Demi menghormati Juwairiyah, para sahabat yang menawan anggota

keluarganya kemudian membebaskan sebanyak dua ratus keluarga istri Rasulullah

ini. Setelah mereka terbebas, mereka berbondong-bondong memeluk Islam. Hal

ini tentu saja memperkuat Islam dan umat Islam.36

Hindun binti Abu Ummayyah (Ummu Salamah)

Perkawinan Nabi dengan Ummu Salamah bertujuan untuk menolong anak-anak

yatim Abu Salamah (suami Hindun binti Abi Ummayah), Abu Salamah gugur

pada perang Uhud, ia meninggalkan seorang istri yaitu Ummu Salamah dan

anak-anak yang masih kecil-kecil, lalu Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah demi

menentramkan jiwanya dan menyelamatkan anak-anaknya. Ummu Salamah

bukanlah wanita cantik, muda dan kaya.37

Zainab binti Khuzaimah

Perkawinan Nabi dengan Zainab binti Khuzaimah bertujuan untuk mendorong

wanita agar berakhlak dan berhati mulia, karena Zainab memiliki sifat ini dan

36

Ibid., h. 120.

37

(37)

tentunya sesuai dengan kepribadian Rasulullah saw. Walaupun Zainab bukan

termasuk yang cantik dan kaya, namun ia dikenal sebagai wanita yang santun,

lebih-lebih terhadap orang miskin dan anak-anak yatim, sehingga pada zaman

jahiliyah ia diberi gelar sebagai “Ummul Masakin”, yang artinya ibunya

orang-orang miskin.38

Ummu Habibah (Ramlah)

Perkawinan Nabi dengan Ummu Habibah bertujuan untuk melunakkan hati

pemimpin-pemimpin musyrik, ini terlihat ketika ayah dari Ummu Habibah yang

bernama Abi Sufyan bin Harb. Ia adalah salah seorang tokoh Kafir Quraisy yang

pada saat itu anak buahnya berbondong-bondong masuk Islam.

Ummu Habibah bukanlah seorang yang cantik, muda dan kaya raya, ia

hanyalah seorang janda dari suaminya yang bernama Ubaidillah Ibn Jahsyin yang

murtad dan masuk kristen sewaktu mereka dan rombongan umat Islam hijrah ke

Ethiopia untuk kedua kalinya.39

Shafiyah binti Huyai

Perkawinan Nabi dengan Shafiyah binti Huyai bertujuan politis. Shafiyah

merupakan putri keturunan Israel, yang amat terpandang yang berasal dari

tokoh-tokoh bangsawan Bani Nazhir. Ayahnya meninggal dunia pada perang Bani

38

Ibid., h. 122.

(38)

Quraizhah, sedangkan suaminya, Kinanah Ibn Abi Huqaq, termasuk pemimpin

Yahudi, terbunuh pada perang Khaibar.

Shafiyah bukanlah wanita yang cantik, melainkan ia termasuk wanita yang

bertubuh pendek. Nabi memilih dia, membebaskan dan mengawininya. Nabi

memberi kebebasan kepada Shafiyah untuk kembali kepada keluarganya atau

tetap menjadi istri Nabi. Penawaran pembebasan itu dilakukan karena menghargai

kedudukan Shafiyah sebagai seorang putri bangsawan yang berdarah Israel.

Shafiyah membulatkan tekad untuk tetap bersama Nabi. Perkawinan ini

mempunyai dampak positif terhadap musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi.

Mereka tidak lagi memusuhi Islam, bahkan sebagian dari mereka memeluk agama

Islam.40

Maimunah binti Harits Ibn Hazn al-Hilaliyah

Perkawinan Nabi dengan Maimunah bertujuan untuk melunakkan hati

pemimpin orang-orang musyrik. Ia adalah bibi Abdullah Ibn Abbas, Khalid bin

Walid. Kerabat Maimunah banyak berasal dari keluarga Bani Hasyim dan Bani

Makhzum, dan ini juga merupakan salah satu sebab mengapa Nabi saw. menikahi

Maimunah binti Harits Ibn Hazn al-Hilaliyah.41

Itulah istri-istri Nabi Muhammad saw. yang keseluruhannya janda, kecuali

‘Aisyah, dan yang beliau kawini setelah bermonogami hingga usia lima puluh

40

Ibid., h. 123.

(39)

tahun lebih dan selama hidup bersama ibu putra-putrinya, Khadijah r.a., istri

pertama dan tercinta beliau. Istri-istri yang disebut di atas inilah yang seringkali

disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu atau enggan memahami latar belakang

perkawinan itu.

Di samping alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, pernikahan Nabi

Muhammad saw. sampai memiliki sembilan orang istri merupakan kekhususan yang

diberikan oleh Allah SWT. kepada beliau, sebagaimana firman-Nya:

(40)

mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Ahzab: 50).

M. Quraish Shihab menjelaskan dengan mengutip pendapat Sayyid Quthub,

bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya menyangkut pengaturan

kehidupan bermasyarakat kaum muslimin. Kalau ayat sebelumnya menguraikan

persoalan hukum yang berkaitan dengan masyarakat umum, maka ayat ini berkaitan

dengan pribadi Nabi saw. dan istri-istri beliau – yang berbeda dengan wanita-wanita

lain seperti telah ditegaskan oleh ayat 32 pada surat al-Ahzab ini. Sebelum turunnya

ayat ini, Allah SWT. Telah menetapkan bahwa pria muslim tidak boleh menghimpun

dalam saat yang sama lebih dari empat orang wanita (Q.S. an-Nisa’: 4). Ketika itu

Nabi saw. Memiliki sembilan orang istri. Mereka semua telah menjadi Ummahat

al-Mu’minin, dan semua telah rela memilih Allah dan Rasul-Nya walau hidup dalam

kesederhanaan.42

Di samping itu, Rasulullah saw. pun menikahi mereka atas pertimbangan

kemaslahatan dakwah dan dalam konteks pemberdayaan (pemeliharaan kaum lemah).

Dari hal ini, sangat berat bagi mereka jika Rasulullah saw. Menceraikannya, karena

tidak mungkin lagi mereka mendapatkan jodoh setelah pintu pernikahan mereka

ditutup oleh Allah SWT. (sebagaimana dijelaskan dalam ayat 53 surat al-Ahzab),

berbeda dengan wanita-wanita lain. Atas dasar inilah, maka Allah membenarkan

Rasulullah saw. mempertahankan perkawinan beliau dengan mereka, dan dalam saat

42

(41)

yang sama beliau tidak lagi diperkenankan menikahi wanita lain, tidak juga

mengganti salah seorang di antara mereka dengan wanita lain.43 Demikian lebih

kurang apa yang dipaparkan oleh Quraish Shihab.

Dalam ayat di atas, terdapat pernyataan

ﺆ ا

نود

ﺔ ﺎ

(hanya khusus

bagimu, bukan untuk semua orang mukmin), menurut para mufassir merupakan

penegasan bahwa hal tersebut hanya khusus buat Nabi Muhammad saw. tidak berlaku

kepada semua orang mukmin secara keseluruhan.44 Kata

ﺔ ﺎ

adalah kata mashdar

muakkad (bentuk kata yang memperkuat dan mempertegas) semua kandungan pada

kalimat sebelumnya. Dengan kata lain kalimat seperti itu berarti: Kami (Allah) telah

mengkhususkan bagimu (Muhammad saw.) penghalalan terhadap siapa saja yang

telah kami halalkan.45

Dengan demikian, hemat penulis, jelas bahwa poligami yang dilakukan

Rasulullah saw. merupakan kekhususan bagi beliau, bukanlah suatu sunnah yang

dianjurkan atau harus dilaksanakan oleh semua ummatnya.

* * *

43

Ibid., h. 300

44

Ibid., h. 302

45

(42)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG KORBAN PRAKTIK POLIGAMI

A. Motif Terjadinya Praktik Poligami

Kalau kita mengkaji perihal poligami tentu akan didapatkan bahwa poligami

dilaksanakan dengan berbagai motifasi. Ada di antaranya bermotif penyaluran hasrat

seksual semata, kemegahan diri, kebutuhan ekonomis, menata pembagian kerja,

untuk memperoleh keturunan atau mempertahankan bahkan meningkatkan mutu gen

melalui generasi, dan motif-motif lain seperti motif Rasulullah saw. berpoligami

dengan motif untuk mendukung keberhasilan dakwahnya atau perjuangan ajaran

Islam,46 sebagaimana penulis telah uraikan pada bab dua tentang tujuan perkawinan

Nabi Muhammad saw. dengan istri-istrinya.

Mushfir Al-Jahrani mengutip pendapat Musthafa As-Syiba’i membagi

alasan-alasan berpoligami secara umum ke dalam dua motif, yaitu: Motif sosial dan Motif

pribadi. 2

1. Motif sosial

Motif sosial ini berupa fakta sejarah yang terjadi pada masyarakat dunia, yakni

bahwa:

a. Jumlah wanita ternyata secara kuantitas melebihi jumlah laki-laki.

46

Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 159.

(43)

b. Kurangnya jumlah laki-laki akibat terjadinya peperangan yang mengakibatkan

banyaknya janda-janda yang terabaikan tanpa suami.

2. Motif pribadi

Motif pribadi ini berupa hal-hal yang melekat pada diri suami atau istri yang

bersangkutan. Motif ini sangat subjektif mengingat betapa seorang istri selalu

harus selalu mengalah dami kebahagiaan sang suami tanpa ada yang peduli

terhadap kebahagiaannya.

Sehubungan dengan motif ini, orang yang melakukan poligami harus

mempunyai alasan yang dapat dibenarkan dan dapat dipertanggung jawabkan, di

antaranya:

a. Sebab yang ada pada wanita itu sendiri, seperti: sakit keras yang

menyebabkan dirinya tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai

seorang istri, mandul, lemah nafsu seksnya, panjang masa haid dan nifasnya,

kurang setia sehingga menyebabkan hubungan tidak intim, atau mengidap

penyakit kronis. Suami dalam kondisi itu ada dalam dua pilihan, yaitu:

menceraikan istrinya yang dalam keadaan sakit dan tentunya perbuatan ini

tidak berprikemanusiaan, kecuali atas izinnya karen tidak mau dipoligami

walaupun dalam keadaan sakit keras. Atau suami menikah lagi dengan

(44)

untuk mendapatkan nafkah termasuk di dalamnya biaya pengobatan. Dan hal

ini adalah pilihan yang tepat dan lebih bijaksana dari keduanya.47

b. Sebab yang berada pada diri suami, seperti: suami memiliki kemauan

seksualitas yang sangat tinggi sehingga tidak cukup hanya dengan seorang

istri, ingin memiliki keturunan yang banyak karena mampu memenuhi

kebutuhan hidup dan pendidikan kepada anak-anaknya, suami sangat

mencintai perempuan lain khawatir berbuat zina, suami suka bepergian jauh

dan tidak memungkinkan untuk selalu membawa istrinya bersama.

c. Sebab yang berupa kejadian yang bersifat pribadi, seperti ada kerabat yang

menjanda dan membawa tanggungan banyak anak, maka ia mengawininya

untuk menanggung nafkah mereka.48

Selain motif di atas, menurut Musjfir Al-Jahrani, ada dua motif lagi yang

menjadi alasan seseorang melakukan poligami, yaitu:

1. Motif yang bersifat ekonomis, seperti poligami untuk membantu usaha atau

pekerjaannya. Contohnya yang terjadi pada masyarakat agraris.

2. Motif yang bersifat tidak menentu, seperti seseorang yang pekerjaannya

mengharuskan dia untuk hidup merantau dalam waktu yang cukup lama dan tidak

47

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW; Poligami dalam Islam VS. Monogami Barat, terj. Ilyas Ismail al-Sendany (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. Pertama, h. 57-63.

48

(45)

mampu membawa istrinya, karena khawatir melakukan perzinahan maka lebih

baik menikah lagi (berpoligami).49

Itulah beberapa motif seseorang melakukan poligami, tentu saja kebolehan itu

dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan syari’at Islam, seperti keharusan berbuat

adil dan memperlakukan dengan baik terhadap semua istri-istrinya.

B. Dampak Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Istri

Pada dasarnya dampak psikologis yang terjadi pada sebuah keluarga yang

berpoligami tidak hanya terjadi pada istri dan anak-anaknya, tetapi bisa juga terjadi

kepada suami. Seorang suami atau pelaku poligami adalah seseorang yang dituntut

untuk berlaku adil dan dituntut untuk selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya

dalam dua, tiga atau empat keluarga yang dipimpinnya. Apabila suami yang

berpoligami tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia akan berusaha untuk

menutup-nutupi keterbatasan atau kesalahannya agar kharisma dan wibawanya

sebagai seorang suami dan seorang ayah tidak ternodai akibat ulah perbuatannya.

Pada kondisi seperti inilah suami berbuat kebohongan kepada istri yang satu dan

kepada yang lainnya.

Adapun dampak psikologis yang terjadi pada istri, salah satu akibat dari

poligami adalah bermula dari masalah cemburu, terlebih lagi terhadap istri yang

dipoligami tanpa izinnya. Maka ia akan merasa dikhianati cintanya, akan marah dan

49

(46)

sakit hati. Adapun dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya

berpoligami adalah sebagai berikut:50

1. Munculnya perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan

suaminya berpoligami adalah akibat ketidakmampuan dirinya memenuhi

kebutuhan biologis suaminya atau tidak dapat memenuhi kewajiban lainnya

sebagai seorang istri.

2. Selama masa perkawinan, sudah ketergantungan secara ekonomi kepada suami.

Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi

tidak jarang pula dalam praktiknya, suami lebih mementingkan istri muda dan

menelantarkan istri tua dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak

memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-harinya.

3. Hal lain yang sering kita saksikan akibat adanya poligami adalah seringnya terjadi

kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang dikenal dengan istilah KDRT

(Kekerasan dalam Rumah Tangga), baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual

maupun psikologis.

4. Mayoritas laki-laki yang berpoligami, melakukan perkawinan dengan wanita lain

di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan

nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak

dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah

menurut agama. Bilamana hal ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak

perempuan karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara.

50

(47)

Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti harta

gono gini, hak waris dan sebagainya.

5. Budaya perkawinan poligami dikhawatirkan menjadi pemicu munculnya penyakit

menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.51 Namun,

hal ini terbantahkan dengan tujuan disyariatkannya poligami dalam Islam, karena

Islam tidak akan mensyariatkan sesuatu yang akan membawa kemudharatan bagi

umat manusia.

C. Sisi Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Anak

Tidak diragukan lagi bahwa orang tua memiliki tanggung jawab menyiapkan

putra putrinya, mendidik mereka menuju kehidupan yang baik dan memberikan

pertolongan dengan berbagai macam petunjuk sehingga kebahagiaan mereka dapat

diwujudkan, sesuai dengan firman Allah surat At-Tahrim ayat 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6).52

Oleh karena itu, seorang anak membutuhkan pemeliharaan jiwa, pemberian

rasa cinta dan kasih sayang orang tuanya. Dengan kasih sayang itulah mereka akan

51

Ibid., h. 42

52

(48)

tumbuh dengan lurus, selamat dan terlepas dari kompleksitas penyakit jiwa dan

kerapuhan pribadi.

Anak-anak selalu menjadi korban bila suatu kehidupan keluarga tidak

seimbang, penuh konflik dan pertengkaran orang tua, perkembangan akan terhambat,

ia bisa menjadi anak bermasalah. Seorang anak memerlukan kasih sayang dari ayah

dan ibunya. Bisa terjadi bahwa orang tua yang merasa dibohongi bersekutu dengan

anaknya melawan bapaknya, ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga menjadi

nyata. Cara menghadapi situasi yang tidak menyenangkan ini bisa dengan membolos

sekolah atau berkelahi dengan teman-teman, anak-anak yang sering

terombang-ambing dalam menentukan kepada siapa (ayah/ibu) mereka harus loyal. Bila konflik

loyalitas terjadi, anak-anak sering bereaksi dengan mencoba melindungi secara

berlebihan salah satu orang tua dengan mengabaikan kebutuhan sendiri untuk

menyenangkan mereka, tetapi lama kelamaan bisa menjadi depresif dan melakukan

tindakan yang destruktif.53

Dampak negatif dari kehidupan keluarga di atas, tidak akan hilang walaupun

anak sudah meninggalkan rumah tangga. Kualitas rumah tangga atau kehidupan

keluarga jelas memerankan peranan yang amat signifikan dalam membentuk karakter

dan kepribadian anak. Misalnya rumah tangga yang berantakan disebabkan oleh

kematian ayah atau ibu, perceraian antara ayah dengan ibu, hidup terpisah, poligami,

ayah mempunyai simpanan “istri lain”, keluarga yang diliputi konflik keras, semua

53

(49)

itu merupakan sumber yang subur untuk memunculkan kenakalan remaja. Adapun

sebabnya antara lain sebagai berikut:

1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan

pendidikan, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing

sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.

2. Tidak terpenuhinya kebutuhan fisik maupun psikis anak. Keinginan dan harapan

anak tidak bisa tersalur dengan baik dan memuaskan, atau tidak mendapatkan

kompensasinya.

3. Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat

diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan hidup disiplin dan

kontrol diri yang baik.54

Sebagai akibatnya dari ketiga pengabaian di atas, anak menjadi bingung,

risau, sedih, malu, sering diliputi perasaan dendam dan benci, sehingga anak menjadi

kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin

sendiri di luar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu kelompok

kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal.

Adakalanya ia secara terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan terhadap

orang tuanya, dan mulai melawan atau memberontak, sambil melakukan tindakan

yang destruktif, baik terhadap orang tua maupun terhadap dunia luar yang kelihatan

tidak ramah baginya. Tegasnya, anak-anak yang merasa tidak bahagia dipenuhi

banyak konflik batin serta mengalami frustasi terus menerus akan menjadi sangat

54

(50)

agresif. Kemudian ia mulai mengadakan “serangan-serangan kemarahan” ke dunia

sekitar, menteror lingkungan, mengambil milik orang lain dan sebagainya. Semua itu

dilakukan sebagai tindakan penyalur atau pelepas bagi semua ketegangan, kerisauan

dan dendam hatinya.55

Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku delinkuen (perilaku yang

menyimpang aturan) tidak hanya terbatas pada strata sosial di bawah dan strata

ekonomi rendah saja, akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya pada

keluarga berantakan. Semua bentuk ketegangan batin dan bentuk konflik keluarga itu

mengakibatkan ketidak seimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu, juga akan

mengakibatkan tidak berkembangnya tokoh (sosok) ayah sebagai sumber otoritas

bagi anak laki-laki. Sehingga anak berkembang menjadi kasar, binal, brutal, tidak

terkendali, sangat agresif dan kriminal.

Peran orang tua sebagai tempat orientasi dan identifikasi bagi seorang anak

dalam perkembangan psikisnya tidak bisa digantikan. Kalau seorang anak tidak bisa

menjalin hubungan keakraban yang tetap dengan satu atau dua orang, maka

perkembangan afektif, mental dan sosial secara sehat dan seimbang dari anak tersebut

akan terancam.56

Selanjutnya, pola keluarga yang patologis (dalam keadaan sakit atau

abnormal/ gangguan jiwa) selalu membutuhkan masalah psikologis, konflik terbuka

dan tertutup, serta menjadi penyebab utama timbulnya kenakalan remaja. Misalnya

55

Ibid., h. 61

56

(51)

90 % dari keluarga tidak bahagia dan berantakan akan mengembangkan emosi

kepedihan dan sikap negatif pada lingkungannya. Anak juga ikut menjadi tidak

bahagia dan bingung. Misalnya anak merasa ditolak oleh orang tua, menjadi iri

terhadap adik atau kakaknya, merasa minder kepada teman-temannya, selalu

menderita konflik batin yang serius dan lain sebagainya.57

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak akan menjadi kriminal dan

melakukan pola kebiasaan delinkuen sangat bergantung kepada interaksi yang

kompleks dari berbagai penyebab sebagai latar belakangnya. Jadi, ada interrelasi

internal dan eksternal dari macam-macam variabel yang membawa anak-anak ke

jalan kriminal.

Namun demikian, variabel-variabel yang memberikan dampak buruk itu dapat

dikompensir oleh beberapa peristiwa berikut:

a. Pengaruh buruk subkultur gang delinkuen (suatu budaya tingkah laku yang

selalu melanggar aturan) yang ada di sekitar (misalnya daerah rawan/kriminal,

kampung miskin, tetangga yang a-susila, daerah yang tradisional yang cepat

berubah dan lain-lain) itu dapat dikompensir (diatasi atau diimbangi) oleh

keluarga yang kohesif (sebuah keluarga yang memiliki hubungan yang sangat

erat/kokoh), penuh perhatian dan kasih sayang, serta akrab dalam bantu

membantu (bergotong-royong).

b. Ayah yang kejam, sadis, suka mengabaikan bahkan menolak anak

laki-lakinya, dapat dikompensir oleh sikap ibu yang lembut, penuh cinta kasih,

57

(52)

sehingga anak tidak menjadi delinkuen karena masih memiliki tempat

bertumpu.

c. Tidak konsekwen pendisiplinan terhadap anak, dan kontroversi antara proses

pendisiplinan dengan perbuatan nyata orang tua, mendorong timbulnya

kriminalitas anak remaja. Hal ini bisa dikompensir oleh disiplin yang

diterapkan dengan baik dan contoh perilaku orang tua yang utama.58

Biasanya antara ketiga hal di atas, terdapat jalinan yang akrab, yang bisa

mencetak anak-anak delinkuen atau justru memberantasnya. Oleh karena itu, usaha

preventif dan rehabilitatif terhadap anak-anak jahat itu sangat bergantung pada

kondisi ketiga peristiwa di atas.

Dampak psikologi pada anak akibat dari beberapa hal di atas akan membawa

pengaruh pada mental kejiwaan. Anak akan menjadi rendah diri, pendiam, tidak dapat

bergaul dengan teman-temannya. Dengan demikian, keluarga yang kurang harmonis

akan mengakibatkan anak menjadi kurang cerdas/pemurung. Sebagaimana Sarlito

Wirawan Sarwono mengatakan:

“Anak yang kurang mendapat perhatian orang tua kabanyakan menjadi pemurung, tidak semangat dan daya tangkapnya kurang baik, karena itu perkembangan kecerdasannyapun terbelakang.”59

Dari pernyataan di atas, penulis berkesimpulan bahwa dalam keluarga

berpoligami apabila berkurangnya perhatian orang tua terhadap anak-anaknya akan

menyebabkan anak tersebut kurang cerdas dan ini akan berpengaruh kepada prestasi

58

Ibid., h. 64

59

(53)

belajar si anak. Tetapi keadaan ini dapat pula terjadi pada keluarga monogami, hal ini

tergantung dari kemampuan orang tua dalam memberikan perhatian dan kasih sayang

pada anaknya.

Agar anak sukses dalam belajar, maka faktor pendukungnya harus terpenuhi.

Belajar adalah suatu proses yang memerlukan banyak faktor pendukung. Bilamana

salah satu faktor tidak terpenuhi maka kegiatannya akan terganggu. Faktor tersebut

yakni lingkungan suasana keluarga yang harmonis dan menunjang proses kegiatan

belajar sang anak.

Suasana rumah yang selalu tegang, selalu berada dalam kesedihan dan sering

terjadi pertikaian antara ayah dan ibu akan melahirkan anak yang tidak sehat

mentalnya. Jika sudah demikian, maka tidak heran jika anak memilih menghabiskan

waktu di luar rumah bersama teman-temannya. Dan melupakan tugasnya yakni

belajar. Hal ini akan terjadi dalam keluarga poligami, di mana tidak ada kerukunan

keluarga dan keharmonisan yang menyebabkan anak-anaknya menjadi korban.

Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh, dalam kritiknya terhadap

poligami, mengatakan:

“Pada masa permulaan Islam betul ada faedahnya poligami dan belum ada lagi bahaya sebagaimana yang kelihatan di zaman sekarang, kalau ada bahayanya maka bahaya itu tidak melampaui perempuan yang dimadu. Adapun di zaman sekarang bahaya permaduan telah mengenai anak, suami dan karib kerabat yang lain. Perempuan yang dimadu telah menyebabkan permusuhan di antara semua karib kerabat, maka rusak binasalah keluarga karena permaduan.”60

60

(54)

Dari uaraian di atas, penulis dapat simpulkan bahwa keluarga yang tidak

harmonis dimana suasana rumahnya tidak menunjang untuk proses kegiatan belajar

anak, karena seringnya terjadi konflik antara kedua orang tua akan mengganggu

proses kegiatan belajar anak. Apalagi sarana/fasilitas belajar anak kurang memadai.

Hal ini dapat dilihat dari nilai prestasi belajar anak.

Oleh karena itu, Peranan keadaan keluarga terhadap perkembangan anak tidak

hanya terbatas pada situasi sosio ekonomi atau keutuhan struktur dan keutuhan

interaksinya. Juga cara-cara dan sikap dalam pergaulannya memegang peranan yang <

Gambar

GAMBARAN UMUM TENTANG KORBAN

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, dilakukan studi kasus usaha pengomposan skala rumah tangga di Kebun Pengomposan Karinda, Perumahan Bumi Karang Indah (BKI), Jakarta Selatan untuk

mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika terjadi pertengkaran atau persengketaan yang tidak bisa dibendung antara kedua suami isteri dan tidak bisa ditempuh dengan

menyebabkan terabaikannya hak dan kewajiban dalam rumah tangga, maka pernikahan yang telah dilakukan tidak lagi menjadi ikatan sebagaimana yang diharapkan, karena

Bahwa dengan adanya tindakan melanggar Undang-Undang yang telah dijelaskan diatas oleh pihak tergugat dan melakukan penarikan tanpa adanya pemberitahuan kepada penggugat

Sedangkan dalam kenyataan yang terjadi di desa Pranti, terdapat salah seorang ibu rumah tangga yang mengangkat rahimnya agar tidak mendapatkan keturunan lagi, bukan

Majelis Hakim berpendapat bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon I yang demikian jika dipertahankan akan lebih mendatangkan madlarat yang tidak berkesudahan

berumah tangga, sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah 1 Tangga selanjutnya disebut

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diharapkan semua pihak dapat memahami keberadaan undang-undang ini, khususnya kepada petugas penegak