• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENGUASAAN HARTA WARIS ANAK OLEH IBU TIRI : STUDI KASUS DI KELURAHAN PEGIRIAN KECAMATAN SEMAMPIR KOTA SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENGUASAAN HARTA WARIS ANAK OLEH IBU TIRI : STUDI KASUS DI KELURAHAN PEGIRIAN KECAMATAN SEMAMPIR KOTA SURABAYA."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENGUASAAN

HARTA WARIS ANAK OLEH IBU TIRI

(Studi Kasus di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya)

SKRIPSI

OLEH:

MOHAMMAD KIROMUDDIN

NIM: C01209055

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang dilaksanakan di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Penguasaan Harta Waris Anak oleh Ibu Tiri (Studi Kasus di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya)”. Penelitian ini untuk menjawab pertanyaan bagaimana deskripsi kasus penguasaan harta waris Anak oleh Ibu Tiri di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya, dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap kasus penguasaan harta waris Anak oleh Ibu Tiri.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data penelitiannya diperoleh melalui interview atau wawancara , selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan pola pikir Deduktif.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kasus penguasaan harta anak oleh Ibu tiri terjadi ketika pewaris telah meninggal dunia sedangkan anaknya masih belum dewasa, sehingga secara tidak langsung Ibu tiri yang merupakan istri pewaris yang kedua menjadi wali bagi anak-anaknya dalam masalah pengurusan harta waris, namun kemudian setelah beberapa tahun salah satu Anaknya telah dewasa dan berumah tangga, sehingga anak tadi meminta hak warisnya kepada ibu tirinya tetapi tidak diberikan harta waris tersebut, karena harta waris tersebut sudah dianggap sebagai imbal jasa mengasuhnya ketika dulu masih kecil hingga dewasa.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

J. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS A. Pengertian Waris ... 17

B. Dasar dan Sumber Hukum Waris ... 18

C. Asas-Asas Hukum Waris dalam Islam ... 20

1. Asas Ijbari ... 20

(8)

3) Tidak Ada Penghalang Kewarisan ... 25

2. Rukun Waris ... 26

1. Hubungan Kekerabatan Perkawinan ... 34

2. Hubungan Pernikahan ... 35

BAB III PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN AHLI WARIS ANAK

YANG DIASUH OLEH IBU TIRI DI KELURAHAN PEGIRIAN

(9)

A. Gambaran Umum Masyarakat Kelurahan Pegirian

Kecamatan Semampir Kota Surabaya ... 47 B. Praktik Pembagian Waris di Kelurahan Pegirian Kecamatan

Semampir Kota Surabaya ... 53

C. Akibat Pembagian Harta Waris di Kelurahan Pegirian

Kecamatan Semampir Kota Surabaya……… ... 56

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENGUASAAN HARTA

WARIS OLEH IBU TIRI DI KELURAHAN PEGIRIAN

KECAMATAN SEMAMPIR KOTA SURABAYA

A. Analisis Kasus Penguasaan Harta Waris oleh Ibu Tiri ... 57 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Penguasaan Harta

Waris Anak Oleh Ibu Tiri………... ... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 70 B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTARTRANSLITERASI

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an menjadi pedoman untuk semua umat manusia sepanjang masa.

Al-Qur’an mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT (ibadah) dan

mengatur hubungan antar manusia dengan alam sekitarnya (muamalah) agar

memberikan mas}lahat bagi mereka dan tidak menimbulkan kerusakan.1 Hukum

kewarisan Islam adalah salah satu aturan yang mengatur manusia dengan manusia

dalam hal harta warisan (harta peninggalan). Hukum ini mengatur perpindahan

harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup dengan

penghitungan dan pembagian yang jelas agar tidak serta merta harta yang

ditinggalkan berpindah tangan tanpa aturan yang jelas, agama Islam sudah

mengatur sedemikian rupa.2

Islam tidak menginginkan pertengkaran dan perselisihan lantaran

pembagian harta waris. Karena itulah, Islam berkepentingan untuk mengatur agar

misi ajarannya dapat memberi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi pemeluknya.

Sebagaimana hadis nabi yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasai’ dan Daruqutni

sebagai berikut:

(11)

“Ibnu Mas’ud meriwayatkan, Rasulullah saw berkata padaku :”Tuntutlah ilmu pengetahuan dan ajarkanlah kepada orang lain,Tuntutlah ilmu kewarisan dan

ajarkanlah kepada orang lain, Pelajarilah alqur’an dan ajarkanlah kepada orang lain,

karena sesungguhnya saya akan meninggal dan ilmu akan berkurang, dan cobaan akan semakin banyak, sehingga terjadi perbedaan pendapat antara dua orang tentang suatu kewajiban, dan mereka tidak menemukan seorangpun untuk

menyelesaikannya”.

Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw memerintahkan agar mempelajari

ilmu fara>id} dan mengajarkannya kepada orang lain tak lain adalah agar ilmu

tersebut tidak hilang yang berimbas pada tidak terpakainya lagi hukum kewarisan

Islam, sehingga ilmu ini selalu diamalkan dalam kehidupan manusia4.

Maksud sabda Rasulullah ialah manusia mempunyai dua keadaan: keadaan

ketika ia hidup dan keadaan ketika ia wafat. Ilmu fara>id} sebagian besar membahas

tentang keadaan setelah kewafatan. Sedangkan, ilmu-ilmu yang lain berkaitan

dengan keadaan manusia ketika hidup. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa

maksud setengah ilmu adalah karena ilmu fara>id} dibutuhkan oleh seluruh manusia.

Intinya bahwa penjelasan Rasulullah tersebut merupakan perintah untuk

memperhatikan ilmu fara>id}. Ilmu ini dinamakan ilmu fara>id} yang berarti ketentuan

karena bagian-bagian harta yang diberikan kepada para ahli waris telah

ditentukan.5

3 Ali bin Umar Ad-Daraqutni, Sunan Ad-Daraqutni, (Beirut: Al-Resalah Publisher, 2004), 143-144. 4 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 16.

(12)

3

Setiap pribadi muslim berkewajiban melaksanakan kaidah-kaidah atau

peraturan-peraturan hukum Islam yang ditunjukkan oleh peraturan-peraturan yang

jelas.6 Untuk itulah al-Qur’an mengajarkan mereka tentang faraid} itu sendiri,

diantaranya Q.S, An-Nisa (4) : 11-12.

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak tperempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;

(13)

4

jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.7

Hak waris seseorang tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi kemunculanya

didasari oleh sebab-sebab tertentu yang berfungsi mengalihkan daripada hak-hak

yang telah meninggal dunia. Ahli waris merupakan perseorangan yang

keberadaanya telah ditentukan nash-nash baik al-Qur’an maupun Hadis,

sebab-sebab kewarisan itu meliputi : pertama, adanya hubungan kekerabatan atau nasab,

seperti anak, cucu, saudara-saudara kandung, ibu, ayah, dan sebagainya; kedua,

adanya hubungan perkawinan yaitu suami istri; ketiga, adanya hubungan wala’

yaitu hubungan antara bekas budak dan orang yang memerdekakanya; dan

(14)

5

keempat, tujuan Islam yaitu Baitul Maal yang menampung harta warisan orang

yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali.8

Sedangkan rukun waris mewarisi ada tiga, meliputi : pertama, mawru>s

yaitu harta yang di warisi ; kedua, muwa>ris yaitu orang yang meninggal dunia baik

mati secara hakiki maupun mati secara h}ukmi ; ketiga, waris yaitu orang-orang

yang mewarisi harta peninggalan si mati lantaran sebab-sebab untuk mewarisi9

Tata aturan yang membagi harta warisan antara pewaris adalah salah satu

manifestasi bahwasanya hak milik seseorang yang mati berpindah pada ahli waris

dan harus dibagikan secara adil baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil

maupun besar apabila terpenuhi syarat menerima warisan.10 Namun pada

kenyataan di lapangan ditemukan pembagian warisan yang tidak sesuai dengan

ketentuan yang telah tercantum dalam al-Qur’an dan Hadis.

Seperti yang terjadi pada masyarakat di kelurahan Pegirian Kec.

Semampir Kota Surabaya diantara mereka, ada yang membagikan harta waris

sudah menggunakan Hukum Islam dengan benar, tetapi ada juga yang

membagikan harta waris tidak sesuai dengan Hukum Islam. Kasus ini bermula dari

sebuah keluarga di kelurahan tersebut. Seorang kepala keluarga/suami yang

meninggal dunia (pewaris) memiliki dua orang istri dan lima orang anak dengan

rincian, dari perkawinannya yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki dan

dari perkawinannya yang kedua mempunyai empat orang anak yang terdiri dari

8 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, ( Jakarta: kencana, 2011), 18

9 Ibid.

(15)

6

dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Pewaris tersebut memiliki sejumlah

harta yang ditinggalkan. Dalam hal ini pewaris sebelum meninggal sudah

menceraikan terlebih dahulu istri yang pertama karena istri tersebut tidak mau

dipoligami, oleh karena itu pewaris memiliki enam ahli waris yaitu: seorang istri

dari perkawinan yang kedua, kemudian empat orang anak (dua anak perempuan

dan dua anak laki-laki) dan seorang anak laki-laki dari perkawinan yang pertama,

yang mana masing-masing berhak memperoleh bagian dari harta warisan tersebut.

Namun yang terjadi harta waris tersebut tidak dibagikan kepada semua pihak yang

berhak, tetapi dikuasai oleh sebagaian ahli waris yaitu istri yang kedua beserta

anak-anaknya sedangkan anak dari perkawinan pertama dari pewaris tidak

mendapatkan harta warisan sehingga menimbulkan ketidak adilan dalam keluarga

tersebut.

Berpijak pada keterangan di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu

penelitian terhadap permasalahan tersebut yang tertuang dalam bentuk skripsi

dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Penguasaan Harta Waris Anak

Oleh Ibu Tiri” (Studi Kasus Di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota

Surabaya)”.

B. Identifikasi Masalah

Dari paparan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasikan inti

permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut :

1. Kronologi terjadinya penguasaan harta warisan oleh ibu tiri terhadap anak

(16)

7

2. Dampak dari penguasaan harta warisan oleh ibu tiri terhadap anak

kandung

3. Alasan tentang penguasaan harta waris anak oleh ibu tiri di Kelurahan

Pegirian Kec. Semampir Kota Surabaya.

4. Analilis hukum Islam terhadap penguasaan harta waris oleh ibu tiri di

Kelurahan Pegirian Kec. Semampir Kota Surabaya.

C. Batasan Masalah

Dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah

yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi pada masalah – masalah berikut

ini :

1. Kasus tentang penguasaan harta waris anak oleh ibu tiri di Kelurahan

Pegirian Kec. Semampir Kota Surabaya.

2. Analilis hukum Islam terhadap kasus penguasaan harta waris oleh ibu tiri

di Kelurahan Pegirian Kec. Semampir Kota Surabaya.

D. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan bahasan pada kajian ini maka perlu adanya

perumusan masalah yang lebih sistematis. Masalah–masalah ini dirumuskan

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana kasus penguasaan harta waris anak oleh ibu tiri di Kelurahan

(17)

8

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap kasus penguasaan harta waris

anak oleh ibu tiri di Kelurahan Pegirian Kec. Semampir Kota Surabaya ?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat

penelitian serupa sehingga dapat menimbulkan penelitian yang berulang.

Topik utama yang dijadikan objek penelitian dalam karya tulis ilmiah

adalah waris. Pembahasan tentang waris banyak dikaji oleh beberapa

penulis, diantaranya :

1. Skripsi yang berjudul, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Peralihan

Harta Peninggalan Istri (Ibu) kepada Ahli Waris tertentu di Harapan

Jaya Bekasi Utara Bekasi ”, Karya Mu’tasim Billah pada tahun

2011.Skripsi ini menekankan pembahasan pada masalah pewarisan

tunggal yakni ayah tanpa memberikannya kepada anak sebagai ahli

waris. 11

2. Moch. Tadlor (2008) “Tinjauan hukum Islam terhadap penolakan

bagian waris saudara seibu di Desa Tebel Kecamatan Gedangan

Kabupaten Sidoarjo”, yang intinya membahas tentang saudara seibu

yang tidak mendapat bagian waris karena tanah yang diminta oleh

saudara seibu tersebut telah berbentuk suatu yayasan12.

11 Mu’tasim Billah, “Tinjauan Hukum Ialam Terhadap Peralihan Harta Peninggalan Istri (Ibu) Kepada Ahli Waris Tertentu Di Harapan Jaya Bekasi Utara Bekasi”, (Skirpsi Skirpsi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011).

(18)

9

3. Elista Tri Handari 2012, dengan karya ilmiah berupa skripsi dengan

judul, Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Kepala Desa

Sambopinggir Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan

Tentang Penguasaan Seluruh Harta Waris Oleh Anak Angkat, Titik

permasalahan skripsi ini adalah semua harta warisan dikuasai oleh anak

angkat yang diputus oleh kepala desa, sedangkan ahli waris tidak

mendapatkan harta waris sama sekali.13

4. Nurul Hidayah 2013, dalam skripsinya, “Analisis Hukum Islam

Terhadap Anak Kandung Yang Tidak Mendapatkan Bagian Warisan di

Desa Gili Timur Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan”. Dalam

skripsi ini penulis lebih memfokuskan pembahasan pada anak kandung

yang tidak mendapatkan bagian warisan karena faktor letak rumah anak

kandung yang tidak dapat harta warisanya ke rumah saudara dan orang

tuanya jauh dan anak kandung tadi telah dianggap mampu dalam

kehidupannya.14

Beberapa kajian hukum waris di atas tentunya memiliki titik persamaan

dengan penelitian ini, akan tetapi ada beberapa perbedaan antara penelitian yang

sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan. pada skripsi ini berbeda

dengan yang lain, dimana penulis akan membahas tentang “Analisis Hukum Islam

13 Elista tri handari, “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Kepala Desa Sambopinggir Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tentang Penguasaan Seluruh Harta Waris Oleh Anak Angkat”, (Skirpsi Skirpsi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012)

(19)

10

Terhadap Penguasaan Harta Waris Anak Oleh Ibu Tiri”. di Kelurahan Pegirian

Kec. Semampir Kota Surabaya, dalam skripsi ini penulis lebih memfokuskan

pembahasan tentang hukum islam terhadap alasan ibu tiri yang tidak membagikan

harta warisan pewaris kepada anak kandung pewaris dari pernikahan yang pertama.

F. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kasus tentang penguasaan harta waris anak oleh ibu

tiri di Kelurahan Pegirian Kec. Semampir kota Surabaya.

2. Untuk menjelaskan bagaimana analisis hukum Islam terhadap kasus

penguasaan harta waris anak oleh ibu tiri di Kelurahan Pegirian Kec.

Semampir kota Surabaya.

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan hasil penelitian ini adalah:

1. Secara Teoretis Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengembangan

ilmu hukum keluarga Islam atau Ahwalus Syakhsiyah, khususnya di

bidang warist

2. Aspek praktis

a. Untuk memberikan bahan acuan dan solusi yang tepat dalam

menyelesaikan permasalahan harta warisan menurut hukum Islam.

b. Sebagai pedoman dan dasar bagi penulis lain dalam mengkaji

(20)

11

H. Definisi Operasional

Skripsi ini penulis beri judul “Analisis Hukum Islam Terhadap

Penguasaan Harta Waris Anak Oleh Ibu Tiri Studi Kasus Di Kelurahan

Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya )”

Guna mempermudah dalam memahami maksud dari judul penelitian

ini, maka berikut ini akan dipaparkan beberapa definisi yang bisa dijadikan

acuan dalam menemukan maksud tersebut:

1. Hukum Islam : seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah

Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini,

berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.15 Dalam

kontek ini hukum Islam berdasarkan al-Qur’an, Hadis, dan Fiqih

2. Penguasaan Harta Waris : Penguasaan adalah perbuatan menguasai atau

menguasakan sesuatu dan Harta Waris yang dalam istilah fara’id

dinamakan tirkah (peninggalan) adalah segala sesuatu yang ditinggalkan

oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya.16

Sedangkan dalam penelitian ini penguasaan harta waris adalah perbuatan

menguasai harta yang dimiliki berupa harta tidak bergerak. Harta warisan

yang berupa satu rumah, dua sawah dan satu tanah dan gudang kayu

3. Anak : anak yang di maksud adalah satu anak laki-laki kandung pewaris

dari perkawiananya yang pertama yang tidak mendapatkan hak warisnya.

15 Fathurrahman Jamil, Filsafat hukum Islam, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), 12.

(21)

12

4. Ibu Tiri : isteri pewaris dari perkawinanya yang kedua dan yang telah

merawat anak tunggal pewaris dari perkawinan yang pertama.

I. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Pegirian Kecamatan

Semampir Kota Surabaya

2. Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah pihak

yang secara langsung terkait dengan permasalahan harta waris anak yang

dikuasai ibu tirinya, yakni enam orang yang terdiri dari isteri, tiga orang

anak laki-laki dan dua orang anak perempuan,

3. Sumber data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data primer dan

sekunder.

a. Sumber primer

Sumber primer yaitu sumber yang langsung memberikan data

kepada peneliti dari informan yang mengetahui secara jelas dan rinci

mengenai masalah yang sedang diteliti. Informan adalah orang yang

dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang masalah

dalam penelitian. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini

(22)

13

1) Pihak yang mengambil seluruh harta waris dari pewaris yaitu

anak-anak dan istri kedua pewaris.

2) Ahli waris yang tidak mengambil harta waris yaitu satu anak

kandung pewaris dari istri pertama

b. Sumber Sekunder

.Sumber penunjang yang diperoleh lewat pihak lain, tidak

langsung diperoleh dari subjek penelitian. Sumber sekunder biasanya

berwujud dokumentasi , laporan atau buku yang berkaitan dengan

pembahasan judul skripsi yang diteliti. Adapun sumber sekunder yang

peneliti gunakan adalah:

1. Masyarakat dan Tokoh masyarakat yang mengetahui kejadian

penguasaan harta waris anak oleh Ibu tiri

2. Kitab - kitab yang terkait dengan pembahasan dalam hukum waris.

oiDiantaranya:

1. Muhammad ibn Ismail Abi ‘Abdillah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari,

Juz IV

2. Maman Abd Djalal, Hukum Mawaris, Bandung: CV Pustaka Setia,

2006

3. Fatchur Rahman,Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif,1994.

4. Ahmad Rofiq,Fiqih Mawaris, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Cet. II, 1995.

5. Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah Jilid 4,Jakarta: Pena Pundi Aksara,

2004.

6. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada

(23)

14

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari

masyarakat Pegirian Kec. Semampir Kota Surabaya. Adapun metode

pengumpulan data yang digunakan adalah :

1) Wawancara

Wawancara dengan ahli waris yang digunakan sebagai alat

pengumpulan data dengan melalui tanya jawab berdasarkan

penyelidikan kepada:

a) Pihak Ahli Waris.

b) Tokoh Agama di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir

Kota Surabaya.

c) Kepala Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota

Surabaya.

5. Teknik analisis data

Dalam teknik analisis data yang dilakukan oleh penulis, penulis

menggunakan analisis data kualitatif yaitu data yang dihasilkan dari

penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang

ditemukan di lapangan,17 dengan metode deskriptif analitis, yakni

(24)

15

menggambarkan fenomena atau keadaan hukum melalui sudut pandang

masyarakat di tempat terjadinya perkara tersebut.

Dalam mendeskripsikan data yang telah diperoleh, penulis

menggunakan pola pikir deduktif , yakni berangkat dari keadaan-keadaan

yang bersifat umum, kemudian diteliti dan ditemukan sebuah pemecahan

persoalan yang bersifat khusus18 Dimulai dengan menyatakan keadaan

atau fenomena hukum yang terjadi di kelurahan Pegirian Kecamatan

Semampir Kota Surabaya dianalisis menggunakan teori-teori hukum

Islam.

Dalam tahap ini, peneliti akan menganalisis harta waris anak

kandung yang dikuasai oleh ibu tiri Kasus di Kelurahan Pegirian

Kecamatan Semampir Kota Surabaya berdasarkan hukum Islam dengan

menggunakan pola pikir induktif yaitu menggambarkan hasil penelitian

tentang adanya fakta anak kandung yang tidak mendapatkan bagian

warisan di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya,

kemudian dicocokkan dengan teori-teori hukum Islam yang bersifat umum

tentang waris.

J. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk

memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini dan agar

(25)

16

dapat dipahami permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka

pembahasan ini akan disusun penulis sebagai berikut:

Bab I, merupakan pendahuluan yang terdiri dari Latar belakang

masalah, Identifikasi masalah, Batasan masalah, Rumusan masalah, Kajian

pustaka, Tujuan penelitian, Kegunaan hasil penelitian, Definisi

operasional, Metode penelitian, dan Sistematika pambahasan.

Bab II, merupakan landasan teori yang terdiri dari Pengertian

Waris, Dasar dan Sumber Waris, Asas-asas Hukum Waris, Rukun dan

Syarat-syarat Waris, Faktor-faktor Terjadinya Kewarisan, Golongan Ahli

Waris dan Bagiannya, Penghalang Kewarisan.

Bab III, merupakan pelaksanaan pembagian warisan ahli waris

Anak Yang Di Asuh Oleh ibu Tiri di Kelurahan Pegirian Kecamatan

Semampir Kota Surabaya, menjelaskan hasil penelitian atau data

penelitian di lapangan tentang anak kandung yang tidak mendapatkan

bagian warisan di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir kota

Surabaya, yang memuat tiga bahasan, yakni: Pertama, gambaran umum

wilayah Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya, Kedua,

Praktek Pembagian Waris di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir

Kota Surabaya, Ketiga, Peran Tokoh masyarakat dalam menyelesaikan

persengketaan kasus penguasaan harta waris di Kelurahan Pegirian

(26)

17

Bab IV, merupakan analilis hukum Islam terhadap penguasaan

harta waris oleh ibu tiri di Kelurahan Pegirian Kec. Semampir Kota

Surabaya.

Bab V, yaitu penutup yang terdiri atas kesimpulan dari hasil analisis

yang menjawab rumusan masalah dan saran-saran untuk perbaikan dan

(27)

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Pengertian Waris

Kata waris berasal dari bahasa Arab Al-mīrath, dalam bahasa arab

adalah bentuk mas}dar dari kata waritha- yarithu- wirthan- mīrāthan,.

Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada

orang lain. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.1 Ilmu yang mempelajari

warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah fara>’id}. Kata

fara>’id} merupakan bentuk jamak dari farīḍah, yang diartikan oleh para ulama’

farrid}iyun semakna dengan kata mafrūḍah, yaitu bagian yang telah

ditentukan kadarnya.2 Warisan berarti perpindahan hak kebendaan dari

orang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup.3

Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan

sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang

ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari

peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.4

Harta warisan yang dalam istilah fara>’id} dinamakan tirkah

(peninggalan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal,

1 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 33.

2 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 11. 3 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1995), 13.

(29)

19

baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat Islam

untuk diwariskan kepada ahli warisnya.5

B. Dasar Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam mengatur hal ih}wal harta peninggalan

(warisan) yang ditinggalkan oleh si mayit, yaitu mengatur peralihan harta

peninggalan dari mayit (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris).

Adapun dasar-dasar hukum yang mengatur tentang kewarisan Islam adalah

sebagai berikut:

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bahagian yang telah ditetapkan”.6

5 Maman Abd Djalal, Hukum Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006 ), 39.

(30)

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.7

(31)

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari

Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.8

d. QS. An-nisa (4): 33

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah

menyaksikan segala sesuatu”.9

8 Ibid., 116.

(32)

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan

(33)

23

kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui

segala sesuatu”.11

Ayat-ayat dalam Al-qur’an di atas yang langsung berkenaan dengan

kewarisan adalah tiga ayat dalam surat an- Nisa yaitu ayat 11,12, dan 176.

Ayat 11 berbicara tentang beberapa hal : hak kewarisan anak laki-laki dan

perempuan, hak kewarisan ibu dan ayah, hak kewarisan ibu dan ayah bersama

dengan anak-anak berada dalam kedudukan yang sama.

Ayat 12 berbicara tentang dua hal : 1. hak warisan suami atau istri, 2. hak

saudara-saudara apabila pewaris adalah kalalah.

Ayat 176 juga berbicara tentang dua hal : 1. kalalah didefinisikan sebagai

“seorang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak, 2. Hak kewarisan

apabila menjadi kalalah.

2. Hadis Nabi yang antara lain diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:

َيِقَب اَمَف اَهِلَِِْ ُضِئاَرَفلا اْوُقَِْْا : َلَاَق َمَلَسَو ِهْيَلَع ُه ىَلَص ُيَنلا ِنَع ٍساَبَع ِنْبِإ ْنَع

َوُهَ ف

ٍرَكَذ ٍلُجَر ََْوَِِ

.

Artinya: “Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah bersabda: bagikanlah

warisan-warisan itu kepada yang berhak. Adapun sisanya adalah hak bagi ahli waris laki-laki yang dekat nasabnya”. (HR.

(34)

24

Artinya: “ bagilah harta pusaka diantara ahli waris menurut

Kitabullah (al-Qur’an)” dan jika masih tersisa maka berikanlah

kepada lelaki yang paling dekat kekerabatannya. (HR. Muslim).13

Dua Hadis yang disebutkan di atas menjadi landasan kewarisan as{obah yang

berlaku di kalangan ulama’ ahlusunah.

C. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam atau lazim disebut fara>’id} dalam literatur

hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang

mengatur peralihan harta dari orang yang meninggal kepada orang yang

masih hidup.

Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah

yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, hukum kewarisan Islam

mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam

hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Di samping itu hukum

kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda

dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini

memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu.

Hukum kewarisan digali dari keseluruhan ayat hukum dalam

Al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw

dalam sunnahnya. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang

berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan

harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu

terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah: asas ijbari, asas

(35)

25

bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang dan asas semata akibat

kematian.14

1. Asas Ijbari

Secara etimologis kata ijbari mengandung arti paksaan, yaitu

melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri dalam hal hukum waris

berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia

kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada

perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si

pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi

terjadi peralihan harta tersebut. Dengan perkataan lain, dengan adanya

kematian si pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli

warisnya, tanpa terkecuali apakah ahli warisnya suka menerima atau

tidak, demikian juga halnya bagi si pewaris.15

Asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :

a. Dari segi peralihan harta

b. Dari segi jumlah harta yang beralih

c. Dari segi kepada siapa harta itu beralih16

Unsur ijbari dari segi cara peralihan mengandung arti bahwa harta

orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan

siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Asas ijbari dalam peralihan ini terdapat

dalam firman Allah surah An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi

14 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 17. 15 Ibid., 18.

(36)

26

seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan

orang tua dan karib kerabat. Kata nasib berarti bagian atau jatah dalam

bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain. Dari kata nasib itu dapat

dipahami bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan si pewaris,

disadari atau tidak telah terdapat hak ahli waris.

Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian atau hak ahli

waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga

pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau

mengurangi apa yang telah ditentukan itu

Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa

mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara

pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat

mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan

orang yang berhak. Adanya unsur ijbari dapat dipahami dari kelompok

ahli waris sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat-ayat 11,12 dan 176

surah An-Nisa’.17

2. Asas Bilateral

Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam

adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak

garis kerabat, yaitu dari garis keturuan perempuan maupun garis

keturunan laki-laki.18 Asas bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam

17 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ... 20.

(37)

27

firman Allah dalam surah Al-Nisa’ (4) 7, 11, 12 dan 176. Asas bilateral

ini juga berlaku pula untuk kerabat garis ke samping yaitu melalui ayah

dan ibu.

Dari ayat-ayat di atas terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu

beralih ke bawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu) dan ke samping

(saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki

dan perempuan dan menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu dari

garis laki-laki dan garis perempuan. Inilah yang dinamakan asas

bilateral.19

3. Asas Individual

Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara

individual) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli

waris lainnya, dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris dari

harta pewaris, dimiliki secara perorangan, dan ahli waris yang lainnya

tidak ada sangkut paut sama sekali dengan bagian yang diperoleh

tersebut, sehingga individu masing-masing ahli waris bebas menentukan

(berhak penuh) atas bagian yang diperolehnya.

Ketentuan asas individual ini dapat dijumpai dalam ketentuan

Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian

masing-masing (ahli waris secara individual) telah ditentukan.20

4. Asas Keadilan Berimbang

(38)

28

Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara

hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan

keperluan dan kegunaan. Dalam hubungannya dengan hak yang

menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata

tersebut dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan

keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

Atas dasar pengertian tersebut di atas terlihat asas keadilan dalam

pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Secara mendasar dapat

dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam

Islam. Artinya sebagaimana pria, wanita pun mendapatkan hak yang sama

kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam

Al-Qur’an surat An-Nis>’ ayat 7 yang menanyakan kedudukan laki-laki dan

perempuan dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12,176 surat

An-Nis>’ secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima

warisan antara anak laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu, suami dan istri,

saudara laki-laki dan perempuan.21

5. Kewarisan Semata Akibat Kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta

hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain

harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya dia

masih hidup. Walau pun ia berhak untuk mengatur hartanya, hal tersebut

(39)

29

semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan

bukan untuk penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia.

Dengan demikian hukum waris Islam tidak mengenal seperti yang

ditemukan dalam ketentuan hukum waris menurut kitab undang-undang

hukum perdata (BW), yang dikenal dengan pewarisan secara ab intestato

dan secara testamen. Memang di dalam ketentuan hukum Islam dikenal

juga istilah wasiat, namun hukum wasiat terpisah sama sekali dengan

persoalan kewarisan.22

D. Rukun Dan Syarat Waris

Adapun rukun dan syarat waris ada 3 yaitu:

1. Al-Muwaris (pewaris)

Orang yang meninggal dunia dengan mewariskan hartanya.

Syaratnya adalah al-muwaris benar-benar telah meninggal secara hakiki,

secara yuridis (h}ukmy) atau secara takdiry berdasarkan perkiraan.

- Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan

dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia.

- Mati h}ukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui keputusan

hakim dinyatakan telah meninggal dunia, ini bisa terjadi seperti

dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (mafqu>d) tanpa

diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Melalui keputusan

hakim, setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan

(40)

30

meninggal. Sebagai keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat.

- Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia.

Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara

lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui

kabar beritanya, dan melahirkan dugaan kuat ia telah meninggal,

maka dapat dikatakan bahwa ia telah meninggal dunia.23

Menurut Amir Syarifuddin, al-mawaris adalah orang yang telah

meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang dapat beralih kepada

keluarga yang masih hidup. Matinya muwaris harus terpenuhi karena

merupakan syarat seseorang dapat dikatakan muwaris. Hal ini untuk

memenuhi kewarisan akibat kematian. Maka berdasarkan asas ijbari,

pewaris menjelang kematiannya tidak berhak menentukan kepada siapa

harta itu beralih, karena semua ditentukan secara pasti oleh Allah,

walaupun pewaris memiliki satu per tiga untuk mewasiatkan hartanya.24

2. Al-Waris (Ahli Waris)

Orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik

karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan, atau akibat

memerdekakan hamba sahayanya.

Syaratnya, ahli waris dalam keadaan hidup pada saat al-muwaris

meninggal. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang masih dalam

(41)

31

kandungan (al-h}aml). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat

dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau secara lainnya,

baginya berhak mendapatkan warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan

yang tegas mengenai paling sedikit dan paling lama usia kandungan. Ini

dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan

dinasabkan.

Ada syarat lain yang harus terpenuhi, yaitu bahwa antara

al-muwarris dan al-waris tidak ada halangan untuk mewarisi.25

Menurut Sayid Sabiq, ahli waris adalah orang yang berhak

menguasai dan menerima harta waris karena mempunyai sebab-sebab

untuk mewarisi yang dihubungkan dengan pewaris.26 Dengan syarat

dalam keadaan hidup, diketahui posisinya sebagai ahli waris dan tidak

ada penghalang mewarisi. Berbeda dengan waris yang hilang (mafqu>d),

maka pembagian waris dilakukan dengan cara memandang si mafqu>d

masih hidup, untuk menjaga hak si mafqu>d apabila masih hidup. Apabila

dalam waktu tertentu si mafqu>d tidak datang dan diduga meninggal maka

sebagian tersebut dibagi kepada ahli waris sesuai perbandingan saham

masing-masing. Sedangkan apabila terdapat kasus salah satu ahli waris

adalah anak yang masih dalam kandungan, maka penetapan keberadaan

25 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo,1995), 23.

(42)

32

anak tersebut saat kelahirannya. Oleh sebab itu, pembagian waris

ditangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.27

Adapun penjelasan yang lebih rinci tentang ahli waris akan

dikemukakan pada penjelasan macam-macam ahli waris dan

bagian-bagiannya.

3. Tirkah

Harta atau hak yang berpindah dari pewaris kepada ahli waris.

Harta tersebut dapat dikatakan tirkah apabila harta peninggalan si

mayit telah dikurangi biaya perawatan, hutang dan wasiat yang

dibenarkan oleh syara’ untuk diwarisi oleh ahli waris, atau istilah waris

disebut mauru>s.28

Dari pengertian di atas terdapat perbedaan antara harta waris

dengan harta peninggalan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah

semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang

ada pada seseorang saat kematianya, sedangkan harta waris (tirkah)

adalah harta peninggalan secara syara’ berhak diterima oleh ahli

warisnya29

E. Harta Bersama dan Pembagianya

a. Harta Bersama

27 Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama, 2002), 33.

28 Ibid., 4.

(43)

33

Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata

harta dan bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia “harta dapat

berarti barang-barang (uang dan seba gainya) yang menjadi kekayaan dan

dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta

bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan)

bersama-sama”30.

Sayuti Thalib dalam bukunya hukum kekeluargaan di Indonesia

mengatakan bahwa : “harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh

selama perkawinan diluar hadiah atau warisan”. Maksudnya adalah harta

yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa

perkawinan. Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang harta

benda dalam perkawinan pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

benda bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan

adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para

pihak tidak menentukan lain.

Mengenai hal ini Kompilasi Hukum Islam memberikan gambaran

jelas tentang harta bersama, yang dijelaskan dalam pasal 1 huruf f :

30 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemmen Pendidikan dan kebudayaan,

(44)

34

“Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang

diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sa ma suami istri selama dalam

ikatan perkawinan berlangsung, dan selanj utnya disebut harta bersama

tanpa imempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

b. Cara Pembagianya

Harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila

hubungan perkawianan itu sudah terputus. Hubungan pe rkawinan itu

dapat terputus karena kematian, perceraian, dan juga putusan

pengadilan.Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 37 dikatakan:

“bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing”. Dalam penjelasan pasa l tersebut dikatakan

bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” ialah hukum

agama, hukum adat dan hukum lainnya. Sekiranya penjelasan pasal 37

undang-undang no. 1 tahun 1974 tersebut dihubungkan dengan ketentuan

pasal 96 dan 97 KHI, penerapan hukum Islam dalam soal pembagian harta

bersama baik dalam cerai mati maupun cerai hidup sudah mendapatkan

kepastian positif. Karena dalam cerai mati pasal 96 ayat 1 menegaskan

“separuh harta bersama menjadi pasangan yang hidup lebih lama”. Status

kematian salah satu pihak, baik suami maupun istri harus jelas terlebih

dahulu agar penentuan tentang pembagian harta bersama menjadi jelas.31

F. Sebab-Sebab Kewarisan

31 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama

(45)

35

Hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga

macam:

1. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab

Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang

mewarisi dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran.

Kekerabatan merupakan sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat

karena kekerabatan merupakan unsur kausalitas adanya seseorang yang

tidak dapat dihilangkan begitu saja.32

Seperti kedua orang tua (ibu-bapak), anak, cucu, dan orang yang

bernasab dengan mereka. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:

……

“Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala

sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 75)33

2. Karena hubungan pernikahan

Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah

yang sah dan terjadi antara suami istri sekalipun belum terjadi

persetubuhan. Adapun suami istri yang melakukan pernikahan tidak sah

tidak menyebabkan adanya hak waris.

(46)

36

Pernikahan yang sah menurut syari’at Islam merupakan ikatan

untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan

selama ikatan pernikahan itu masih terjadi. Masing-masing pihak adalah

teman hidup dan pembantu bagi yang lain dalam memikul beban hidup

bersama. Oleh karena itu Allah memberikan sebagian tertentu sebagai

imbalan pengorbanan dari jerih payahnya, bila salah satu dari keduanya

meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka.

Atas dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama

sekali oleh ahli waris siapapun. Mereka hanya dapat terhijab nu>qs}an

(dukurangi bagiannya) oleh anak turun mereka atau oleh ahli waris yang

lain.34

3. Karena wala’

Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah

memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika

orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang

memerdekakannya berhak mendapatkan warisan.

Wala’ yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum,

disebut juga dengan istilah wala al-'itqi dan wala an-ni'mah.. Hal ini karena

pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari

statusnya sebagai hamba sahaya.35

34 Ibid., 20.

(47)

37

G. Penghalang Kewarisan

Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pewaris.

2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa

pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman

5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.36

Sedangkan menurut hukum islam halangan mewarisi adalah tindakan

atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena

adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak

dapat menerima hak waris. Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan

hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut:37

1. Perbudakan

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak

untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang

dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya.baik budak itu

sebagai qinnu>n (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan

merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah

menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan

yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan

(48)

38

penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka

tidak mempunyai hak milik.38

Para ulama sepakat bahwa perbudakan merupakan suatu hal yang

menjadi penghalang mewarisi berdasarkan petunjuk umum dari nash s}arih

yang menafikan kecakapan bertindak seorang hamba dalam segala bidang,

yaitu firman allah swt:39

“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan Dia menjadi beban atas penanggungnya.” (QS. An-Nahl: 76)

2. Pembunuhan

Para fuqaha telah sepakat dalam menetapkan pembunuhan sebagai

penghalang pewarisan. Hanya fuqaha dari golongan khawarij yang

mengingkarinya. Menurut fuqaha aliran Hanafiyah jenis pembunuhan

yang menjadi penghalang kewarisan ialah pembunuhan yang bersanksi

qhisas dan kaffarah.40

38 Muhammad Ali Ash Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 41.

39 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 30-31.

(49)

39

Pembunuhan yang bersanksi qisas adalah pembunuhan yang

dilakukan dengan sengaja untuk membunuh, menggunakan alat yang

dapat mematikan.

Adapun pembunuhan yang bersanksi kaffarah yaitu pembunuhan

yang dikenai sanksi pembebasan budak islam atau puasa dua bulan

berturut-turut.

Pembunuhan yang bersanksi kafarah ini ada 3 jenis yaitu :

a. Pembunuhan mirip sengaja misalnya sengaja melakukan

penganiayaan dengan pukulan tanpa niat membunuhnya, tetapi

ternyata yang dipukul meninggal dunia.

b. Pembunuhan keliru misalnya seorang pemburu yang menembak mati

sesuatu yang dikira monyet, setelah didekati ternyata manusia..

c. Pembunuhan dianggap keliru misalnya orang yang sedang membawa

benda berat tanpa sengaja terlepas menjatuhi saudaranya hingga

mati41.

Menurut fuqaha Malikiyah, jenis pembunuhan yang menjadi

penghalang mewarisi ada tiga, yakni sebagai berikut:

a. Pembunuhan dengan sengaja.

b. Pembunuhan mirip sengaja.

c. Pembunuhan tidak langsung yang disengaja, misalnya melepas

binatang buas atau persaksian palsu yang menyebabkan kematian

seseorang.

(50)

40

Sedangkan menurut fuqaha Syafi’i, pembunuhan dengan segala

cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris. Pembunuhan

yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh dengan menggunakan

alat-alat yang mematikan. Qisas adalah sanksi dari pembunuhan itu.

3. Berlainan Agama

Kedaan berlainan agama menghalangi seseorang memperoleh

harta warisan. Dalam hal ini yang dimaksud ialah antara ahli waris dengan

muwarist yang beda agama . ini sudah disepakati oleh seluruh ulama ,

semua ulama telah sepakat seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun

diwarisi oleh orang non muslim, apapun agamanya. Apabila seorang ahli

waris yang berbeda agama beberapa saat setelah meninggalnya pewaris

lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan sebelum dibagi-bagikan maka

seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu tetap terhalang untuk

mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut adalah sejak adanya

kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan dimulainya

pembagian harta peninggalan.

Demikian juga dengan orang murtad (orang yang meninggalkan/

keluar dari agama Islam) mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak

mewarisi harta peninggalan keluarganya yang beragama Islam. Orang

yang murtad tersebut berarti telah melakukan kejahatan terbesar yang

telah memutuskan shilah syari>ah.42 Oleh karena itu, para fuqaha telah

sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta warisan dari

(51)

41

kerabatnya yang beragama Islam.43 Jumhur fuqaha berpendapat bahwa

orang yang murtad, baik laki-laki atau perempuan tidak berhak atas harta

peninggalan dari muwa>ri>th yang beragama Islam, murtad atau kafir

begitupun sebaliknya.

4. Berlainan Negara

Berlainan Negara antara sesama muslim yang dimaksud adalah

ibarat suatu daerah yang ditempat tinggali oleh muwarrist dan ahli waris,

baik daerah itu berbentuk kesultanan, kerajaan, maupun repuplik.

Dua negara bisa dikatakan berlainan negara menurut Ibnu Abidin

ditandai dengan 3 (tiga) ciri sebagai berikut :

a. Angkatan perangnya berlainan.

Artinya setiap negara mempunyai kesatuan angkatan perang

tersendiri

b. Kepala negaranya berlainan.

Yakni setiap negara mempunyai kepala negara sendiri, baik kepala

negranya bernama sultan, raja maupun presiden.

c. Tidak ada keterikatan kekuasaan satu sama lain.

Jika salah satu dari dua negara yang masing-masing mempunyai kepala

negara dan angkatan perang sendiri mengadakan peperangan dengan

negara yang lain, maka kedua negara tersebut merupakan dua negara

(52)

42

yang berbeda-beda, sebab ikatan kekuasaan negara tersebut sudah

terputus oleh karena adanya permusuhan.

menurut jumhur ulama’ tidak menjadi penghalang mewarisi

dengan alasan hadis yang melarang warisan antara dua orang yang

berlainan agama. Maf|hum mukha>lafah-nya bahwa ahli waris dan pewaris

yang sama agamanya dapat saling mewarisi meskipun berbeda negaranya.

Dua negara dikatakan berbeda ditandai dengan adanya tiga ciri berikut:44

yakni berlainan menurut hukumnya, berlainan menurut hakikatnya dan

berlainan menurut hakikat sekaligus hukumnya.

H. Ahli waris dan Bagiannya

1. Kelompok Ahli Waris

Ahli waris adalah orang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.45

Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

1) Golongan laki terdiri dari: ayah, anak laki, saudara

laki-laki, paman, dan kakek.

2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dari nenek.

44 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif,1994). 106

(53)

43

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda dan janda.

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda, atau duda.

Selain itu ada ahli waris utama yang didalam Hukum Waris Islam,

keberadaan salah satu pihak tidak menjadi penghalang bagi pihak lain

untuk menerima waris. Ahli waris utama terdiri dari enam pihak, mereka

adalah janda, duda, ibu, anak perempuan, bapak dan anak laki-laki.46

2. Besarnya bahagian

Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian,

bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga

bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki,

maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak

perempuan.47

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan

anak, bila ada anak ayah mendapat seperenam bagian.

Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau

lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia

mendapat sepertiga bagian. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa

sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

46 Ibid, 55.

(54)

44

Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meningalkan

anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat

seperempat bagian.

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak

meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda

mendapat seperdelapan bagian.48

Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,

sedangkan ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah,

maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut

bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang

atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila

saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki

kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu

dengan saudara perempuan.

Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam

harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.49

Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu

melaksanakan hak dan kewajibannya, maka bagianya diangkat wali

berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarga.

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

48 Ibid, 54.

(55)

45

Bila mana pewaris meningalkan warisan harta peninggalan, maka

oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk

beberapa orang sebagai pelaksana pembagian hartya warisan dengan tugas:

a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda

bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli

waris yang bersangkuatan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.

b. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai

dengan pasal 175.50

Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta

warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat

mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan

pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak

menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan

gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.51

Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya

kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana

semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang

bersangkutan. Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak

dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang

memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau

50 Ibid

(56)

46

lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris

yang berhak sesuai dengan bagianya masing-masing.52

Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masing-masing

istri berhak mandapatkan bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan

suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para

ahli warisnya.53

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli

warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas

putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasannya kepada Baitul Mal

untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.54

52Ibid

(57)

BAB III

PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN AHLI WARIS ANAK YANG DIASUH OLEH IBU TIRI DI KELURAHAN PEGIRIAN KECAMATAN

SEMAMPIR KOTA SURABAYA

A. Gambaran Umum Masyarakat Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya

1. Letak dan Keadaan Daerah

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Surabaya. Kelurahan Pegirian adalah nama sebuah Kelurahan yang terletak di Surabaya. Kelurahan pegirian merupakan salah satu wilayah Kecamatan Semampir disebelah Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:1

Sebelah Utara : Kelurahan wonokusumo kecamatan semampir Sebelah Selatan : Kelurahan sidotopo kecamatan semampir Sebelah Barat : Kelurahan ujung kecamatan semampir

Sebelah Timur : Kelurahan sidotopo wetan kecamatan semampir Kelurahan Pegirian merupakan salah satu dari 5 Kelurahan yang terletak di Kecamatan Semampir. Di Kelurahan Pegirian itu sendiri terdiri dari 10 (sepuluh) dusun, antara lain:2

1. Dusun wonokusumo kidul, 2. Dusun wonokusumo lor, 3. Dusun wonokusumo wetan 4. Dusun wonokusumo kulon 5. Dusun

1 Sumber Data Statistik Kelurahan Pegirian, 2016.

(58)

48

wonokusumo jaya 6. Dusun wonosari 7. Dusun Wonokusumo Bhakti 8. Dusun tenggumung 9. Dusun jatisurono 10. Dusun jatipurwo

Keadaan daerah atau wilayah Pegirian tidak jauh berbeda dari daerah lain di Kecamatan Semampir, yaitu beriklim tropis yang meliputi dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada musim kemarau terjadi antara bulan April sampai dengan September, jika musim kemarau tiba keadaan tanahnya begitu kering dan tandus, dan banyak pula sumur-sumur yang airnya surut, begitu pula dengan sungai-sungainya.

Sedangkan pada musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai bulan Maret, jika musim hujan tiba sering terjadi banjir karena letaknya berada di dataran rendah.

2. Keadaan Geografis

Pegirian mempunyai luas wilayah sekitar ± 163 Ha dengan jumlah penduduk ± 29250 jiwa3. Dalam kegunaan tanah untuk lebih jelasnya keadaan geografis Pegirian dapat dilihat di bawah ini:

a. Pemukiman dengan luas tanah ±150 ha b. Jalan dengan luas tanah ±13 ha

Kalau dilihat dari keterangan di atas, bahwa tanah pemukiman warga menempati urutan yang lebih mendominsasi dibandingkan luas jalan

Gambar

Tabel AHLI WARIS

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif untuk mengetahui pengaruh keahlian independensi dan profesionalitas pengawasan fungsional

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah pada kesempatan

Buku Kemampuan Berbahasa Indonesia Murid-murid Ke/as III SMP Negeri Jawa Barat : Membaca dan Menulis ini semula merupakan naskah la- poran penelitian yang disusun

Industri manufaktur tentunya pada mesin/peralatan sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan ketika proses produksi dimulai hingga selesai, namun tentunya mesin /

Hasil penelitian uji kuburan menunjukkan bahwa dari 50 jenis kayu 98% rusak oleh serangan rayap dengan perincian 28 jenis termasuk kelas awet V atau 56%,15 jenis kelas awet IV atau

Dari informasi ini terlihat bahwa kata ta‟lim di dalam al-Qur ‟ an mengacu kepada adanya sesuatu berupa pengetahuan yang diberikan kepada seseorang. Jadi sifatnya

Akta kelahiran anak luar kawin tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak dengan tercantum nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan

Rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah power tungkai dan keseimbangan dinamis secara bersama-sama memberikan kontribusi yang positif dan signifikan terhadap hasil