• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSINGGUNGAN HAK CIPTA DAN MEREK STUDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSINGGUNGAN HAK CIPTA DAN MEREK STUDI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PERSINGGUNGAN HAK CIPTA DAN MEREK : STUDI KASUS SENGKETA LOGO BADAK DAN SENGKETA LOGO NATASHA

Boy Prawiranegara dan Agus Sardjono

Program Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Depok, 16424

Abstrak

Kurangnya pemahaman mengenai perbedaan antara perlindungan hak cipta dan merek

menyebabkan munculnya sengketa hak cipta yang sesungguhnya merupakan sengketa merek.

Pada dasarnya Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi

Ciptaan. Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah karya yang

memiliki sifat khas dan pribadi yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan,

seni, atau sastra. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang

dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman. Sedangkan perlindungan merek pada

dasarnya bertujuan melindungi produk, baik itu berupa barang ataupun jasa, dari asosiasi yang

keliru terkait sumber dari produk tersebut yang kemudian akan melindungi produsen maupun

konsumen atas produk yang bersangkutan. merek sendiri didefinisikan sebagai tanda yang

berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari

unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan

barang atau jasa. Perbedaan antara kedua perlindungan diatas sering menjadi kabur terutama

ketika kekayaan intelektual yang disengketakan berupa logo yang dijadikan merek. Perlindungan

ganda memang dimungkinkan terhadap logo yang dijadikan merek namun penerapannya

haruslah melihat kembali kepentingan sebenarnya dibalik klaim yang diajukan penggugat. Jika

ingin melindungi sebuah Ciptaan dari tindakan yang melanggar hak eksklusif seseorang atas

sebuah Ciptaan (baik hak ekonomi maupun moral) maka gunakanlah perlindungan hak cipta.

Namun gunakanlah perlindungan merek apabila yang ingin dilindungi adalah sebuah produk

(2)

mengganggu tingkat penjualan maupun reputasi produk tersebut. Kata kunci : Hak Cipta, Merek,

Persinggungan HKI.

Abstract

Lack of understanding of the difference between the protection of Copyright and

protection of Trademark led to Copyright disputes which actually, if correctly characterized, at

the heart of Trademark domain. Copyright deals with protection of works in the domain of

literature, science, and art. The set of rights copyright law offers creators all relate to exploitation

of the work itself. On the other hand, Trademark law deals with association of a product, it gives

the right holder ability to attempt to control the association consumers make when they

encounter a mark. Trademark law seek to protect a product (services or goods) from false

association. Law No. 15 of 2001 regarding Marks defined Trademark as sign in the form of a

picture, name, word, letters, numeral composition of colours, or a combination of said elements,

having distinguishing features and used in the activities of trade in goods or services.The line

between these two different regime is often blurred when it comes to logo. Logo, particularly

when they are used as a mark, is one of those spaces of intellectual property where there is great

deal of overlap between Copyright and Trademark. Even though Copyright and Trademark

protection may be applied to such a logo, its application, when a dispute arise, should depend on

the interest the claimant seek to protect. Copyright protection should be applied if the interest

seek to protect are the incentives given by Copyright law and the economic rights that come form

the limited monopoly copyright law grants. Trademark protection applied when the interest seek

to protect inhere in integrity, reputation, or false association of a product.

Keywords : Copyright, Trademark, Intellectual Property Rights Interfaces

Pendahuluan

Untuk memudahkan konsumen mengenali barang atau jasa yang diinginkannya maka

dibuatlah suatu merek. merek berfungsi sebagai sarana bagi konsumen untuk mengidentifikasi

sumber barang. Fungsi yang demikian mengharuskan suatu merek berbeda dengan merek lain

(3)

Dengan adanya kemudahan mengidentifikasi sumber barang ini maka konsumen akan lebih

mudah dalam memilih barang sesuai dengan reputasi yang diinginkannya.

Dalam dunia perdagangan sering terjadi peniruan merek terutama terhadap merek yang

memiliki reputasi baik. Pelanggaran merek ini dilakukan agar konsumen mengira produk yang

akan dibelinya tersebut seolah-olah memiliki kualitas baik sesuai dengan yang diharapkan

konsumen di pasar pada umumnya. Pelanggaran merek ini umumnya dilatarbelakangi

pertimbangan ekonomi karena untuk membangun reputasi yang baik biasanya produsen harus

menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Adanya kerugian-kerugian diatas sejatinya merupakan latar belakang atau kepentingan

dibalik suatu klaim pelanggaran merek. Namun dalam praktiknya, penulis menemukan adanya

kekurangpahaman hakim dalam menganalisa kepentingan sesungguhnya dibalik suatu klaim

terhadap sengketa HKI yang objeknya memilik perlindungan HKI yang bersinggungan.

Kekurangpahaman tersebut terefleksi dalam Sengketa logo “Badak” (Putusan Pengadilan

Niaga No. 28/Hak cipta/2010/PN.Niaga.JKT.PST Tanggal 21 Juli 2010 jo Putusan Mahkamah

Agung RI No. 766 K/Pdt.Sus/2010 Tanggal 30 November 2010), dan Sengketa logo

“NATASHA” (Putusan Pengadilan Niaga No. 02/HAKI /C/2009/PN.NIAGA.Smg jo Putusan

Mahkamah Agung Nomor : 698 K/Pdt.Sus/2009). Kedua sengketa diatas dianggap sebagai

sengketa hak cipta, namun apabila melihat kepentingan sesungguhnya dibalik klaim yang

diajukan penggugat, sengketa tersebut seharusnya merupakan sengketa merek.

Dalam kedua sengketa diatas terjadi persinggungan antara hak cipta dan merek.

Persingungan dalam kedua sengketa diatas terjadi karena logo adalah salah satu bentuk kekayaan

intelektual yang perlindungannya dapat berupa hak cipta maupun merek. Meskipun kedua

perlindungan tersebut dimungkinkan ada pada objek yang sama namun lingkup perlindungan hak

cipta dan merek terhadap objek tersebut berbeda karena antara perlindungan hak cipta dan merek

terdapat perbedaan mendasar terutama dari segi tujuan.

Pembahasan

Dalam praktiknya sering ditemukan adanya kasus hak cipta yang sebenarnya merupakan

(4)

intelektual yang berbeda. Namun perbedaan tersebut terkadang menjadi kabur ketika

membicarakan kekayaaan intelektual berupa logo yang didaftarkan sebagai merek. Dalam

sebuah jurnal hak kekayaan intelektual, terkait persinggungan antara hak cipta dan merek, Agus

Sardjono memberikan gambaran kasus yang rentan terhadap persinggungan tersebut sebagai

berikut : 1

A sebuah perusahaan memesan logo dari seseorang bernama B. Kemudian setelah B

selesai membuat logo tersebut, kita asumsikan logo tersebut merupakan Ciptaan atau dengan

kata lain gambar yang dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 12 ayat (1) f Undang-Undang No.

19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Karena logo tersebut merupakan Ciptaan, B dapat disebut

sebagai Pencipta berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

A kemudian mendaftarkan logo tersebut ke Direktorat Hak Cipta, DJHKI. Berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang ada, Direktorat Hak Cipta biasanya akan menerima

pendaftaran itu, meskipun dalam ranah perlindungan hak cipta, pendaftaran bukanlah syarat

untuk adanya perlindungan hak cipta. A sebagai pihak yang melakukan pendaftaran itu

kemudian memperoleh kualifikasi sebagai pemegang hak cipta atas logo tersebut.

Selanjutnya karena niat perusahaan itu ketika memesan logo adalah memang untuk untuk

menjadikannya sebagai merek, maka A kemudian mendaftarkan logo tersebut ke Direktorat

Merek. Setelah terdaftar, logo itu dilekatkan pada sebuah produk.

Perlindungan manakah yang berlaku terhadap logo tersebut ? hak cipta ataukah merek ?

Apakah keduanya dapat diberlakukan secara bersamaan apabila terjadi sengketa terhadap logo

tersebut ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat beberapa komentar yang khusus

membahas mengenai perbedaan antara hak cipta dan merek.2 Berikut beberapa definisi yang

perlu diperhatikan dalam memahami perbedaaan antara perlindungan hak cipta dan merek :

Pasal 1 angka (1) UU 19 2002 hak cipta

       

1 Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 32.

2 Adanya pemahaman yang mendalam mengenai perbedaan antara Hak cipta dan merek dapat membantu

(5)

Hak cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau

memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi

pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.3

Pasal 1 angka (3) UU 19 2002 hak cipta

Ciptaan adalah setiap karya Pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu

pengetahuan, seni, atau sastra”.4

Pasal 1 angka (1) UU 15 2001 merek

Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan

warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan

dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.5

Pasal 1 angka (2) UU 15 2001 merek

Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh

seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan

dengan barang-barang lainnya”.6

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimak beberapa clue yang sesungguhnya dan

seharusnya mendasari penafsiran tentang subject matter dari tiap-tiap peraturan di atas.7

Beberapa hal berikut adalah analisis tentang clue yang dimaksud:

1. Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi

ciptaannya (the works). Dengan demikian, yang menjadi objek adalah ciptaan (works) itu

        3

Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 2002, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 4220, Ps. 1 angka 1.

4 Ibid. 5

Indonesia, Undang-Undang Tentang merek. UU No. 15 2001, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Ps. 1 angka 1.

6 Ibid.

7 Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, Volume 1 Nomor 1,

(6)

sendiri yang dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman, bukan produk yang

ada di dalam kemasan atau barang-barang (produk) yang dibuat berdasarkan pola desain

tertentu.

2. Kemasan biasanya digunakan sebagai penanda (merek) dari produk yang dikemas.

Dengan demikian, komersialisasinya dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan

atas produknya. Contoh : produknya adalah kacang. Kacang itu dikemas di dalam plastik,

karton, atau kertas yang diberi gambar dan tanda-tanda lainnya. Meskipun gambar pada

kemasan tentu saja diciptakan oleh seseorang, tetapi gambar itu sendiri tidak

dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau untuk

mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya

dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness). Di sinilah domain hukum merek.

3. Ciptaan (works) yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah ciptaan

dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. WIPO IP Handbook dengan jelas

menyebutkan bahwa “Copyright protection is above all one of the means of promoting,

enriching, and disseminating the national cultural heritage”. Dengan demikian, ada

kualitas tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai

tanda merek (mark), dan bukan pula sebagai pola (pattern). Ciptaan dibuat dalam

kaitannya dengan ilmu pengetahuan (misal : text book), seni (musik, lukisan, atau

patung), atau sastra (puisi, novel, dsb).8

Agus Sardjono menyimpulkan perbedaan antara hak cipta dan merek sebagai berikut : 9

- Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan komersialisasi Ciptaan.

Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang dikomersialkan

melalui perbanyakan atau pengumuman.

- Kemasan biasanya digunakan sebagai penanda (merek) dari produk yang dikemas.

Dengan demikian komersialisasinya dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan

atas produknya. Bukan kemasannya yang bagus, tapi produknya yang bagus. Kemasan

beserta gambar-gambarnya hanya menunjukan sumber pembuat produk tersebut.

Meskipun gambar itu sendiri diciptakan oleh seseorang, tetapi gambar itu sendiri tidak

        8 Ibid., hal. 31.

(7)

dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau untuk

mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya

dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness).

- Ciptaan yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta adalah ciptaan dalam

lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. "Copyright protection is above all one of the

means of promoting, enriching, and disseminating the national cultural heritage". Dengan

demikian ada kualitas tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak

dimaksudkan sebagai tanda merek, dan bukan pula sebagai pola. Ciptaan dibuat dalam

kaitannya dengan ilmu pengetahuan (text book), seni (musik, lukisan, patung), atau sastra

(puisi, novel, dsb) .10

Terdapat beberapa hal yang bisa disimpulkan dari pendapat-pendapat diatas.

Perlindungan hak cipta dan perlindungan merek pada dasarnya memiliki tujuan yang berbeda.

hak cipta bertujuan untuk memacu Pencipta atau “calon-calon Pencipta” menggunakan

kreatifitas yang dimilikinya untuk memproduksi Ciptaan. Hak yang diberikan dalam

Perlindungan hak cipta merupakan sebuah insentif untuk memacu kreatifitas. Konsep

perlindungan hak cipta didasari adanya pandangan bahwa apabila perlindungan hak cipta

(beserta insentif-insentif yang ada didalamnya) tidak ada, maka sebagian besar orang akan

enggan untuk menjadi Pencipta.

Perlindungan merek, disisi lain, tidak menempatkan kreatifitas sebagai tujuan utama.

Bahkan dikatakan bahwa tidak diperlukan kreatifitas untuk membuat suatu merek.11

Perlindungan merek sangat erat kaitannya dengan menjaga asosiasi yang ada antara suatu

produk, merek, dan produsen dari produk yang bersangkutan. Semangat dari kerangka hukum

perlindungan merek pada dasarnya bertujuan melindungi produk, baik itu berupa barang ataupun

jasa, dari asosiasi yang keliru terkait sumber dari produk tersebut. Hak ekslusif yang terdapat

dalam hak cipta memberikan Pencipta hak untuk mengendalikan distribusi dari Ciptaan itu

       

10 Lihat juga Jurnal yang ditulis oleh Bernt Hugenholtz, berjudul : Works of Literature, Science and Art.

http://www.ivir.nl/publications/hugenholtz/100jrAUTWET.pdf dimana terdapat gagasan yang menegaskan bahwa perlindungan Hak cipta hanya berlaku apabila Ciptaan tersebut dalam lingkup ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Suatu karya intleketual berada di luar ketiga lingkup tersebut maka sesungguhnya tidak dilindungi Hak cipta.

11 Penulis berpendapat bahwa kreatifitas, dalam pembuatan merek, tetap dibutuhkan dalam rezim merek.

(8)

sendiri. Sedangkan Hak atas merek merupakan hak yang memberikan pengendalian terhadap

asosiasi yang akan didapatkan konsumen ketika melihat suatu merek.

Perbedaan tujuan ini juga membedakan kepentingan dari klaim pelanggaran hak cipta dan

merek. Dalam hal terjadi sengketa pelanggaran hak cipta, terutama bila terjadi pelanggaran

terhadap hak ekonomi dari hak cipta, kepentingan dibalik klaim yang diajukan oleh penggugat

adalah tergugat telah melanggar hak eksklusif milik penggugat dengan mengkomersialisasikan

Ciptaan itu sendiri baik dengan perbanyakan maupun pengumuman Ciptaan.

Sedangkan dalam sengketa merek, kepentingan dibalik klaim yang diajukan penggugat

adalah terkait perlindungan terhadap penjualan dari produk yang dilekatkan merek yang

disengketakan itu sendiri. Pemegang merek merasa komersialisasi produknya terganggu karena

tindakan tergugat yang melanggar asosiasi yang muncul dari produk milik penggugat. Penggugat

menginginkan ketika konsumen di pasar melihat merek dari penggugat melekat dalam sebuah

produk, konsumen mengasosiasikan produk tersebut dengan penggugat sebagai sumber dari

produk tersebut. Penggugat tidak ingin produk (barang maupun jasa) yang bukan hasil

produksinya diasosiasikan dengan dirinya.

Kembali kepada pertanyaan “apabila logo yang dipesan A tersebut kemudian digunakan

sebagai merek perlindungan manakah yang berlaku ? hak cipta ataukah merek ? Apakah

keduanya dapat diberlakukan secara bersamaan apabila terjadi sengketa terhadap logo tersebut ?

Menurut Agus Sardjono berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 19

Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek,

memang dimungkinkan adanya double protection terhadap objek tersebut. Namun apabila kita

cermati betul tujuan dari pengaturan masing-masing peraturan itu (teleological perspective) dan

sistematika pengaturannya, maka sejatinya logo yang dipesan A tersebut hanya akan dilindungi

perlindungan merek.12

Rumusan-rumusan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang

Hak Cipta memberikan peluang bagi A untuk menggunakan perlindungan hak cipta atas logonya

tersebut meskipun sebenarnya yang terjadi adalah pelanggaran merek. Hal semacam ini dapat

       

(9)

terjadi karena dalam pelanggaran merek hampir selalu terdapat tindakan perbanyakan logo yang

dijadikan merek.

Perlindungan hak cipta juga kerap diterapkan terhadap sengketa yang objeknya berupa

merek dengan alasan adanya pendaftaran Ciptaan terhadap merek tersebut. Dalam praktek

banyak gambar-gambar yang didaftarkan sebagai hak cipta tetapi sesungguhnya akan digunakan

sebagai merek.13 Hal ini semakin memperkeruh batasan perlindungan hak cipta dan merek

terhadap suatu karya. Disini penegak HKI harus lebih memahami perbedaan antara perlindungan

hak cipta dan merek terutama dari segi tujuan. Penafsiran terhadap undang-undang (dalam hal ini

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 15 Tahun

2001 Tentang Merek) yang dilakukan secara parsial berpotensi menimbulkan gesekan, terutama

disebabkan karena undang-undang tersebut memberi peluang untuk adanya gesekan itu.

Dalam ranah akademik, persoalan ini dimaknai sebagai titik singgung perlindungan HKI

yang disebabkan karena bunyi norma undang-undang yang memiliki makna ganda.14 Makna

ganda tersebut dapat membuat garis pemisah antara suatu perlindungan HKI dengan lainnya

menjadi samar-samar. Ketika hal ini terjadi, pemahaman terhadap tujuan dari masing-masing

perlindungan kekayaan intelektual tersebut dapat memperjelas garis pemisah yang sebelumnya

samar-samar tersebut.

Jika ingin melindungi sebuah Ciptaan dari tindakan yang melanggar hak eksklusif

seseorang atas sebuah Ciptaan (baik hak ekonomi maupun moral) maka gunakanlah

perlindungan hak cipta. Namun gunakanlah perlindungan merek apabila yang ingin dilindungi

adalah sebuah produk (barang maupun jasa) dari adanya pemalsuan asosiasi oleh pihak lain

(kompetitor) yang dapat mengganggu tingkat penjualan maupun reputasi produk tersebut.

ANALISIS KASUS

Sengketa Hak Cipta Logo Badak (Hak cipta : Putusan Nomor 28/ hak cipta/ 2010/ PN. Niaga. JKT. PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 766 K/ Pdt Sus/ 2010).

       

(10)

Gambar 115

Wen Ken Drug, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Singapura, adalah produsen

minuman dengan merek Cap Kaki Tiga disertai dengan Logo Badak. Dalam keterangannya, logo

tersebut telah digunakan Wen Ken Drug sejak tahun 1937. merek Cap Kaki Tiga dengan logo

Badak milik Wen Ken Drug adalah merek yang sudah diperkenalkan atau dipromosikan ke

publik sejak tahun 1937. Wen Ken Drug mengatakan bahwa promosi merek Cap Kaki Tiga

dengan Lukisan Badak tersebut telah dilakukan olehnya ke seluruh dunia khususnya Asia

sehingga sudah menjadi merek yang sangat terkenal.

Pada tahun 1980 Wen Ken Drug dan Tjio Budi Yuwono pernah melakukan kerja sama

dalam memproduksi, menjual, memasarkan, dan mendistribusikan produk minuman larutan

penyegar dengan mempergunakan merek Cap Kaki Tiga hingga akhirnya keduanya memutuskan

hubungan kerja sama pada tahun 2008. Setelah kerja sama keduanya berakhir, Wen Ken Drug

mengetahui adanya penggunaan logo Badak serta adanya pendaftaran Ciptaan logo Badak oleh

Tjio Budi Yuwono (TBY). Wen Ken Drug kemudian, melalui kuasa hukumnya, melakukan

gugatan pembatalan pendaftaran Ciptaan lukisan dengan judul “Badak dan Tulisan Laroetan

Penjegar” nomor 028036 (27 Juli 2005) dan lukisan dengan judul “Badak + Kaligrafi Arab &

Tulisan Larutan Penyegar Badak” nomor 027523 (11 Agustus 2004) keduanya atas nama Tjio

Budi Yuwono. Gugatan didasarkan pada adanya itikad tidak baik yang dilakukan Tjio Budi

Yuwono (Tergugat) dengan tanpa seizin maupun sepengetahuan Penggugat mendaftarkan

lukisan atau Logo Badak yang telah digunakan Penggugat sebagai merek sejak tahun 1937

       

15

(11)

tersebut. Selain gugatan pembatalan pendaftaran Ciptaan, Penggugat juga menggugat TBY

dalam perkara yang terpisah dengan gugatan pembatalan pendaftaran merek.

Bagi Penggugat, sejak tahun 1937, Logo Badak tersebut merupakan satu kesatuan

dengan merek Cap Kaki Tiga yang dimilikinya. Tergugat, selain mendaftarkan hak cipta kedua

Logo Badak tersebut atas namanya, juga menggunakan logo tersebut sebagai merek atas produk

minuman yang diproduksinya. Hal ini menyebabkan adanya dua produk minuman larutan

penyegar di pasar yang sama-sama menggunakan Logo Badak dalam kemasannya. Penggugat

keberatan dengan hal tersebut karena kerjasama antara keduanya sudah berakhir dan Penggugat

sudah tidak memberikan izin kepada Tergugat terhadap penggunaan Logo Badak yang

disengketakan.

Analisis Terhadap Sengketa Logo Badak

Apakah kepentingan dibalik klaim yang diajukan oleh Penggugat ? Penggugat keberatan

terhadap penggunaan Logo Badak yang dilakukan oleh Tergugat yang digunakan dalam produk

minuman yang diproduksi oleh Tergugat. Penggugat merasa dirugikan karena penggunaan logo

tersebut dapat berdampak negatif terhadap penjualan produk minuman yang dilakukan

Penggugat. Dampak negatif tersebut terutama terhadap tingkat penjualan dimana kemungkinan

besar akan berkurang akibat adanya pengambilan sebagian pasar oleh Tergugat.

Penggugat merasa logo tersebut merupakan haknya karena sejak tahun 1937 Penggugat

telah memperkenalkan atau mempromosikan ke publik merek Cap Kaki Tiga beserta logo Badak

yang merupakan satu kesatuan dalam produknya. Penggugat merasa logo Badak tersebut

merupakan media untuk mengasosiasikan Penggugat dengan produknya yang telah memiliki

reputasi yang baik.

Perlu diketahui bahwa terhadap logo Badak tersebut selain sengketa hak cipta (Putusan

Nomor 28/ hak cipta/ 2010/ PN. Niaga. JKT. PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 766 K/

Pdt Sus/ 2010) terdapat juga sengketa merek (Putusan Nomor 29/ merek/ 2010/ PN. Niaga. JKT.

PST. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 767 K/ Pdt Sus/ 2010). Dalam sengketa merek

tersebut Penggugat (WKD) keberatan dengan penggunaaan dan pendaftaran lukisan Badak oleh

Tergugat (SBS) karena lukisan tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek

(12)

Dalam sengketa hak cipta (Putusan No. 28 hak cipta/ 2010/PN. Jkt.Pst Jo. Putusan 766 K

Pdt Sus 2010) Objek : Lukisan Badak 028036 dan 027523 Penggugat menyatakan bahwa dia

adalah yang pertama kali mengumumkan lukisan Badak tersebut yang digunakan dalam

perdagangan larutan penyegar yang melekat pada merek Cap Kaki Tiga. Pernyataan ini

memperjelas peruntukan dari lukisan Badak sebagai merek atau dengan kata lain komersialisasi

dilakukan bukan terhadap lukisan Badak namun terhadap produk minuman yang diproduksi oleh

Penggugat.

Dalam sengketa merek(Putusan No. 29 merek/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Jo. Putusan 767 K

Pdt Sus 2010) Objek : “Merek Lukisan Badak” Penggugat berargumen bahwa merek Cap Kaki

Tiga dengan lukisan Badak adalah satu kesatuan yang merupakan merek milik Penggugat

sehingga Penggugat (WKD) keberatan dengan penggunaaan dan pendaftaran lukisan Badak oleh

Tergugat (SBS) yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan lukisan Badak milik

Penggugat.

Berdasarkan argumen-argumen yang disampaikan Penggugat dalam kedua sengketa

diatas, kepentingan Penggugat terhadap logo Badak sejatinya merupakan kepentingan merek.

Penggugat tidak hanya keberatan dengan perbanyakan atau pengumuman logo Badak semata

melainkan terhadap perbanyakan atau pengumuman yang diikuti pelekatan logo Badak tersebut

pada produk yang tidak diproduksi olehnya.

Kesimpulan

Menurut penulis kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim

merek. Penggugat tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang

diproduksi oleh Tergugat. Kerugian yang dialami Penggugat bukan akibat perbanyakan Logo

Badak semata, tapi lebih karena adanya pelekatan logo badak dalam produk yang diproduksi

oleh Tergugat. Apabila Tergugat hanya melakukan perbanyakan terhadap Logo Badak semata

tanpa menjadikannya sebuah merek maka hal tersebut bisa jadi tidak merugikan Penggugat,

justru yang terjadi adalah Tergugat membantu Penggugat mengiklankan produknya.

Penggugat merasa Logo badak tersebut merupakan haknya karena merupakan satu

kesatuan dengan merek Penggugat yang terdaftar dengan nama "Cap Kaki Tiga". Hal ini

(13)

selalu diikuti dengan adanya logo Badak, sehingga menurutnya lukisan badak merupakan satu

kesatuan dengan merek Penggugat yang terdaftar dengan nama Cap Kaki Tiga.

Salah satu hal yang menarik adalah adanya fakta bahwa antara Penggugat maupun

Tergugat pada awalnya merupakan rekan bisnis akan mempersulit untuk mengatakan bahwa

dalam penggunaan logo badak tersebut telah terjadi kerugian di pihak konsumen akibat adanya

penurunan kualitas dalam produk milik Tergugat. Hal ini mengingat jauh sebelum sengketa

tersebut terjadi keduanya memang sempat bersama-sama membangun produk tersebut dan besar

kemungkinan kualitas dari kedua produk yang dihasilkan sama karena Penggugat telah

memberikan lisensi sehingga melakukan pengawasan kualitas terhadap kinerja Tergugat selama

kurang lebih 30 tahun memproduksi produk tersebut. Meskipun sulit untuk mengatakan terjadi

kerugian di pihak konsumen karena adanya penurunan kualitas, adanya kepentingan Penggugat

yang tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang diproduksi oleh

Tergugat tidak menghalangi penulis untuk mengatakan bahwa sengketa ini merupakan sengketa

merek.

Bagaimana pemahaman Majelis Hakim yang menangani sengketa hak cipta tersebut

terhadap penerapan Perlindungan hak cipta dan merek ? Berdasarkan pendapat-pendapat dari

Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut yang terdapat dalam putusan baik tahap judex

factie (Pengadilan Niaga) maupun tahap judex juris (Pengadilan Mahkamah Agung), terutama

yang telah penulis jabarkan sebelumnya, Penulis melihat Majelis Hakim gagal dalam

mengidentifikasi kepentingan dibalik klaim yang dilakukan Penggugat dan mengaitkannya

dengan semangat dari Perlindungan hak cipta dan merek. Selain itu Penulis melihat adanya

percampuran pemahaman antara Perlindungan hak cipta dan merek.

Dalam tingkat Pengadilan Niaga pendapat Majelis Hakim “Bahwa yang menjadi pokok

permasalahan dalam perkara ini, apakah benar Penggugat telah menggunakan atau yang pertama

kali mengumumkan seni Lukis Badak, sehingga Tergugat mendaftarkan seni lukis tersebut

dengan itikad tidak baik ? dan pendapat “Bahwa dari uraian pertimbangan tersebut di atas

dimana pihak Tergugat tidak dapat membuktikan kalau dia terlebih dahulu menggunakan atau

mengumumkan Ciptaan Badak, maka telah terbukti kalau Penggugatlah yang pertama kali

menggunakan dan mengumumkan Ciptaan seni lukis Badak” menunjukan adanya

(14)

Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta,

“seseorang atau beberapa orang dapat disebut sebagai Pencipta setelah melahirkan suatu Ciptaan

berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang

dituangkan dalam bentuk yang khas dan pribadi”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3)

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, “perlindungan hak cipta berlaku juga

terhadap semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu

kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu”. Dari rumusan tersebut

dapat disimpulkan bahwa hak cipta muncul atau lahir sesaat setelah dilakukan fiksasi atau

dengan kata lain setelah sebuah ide telah dituangkan (fixation) kedalam sebuah “bentuk” yang

nyata (fixed form). Persoalan siapakah yang “Pertama kali menggunakan” atau “pertama kali

mengumumkan” sebuah Ciptaan tidak menentukan siapa yang menjadi Pencipta dari Ciptaan

tersebut.

Penggunaan pertama merupakan konsep perlindungan merek dalam sistem deklaratif

yang pernah dianut di Indonesia sebelum kemudian diubah menjadi sistem konstitutif.16

Kemudian dalam tingkat yang sama (Pengadilan Niaga) pendapat Majelis Hakim “Bahwa dari

bukti P-4 Jo T-15 berupa surat persetujuan pemberian merek Dagang Cap Kaki Tiga bila

dihubungkan dengan bukti P-2 berupa gambar kemasan Cap Kaki Tiga dengan menggunakan

logo Badak, bukti mana membuktikan bahwa sejak adanya Cap Kaki Tiga yaitu sejak tahun

1937, maka sejak itu seni lukis Badak telah dipakai dan dipromosikan oleh Penggugat”

menunjukan bahwa Majelis Hakim, dalam tingkat ini, telah mengetahui logo Badak tersebut

peruntukannya sebagai merek.

Dalam tingkat Mahkamah Agung Majelis Hakim berpendapat “Bahwa Pemohon

Kasasi/Tergugat dengan kreasi sendiri gambar Badak yang sudah cukup banyak digunakan,

dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan adanya tulisan Arab yang tidak ada persamaan

sama sekali dengan apa yang digunakan oleh Penggugat di Negaranya”. mereka juga

berpendapat “Pemohon Kasasi Sebagai pengusaha nasional Indonesia telah mendaftarkan merek

Ciptaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. Kalimat “digunakan” menunjukan

       

16 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang merek Perusahaan dan merek

(15)

bahwa Majelis Hakim mengetahui bahwa komersialisasi tidaklah dilakukan terhadap Logo

Badak tersebut. Para pihak yang bersengketa bukanlah penjual logo Badak. mereka adalah

produsen minuman yang menggunakan Logo Badak sebagai merek atau paling tidak bagian dari

suatu merek. Perlindungan hak cipta pada dasarnya hanya diterapkan dalam kaitannya dengan

komersialisasi Ciptaan. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang

dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman.

Majelis Hakim dalam tingkat Pengadilan Niaga sempat mempertanyakan kesesuaian

pendaftaran yang dilakukan oleh Tergugat dengan ketentuan Undang-Undang No. 19 Tahun

2002 Tentang Hak Cipta dari segi kriteria Pencipta sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (2)

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan kriteria Ciptaan yang dimaksud

dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Menurut Pasal

1 angka (2) “Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas

inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan,

dan keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan pribadi”. Pasal 1

angka (3) mendefinisikan Ciptaan sebagai “...hasil setiap karya Pencipta yang menunjukan

keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra”.

Kalimat “Bentuk yang khas dan pribadi” dan “dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni,

atau sastra” menurut Penulis merupakan kunci utama dalam mendefinisikan Ciptaan. Kedua

kalimat tersebut merupakan fondasi dari tujuan perlindungan hak cipta yaitu untuk mendorong

kreatifitas terhadap hal-hal yang memiliki nilai budaya. Apakah Logo Badak tersebut memiliki

“Bentuk yang khas dan pribadi” ? Penulis berpendapat Logo Badak tersebut tidak jauh berbeda

dengan badak bercula satu pada umumnya. Namun Majelis Hakim nampaknya berpendapat

sebaliknya.

Menurut Penulis, adanya fakta telah dilakukan pendaftaran Ciptaan oleh Tergugat

membuat Majelis Hakim tidak lagi melihat kepentingan dari klaim yang diajukan oleh Penggugat

atau lebih tepatnya kepentingan para pihak bersengketa terhadap Logo Badak yaitu sebagai tanda

pembeda atau merek. Fakta ini merupakan salah satu faktor kaburnya sengketa ini menjadi

sengketa hak cipta meskipun sejatinya perlindungan merek yang berlaku terhadap Logo Badak

(16)

Sengketa hak cipta Logo NATASHA (Putusan Nomor : 02/HAKI/C/2009/PN.NIAGA.Smg. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 698 K/Pdt.Sus/2009).

Sengketa ini terjadi antara dr. Fredy Setyawan sebagai pendiri sebuah usaha perawatan

kecantikan bernama NATASHA Skin Care melawan Then Gek Tjoe. NATASHA Skin Care

telah dirintis oleh dr. Fredy Setyawan di Yogyakarta sejak tahun 1999 dimana usaha tersebut

kemudian mulai menjadi terkenal pada tahun 2002. Dalam menunjang usaha tersebut dr. Fredy

Setyawan telah menggunakan logo NATASHA dimana nama “NATASHA” sendiri diambil dari

nama anak perempuannya yang bernama NATASHA Heidi Setyawan sedangkan untuk

gambarnya dituangkan dalam bentuk desain terkomputerisasi oleh rekan dr. Fredy Setyawan

bernama Gideon.

Logo NATASHA itu pun sudah didaftarkan oleh dr. Fredy Setyawan sebagai Ciptaan

pada tanggal 9 Maret 2004 dengan Judul Seni logo “NATASHA” Surat Pendaftaran Ciptaan No.

024379/2004 dan sebagai merek berdasarkan Sertifikat merek yang terdaftar dalam Daftar

Umum merek dengan nomor pendaftaran 539840 tertanggal 11 Juni 2003 dalam kelas 3.

Penggunaan logo NATASHA tersebut telah digunakan sebelum logo tersebut terdafar sebagai

merek tepatnya sejak pertama kali NATASHA Skin Care berdiri pada tahun 1999.

Kemudian Penggugat menemukan adanya produk kosmetik atau produk yang

berhubungan dengan kecantikan yang bukan merupakan produk produksi Penggugat yang

menggunakan merek dengan logo “NATASHA”. Hal ini ditemukannya dalam website

www.NATASHA.indonesia.com dan berbagai iklan di media masa seperti pada halaman muka

Harian Umum Tangerang Tribun tertanggal 27 Nopember 2008. Sekalipun Penggugat

merupakan pemegang merek berupa nama dan logo “NATASHA” dalam jasa salon kecantikan

dan perawatan kulit, Penggugat tidak pernah mengeluarkan produk kosmetik maupun

barang-barang kecantikan lainnya dengan merek berupa nama dan logo “NATASHA”. Penggugat

kemudian melakukan pengecekan pada Direktorat Jenderal HKI terutama bagian merek dan

menemukan adanya merek berupa nama dan logo “NATASHA” atas nama Then Gek Tjoe dalam

kelas 3 dengan nomor IDM00099671 tertanggal 27 November 2006. Penggugat kemudian

(17)

NATASHA” nomor 024379 atas nama Then Gek Tjoe dan gugatan pembatalan pendaftaran

merek nama dan logo “NATASHA” No. IDM000099671 yang juga atas nama Then Gek Tjoe.

Analisis terhadap Sengketa Logo NATASHA

Menurut Penulis kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim

merek sehingga sengketa ini seharusnya merupakan sengketa merek. Seperti kasus sebelumnya,

Penggugat tidak ingin logo tersebut digunakan oleh Tergugat dalam produk yang diproduksi oleh

Tergugat. Pelanggaran yang dituduhkan kepada Tergugat, apabila dikategorikan secara benar,

merupakan pelanggaran merek karena Tergugat dapat menimbulkan asosiasi yang keliru antara

produk Tergugat dengan Penggugat. Kerugian yang dialami Penggugat bukan akibat

perbanyakan Logo NATASHA semata, tapi lebih karena adanya pelekatan Logo NATASHA

dalam produk yang diproduksi oleh Tergugat. Apabila Tergugat hanya melakukan perbanyakan

terhadap Logo NATASHA semata tanpa menjadikannya sebuah merek, kecil kemungkinan hal

tersebut merugikan Penggugat. Komersialisasi dilakukan bukan terhadap Logo NATASHA

melainkan terhadap produknya.

Perlu diketahui bahwa terhadap Logo NATASHA tersebut selain sengketa hak cipta

(Putusan Nomor : 02/HAKI/C/2009/PN.NIAGA.Smg. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor :

698 K/Pdt.Sus/2009) terdapat juga sengketa merek (Putusan Nomor 01/HAKI/M/2009/ PN.

Niaga.Smg. Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 699 K/ Pdt Sus/ 2009) dimana dalam

sengketa merek tersebut penggugat keberatan dengan pendaftaran merek yang dilakukan

Tergugat karena hal tersebut dapat menimbulkan ambigu dan kebingungan pada konsumen

mengenai produsen dari produk kecantikan yang diproduksi oleh Tergugat. Penggugat khawatir

konsumen dapat tersesat dengan adanya persamaan merek tersebut dengan beranggapan

seolah-olah telah terjadi kerjasama atau afiliasi antara Penggugat dan Tergugat. Dalam sengketa hak

cipta tersebut, beberapa kali Penggugat menjelaskan bahwa peruntukan Logo NATASHA

tersebut sedari awal adalah sebagai merek. Kerugian dari Penggugat sejatinya lebih diuraikan

oleh Penggugat dalam sengketa merek Logo NATASHA.

Bagaimana pemahaman Majelis Hakim yang menangani sengketa hak cipta tersebut

terhadap penerapan hak cipta dan merek ? Menurut Penulis Majelis Hakim gagal dalam

(18)

semangat dari Perlindungan hak cipta dan merek. Dalam tingkat Pengadilan Niaga Majelis

Hakim yang menangani perkara tersebut berpendapat bahwa “masalah yang harus dipecahkan

adalah apakah seni Logo NATASHA yang telah didaftarkan oleh Penggugat... merupakan

Ciptaan Penggugat ataukah memang berbeda dengan Ciptaan Tergugat I... Dengan kata lain

apakah tindakan Tergugat I mendaftarkan seni Logo NATASHA pada Tergugat II merupakan

suatu tindakan hukum dan melanggar hak moral Penggugat sehingga tidak patut mendapat

perlindungan hukum”. Dalam sengketa tersebut Majelis Hakim sempat menjabarkan definisi dari

hak cipta, Pencipta, Ciptaan, serta syarat-syarat suatu karya dilindungi Undang-Undang No. 19

Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Permasalahan orisinalitas merupakan hal yang paling disorot dalam sengketa ini. Majelis

Hakim dalam sengketa tersebut menilai orisinalitas dengan membandingkan tampilan bentuk

fisik antara kedua Logo NATASHA yang disengketakan. Penilaian tersebut berujung pada

kesimpulan bahwa perbedaan antara kedua Logo NATASHA tersebut hanya terletak pada

adanya tulisan NATASHA dan komposisi pewarnannya sementara bentuk dasar tampilannya

adalah sama persis, yakni merupakan tampilan dari wajah seorang wanita yang digambar

sedemikian rupa dalam bentuk violet.17

Pendapat Majelis Hakim “bahwa pembatasan perlindungan hak cipta sangat menentukan

dalam menelaah bentuk-bentuk perlindungan hak cipta dalam kehidupan sehari-hari. Dasar teori

perlindungan hak cipta melahirkan pembatasan bahwa hak cipta hanya berlaku bagi karya Cipta

seni (art work), karya cipta literatur (literary work), dan karya Cipta dalam bidang ilmu

pengetahuan (science)...” dan adanya putusan yang menyatakan bahwa Penggugat merupakan

Pencipta dan Pemegang hak cipta yang sah atas seni Logo NATASHA menunjukan bahwa

Majelis Hakim memahami Logo NATASHA sebagai karya yang masuk ke dalam domain seni,

literatur, atau ilmu pengetahuan.

Pendapat tersebut menarik karena dalam sebuah jurnal hak kekayaan intelektual, Agus

Sardjono berpendapat bahwa Ciptaan (works) yang dimaksud dalam konteks perlindungan hak

cipta adalah karya yang memiliki kualitas tertentu yang bersifat kultural. WIPO IP Handbook

       

17 Majelis Hakim dalam hal ini melakukan penilaian kulitatif dimana pengambilan bagian yang paling

(19)

menyebutkan bahwa “Copyright protection is above all one of the means of promoting,

enriching, and disseminating the national cultural heritage”.18 Dengan demikian, ada kualitas

tertentu dari ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai tanda (merek).

Berdasarkan pendapat ini maka Logo NATASHA tersebut sejatinya bukanlah Ciptaan yang

dimaksud dalam konteks perlindungan hak cipta.

Berdasarkan pendapat-pendapat dari Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut

yang terdapat dalam putusan baik tahap judex factie (Pengadilan Niaga) maupun tahap judex

juris (Pengadilan Mahkamah Agung), terutama yang telah penulis jabarkan sebelumnya, Penulis

melihat bahwa Majelis Hakim mengetahui adanya fakta bahwa logo tersebut sedari awal

peruntukannya sebagai merek dan telah didaftarkan sebagai merek Dagang berdasarkan

Sertifikat merek yang terdaftar dalam Daftar Umum merek dengan nomor pendaftaran 539840

tertanggal 11 Juni 2003 dalam kelas 3. Adanya pendaftaran Logo NATASHA sebagai Ciptaan,

seolah-olah membuat Majelis Hakim percaya bahwa sengketa tersebut adalah sengketa hak cipta.

Terlepas dari Logo tersebut dapat dianggap sebagai Ciptaan atau tidak, perlindungan ganda

memang dimungkinkan terhadap Logo NATASHA tersebut19 namun Majelis Hakim tidak

melihat bahwa kepentingan dibalik klaim Penggugat sebenarnya lebih dilindungi rezim merek.

Kesimpulan

Pemahaman Majelis Hakim terhadap penerapan perlindungan hak cipta dan merek

khususnya dalam sengketa Logo Badak dan Logo NATASHA masih kurang. Dalam sengketa

Logo Badak dan Logo NATASHA Penulis melihat Majelis Hakim gagal dalam mengidentifikasi

kepentingan dibalik klaim yang dilakukan Penggugat dan mengaitkannya dengan semangat dari

Perlindungan hak cipta dan merek. Bahkan dalam sengketa Logo Badak Penulis melihat adanya

percampuran pemahaman antara Perlindungan hak cipta dan merek.

Pada dasarnya Perlindungan hak cipta hanya diterapkan dalam kaitannya dengan

komersialisasi Ciptaan. Dengan demikian yang menjadi objek adalah Ciptaan itu sendiri yang

dikomersialkan melalui perbanyakan atau pengumuman. Dalam sengketa tersebut, kemasan

       

18 Sardjono, Titik Singgung Perlindungan HKI : Hak cipta, merek, dan Desain Industri, 31.

19 Sayangnya tidak dijelaskan secara detail dalam putusan Pengadilan Niaga dari sengketa Hak cipta Logo

(20)

beserta logo yang melekat terhadapnya digunakan sebagai penanda atau merek dari produk yang

dikemas. Komersialisasi dilakukan bukan terhadap kemasannya, melainkan terhadap produknya.

Bukan kemasannya yang bagus, tapi produknya yang bagus. Kemasan beserta

gambar-gambarnya hanya menunjukan sumber dari masing-masing pembuat produk tersebut.

Meskipun gambar atau logo dalam sengketa tersebut diciptakan oleh seseorang, tetapi

logo itu sendiri tidak dimaksudkan sebagai produknya, melainkan sebagai identitas produk atau

untuk mengidentifikasi suatu produk dari produk lainnya yang sejenis. Itu sebabnya

dipersyaratkan adanya daya pembeda (distinctiveness). Ciptaan yang dimaksud dalam konteks

perlindungan hak cipta adalah karya yang memiliki sifat khas dan pribadi yang menunjukan

keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Ada kualitas tertentu dari

Ciptaan (bersifat kultural), yang tentunya tidak dimaksudkan sebagai tanda merek, dan bukan

pula sebagai pola. Ciptaan dibuat dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan (text book), seni

(musik, lukisan, patung), atau sastra (puisi, novel, dsb).

Terlepas apakah logo yang disengketakan tersebut masuk dalam kriteria Ciptaan atau

bukan, perlindungan ganda memang dimungkinkan terhadap logo tersebut. Namun sebenarnya,

kepentingan dibalik klaim yang dilakukan oleh masing-masing Penggugat bukanlah terkait

kontrol terhadap perbanyakan logo semata, melainkan perbanyakan logo yang diikuti dengan

pelekatan logo tersebut dalam produk yang bukan hasil produksinya. Masing-masing Penggugat

ingin asosiasi antara produknya, logo yang digunakan olehnya sebagai merek, dan dirinya tetap

terjaga. Asosiasi yang terjaga akan melindungi produk yang mereka jual. Produk tersebut

terlindungi baik dari segi penjualan maupun reputasi. Mengingat komersialisasi dilakukan oleh

produsen terhadap produk bukan terhadap logonya maka sejatinya kepentingan semacam ini

sejatinya merupakan kepentingan yang dilindungi oleh rezim merek.

Saran

Hal yang paling krusial bagi Majelis Hakim dalam menghadapi sengketa-sengketa yang

terdapat persinggungan semacam ini adalah dengan terlebih dahulu memahami secara mendalam

tujuan dari masing-masing kerangka perlindungan HKI untuk kemudian menentukan

(21)

Pemahaman yang mendalam tersebut seharusnya juga dimiliki oleh aparatur pada instansi

yang berwenang mengadministrasikan HKI. Jika mereka sebagai salah penegak HKI tidak

memahami pemahaman yang mendalam tersebut maka tujuan dari perlindungan HKI

(22)

Kepustakaan

Buku :

Hasibuan, H.D Effendy. Perlindungan merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia

dan Amerika Serikat. Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

2003.

Sardjono, Agus. hak cipta Desain Grafis. Jakarta :Yellow Dot Publishing, 2008.

Tim Lindsey, et.al. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung : PT Alumni, 2006.

Jurnal

Sardjono, Agus. Titik Singgung Perlindungan HKI : hak cipta, merek, dan Desain Industri.

Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, Volume 1 Nomor 1, April 2012.

Undang-Undang :

Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85 Tahun

2002. TLN No. 4220

_______________, Undang-Undang Tentang Merek. UU No. 15 Tahun 2001. LN No. 110

Tahun 2001. TLN No. 4113.

Internet :

“Copyright and Related Rights”, http://www.wipo.int/copyright/en/overview.html , diakses pada

13 September 2013.

(23)

Bernt Hugenholtz. “ Works of Literature, Science and Art”,

http://www.ivir.nl/publications/hugenholtz/100jrAUTWET.pdf, diakses pada 20

Oktober 2013.

Laura A. Heymann, “The Trademark/Copyright Divide

http://scholarship.law.wm.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1216&context=facpubs, diakses

pada 30 April 2013.

Gambar

Gambar 115

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, diperoleh dalam penuruan harga jual hingga sebesar 3,7 investasi menjadi tidak layak, dalam kenaikan biaya tenaga kerja

SiARSi Supervisor Dasbor Log Sampling Renlak Kelas Terapi Tabel Renlak Zat Aktif Jenis Sediaan Halaman Statis Grup Pengguna Pengguna Operator Log Sampling... BALAI BESAR POM

penggolongan peserta didik berdasarkan karakteristik mereka masing-masing dengan mengkondisikan peserta didik demikian, maka peserta didik akan lebih mudah dalam

Dengan dilakukannya program pengabdian kepada masyarakat yaitu pelatihan pengenalan mikroskop dan teknik penggunaan serta perawatan mikroskop dapat meningkatkan

Mata kuliah ini mengkaji analisis vektor, gradient, divergensi, curl, teorema stokes, medanlistrik, hukum Coulomb, medanlistrik, hokum Gauss, Potensial Listrik,

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode observasional yaitu dengan membandingkan hasil foto rontgen pertama dan kedua dari impaksi molar ketiga rahang

Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki

Salah satu aspek yang harus dipenuhi oleh sebuah kendaraan agar nyaman adalah system pendingin / AC yang baik, dan Grand Livina telah dilengkapi dengan sistem ini