KONSEP WAKTU MASYARAKAT KEJAWEN:
KAJIAN LINGUISTIK ANTROPOLOGIS (ALG)
Teguh Santoso
entossjp@gmail.com
ABSTRAK
Dalam masyarakat Jawa, kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa. Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa). Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, konsep waktu,dan penanggalan, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya.
Kajian ini merupakan kajian kebahasaan yang terkait dengan budaya yang bertujuan mendeskripsikan leksikon (bentuk bahasa) yang dibatasi pada konsep waktu dan fungsi penanggalan dalam sosial budaya masyarakat Kejawen.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat dan dengan mencatat leksikon (bentuk bahasa) dalam konsep waktu, fungsi penanggalan dalam sosial budaya serta meminta bantuan informan pakar ahli kejawen. Data dianalisis dengan pendekatan pemaknaan berdasarkan konsep kultural ( Riley, 2008). Hasil penelitian ini memberikan perspektif disiplin etnolinguistik terhadap leksikon dalam konsep waktu yang merupakan salah satu contoh bentuk laku dari Kejawen yang masih ada dalam masyarakat Jawa sampai sekarang ini adalah menentukan hari dan tanggal yang baik dalam kegiatan tertentu.
Kata Kunci: Kejawen, wong Jawa, laku, pasa, tapa
PENDAHULUAN
Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa, Krama: Tiyang Jawi) itu ada. Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa). Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen. Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen.
Bagi masyarakat kejawen, perubahan dari tahun Saka yang berdasarkan atas peredaran matahari ke tahun Jawa yang berdasarkan ke peredaran bulan, sebenarnya menghadapi persoalan yang cukup rumit. Namun, persoalan ini dapat diatasi, karena awal perhitungan tahun Saka tetap dipertahankan. Konversi dari kerajaan Hindu-Buddha ke Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang disebut primbon, serat dan suluk. Dalam hal ini, Simuh (2008) menamakannya dengan kepustakaan Islam kejawen.
Primbon, sebenarnya dikenal di berbagai suku di Nusantara, tetapi tampaknya lebih menggejala di dalam masyarakat Jawa, Bali dan Lombok. Bahkan Alfani Daud (1997), menemukan tradisi perhitungan waktu primbon pada masyarakat Islam Banjar. Dalam masyarakat kejawen, waktu adalah tatanan yang berada di luar semua hal. Terdapat suatu waktu yang asali dan primordial, dan semua waktu berakar pada waktu asali itu, serta mendapatkan identitas dan mutunya disana. Semua peritiwa alami dikuasai oleh takdir, dan semua peristiwa manusiawi harus menyesuaikan diri dengan keteraturan yang telah ditetapkan. Arti waktu bagi seseorang, merupakan waktu yang baik, bagi yang lain tidak baik. Waktu itu bukan linear, tetapi siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas. (Soemardjo, 2002).
TEORI DAN METODOLOGI
Kuncaraningrat ( 2009:150) menyebutkan bahwa wujud budaya terdiri dari: ide, tindakan, dan artefak. Artefak atau benda-benda hasil karya manusia. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut artefak sebagai benda (barang-barang) hasil kecerdasan manusia, seperti perkakas, senjata ( KBBI, 1995:57). Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kebahasaan leksikon-leksikon (bentuk bahasa) dalam konsep waktu dan fungsi penanggalan dalam sosial budaya masyarakat Kejawen.
Data kebahasaan ini dibatasi pada leksikon dalam konsep waktu yang merupakan salah satu contoh bentuk laku dari kejawen yang masih ada dalam masyarakat Jawa sampai sekarang ini adalah menentukan hari dan tanggal yang baik dalam kegiatan tertentu. Data yang terkoleksi dianalisis dengan mengacu pada pendekatan pemaknaan berdasarkan konsep sosiokultural ( Riley, 2008).
Bakker (1995) menggolongkan pemikiran tentang waktu dalam 4 golongan, yaitu 1) subjektivisme (waktu itu sesuatu yang tidak riil, hanya merupakan subjektif-individual yang berasal dari pikiran) 2) relisme ekstrem (waktu itu realitas absolut otonom yang universal, tidak memiliki kesatuan intrinsik, tetapi menunjukkan urutan-urutan murni), 3) realis lunak (waktu merupakan aspek perubahan riil, tetapi dihasilkan oleh subjek, dan terabstraksi oleh kreativitas pengkosmos), 4) subjektivisme lunak (menurut Henri Begson waktu itu memang riil, tetapi selalu berciri kualitatif, tidak bereksistensi, dan tidak terukur, sebab kesadaran manusia memang tidak bereksistensi.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Karena waktu itu netral moralitas, maka dalam waktu, terdapat apa yang disebut baik atau selamat, dan apa yang disebut tidak baik atau tidak selamat. Waktu itu baik, dan tidak baik sekaligus, begitu pula ruang, itu baik dan tidak baik. Waktu yang sama dan ruang yang sama, bagi subjek yang koordinat waktu dan ruangnya amat berbeda dalam tertip kosmos, maka bagi yang satu baik dan bagi yang lain tidak baik. Karena waktu dan ruang itu mengandung paradoks di dalam dirinya.
dari agama Hindu. Dalam agama Hindu, diajarkan tentang adanya hari Brahma (penciptaan material dan alam semesta) dan malam Brahma.
Waktu (kala) adalah Bathara Kala yang menguasai kesatuan-kesatuan waktu mulai dari jam sampai yuga (siklus perkembangan zaman). Misalnya, pada jam berapa pasangan pengantin harus melaksanakan upacara pernikahan. Bagi pasanyan yang mempunyai weton pasaran Pon dan Wage, lebih baik deselenggarakan pada jam 03.30 sampai 05.59, karena pada jam tersebut, mempunyai makna rejeki dan selamat. Pasangan ini hendaknya menghindari pernikahan pada jam 08.25-10.11, lantaran pada jam atau waktu tersebut keduanya adalah tabu atau pelanggaran. Justru pada jam tersebut amat baik bagi pasangan yang mempunyai weton pasaran Legi dan Pahing.
Begitu pula pada hari-hari yang tabu bagi siapapun untuk mengadakan perjalanan atau kegiatan-kegiatan yang lain yang mengandung resiko kecelakaan. Hari-hari tersebut adalah Rebo Legi, Ngat Pahing, Kamis Pon, Selasa Wage, dan Sabtu Kliwon. Begitu pula dengan ketentuan Wuku, misalnya mereka yang berwuku Warigalit sama sekali terlarang atau tabu. Apabila pada hari Kemis Pon, mengadakan segala jenis kegiatan yang mengandung resiko kecelakaan, seperti bepergian, naik pohon, mengendarai motor, menebang pohon, ataupun yang lainnya. Dalam hitungan tahun juga banyak tabu, misalnya, terlarang bagi orang yang lahir pada tahun Alip. Yang lahir pada tahun ini, dilarang untuk mengadakan upacara hari Sabtu Pahing, dan yang lahir pada tahun Ehe dilarang pada hari Kamis Pahing, dst. Hubungan antara tahun kelahiran, dengan bulan keberuntungan, dan kesialan menurut kitab primbon, adalah mereka yang lahir pada tahun Alip yang memiliki satu bulan keberuntungan yakni bulan pertama, sedangkan bulan sialnya adalah bulan 9 dan ke-11. Yang lahir pada tahun Je, mempunyai keberuntungan bulan-bulan terbanyak, yakni ke-4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 12. Sedangkan bulan jeleknya adalah bulan ke-1, 2, 3, dan 10. Sesuai dengan data yang terkumpul, data kebahasaan berupa leksikon yang terkait konsep waktu yang merupakan salah satu contoh bentuk laku dari kejawen yang masih ada dalam masyarakat Jawa sampai sekarang ini adalah menentukan hari dan tanggal yang baik dalam kegiatan tertentu antara lain sebagai berikut berikut:
1. Petungan Sangkan, Bebrayan, Kromo, lsp. (Perhitungan untuk Bepergian, Kegiatan Kebersamaan, Menentukan Pasangan Hidup atau Menikah, dll).
Bab Nanda Rahajune Laku Petikan Saking Kitab Primbon
Dina Ngalor Ngetan Ngidul Ngulon
1. Ngat Mengeng Slamet Redjeki Kasurang-surang
2. Senen Rahaju Redjeki gedhe Kasurang-surang Oleh gawe
3. Selasa Slamet Mengeng Rejeki gedhe Redjeki
4. Rebo Redjeki Oleh gawe Mengeng Mengeng
5. Kemis Slamet Mengeng Redjeki Slamet
6. Djumuah Redjeki Mengeng Mengeng Bejik
7. Sabtu Slamet Oleh gawe Redjeki Mengeng
Maha Primbon Djawa Taun 1912
Keterangan:
a. Ngat : hari Minggu b. Djumuah: hari Jum’at
c. Mengeng: goyah, mendapat masalah, kesusahan d. Redjeki: rejeki
e. Oleh gawe: mendapat pekerjaan, rejeki/hal yang baik f. Bejik : baik
g. Rahayu: keindahan, kedamaian, aman dan selamat
h. Kasurang-surang: sengsara, celaka, mendapat kesusahan, tidak mendapat ketenangan
kepercayaan Jawa tidak boleh dilakukan kalau dilakukan berarti akan mendapat kesusahan. Apabila kearah ngulon barat tertulis oleh gawe maksudnya mendapat pekerjaan/hal baik.
2. Dina Pasaran Jawa (Hari Pasarnya Jawa). Nama-nama hari tersebut meluputi: Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Misalkan ada kasus begini: Si A lahir pada hari selasa kliwon, pantangan pertama adalah Kamis Wage, kedua adalah Rabu Pon (dihitung dari 9 hari kedepan menurut pasaran jawa pada urutan diatas) pada dua hari tersebut, dia tidak boleh bepergian, bercocok tanam, mencari jodoh/menikah, mendirikan bangunan, dsb, sebab kalau dilanggar menurut paham aturannya akan mendapatkan musibah (celaka/mati). Disamping itu, menurut kepercayaan yang sudah tertulis dalam kitab primbon, orang tua yang mempunyai seorang anak (laki-laki/perempuan) yang lahir pada hari Selasa Kliwon salah satu orang tuanya bapak/ibu tidak akan menjumpai anaknya saat melangsungkan pernikahan (sudah meninggal terlebih dahulu).
3. Membaca Jodoh dalam Primbon. Dalam masyarakat kejawen, jodoh memang termasuk misteri. Karena Tuhan merahasiakannya. Namun, dalam primbon, untuk mencari jodoh maka harus melalui petungan (perhitungan huruf) secara khusus. Dalam hal ini ada orang yang menerapkan petungan untuk mencari jodohnya, ada pula yang menerapkan petungan ke dalam mistik melalui tirakat. Dalam petungan ini biasanya menggunakan pasatowan salaki-rabi, yakni mempersatukan nama calonnya.
Contoh petungan-nya menurut kitab Primbon Betaljemur Adammakna.
Ngat
Neptu: Nilai jumlah angka dari suatu hari dan pasaran
Cara untuk menghitung angka pada hari dan neptu pasaran adalah: Djumuah: 6,Kliwon,8, Jadi, 6+8 = 16
4. Perhitungan Neptu Untuk Pernikahan. Neptu hari dan pekan (pasaran) dari kelahiran, calon suami dan istri, masing-masing dijumlahkan. Kemudian, hasilnya dibagi 9 dan dicatat sisanya. Dan hasil sisanya tersebut mempunyai makna sebagai berikut: 1 dan 1: baik, saling mencintai, 1 dan 2: baik, 1 dan 3 : kuat, tetapi rejekinya jauh, 1 dan 4: banyak celakanya, 1 dan 5: bercerai, 1 dan 6: sulit kehidupannya, 1 dan 7 : banyak musuh, 1 dan 8: sengsara, 1 dan 9: tempat berlindung, 2 dan 2 : selamat, rejeki banyak, 2 dan 3: salah satu meninggal lebih dulu, 2 dan 4: banyak mengalami godaan, 2 dan 5: banyak celakanya, 2 dan 6 : cepat kaya, 2 dan 7: banyak anaknya yang mati, 2 dan 8: murah rejeki, 2 dan 9: banyak rejeki, 3 dan 3: melarat, 3 dan 4: banyak celakanya, 3 dan 5: cepat cerai, 3 dan 6: mendapat anugrah, 3 dan 7 banyak mendapat celakanya, 3 dan 8: salah satu meninggal dulu, 3 dan 9: banyak rejeki, 4 dan 4: sering sakit, 4 dan 5: banyak mengalami godaan, 4 dan 6: banyak rejeki, 4 dan 7: melarat, 4 dan 8: banyak mengalami rintangan, 4 dan 9: salah satu kalah, 5 dan 5: terus mendapatkan keberuntungan, 5 dan 6: murah rejeki, 5 dan 7: selalu ada mata pencaharian, 5 dan 8: mengalami banyak rintangan, 5 dan 9: murah rejeki, 6 dan 6: banyak celakanya, 6 dan 7: rukun, damai dan tentram, 6 dan 8: banyak musuh, 6 dan 9: sengsara, 7 dan 7: terhukum oleh istrinya, 7 dan 8: mendapat celaka karena diri sendiri, 7 dan 9: perjodohannya langgeng, 8 dan 8: dicintai orang lain, 8 dan 9: banyak celakanya, 9 dan 9: susah rejeki. Contoh: hari kelahiran suami adalah Jum’at Kliwon, neptu Jum’at = 6, ditambahkan dengan neptu Kliwon = 8. 6+8 = 14 dibagi 9, maka sisanya 5. Sedangkan istri umpamanya kelahiran Jum’at Pahing. Neptu Jum’at = 6, neptu Pahing = 9. Jika ditambahkan menjadi 15. Kemudian hasilnya dibagi 9 maka menjadi 6. Jadi, sisa keduanya: 5 dan 6 yang jatuhnya murah rejeki.
Sedangkan hari kelahiran istri Rabu Pahing, neptu Rabu: 7, neptu Pahing : 9. Jika dijumlahkan maka hasilnya 29. Hasil penjumlahan tersebut kemudian dibagi menjadi 4, maka tersisa 1. Bilangan 1 jatuh pada bilangan gonto yang bermakna jarang memiliki anak.
6. Perhitungan Weton Pasaran Untuk Suami Dan Istri. Perhitungan ini didasarkan menurut hari kelahiran kedua pasangannya, yakni: Ngat dengan Ngat: sering sakit, Ngat dengan Senin: banyak penyakitnya, Ngat dengan Selasa: miskin, Ngat dengan Rabu: yuwana (selamat meskipun difitnah orang), Ngat dengan Kamis: bertengkar, Ngat dengan Jum’at: yuwana, Ngat dengan Sabtu: miskin, Senin dengan Senin: tidak baik, Senin dan Selasa: yuwana, Senin dan Rabu: anaknya wanita, Senin dan Kamis: dicintai banyak orang, Senin dan Jum’at: yuwana, Senin dengan Sabtu : berekat (selalu cukup, meskipun pendapatannya sedikit), Selasa dengan Selasa: tidak baik, Selasa dan Rabu: kaya, Selasa dan Kamis: kaya, Selasa dengan Jum’at: bercerai, Selasa dengan Sabtu: sering bertengkar, Rabu dengan Rabu: tidak baik, Rabu dengan Kamis: yuwana, Rabu dengan Jum’at: yuwana, Rabu dengan Sabtu: baik, Kamis dengan Kamis: yuwana, Kamis dengan Jum’at: yuwana, Kamis dengan Sabtu: bercerai, Jum’at dengan Jum’at: miskin, Jum’at dengan Sabtu: celaka, Sabtu dengan Sabtu: tidak baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Orang Jawa yang masih menganut ilmu
kejawen memang kental akan tradisi, adat dan
pantangan. Misalkan dalam kegiatan menentukan hari pernikahan, bepergian, bercocok tanam,
mencari pekerjaan, naik kendaraan, memanjat pohon, mendirikan bangunan dan lain-lain masih
mengenal adanya hari baik dan hari tidak baik yang diatur dalam aturan
kejawen yang ditulis ke
dalam kitab
primbon.
Primbon Jawa kuno digunakan untuk mengetahui sifat seseorang,
keberuntungan, hari baik, kecocokan jodoh, serta seluk beluk kehidupan yang ingin diketahui oleh
manusia. Pada dasarnya
primbon Jawa kuno diciptakan sebagai pedoman hidup bagi manusia.
Percaya atau tidaknya semuanya kembali kepada pribadi masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah Tangga Manusia. Jakarta: Kanisius.
Behrend. 2001. Primbon. Jakarta: Perpustakaan Nasional
Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: Rajawali Press
Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme Dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Maha Primbon, Djawa Tahun 1912
Riley, Philip. 2007. Language, Culture and Identity. London: Continuum. Simuh. 2008. Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI Press Soemardjo, Yacob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Qalam Tjakraningrat, Harya. 1994. Betaljemur Adammakna. Solo: Buana Raya http://www.wikipedia.com diakses 18 Mei 2015
RIWAYAT HIDUP
Nama : Teguh Santoso
Institusi/Institution : Universitas Padjadjaran
Pendidikan :
ó S1 Sastra Inggris, UNIMUS Semarang (2004)
ó D3 Bahasa Jepang UNDIP, Semarang (2008)
ó S1 Sastra Jepang, UNDIP Semarang (2012)
ó S2 Linguistik Jepang, UNPAD Bandung (2014/2015)