• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS TENTANG HUKUM ADAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS TENTANG HUKUM ADAT "

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah kebiasaan adalah terjemahan dari bahasa Belanda gewoonte, sedangkan istilah adat berasal dari istilah Arab yaitu adah yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan. Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat memiliki relevansi kuat dengan karakter, nilai, dan dinamika yang berkembang dalam hukum adat. Dengan demikian, hukum adat merupakan wujud yuris fenomenologis dari masyarakat hukum adat.

Salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum adat adalah perkawinan. Masalah perkawinan adalah masalah yang sangat rumit. Karena perkawinan bukan hanya menyangkut ikatan antara seorang pria dengan wanita yang akan dinikahinya. Tetapi lebih dari itu perkawinan adalah lembaga yang sangat sakral karena menyangkut tentang kepercayaan kepada Tuhan dan melibatkan keluarga.

Bali adalah pulau yang memiliki budaya atau adat istiadat yang kaitannya dengan masyarakat yang sebagian besar beragama hindu. Pada ajaran Agama Hindu, Masyarakat Bali mengenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan empat tahapan atau tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia , yaitu brahmacari, grhasta, sanyasin, bhiksuka. Grahasta merupakan tahapan kedua dalam kehidupan Masyarakat Bali yang berarti kehidupan di dalam berumah tangga.

(2)

yang dinilai bertentangan dengan adat yang berlaku yakni akibat melakukan perkawinan nyentana. Perkawinan nyentana yakni perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga istrinya, tinggal dirumah istri dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri. Pro kontra perkawinan nyentana hingga saat ini masih diperdebatkan. Kondisi ini sebenarnya tidaklah berlebihan karena menyangkut sistem pewarisan termasuk didalamnya menyangkut soal keturunan. Bagi masyarakat yang menerapkan sistem perkawinan nyentana, suatu keluarga mengangkat sentana bila keluarga bersangkutan tidak memiliki anak laki-laki sebagai ahli waris yang akan melanjutkan keturunannya. Sehingga, untuk melanjutkan keturunan keluarga bersangkutan, pihak keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki tersebut merasa perlu untuk menetapkan salah satu anaknya sebagai sentana rajeg yang akan mencari sentana untuk diajak tinggal dirumahnya. Aturan dalam perkawinan nyentana dengan perkawinan yang lazim dilakukan dalam masyarakat kebanyakan juga sedikit unik. Dalam perkawinan biasa, lazimnya seorang lelaki yang melamar seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun dalam perkawinan nyentana si gadislah yang melamar si lelaki untuk dijadikan suaminya untuk selanjutnya diajak tinggal dirumah si gadis. Sementara itu keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan keturunan keluarga istrinya tadi. Karena konsekwensi inilah yang mengakibatkan perkawinan nyentana banyak ditentang oleh masyarakat Bali khususnya yang berada di wilayah Karangasem.

Namun dewasa ini masyarakat Bali telah dihadapkan pada pilihan bentuk perkawinan yang dirasakan lebih adil untuk kedua belah pihak, baik mempelai perempuan maupun laki-laki yaitu Perkawinan Pada Ngelahan. Perkawinan Pada Ngelahan adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Perkawinan Pada Ngelahan tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu. Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban ganda dalam melaksanakan kewajiban dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.

(3)

Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1. Apa syarat-syarat yang diharus dipenuhi dalam perkawinan nyentana?

2. Bagaimanakah status dan kedudukan perempuan dikeluarga yang menerapkan konsep pernikahan nyentana?

3. Apakah konsep pernikahan nyentana tersebut menurut adat atau agama?

4. Bagaimana pergeseran konsep nyentana dengan adanya konsep pernikahan pade

2. Untuk mengetahui status dan kedudukan perempuan di keluarga yang menerapkan konsep pernikahan nyentana.

3. Untuk mengetahui konsep pernikahan nyentana tersebut menurut adat atau agama.

4. Untuk mengetahui bagaimana pergeseran konsep nyentana dengan adanya konsep pernikahan pade ngelahan/negen

5. Untuk mengetahui status, kedudukan dan kewajiban perempuan dan laki-laki nyentana apabila terjadi perceraian

1.4.Manfaat

Dapat menambah wawasan kita mengenai bentuk-bentuk perkawinan di Bali, khususnya bentuk perkawinan nyentana sehingga pada akhirnya kita mampu menerangkan bahwa perkawinan nyentana merupakan suatu bentuk perkawinan yang sah dalam adat maupun sah secara negara.

(4)
(5)

BAB II

dilangsungkan. Syarat pertama adalah perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Demikian bunyi Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Menurut penjelasan resminya, disamping syarat ini sesuai dengan hak asasi manusia, ketentuan ini diadakan untuk mendukung agar tujuan pekawinan, yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia dapat dicapai.

Dengan ditegaskannya syarat bahwa perkawinan harus di dasarkan kepada persetujuan kedua calon mempelai, maka cara-cara pemaksaan dalam pelaksanaan perkawinan tidak dibenarkan lagi, seperti cara perkawinan melegandang (raksasa wiwaha) yang di masa lalu sering terjadi.

b. Ijin orang tua

(6)

(4) pasal ini, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin, setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut di atas.

2.1.2 Syarat menurut hukum adat Bali :

a. Pihak wanita harus bersetatus sentana rejeg artinya wanita yang akan menikah harus ditetapkan sebagai penerus keturunan.

b. Perundingan untuk melakukan perkawinan nyeburin harus dimulai dari pihak orang tua calon istri (yang akan dipurusakan) dengan keluarga calon suami. Tentu saja pendekatan itu yang utama adalah terhadap sang calon suami yang bersangkutan. Bila telah terjadi kesepakatan barulah perkawinan nyeburin dapat dilaksanakan.

c. Upacara perkawinan (pesakapan) yang paling pokok dan merupakan syarat sahnya perkawinan, yaitu upacara mabyakawon / mabyakala, harus dilakukan di rumah pihak istri. d. Pihak suami harus masuk keluarga pihak istri dan diterima sebagai anggota keluarga pihak

istri. Ini artinya pihak suami dari rumpun keluarga asalnya, yang secara konkrit ditunjukan si suami dari semula sudah tinggal dirumah istrinya. Suami tidak lagi memuja (nyungsung sanggah / merajan bapak asalnya, melainkan ia harus memuliakan sanggah / merajan pihak istri).

(7)

2.2 Status Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana

Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.

Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses perubahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika keluarga putrika tidak menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur (Suastika, 2003).

(8)

meminta persetujuan dari istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perubahan kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada pihak perempuan yang berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika mempunyai kewenangan “mutlak” berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki berkaitan dengan statusnya sebagai akhli waris dan penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga. Keluasan kewenangan inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya dengan suami yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut menentukan arah kebijakan keluarga.

2.3 Konsep Penikahaan Nyentana Dipandang Dari Adat atau Agama

Nyentana merupakan hukum adat bukan kaidah Agama Hindu. Mungkin ada sedikit kaitannya dengan tradisi beragama Hindu di Bali yang dikenal dengan istilah pradana dan purusa. Seseorang yang nyentana hendakanya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan kewajibanya di sanggah lama (purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana). Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan yang baru.

Dalam sejarah, banyak sekali leluhur orang bali yang mengambil langkah nyentana, jadi tidak ada yang salah dalam hal nyentana yang penting adalah bagaiamana membina kehidupan yang harmonis, sesuai dengan ajaran weda. Perkawinan itu bisa saja berlangsung bahagia, tergantung dari bagaimana si suami – istri bisa menciptakan surga dalam kehidupan rumah tangganya.

2.4 Pergeseran Konsep Nyentana dengan adanya konsep pernikahan pade Ngelahan/Negen

(9)

perempuan. Mereka merasakan keleluasaan dan sekaligus tangungjawab yang teramat berat untuk menjalankan roda pemerintahan dalam keluarga. Lingkungan yang semula memberikan perlakuan sebagaimana lanyaknya perempuan pada umumnya yang hanya menurut pada laki-laki, seketika memberikan tangungjawab sebagai layaknya laki-laki untuk memikul tangungjawab penuh, membuat perempuan putrika merasakan diri pada beban yang teramat berat yang terlalu sulit untuk dipikulnya. Perbedaan antara orang tua dengan suami seringkali menimbulkan persoalan yang menyulitkan perempuan putrika untuk mengambil keputusan. Hal ini berimplikasi pada kondisi psikologis perempuan putrika. Jika mereka bisa menempatkan diri sebagai mana layaknya kepala keluarga, maka keutuhan rumah tangganya akan tetap bisa terjaga dengan baik dan mengalami pematangan psikologis. Sebaliknya, bila perempuan putrika tidak mampu memikul tangungjawab dan persoalan yang dihadapi dalam keluarga ia akan mengalami kemunduran psikologis dan kehancuran keluarga. Sementara keluasaan yang teramat besar seringkali membuat perempuan putrika merasa menjadi orang yang mengatur, berkuasa, menentukan, dan bertindak arogan tanpa memikirkan kedudukan dan posisi suami.

(10)

sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak) berguna untuk menyelamatkan keturunan bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala mempelai pria juga tidak berkenan untuk nyentana.

2.5 Status, Kedudukan dan Kewajiban Perempuan dan Laki-Laki Nyentana Apabila Terjadi Perceraian

2.5.1 Status, Kedudukan dan Kewajiban Perempuan Putrika setelah Perceraian

(11)

2.5.2 Status, Kedudukan dan Kewajiban laki-laki setelah Perceraian dalam perkawinan nyentana

(12)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian yang telah dibahas diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

Perkawinan nyentana yakni perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga istrinya, tinggal dirumah istri dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri yang tujuannya adalah meneruskan keturunan untuk menghindari keputungan keluarga (putusnya keturunan) keluarga. Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang perkawinan nyentana. Dalam kitab Manawa Dharmasastra disebutkan status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki).

1. Status dan kedudukan perempuan yang menerapkan konsep nyentana dikeluarganya adalah perempuan yang statusnya menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangungjawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya.

2. Perempuan yang putrika mempunyai tanggung jawab dikeluarga dan di desa adat. Juga diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya. Ikut bermusyawarah dan ikut bergotong-royong dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan di keluarga.

3. Konsep pernikahaan nyentana di Bali merupakan hukum adat dan bukan merupakan kaidah dari agama hindu.

(13)

kaum muda sekarang banyak menggunakan sistem pernikahaan pade gelahan karena dianggap lebih adil.

5. Setelah terjadinya perceraian perempuan putrika masih tetap menyandang statusnya sebagai perempuan putrika, yaitu perempuan yang diubah hak dan kewajibannya sebagai laki-laki pada keluarganya, kecuali tidak bertentangan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan pada hukum adat. Sedangkan pihak laki-laki yang putus perkawinan karena perceraian dalam perkawinan nyeburin tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban pada keluarga istrinya, serta ia tidak berhak atas harta bawaan istrinya (sebelum menikah).

3.2 Saran

Apapun dalilnya, perkawinan nyentana merupakan perkawinan yang sah secara hukum selama dilakukan berdasarkan unsur suka-sama suka dan dilakukan menurut agama yang berlaku bagi kedua pihak. Maka dari itu penulis menyarankan kepada individu yang masih ragu akan pelaksanaan jenis perkawinan ini untuk menghilangkan rasa keraguan tersebut karena secara Undang-Undang pun tidak dilarang. Sekarang tergantung pada kedua belah pihak yang terlibat apakah siap dalam mengarungi rumah tangga dengan konsep perkawinan nyentana tersebut.

(14)

Panetje, G. (1989). Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali : Denpasar ; Guna Agung.

Windia, P. Perkawinan pada Gelahang,Udayana University Press.

Sadia, W. (2001). Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian. Singaraja: Lembaga Penelitian IKIP Negeri Singaraja

Suastika, N. (2003). Sikap Piolitik dan Keseteraan Gender Di Kalangan Kaum Wanita Pedesaan di Provinsi Bali Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.

Sukadi. (2000). Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial-Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Jepang: The Toyota Foundation-Grant Number 017-Y-1996.

Suyatna, I.G. (1982). Ciri-ciri Kedinamsan Kelompok Sosial Tradisional dan Peranannya dalam Pembangunan : Bogor Disertasi Fak Pertanian IPB

Wiana, K. (1993). Palinggih di Pamerajan. Denpasar: Upada Sastra.

Wayan P. Windia, Pelaksanaan Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Disajikan dalam seminar hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

(15)

[3] I Ketut Wiana, Perkawinan Pada Gelahang Ditinjau Dari Ajaran Agama Hindu, Disajikan dalam seminar hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

[4] I Made Suandhi, Komentar Terhadap Kawin Pada Gelahang, Disajikan dalam seminar hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian retrospektif ini adalah untuk mengevaluasi penatalaksanaan pemberian antibiotik oral pada pasien AV, mengidentifikasi gambaran umum pasien AV yang

membentuk NFA yang ekivalen dengan suatu NFA – ε yang diberikan Mahasiswa memahami ekspresi reguler dan dapat menerapkannya dalam berbagai penyelesaian persoalan

si pihak madrasah dalam iap akhir tahun ajaran antara pihak madrasah, dilaporkan kepada t kelanjutanya. Dari emberikan pengarahan ah ustadz dipertahankan, lain, atau diganti

Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dan sumber asli (tidak melalui media perantara) berupa pendapat atau opini subyek (orang)

Media game edukasi quiziz dapat meningkatkan keaktifan siswa pada masa pencegahan penyebaran Covid-19 mata pelajaran IPS karena dalam pelaksanaanya seolah-olah

Pengetahuan yang komprehensif tentang risiko terhadap bahaya yang dihadapi memungkinkan masyarakat untuk beradaptasi dalam mengurangi dampak dari bencana, serta dapat dengan

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian

Tajfel (Ed.), Differentiation between social groups: Studies in the social psychology of intergroup relations.. London: