Hati dan Pengaruhnya terhadap Karakter Oleh: Rian Yulianto, S. Pd. I
Pada masa globalisasi dan jaman teknologi semakin maju, manusia banyak yang menjadikan dunia seolah segala hal yang wajib dipenuhi. Manusia mengesampingkan qalbunya dibandingkan keduniawiannya. Kondisi memang sudah berbeda dengan jaman dulu ketika manusia belum mengenal globalisasi. Tantangan yang paling ngeri adalah ketika manusia mengesampingkan karakternya. Karakter sangat dekat dan erat dengan hati nurani kemudian menjadi tingkah laku yang baik atau buruk. Baik dan buruknya karakter adalah tergantung dari hati nuraninya yang paling mendominasi terhadap doktrinasi perbuatan manusia. Dalam erat kaitannya dengan hati, manusia sering lalai dalam hal ini.
Hati merupakan anugerah ciptaan Allah, tanpa hati manusia tidak akan pernah merasakan hidup ini senang atu sedih, tidak bisa menilai hal itu baik apa buruk karena minimnya perasaan. Manusia sejak lahir dari kandungan ibunya sudah dibekali dengan penglihatan, pendengaran dan juga kebersihan hati. Tidak ungkin manusia lahir dengan hati yang kotor, tidak mungkin pula manusia lahir dengan hati yang mengenal kemusyrikan. Hati yang bersih membutuhkan pelatihan dan pengajaran dari lingkungan yang berhati bersih juga, sebagai contoh orang tua yang selalu mengajarkan anaknya berbuat kebaikan maka dengan hati nurani yang dimiliki manusia akan baik pula selanjutnya, karena niatnya sudah tertancap dalam hati.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, oleh sebab itu nurani dan akal yang dianugerahkan wajib disyukuri dengan menggunakan hati dengan sebaik-baiknya. Hati yang baik akan menuntun pada akhlak yang mulia, sedangkan hati yang buruk akan mengakibatkan akhlak yang buruk pula. Inilah tantangan era global saat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi semakin berkembang orang akan semakin sulit untuk berbuat baik, karena hanya mengejar hal yang berbau duniawi. Untuk mengetahui pembagian hati maka hati itu dibagi menjadi tiga hal:
manusia agar sifat mencintai Tuhannya semakin melekat di hati, sehingga apa yang dilakukan adalah selalu sesuai dengan sifat keagamaan yang kuat. Kilas balik pada keadaan manusia jaman sekarang banyak yang hatinya selalu bimbang karena kurang percaya pada nasib yang sudah digariskan Tuhan dan bertingkah laku sesuai kehendaknya sendiri.
Kedua, hati yang keras atau qalbun qaswah, kekerasan hati manusia bukan dikarenakan sifat bawaan lahir, melainkan sifat akibat dari kelalaian manusia selalu melanggar norma-norma agama. Tingkat kerusakan ini mempunyai tahapan, tahap demi tahap semakin tinggi kadar pelanggaran yang dilakukan maka Allah semakin menutup hatinya akibat dari perbuatannya. Lanjut dan semakin berlanjut maka hati akan mati (na’udzubillah). Semakin hati mati, maka hati akan mengeras seperti batu, tidak mungkin tersadarkan oleh doktrin sebaik apapun. Pada tingkatan yang separah ini wajar apabila manusia mengikuti hatinya yang sudah mati dan akhirnya setanlah yang menguasai hatinya.
Sebagai contoh riil dari matinya hati adalah menengok pada masyarakat yang warganya suka mabuk atau judi misalnya, dirinya akan terbelenggu pada doktrin bahwa dengan mabuk atau judi maka hidupnya akan tenteram, padahal hal itu merupakan kejahatan yang mendhalimi diri sendiri. Apabila perbuatan itu sudah melekat dalam hati maka sekuat apapun nasehat tidak akan mempan, dan selamanya akan mengikuti bisikan setan. Contoh lain tentang menurunnya moral karena matinya hati adalah korupsi, ketika koruptor mengambil uang rakyat itu sama saja dengan matinya hati yang sangat parah. Karena agama sudah melarang bahwa mencuri itu berdosa maka selanjutnya akan dapat siksa di neraka, namun apabila manusia sudah masuk pada ranah qalbun mayyitun maka selamanya akan dilanggar dan terjadilah korupsi.
Dari ketiga penggolongan hati di atas dapat diartikan bahwa hati akan mempengaruhi baik buruknya kualitas manusianya. Hati yang selalu mendekat kepada Tuhannya karena iman maka akan semakin baik pula kesehariannya, selalu terlindungi iman dan selalu berbuat baik. Semakin hati itu sakit dan keras maka hati itu lama-lama akan menjadi hati yang mati dan enggan untuk berbuat baik karena menjauh pada Tuhannya. Dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa hati yang baik akan mempengaruhi karakter yang baik. Karakter itu lebih membentuk pada hal yang baik atau buruk, maka dengan memperbaiki hati dan menanamkannya sejak dini maka manusia akan terbiasa dengan karakter yang baik sesuai dengan ajaran agama. Agama apapun akan mengajarkan manusia kepada yang lebih baik, bukan mengajarkan hal yang buruk.