BUKU AJAR
SOSIOLOGI HUKUM
Kode Mata Kuliah
:
HM.101
Pengajar:
M. CHAIRUL BASRUN UMANAILO
NIPS: 137 030 233
e-mail: chairulbasrun@gmail.com
telp: 085243025000
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS IQRA BURU
Hukum dan Solidaritas Sosial
A. Pendahuluan
Teori-teori mengenai masyarakat, berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakatnya. Dari masa ke masa, teori-teori tersebut mengalami perkembangan dan
perubahan bahkan ada yang turut tenggelam bersama dengan bertumbuhnya teori baru
(kadang kala para akademisi sering menyebutkan teori lama sudah datang ajalnya). Dalam
konteks tersebut, kita tidak boleh menyanggah bahwa perubahanperubahan teori mengenai
masyarakat itu terjadi di dalam suatu masyarakat yang dinamis dengan daya pergerakan yang
tinggi. Beragam teori mengenai masyarakat itu memperlihatkan bahwa kemampuan
masyarakat untuk berubah itulah yang menjadi faktor penting dalam memahami masyarakat.
Artinya, masyarakat tidak dapat dimengerti dari suatu variabel, pernyataan, dan asumsi dari
sebuah teori saja, melainkan mesti dilihat secara riil dan kontekstual.
Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial dalam karyanya The Division Of
Labour yaitu secara mekanis dan organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam
kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat. Bagi Durkheim, solidaritas banyak di
pengaruhi oleh fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia
untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang disebutnya masyarakat.
Lewis Coser (1971) menjelaskan bahwa yang dimaksud Durkheim mengenai fakta sosial
adalah suatu ciri atau sifat sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi dan
psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia.
Ritzer (2004) juga menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat
memaksa karena mengandung struktur-struktur yang berskala luas misalnya undang-undang
yang melembaga. Sesuai dengan pernyataan beliau bahwa: Suatu fakta sosial harus dikenal
oleh kekuatan memaksanya yang bersifat eksternal yang memaksa atau mampu memaksa
individu, dan hadirnya kekuatan ini dapat dikenal kalau tidak diikuti, baik dengan adanya suatu
sanksi tertentu maupun sesuatu perlawanan yang diberikan kepada setiap usaha individu yang
Namun orang dapat juga mengenalnya dengan tersebarnya fakta sosial itu dalam
kumpulan itu, asalkan dia dapat memperhatikan bahwa eksistensi fakta sosial itu sendiri
terlepas dari bentuk-bentuk individu yang diasumsikan dalam penyebaran tersebut (Emile
Durkheim 1964). indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup
dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan (represif). Nilai-nilai ini men-justifikasi setiap
prilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang kuat
tersebut.
Hukuman pada pelaku kejahatan memperlihatkan pelanggaran moral dari kelompok
tersebut melawan ancaman atau penyimpangan yang demikian tersebut, karena mereka
dipandang sudah merusakkan keteraturan sosial. Hukuman tidak harus mencerminkan
pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang
memojokkan masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk
menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya, sebaliknya ganjaran itu menggambarkan
dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul. Sebenarnya tidak terlalu banyak sifat orang
yang menyimpang atau tindakan kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran
kolektif yang diperlihatkannya, tetapi perlu diketahui suatu sifat kejahatan muncul dari umpan
balik nilai-nilai masyarakat. Yang penting dari solidaritas mekanis adalah bahwa solidaritas itu
didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan
sebagainya. Homogenitas ini hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat minim
(Johnson,1986), Berlawanan dengan solidaritas mekanis, solidaritas organis muncul karena
pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling
ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari
bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Pendefenisian Solidaritas Sosial
Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial dalam karyanya The Division Of
Labour yaitu secara mekanis dan organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam
kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat. Bagi Durkheim, solidaritas banyak di
pengaruhi oleh fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia
untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang disebutnya masyarakat.
Lewis Coser (1971) menjelaskan bahwa yang dimaksud Durkheim mengenai fakta sosial
adalah suatu ciri atau sifat sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi dan
psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia. Ritzer
(2004) juga menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat memaksa
karena mengandung struktur-struktur yang berskala luas misalnya undang-undang yang
melembaga. Sesuai dengan pernyataan beliau bahwa:
Suatu fakta sosial harus dikenal oleh kekuatan memaksanya yang bersifat eksternal yang
memaksa atau mampu memaksa individu, dan hadirnya kekuatan ini dapat dikenal kalau
tidak diikuti, baik dengan adanya suatu sanksi tertentu maupun sesuatu perlawanan
yang diberikan kepada setiap usaha individu yang condong untuk melanggarnya.
Namun orang dapat juga mengenalnya dengan tersebarnya fakta sosial itu dalam
kumpulan itu, asalkan dia dapat memperhatikan bahwa eksistensi fakta sosial itu sendiri
terlepas dari bentuk-bentuk individu yang diasumsikan dalam penyebaran tersebut
Solidaritas Sosial Dalam Perspektif Sosiologi Dan Hukum
Sosiolog Emile Durkheim menamakan hal pembagian kerja tersebut dengan sebutan solidaritas. Selanjutnya, Durkheim membagi jenis solidaritas tersebut ke dalam dua bentuk sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu dan hingga kini rasanya masih relevan untuk
dikemukakan.
Pertama, solidaritas organik. Yakni, solidaritas yang terbangun antara sesame manusia yang didasari akar-akar humanisme serta besarnya tanggung jawab dalam kehidupan sesama. Solidaritas tersebut mempunyai kekuatan sangat besar dalam membangun kehidupan harmonis antara sesama.
Karena itu, landasan solidaritas tersebut lebih bersifat lama dan tidak temporer. Kedua, solidaritas mekanistik. Bentuk hubungan antar sesama selalu dilandaskan pada hubungan sebab akibat (kausalitas), bukan pada kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan yang terjalin lebih bersifat fungsional sehingga lebih temporer sifatnya. Pada tataran lebih luas, bisa saja solidaritas yang terbangun di dalamnya didasarkan pada kacamata niaga, yang di dalamnya berlaku hukum untung rugi.
M‘nurut Em”l‘ Durk“‘”m, sol”dar”tas sos”al adala“ k‘s‘t”akawanan yang m‘nunjuk pada
satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
b‘rsama .
Solidaritas sosial menurutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan, di bagi menjadi
dua ya”tu: p‘rtama, m‘kan”k adala“ sol”dar”tas sos”al yang d”dasarkan pada suatu k‘sadaran
antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya akibat spesialisasi jabatan (pembagian kerja).
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri.
Dalam masyarakat yang m‘kan”s , m”salnya, para p‘tan” gur‘m “”dup dalam masyarakat yang
swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama.
Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dan lain-lain) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif-seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
bahwa kesadaran kolektif dalam segi-segi tertentu justru bertambah kuat, yaitu dimana kesadaran kolektif ini memberi tekanan kepada martabat individu.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Faktor Pendukung Dan Perusak Solidaritas Sosial
Perspektif hukum dalam konteks interaksi sosial dapat mengalami perubahan dalam pengaturan dan penerapan. Hukum yang diharapkan bisa memecahkan masalah secara adil dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, dalam kenyataan bisa berubah ke arah pengaturan dan penerapan hukuman bagi siapa yang kuat dialah yang menang. Inilah fenomena yang mewarnai penerapan hukum dalam konteks sosial.
Perubahan dalam penerapan hukum itu merupakan fenomena yang berlangsung secara alami, karena itu perlu dipahami apa yang sesungghnya terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana penerapan hukum itu berlangsung. Diskursus tentang penerapan hukum dalam masyarakat merupakan topik yang menarik karena sering bersifat kontroversial. Terdapat pakar yang berpendapat bahwa secara konseptual perangkat hukum merupakan instrumen yang inhernt dalam kehidupan sosial, tetapi dalam kenyataan hal itu terkesampingkan. Karena itulah masyarakat menuntut p‘rlunya tatanan hukum baru dalam
rangka menjaga ketertiban sosial.
ikatan sosialnya, dan kelompok yang menjadi perantara individu menjadi tidak berkembang dengan baik.
Studi tentang perubahan hukum sangat lekat dengan cara mengarahkan peran manusia sebagaimana yang diharapkan. Di sini posisi hukum menjadi multi dimensi dalam kehidupan manusia, oleh karena itu dalam perubahan hukum juga menyangkut secara langsung terhadap keperluan ketertiban sosial yang meliputi nilai dan norma sosial, sistem kemasyarakatan, kebiasaan dan relasi sosial yang belum maupun yang sudah mapan, dan sistem kelembagaan sehingga meskipun ada pergeseran tetapi pranata hukum diharapkan tetap terjaga.
Perubahan hukum dalam kehidupan sosial merupakan suatu kenyataan yang terjadi dalam usaha manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Perubahan hukum itu bisa berbentuk evolusi, transformasi ataupun revolusi, tergantung dari dinamikanya. Perubahan hukum juga bisa terjadi secara sepotong-sepotong (graduil) atau serempak (radical). Perubahan hukum dan akibatnya terhadap kondisi masyarakat telah menjadi fakta dalam kehidupan manusia, sebagai reaksi atas rangsangan dari luar maupun dari dalam masyarakat sendiri. Akibat dari perubahan itu terhadap kehidupan manusia menimbulkan efek positif ataupun negatif.
Selain perubahan hukum (law change), dikenal juga perkembangan hukum (law development), yaitu suatu perubahan yang ditujukan untuk mencapai kemajuan atau perbaikan keadaan hidup masyarakat. Dengan perkataan lain perkembangan hukum berkaitan dengan rekayasa yang dapat dicapai melalui penggunaan ilmu pengetahuan untuk memperbaiki tatanan sosial agar dengan perbaikan itu manusia dapat hidup lebih layak sesuai dengan martabatnya.
adalah untuk menyelesaikan benturan kepentingan antar sesama manusia (conflict of human interests) yang terjadi di masyarakat melalui proses distribusi keadilan (dispensing justices).
Bagi masyarakat tertentu perkembangan hukum bisa dianggap sebagai pemicu terjadinya kontradiksi yang menajam dan keras bahkan menjadi penyebab timbulnya kerusuhan sosial karena implementasinya yang tidak adil. Pandangan ini didasarkan pada fakta yang terjadi disekitar kehidupan manusia bahwa, instrumen hukum tidak bekerja secara memuaskan dan justru memicu konflik yang membesar dan distruktif. Masyarakat sering dikecewakan oleh tindakan dari aparat yang tidak adil, tidak tegas, bertele-tele, tidak tuntas dan cenderung mencari-cari kesalahan orang (extra yudicial crime). Bahkan masyarakat sering melihat dan merasakan kolusi antar preman (lawer maupunhigh) dengan aparat penegak hukum, sehingga muncul istilah seperti mafia pengadilan atapun mafia penyidikan.
Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri. Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim yang membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori :
Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis ini, terjadi dalam masyarakat yang memiliki ciri khas keseragaman pola-pola relasi sosial, memiliki latar belakang pekerjaan yang sama dan kedudukan semua anggota. Apabila nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, dapat menyatukan mereka secara menyeluruh. Maka akan memunculkan ikatan sosial yang kuat dan di tandai dengan munculnya identitas sosial yang kuat pula. Individu menyatukan diri dalam kebersamaan, sehingga tidak ada aspek kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat. Karena itu, tidak terbayangkan bahwa hidup mereka masih dapat berlangsung apabila salah satu aspek kehidupan di pisahkan dari kebersamaan.
memiliki kepercayaan dan pola normatif yang sama. Individualitas tidak berkembang karena di hilangkan oleh tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya.
S”ngkatnya, sol”dar”tas m‘kan”s d” dasarkan pada suatu k‘sadaran kol‘kt”’ (collective consciousness) yang di lakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total di antara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.
Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok social yang di dasarkan pada solidaritas mekanis, yakni :
a) Pembagian kerja rendah b) Kesadaran kolektif kuat c) Hukum represif dominan d) Individualitas rendah
e) Konsensus terhadap pola normatif penting
f) Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang g) Secara relatif sifat ketergantungan rendah
h) Bersifat primitif atau pedesaan.
Solidaritas organis
Solidaritas organis terjadi di masyarakat yang relatif kompleks dalam kehidupan sosialnya namun terdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Pada kelompok sosialnya, terdapat ciri-ciri tertentu, yaitu :
a) Adanya pola antar-relasi yang parsial dan fungsional b) Terdapat pembagian kerja yang spesifik,
c) Adanya perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya.
Perbedaan pola relasi-relasi dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran yang membutuhkan kebersamaan serta diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Karena itu, ikatan solidaritas tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.
Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini di dasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini di akibatakan karena spesialisasi yang tinggi di antara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus mengurangi kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya, kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser. Keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula di dasarkan oleh kesadaran kolektif.
Contoh lainnya yaitu dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis, proses perubahan kepemimpinan di lakukan secara turun temurun dari kepala suku atau etua adat. Berbeda dengan masyarakat organis proses suksesi kepemimpinan di lakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat atau individu. Contohnya seperti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia melalui Pemilihan Umum yang melibatkan seluruh warga Negara Indonesia.
Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, di mana dalam solidaritas organis di ciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja tersebut membagi aktivitas yang mulanya hanya dilaksanakan oleh satu individu menjadi lebih besar dengan bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja akan menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional di butuhkan untuk saling melengkapi. Karena itu untuk memunculkan suatu solidaritas sosial dalam kelompok berdasarkan kepentingan bersama yang sifatnya tertentu.
Nampak bahwa pada solidaritas organis menekankan tingkat saling ketergantungan yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu. Perbedaan individu akan mengurangi kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organis menurut Durkheim di tandai dengan eksistensi hukum yang bersifat restitutif atau memulihkan, melindungi pola ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Doyle Paul Johnson pun secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial atau masyarakat pada solidaritas organis, yakni;
a) Pembagian kerja tinggi; b) Kesadaran kolektif lemah;
c) Hukum restitutif/memulihkan dominan; d) Individualitas tinggi;
e) Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;
g) Saling ketergantungan tinggi; dan h) Bersifat industrial perkotaan.
Peranan Hukum Sebagai Perekat Solidaritas
Bagi Emile Durkheim, masyarakat berbeda dengan individu (John J. Macionis, Sociology), Masyarakat berada di luar (beyond) individu. Masyarakat ada sebelum, di tengah, dan setelah kehadiran individu di dunia. Masyarakat akan tetap ada kendati individu-individu sudah tidak lagi menjadi anggotanya. Masyarakatlah yang punya kekuasaan mengarahkan pemikiran dan tindakan manusia. Sebab itu, kajian psikologi atau biologi dianggap tidak pernah bisa menangkap inti pengalaman sosial seseorang. Segera setelah dibentuk oleh sekumpulan orang, masyarakat seterusnya bergerak secara mandiri. Bahkan, masyarakat menuntut kepatuhan dari orang-orang yang telah membentuknya.
Bagi Durkheim, struktur sosial adalah pola perilaku manusia yang meliputi norma, nilai, dan kepercayaan. Pola perilaku tersebut dikodifikasi di dalam budaya. Struktur sosial juga disebut Durkheim sebagai fakta sosial. Fakta sosial adalah struktur sosial yang benar-benar ada di luar individu, sifatnya permanen, bukan trend. Selain struktur, masyarakat juga punya fungsi. Fungsi ini memastikan masyarakat mampu beroperasi. Salah satu fakta sosial adalah kriminalitas. Bagi Durkheim, secara sosial fungsi kriminalitas tidaklah abnormal. Eksisnya kriminalitas menunjukkan kemampuan masyarakat dalam mendefinisikan moralitas. Sanksi yang diberikan sanksi masyarakat atas para pelaku kriminal menunjukkan eksistensi norma sosial yang harus dipatuhi setiap anggotanya.
Durkheim juga menyorot integrasi sosial. Pandangan menarik Durkheim mengenai ini adalah kasus bunuh diri. Menurut Durkheim, bunuh diri lebih banyak terjadi dalam masyarakat yang lemah integrasi sosialnya. Dalam sebuah penelitian – dimuat dalam karya tulisnya,
Suicide tingkat bunuh diri rendah di kalangan masyarakat Katolik ketimbang Protestan. Bagi Durkheim penyebabnya adalah, penekanan kolektivitas pada masyarakat Katolik lebih besar, sementara Protestan lebih kepada individualitas.
Durkheim berbeda dengan Weber dalam memandang konsep masyarakat tradisional dan modern. Bagi Durkheim, masyarakat modern punya pembatasan yang lebih sedikit atas individu ketimbang yang dilakukan masyarakat tradisional. Akibat sedikitnya keterlibatan masyarakat atas individu modern, masyarakat modern cenderung menciptakan anomie. Anomie adalah kondisi di mana individu hanya sedikit mendapat bimbingan moral dari masyarakat. Akibat anomie, tingkat perceraian, kehamilan di luar nikah, bunuh diri, stress dan depresi individual lebih banyak terdapat di masyarakat modern ketimbang tradisional.
Durkheim juga mengkomparasikan kohesi sosial antara masyarakat tradisional dengan modern. Komparasi Durkheim lakukan atas aspek solidaritas sosial. Pada masyarakat pra-industrial, tradisi bertindak sebagai perekat sosial (kohesi) masyarakat. Masyarakatnya mengembangkan solidaritas-mekanik. Solidaritas-mekanik adalah ikatan sosial berdasarkan nilai-nilai moral dan sentimen bersama dan masih kuat dianut serta dipatuhi oleh para anggota masyarakat. Solidaritas-mekanik sekaligus merupakan produk kesamaan struktur, okupasi, dan proses sosial masyarakat.
yang saling bergantung seperti arsitek, mandor, teknik sipil, tukang listrik, tukang pipa, buruh bangunan kasar, ataupun pejabat yang mengurus Izin Mendirikan Bangunan. Mereka tidak bisa bekerja sendiri dalam mendirikan suatu bangunan, dan mereka hanya mau bekerja jika kompetensi masing-masing diimbali dengan uang.
C. Penutup
Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanis untuk menganalisa masyarakat
keseluruhannya. Solidaritas mekanis lebih menekankan pada sesuatu kesadaran kolektif
bersama (collective consciousness yang menyandarkan pada totalitas kepercayaan dan
sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama.
Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang bergantung pada individu-individu yang
memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma yang sama pula.
Oleh karena itu sifat individualitas tidak berkembang, individual ini terus menerus akan
dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Individu tersebut tidak harus
mengalami atau menjalani satu tekanan yang melumpuhkan, karena kesadaran akan
persoalan hal yang lain mungkin juga tidak berkembang. Inilah yang menjadi akar
memudarnya atau deintegrasi nilai pada solidaritas mekanis.
Pertama, perlu diketahui bahwa nilai barang bersifat ekonomis semakin lama nilainya
akan menyusut. Kedua, kesadaran kolektif sebenarnya tidak stagnan atau tetap, melainkan
bergerak liar dalam setiap tindakan masyarakat.
Berlawanan dengan solidaritas mekanis, solidaritas organis muncul karena pembagian
kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi. Saling ketergantungan itubertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi
dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggalakkan bertambahnya
perbedaan pada kalangan individu.
Munculnya perbedaan-perbedaan pada kalangan individu ini merombak kesadaran
sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara
individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya.
S‘p‘rt” yang d”nyatakan Durk“‘”m ba“wa ”tula“ pembagian kerja yang terus saja
mengambil peran yang tadinya d””s” ol‘“ k‘sadaran kol‘kt”’ . Durkheim mempertahankan
bahwa kuatnya solidaritas organis itu ditandai oleh pentingnya undang-undang yang bersifat
memperbaiki, menyehatkan maupun yang bersifat memulihkan (restitutif) daripada yang
bersifat represif.
Tujuan dari kedua bentuk undang-undang tersebut sangat berbeda. Undang-undang
represif lebih mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat sedangkan
undang-undang restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan
yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Oleh karena itu, sifat ganjaran-ganjaran yang diberikan kepada seseorang pelaku
kejahatan berbeda dalam kedua undang-undang itu. Mengenai tipe sanksi yang bersifat
restitutif Durkheim mengatakan bukan b‘rs”’at balas d‘ndam, m‘la”nkan “anya s‘k‘dar
m‘ny‘“atkan k‘adaan .
Terlaksananya undang-undang represif sebenarnya bukan memperkuat keadaan karena sudah
adanya investasi nilai tetapi represif sedikit demi sedikit akan menuju kepada undang-undang