• Tidak ada hasil yang ditemukan

Horas dan Lalu Lintas docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Horas dan Lalu Lintas docx"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

I. Pendahuluan

Keselamatan dalam thema “HorasLalu Lintas” (HLL).

Keselamatan dan disiplin sangat berkaitan erat, ketika HLL dapat dibangun dalam kesadaran dan kebudayaan berlalu-lintas, maka kenyamanan dan keselamatan ber-”Lalu Lintas”1 (mengemudi) bukan sesuatu yang mustahil dialami masyarakat

kota (oleh masyarakat Batak khususnya di mana pun berada).

HLL adalah pesan ber’warna budaya Batak (Batak Toba khususnya) mengingat disiplin dan keselamatan berlalu-lintas atau berkenderaan di kota (“contoh yang lebih dekat Medan sekitarnya”2) saat ini sangat memperihatinkan hingga sampai

membahayakan.

Jalan Raya dan Rambu-rambu Lalu-lintas adalah “pasangan” yang seharusnya dipatuhi oleh setiap pengguna jalan (pejalan kaki atau pedestrian dan pengemudi)3.

Lebih dalam bahwa sejatinya “Aspek Hukum Administrasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 perihal pembinaan yang pelaksanaannya secara bersama-sama melibatkan semua instansi terkait (stakeholders). Mereka adalah Urusan Pemerintahan dan Kementerian yang bertanggungjawab di bidang:4

a. Jalan.

b. Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. c. Pengembangan Industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. d. Pengembangan Teknologi dan Angkutan Jalan.

1 Istilah dan maksud dari pada “Lalu Lintas” sebenarnya tidak hanya menyinggung infrastruktur Lalu Lintas di darat (atau jalan raya), namun Lalu Lintas itu juga menyangkut infrastruktur Lalu Lintas di bandara dan pesawat udara (lih. dan band. A. Sugiya & S. Ratnawati, 2013, 387-388), juga Lalu Lintas Rel Kreta Api (lih. dan band. A. Sugiya & S. Ratnawati, 531), juga Lalu Lintas Laut (lih. dan band. 531).

2 Menurut B.A. Simanjuntak dalam kutipannya dari E.M. Bruner, bahwa orang Batak di perantauan itu mudah mencapai harmoni (keharmonisan), seperti di kota Bandung. Sedangkan orang Batak di Medan, karena tidak adanya dominant culture (kebudayaan yang dominan), maka sistem adaptasi social cultural yang dilakukan orang Batak di Bandung tidak terjadi di Medan, karena itu kemajemukan budaya di Bandung lebih mudah dikontrol, bahkan justru diserap oleh pendatang, termasuk orang Batak, yang manifestasinya terlihat di dalam gaya hidup “Batak Bandung”, apabila kembali ke Bona pinasa (kampung halaman), yang kelihatannya sudah lebih halus, bahkan ke-Sunda-annya sudah lebih menonjol dari ke-Batak-annya. Sedangkan di Medan kemajemukan itu justru sering menimbulkan persaingan yang destruktif dan kadangkala berubah menjadi konflik sosial. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat yang majemuk yang walau bertempat tinggal dalam lingkungan yang sama, cenderung untuk hidup segregatif (memencil), hal ini dikarenakan agama yang berbeda, tingkat sosial yang berbeda, asal yang berbeda, dan lai-lain. “Batak-Bandung” memakai pola dan sistem adaptasi sedangkan “Batak-Medan” berkompetisi keras. (B.A. Simanjuntak (ed.), 1986, 223).

(2)

e. Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasi Manajemen, dan Rekayasa Lalu Lintas serta Pendidikam Berlalu Lintas (khusus dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Kelima stakeholders yang disebut di atas adalah merupakan tim yang masif dalam menata dan membangun HLL. Tim tersebut dan seluruh masyarakat secara bersama-sama menjalankan kepatuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Kenyataan bagaimana keadaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini tentu seharusnya (hukumnya) sangat berpotensi dan berperan untuk menjamin tercapainya HLL yang dimaksud di atas (sebagaimana telah dijadikan judul tulisan ini). Sesuatu yang baik untuk dicamkan bagaimana dampaknya jika setiap pengemudi mematuhi (sadar) akan semua rambu-rambu lalu lintas dan bagaimana potret bahaya yang terjadi ketika pengemudi melanggar aturan-aturan yang sudah baku untuk patuhi.

Ada dua (2) kemungkinan di sana, yaitu: pertama, ketika rambu-rambu lalu lintas dipatuhi, maka perjalanan dan tujuan akan dapat dicapai dengan selamat (sampai di tujuan tanpa kekurangan sesuatu apa pun) atau bertemu dengan keluarga, saudara-saudari, kerabat, sahabat, dan rekan serta mitra kerja dalam suasana akrab dan hangat (dalam konteks halak “orang” Batak, maka kata “Horas” akan selalu diucap-balas dalam semua peristiwa sehat, sejahtera, dan bahagia itu)5; kedua, ketika

rambu-rambu lalu lintas tidak dipatuhi (dilanggar), maka perjalanan (yang sebelumnya dalam angan-angan akan segera dapat dicapai) dalam faktanya sudah atau selalu mengakibatkan “kecelakaan”6 hingga berujung pada kecelakaan maut.

5 Lih., bc., dan band. M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea (1978), 59.

6 Bagi orang Batak, jika terjadi musibah (baca: kecelakaan), dan seseorang yang mengalami kecelakaan itu masih selamat, maka keluarga sepakat untuk Mangupa upa, yaitu Perjamuan Makan Adat. Beras yang keras (Boras Pir) akan ditabur dan dibiarkan di ubun-ubun yang baru saja sehat setelah mengalami kecelakaan. Kalimat “Pir ma tondim” (Teguhlah roh-mu” akan diucapkan sembari menaburkan beras di ubun-ubun. Ini adalah rangkaian doa yang akan mereka lakukan dan di dalam seremoni Mangupa upa rangkaian doa yang dipanjatkan itu adalah syukur kepada Tuhan karena telah diberi keselamatan dan kiranya kesehatan dia yang mengalami kecelakaan itu segera dipulihkan (J. Situmorang, 1965, 107-110). Selama kegiatan ini berlangsung maka umpama dan umpasa

(3)

Akhirnya tempat dan tujuan tak pernah dapat dicapai. Bertemu dengan keluarga, saudara-saudari, kerabat, sahabat, dan rekan serta mitra kerja dalam suasana akrab dan hangat tidak lagi dirasakan. Bukan hal yang jarang mendengar dan menyaksikan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas (Lakalintas) di jalan raya kota hanya karena sangat kurangnya kepatuhan (baca: disiplin) ber’lalu-lintas.7

Sekali lagi, tulisan ini refleksi budaya Batak (Toba khususnya) dan menyapa mereka, “Sudahkah patuh dalam Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?” Di manakah ke-khasanah-an makna kata “HORAS” yang selalu bergaung di setiap pertemuan atau perkumpulan, perpisahan, perjalanan, perencanaan, perjuangan, dan pencapaian dalam kehidupan, kekeluargaan, dan kebudayaan masyarakat Batak itu?

Kembali pada topik “keselamatan” yang berwarna budaya, HLL ini membangun pemahaman mendasar bagaimana selayaknya pesan budaya ini mengakar kuat dalam sikap dan perilaku masyarakat dalam mematuhi “Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” karena pada dasarnya kepatuhan seluruh lapisan masyarakat (perkotaan) akan mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas. Selanjutnya sekaligus juga akan mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.8

Suku Batak adalah suku yang mempunyai jumlah terbesar dari jumlah suku-suku yang ada di Sumatra Utara dan hampir mendiami seluruh daerah dan kabupaten memulihkan semangat, maka diupa upa.” (110).

7 Bandingkan (band.) dan lihat (lih.) A. Sugiya dan S. Ratnawati (2013). Salah satu berita yang dimuat dalam “Buku Pintar Kompas 2012” ini diberitakan perihal kecelakaan lalu lintas “Xenia Maut” Afriyani Susanti pengemudi yang menabrak dua belas (12) orang yang berada di trotoar Jalan M. Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat. Lima (5) orang di antaranya tewas di lokasi dan empat (4) orang lainnya tewas dalam perawatan RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Hasil pemeriksaan di kepolisian menyimpulkan bahwa dia bersama teman-temannya telah menelan seperempat tablet narkoba jenis inex saat berada di suatu diskotik, Jakarta Barat, sebelum kecelakaan maut tersebut terjadi. Kecelakaan lalu lintas tragis tersebut menyingkapkan bahwa mengemudikan kendaraan melebihi kecepatan dan mengemudi dalam kondisi tidak sehat karena mengkonsumsi narkoba dan bergadang ternyata sangat fatal akibatnya (12-13). Juga 49-51.

(4)

di Sumatra Utara9, dan untuk skala nasional, suku Batak adalah salah satu suku yang

tingkat populasinya terbesar keempat di Indonesia (setelah suku Jawa, Sunda, dan Bali.10 Suku Batak sebagai bagian dari integrasi seluruh bangsa ini (baca: Indonesia)

ikut terpanggil dalam mempercepat pendewasaan sikap patuh akan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang telah disosialisasikan oleh semua stakeholders

sejak lima (5) tahun yang lalu hingga tahun 2014 ini.

II. Mengapa “Horas”?

Horas” adalah sebuah kata yang sangat bermakna bagi masyakat Batak (khususnya Toba). Horas adalah ucapan salam saat bertemu atau saat ada perjumpaan; dan memiliki makna yaitu hidup, selamat, sejahtera, makmur, senang, sehat, bahagia lahir dan batin. Juga mengandung makna yaitu kuat dan teguh.11

Mengapa “Horas”? Dari makna kata pada paragraf di atas, mencatat bahwa masyarakat Batak mempunyai prinsip yakni setiap saat “keselamatan” itu adalah sesuatu yang wajib untuk diucapkan (sapaan atau greetings), dan keselamatan itu diucap-dibalas dalam setiap pertemuan dan perpisahan. Tentu ada senggang waktu atau periode waktu (detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan dekade) di sana yang telah dilampaui, diseberangi sampai pertemuan dan kebersamaan itu berlangsung secara khusus atas nama persaudaraan dan kekeluargaan (kinship) yang mengikat. Di dalam menuju pertemuan dan saat beranjak pergi meninggalkan pertemuan tersebut, di sanalah Lalu Lintas menjadi sangat berpotensi dan berperan agar “Horas” yang diucap-dibalas itu tetap bermakna “selamat” atau “keselamatan”.

Horas lebih dalam lagi bermakna doa, ridho, restu, dan berkat.12 “Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan” yang digunakan dengan filosofi Horas sesungguhnya berdampak dua kali (2X) lipat dalam membangun (menjamin) keselamatan para pengemudi dan pengguna jalan termasuk pedestrian. Dalam HLL ada kesinoniman yang melipatgandakan sekaligus pengulangan atau repeating pada tujuan dan makna

9 S. Dakung, (1982), hal. 4-7.

10 Informasi ini pernah dibaca dan dimuat dalam sebuah buku namun penulis lupa dan sulit menemukan sumber itu untuk waktu sekarang (Edward Simon Sinaga, diidentifikasi ESS).

(5)

dari kata “Horas” - dan tujuan dan makna dari dibangunnya “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”. Horas dalam makna hidup, sejahtera, makmur, senang, sehat, bahagia lahir dan batin (kuat dan teguh) menekankan satu kekuatan yang sama tujuannya sebagaimana terdapat dalam fungsi, manfaat, dan tujuan “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” yang sejatinya dibangun juga untuk ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan seluruh masyarakat pengguna jalan (pengemudi dan pedestrian). Kata “Keselamatan” telah menjodohkan (baca: menggabungkan) kata sifat atau keadaan “Horas” dengan kata benda atau keterangan tempat “Lalu Lintas”.

III. “HLL”

Asas dan tujuan Perundang-Undangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menciptakan situasi dan kondisi aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain. Hal yang lebih mendasar dan telah menjadi harapan serta cita-cita seluruh masyarakat selain menciptakan kekondusifan juga mendorong perekonomian nasional, mewujudkan “kesejahteraan rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa”13, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Atas nama “keamanan”

yang telah menjadi artikulasi dalam Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tata tertib berlalu lintas dan cita-cita kemanusiaan yang disebutkan sebelumnya (baca:

13 Isu “Kesejahteraan Rakyat, Persatuan dan Kesatuan Bangsa” yang sering menjadi perenungan dan di atasnya Pemerintah terus berupaya adalah perihal “Papua Bergolak, Aksi Kekerasan Yang Tak Berujung, dan Konflik Papua.” Dari beberapa isu atau permasalahan yang dicatat dalam Buku Pintar Kompas 2012, isu-isu atau permasalahan-permasalahan di sana di mana salah satunya adalah kegagalan pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Pemerintah sudah memberi pernyataan-pernyataan oleh Presiden bahwa pemerintah telah mengembangkan enam koridor ekonomi nasional terhadap Papua tahun 2011,

(6)

kesejahteraan rakyat), maka kedewasaan dan perilaku HLL akan menjadi perwujudan etika berlalu lintas dan budaya bangsa (just culture). Bukan hal yang mudah sebab pencapaian etika dan budaya HLL harus dibangun di atas dasar upaya-upaya seperti pembinaan, pemberian bimbingan, dan pendidikan berlalu lintas (bahkan sejak usia dini) serta dilaksanakan melalui program yang berkesinambungan.14

Mengingat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga sudah menjadi arena di mana anak-anak remaja (anak muda) saat ini untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang meresahkan masyarakat. Pada awalnya perbuatan mereka itu bisa dikatakan ringan karena masih sebatas pertengkaran, minum-minuman keras, begadang atau berkeliaran sampai larut malam.15 Mengingat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

dijadikan ajang show (baca: arena) perbuatan-perbuatan mereka, tentunya kategori perbuatan ringan tadi bisa menjadi sumber bencana yang akan berakibat sangat tragis. Area Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, mereka sulap menjadi hingar-bingar, riuh, disertai dengan judi atau perjudian.16 Lebih jauh Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

mereka jadikan menjadi arena balapan yang sangat mengganggu ketenteraman sehingga sangat meresahkan masyarakat sebagaimana terjadi di jalan-jalan raya kota (termasuk Medan sekitarnya).17

Perihal kenakalan remaja (pemuda) jika dibagi per-dekade jelas di sana ada ke-khas-an masing-masing. Sejak tahun 1950-an hingga tahun 1980-an di sana ada corak-corak perilaku yang jika digambarkan “grafik-corak-keresahan” yang diakibatkannya boleh dikatakan sangat memperihatinkan karena dekade-dekade di atas bermanifestasi melalui munculnya penodongan-penodongan ijazah dan sifat menjadi “pahlawan kesiangan” mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1950 telah membuka jalan dari desa ke kota (urbanisasi cukup deras). Hidup bergaya bebas dan bermalas-malasan (hippies), meniru budaya negatif (film porno dan sex bebas) dari luar (Barat), sehingga sejarah kejahatan atau tindak

(7)

kriminal bermunculan karena sulitnya mencari pekerjaan yang cocok dan meningkatnya tuntutan hidup di kota, dan nafsu konsumerisme yang tinggi, irrasional, dan tidak seimbang dengan keadaan sosial-ekonomi mereka. Tindakan kriminal akhirnya bukan lagi hanya diaktori oleh anak-anak remaja (pemuda) yang putus sekolah (drop out) tetapi juga yang aktif dalam studi (sekolah atau kuliah). Sangat jelas frekuensi tindakan kriminal yang mencoraki kehidupan mereka tahun-tahun (dekade-per-dekade) hingga tahun 1980-an dan telah tercatat bahwa jalan-jalan ramai (baca: Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) sudah menjadi lahan yang empuk untuk melakukan penjambretan dan berbagai keberandalan. Lebih masif lagi bahwa perkelahian massal antar sekolah - antar kelompok, pemerasan, penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan sudah semakin mengancam kehidupan masyarakat kota besar pada umumnya.18

Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan pengakuan dunia internasional atas kedaulatan NKRI ironisnya segera “disambut” dengan fenomena-fenomena gaya hidup anak-anak remaja dan pemuda, hingga benar-benar menjadi thema-thema pembahasan dan penanggulangan atas keonaran, keberandalan, hingga kesadisan yang telah meresahkan dan mengganggu ketenteraman hidup masyarakat umumnya sebagaimana telah diuraikan pada paragraf sebelumnya. Bagaimana dengan remaja dan pemuda Batak?

Bagi masyarakat Batak, NKRI 1950 adalah pintu gerbang untuk beranjak pindah atau merantau dari “Bonapasogit“19 mengingat semakin padatnya pertambahan

jumlah penduduknya. Daerah atau wilayah yang pertama-tama didatangi untuk tempat merantau adalah Sumatra Timur, Asahan, Labuhan Batu, Langkat, dan Deli Serdang. Kemudian Aceh Selatan, Jambi, Riau, dan selanjutnya menyusul ke daerah-daerah pulau Jawa, terutama kota Jakarta. Kemudian gelombang asa pencarian ilmu pengetahuan terus-menerus berirama mengingat semakin banyaknya remaja dan

18 K. Kartono (2014), 101-128.

(8)

pemuda Batak yang berangkat ke kota-kota besar di Indonesia seperti: Medan, Jakarta, Yogyakarta, Bogor, Bandung (dan kota-kota besar lainnya) untuk melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Mendambakan pendidikan yang setinggi-tinginya adalah asa yang telah kuat berakar di hati atau cita-cita masyarakatnya, dan para orangtua suku Batak tidak pernah takut atau hitung-hitungan (baca: segan-segan) untuk mengusahakan dana agar ilmu yang dicita-citakan anak-anak mereka dapat tercapai. Hal materi, tenaga, pikiran, nasihat, harapan, dan doa senantiasa terus mengalir dari orangtua untuk mendukung agar anak-anak mereka dapat meraih gelar-gelar (keahlian) sesuai dengan pendidikan yang mereka dapat di Perguruan Tinggi.20 Di balik asa ingin terus maju dan sukses dengan jalur pendidikan

yang sebelumnya diutarakan, tentu pengaruh masa ke masa perihal fenomena gaya hidup negatif anak remaja dan pemuda umumnya juga berimbas dan mewarnai keberadaan remaja dan pemuda Batak khususnya mengingat bahwa setiap permasalahan dan keresahan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat perkotaan, juga merupakan permasalahan masyarakat Batak khususnya, karena orang Batak sudah berdiaspora (apalagi sifat orang Batak, dikenal dengan “marsitogu toguan”21,

artinya “saling bertolong-tolongan atau budaya saling menolong, dalam arti, saudara yang telah lebih dulu merantau ke kota, akan memanggil saudaranya yang lain dari desa karena di kota hidup telah dapat dicapai atau maju; orang Batak “Toba” bermigrasi “ke Jakarta khususnya” adalah spontan, secara pribadi dan kelompok, namun bukan besar-besaran22) hampir ke seluruh penjuru kota-kota besar yang ada di

Indonesia.23

Setelah lebih tiga puluh (30) tahun jika dikenali dari corak kenakalan-kejahatan remaja (pemuda) sampai tahun 1980-an di atas, dan mengingat Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang disosialisasikan secara masif sejak tahun 2009 yang lalu, maka HLL yang kontekstual (baca: akarnya lokal) sangat

20 H. Tampubolon (1986), 96-97.

21 Lih., dan bc. G.G. Malau, dkk. (2000), 285-292. 22 T. Nainggolan (2006), 111-140.

(9)

mungkin menjadi pendewasaan sikap, perilaku, dan budaya dalam menggunakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kapasitasnya me-nasional atau me-nusantara, (sekali lagi ditekankan di sini), menyadari dan menghitung putra-putri (muda-mudi) Batak yang terus melaju karena menuntut ilmu dan keahlian bekerja (talenta) ke seantero kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Bogor, dan Bandung (“Lahan Kewirausahaan atau Field of Entrepreneurship”24) di Indonesia.25

Karena itu HLL lebih dini bagi anak-anak (sebagaimana dalam kutipan nomor sembilan “9” paragraf pertama bagian tiga “III” di atas) akan menjadi dasar yang kuat dan bagi dunia remaja (pemuda) sebagai petunjuk untuk membangun kesadaran hukum (preventif terhadap hal-hal yang telah dibahas pada paragraph-paragraf sebelumnya pada bagian III di atas) sehingga terhadap hukum mereka memiliki pengetahuan, pemahaman kaidah-kaidahnya, sikap terhadap norma-normanya, dan perilaku taat atasnya.26

Ada pendapat berdasarkan analisa yang mengatakan bahwa semua corak kenakalan dan kejahatan anak-anak remaja atau pemuda disebabkan karena kealphaan figur atau suri teladan dari para pendahulu atau para dewasa (orang tua) yang telah dan sedang mewariskan (termasuk sikap perilaku dan melanggar tata tertib berlalu lintas) secara langsung dan tidak langsung. Dan lebih luas lagi segala ketidakpatuhan, kekejaman, dan perilaku membahayakan yang mereka sering pamerkan di jalan-jalan raya (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) menjadi refleksi dari perbuatan orang dewasa di segala sektor kehidupan. Di mana ada bayang-bayang hitam dan pergulatan seru yang penuh intrik, kekerasan, kekejaman, nafsu kekuasaan, kemunafikan, dan kepalsuan. Semuanya ditata-sembunyi rapi dan apik (elegant). Dalam situasi dan kondisi tanpa arah (baca: kehilangan) itu lebih tajam lagi anak remaja (pemuda)

24 Pemuda-pemudi Batak yang merantau sangat solid untuk terus eksis agar selanjutnya mereka dapat menjadi orang yang sukses sebagai perantau dan menjadi seorang wirausahawan atau wirausahawati, karena mereka akan mencoba berusaha dari beberapa sektor wirausaha di mana mereka akan memulainya, yaitu: Kecantikan,

Keterampilan, Konsultan, Industri, Tambang, Kelautan, Perikanan, Agribisnis, Perdagangan, Pendidikan, Percetakan, Seni, Kesehatan, Pariwisata, dan sebagainya (Lih. dan bc. Kasmir, 2012, 44-47).

(10)

memberontak dan tergenang dalam proses peniruan terhadap segala gerak-gerik dan tingkah laku orang modern dan “berbudaya” tidak patuh (disiplin) dalam Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sudah memperihatinkan itu. HLL sejatinya akan membangun introspeksi dan akan memperbanyak kearifan, kebaikan dan keadilan, dan memberi kesempatan kepada anak remaja (pemuda) dan menyertakan mereka pada kegiatan menentukan keputusan penting demi keadilan yang lebih merata dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya (edukasi dan etika Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Dan lebih kontekstual lagi adalah memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan anak remaja (pemuda) zaman sekarang serta ada kaitannya dengan pengembangan bakat dan potensi anak remaja (pemuda) dan secara tepatnya mempunyai sambungan dengan profesi atau pekerjaan anak remaja (pemuda) di masa-masa mendatang (remaja dan pemuda dalam pertumbuhan, cita-cita, perantauan, pekerjaan, dan pengabdian yang “Horas”).27

Anak remaja (pemuda) dalam HLL merupakan pembalikan arah perilaku dan kebiasaan ke “mata angin” budaya patuh (disiplin). Dampaknya adalah peran dan potensi mereka menjadi utuh dan berlipatganda sehingga mereka tidak hanya melangkah menggapai cita-cita dan mendapat pekerjaan yang tepat namun lebih jauh keselamatan yang dibangun di atas kepatuhan akan semakin memagari pertumbuhan karakter dan perilaku dewasa bangsa ini dalam HLL atas nama martabat bangsa sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya (di bagian III tulisan ini).

Psikologi sosial dalam konteks HLL membangun mental, sifat, motivasi, dan persepsi yang prosesnya menyangkut bahasa, dan perilaku meniru (memulai) etika pada Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sehingga kerjasama (kumpulan) anak remaja dan pemuda itu akan begitu kuat menjaga ketertiban, keamanan, dan keselamatan.28

Selanjutnya dalam psikologi sosial, HLL akan mengarah kepada “Teori Manejemen Kesan”. Di sana ada pengkonstruksian diri karena proses interaksi sosial. Konstruksi diri dalam HLL adalah dominant-submissive (dominan bersikap patuh).

(11)

Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu akan menjadi area untuk berinteraksi sosial. Setiap pengemudi dan pedestrian semakin menyadari HLL terus bergaung dalam kepatuhannya dan terefleksi dalam aksi pihak yang lainnya.29 Ada kekuatan

“Kesan Kepatuhan” yang dibangun dalam Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pertama-tama dan untuk seterusnya akan mengedukasi remaja dan pemuda dari generasi ke generasi demi dan untuk martabat bangsa.

Konsep diri perihal HLL mempunyai beberapa fungsi penting bagi setiap pengemudi dan pedestrian. Konsep diri perihal HLL dapat dipandang sebagai mekanisme yang memungkinkan setiap orang memaksimalkan kesenangan (baca: keselamatan) selama dia menggunakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Edukasi perihal Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang akurat dipadukan dengan “potensi-kepandaian”30 (accomplishments) akan selalu dijalankan sehingga

nyata banyak meningkatkan hasil-hasil yang positif (baca: selalu selamat sentosa) dalam segala aktivitas dan kehidupannya di Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. HLL yang jika telah membudaya di sepanjang jalan dan semua kota akan menjadi panduan pada setiap individu dan mengkaitkannya pada dirinya self-related), yang pada akhirnya konsep diri dalam HLL akan menjadi keselamatan yang dibangun di atas pemeliaharaan harga diri (self-esteem) atas nama kepatuhan dalam Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu.31 Sekali lagi HLL itu akhirnya demi dan untuk martabat bangsa.

Pemandangan yang tak asing lagi di negeri ini adalah ketika mudik Lebaran (tradisi yang turun temurun juga hari-hari raya agama lainnya) itu adalah saat “Infrastruktur Tambal Sulam”. Pemerintah melayani masyarakat melalui usaha ini agar semua pemudik dapat mencapai kampung halaman dengan baik dan nyaman.

29 Lih. dan band. B. Walgito (2011), 107-108.

30 “Aspek Hukum Administrasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 perihal pembinaan yang pelaksanaannya secara bersama-sama melibatkan semua instansi terkait (stakeholders). Mereka adalah Urusan Pemerintahan dan Kementerian yang bertanggungjawab di bidang: Jalan, Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pengembangan Industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pengembangan Teknologi dan Angkutan Jalan, Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasi Manajemen, dan Rekayasa Lalu Lintas serta Pendidikan Berlalu Lintas (khusus dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia). N. Sinamo (2014), 147-148.

(12)

Permasalahan yang sering terjadi bahwa sejumlah ruas jalur mudik belum sepenuhnya siap menjelang hari raya tersebut.32 Direpotkan lagi dengan tumpah-ruahnya

kenderaan (mobil dan sepeda motor) di jalan raya telah mengubah wajah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hasilnya adalah “Kemacetan”. Kepadatan kenderaan pada saat mudik dan jam pulang kerja yang mengakibatkan kemacetan dan (mungkin rentan dengan lakalintas) hingga saat ini belum ditemukan solusinya. Bukan hal yang baru mendengar “Reformasi Transportasi” terutama beberapa tahun belakangan ini, di mana upaya-upaya yang sudah sedang dilaksanakan adalah tidak hanya mendorong Penataan Transportasi Massal, tetapi juga mendorong Penyempurnaan Manajemen Lalu Lintas bersama Pengaturan Lampu Lalu Lintas dan Marka-marka Jalan.33

Infrastruktur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang masih belum memadai dan masih sedang diatasi (baca: dikonstruksi), edukasi kepatuhan dan disiplin Lalu Lintas yang masih minim sehingga kesadaran berlalu lintas itu masih miskin, terakhir tetap mengakibatkan kecelakaan-kecelakaan dari yang keadaannya ringan, berat, hingga lakalintas berujung maut. Kecelakaan yang situasi dan kondisinya selalu dikait-kaitkan dengan mesin-mesin yang melaju di atas jalanan. Baik itu bus, mobil pribadi, sepeda motor, dan lain-lainnya.

Data Lakalintas Nasional tahun 2012-2013 yang lalu menyingkapkan motif-motif penyebab di berbagai lokasi dan peristiwa yang telah sangat banyak “memakan” korban. Beberapa penyebab yakni: pengemudi bus yang melaju dengan kencang, ban mobil yang pecah, pengemudi dalam keadaan mabuk alkohol dan ekstasi, rem bus blong, pengemudi yang mengantuk, pengemudi bus yang ugal-ugalan dengan kecepatan tinggi, saat menyalip kenderaan lainnya, rem yang kurang berfungsi, kelalaian pengemudi, seorang pemabuk merampas angkot, pengemudi mengebut, percikan api akibat hubungan pendek arus listrik, kelebihan muatan, pengemudi yang kelelahan, truk yang tidak kuat menaiki tanjakan.34Penyebab lain

32 A. Sugiya dan S. Ratnawati (2014), 204-205. Untuk lebih lengkap lih. dan bc. 10-11, 24-24, 68, 164-165, 203-205, 256-257, 270-271, 354-355, 370-371,.

33 Band. lih. dan bc. A. Sugiya & S. Ratnawati (2013), 321-322. Untuk lebih lengkap lih. dan bc. 12-13, 50-51, 249-250.

(13)

adalah: bocah berkenderaan, ingin mendahului kereta api (padahal seharusnya wajib mendahulukan kreta api), jalan licin, jumlah penumpang yang melebihi kapasitas, ban kempis, mobil pick up yang hilang kendali, terguling, menabrak tebing, menabrak warung makan.35 Kenderaan mesin-mesin, yaitu truk tronton, bus, mini bus, angkot,

travel, mobil colt diesel, mobil pribadi, pick up, delman, sepeda motor akhirnya menjadi “mesin-mesin pembunuh” karena telah menyebabkan kematian yang cukup tinggi kwantitasnya.36

Lakalintas juga sangat berkaitan dengan gaya hidup konsumerisme yang telah lama merwarnai kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Fenomena konsumerisme sekarang berdampak nyata dengan volume kenderaan yang selalu memadati jalan raya secara umum kota-kota besar di Indonesia.37 Dengan demikian rumah-rumah masyarakat sudah penuh dengan

kenderaan. Bukan hal yang mustahil kalau membangun rumah sekarang ini sudah mengikutkan konsep “rumah-kenderaan”.

Bagaimana dengan rumah-rumah orang Batak saat ini? Filosofi hidup orang Batak turun-temurun begitu kuat masih dicamkan dan dilaksanakan yang tak jarang juga dikumandangkan (baca: dinyanyikan), yang men’syair’kan: “Anakhonki do Hamoraaon di Au” itu jangan sampai berubah menjadi “Mobil - Sepeda Motor’hu na Godang i do Hamoraon di Au”38. Mengapa? Mengingat bahwa padatnya kenderaan di

jalan raya saat ini sudah menjadi pergumulan setiap kota besar di Indonesia, di mana orang Batak juga sudah tinggal atau berdomisili.39 Jika ada pernyataan bahawa:40

35 A. Sugiya & S. Ratnawati (2014), 270-271, 370-371, 555-556. 36 A. Sugiya & S. Ratnawati (2013), 49, 525-529.

37 Lih. dan band. ibid., 322.

38 “Anakhonki do Hamoraon di Au” artinya, “Anak (-anak) saya itulah kekayaan bagiku” jangan sampai digantikan oleh kalimat ini, “Mobil – Sepeda Motor saya yang banyak itulah kekayaan bagiku”. Filosofi yang memahat kisah tentang harapan dan usaha keras para orang tua Batak yang tidak akan segan-segan untuk mengorbankan segala yang mungkin untuk bisa menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang lebih tinggi; dengan bekerja keras di kampung halaman dan hidup bersakit-sakit, atau pun sampai menjual harta warisan bilamana ada, dengan membanting tulang di bidang perdagangan yang melahirkan istilah popular “inang inang” (ibu-ibu) dengan menghadapi maut dan bahaya (H. Tampubolon, 1986, 97).

39 Ibid., 97.

(14)

“Di perantauan mana pun, orang Batak itu mempunya prinsip (baca: perasaan) bahwa adat itu-lah ikatan yang kukuh, yang mempertalikan orang sesama suku Batak. Kalau adat disia-siakan maka

pergaulan, ikatan kekeluargaan pun rengganglah.”

Prinsip (bangunan perasaan yang sangat kuat untuk menjadi bagian dari komunitas adat) di atas adalah bertujuan “Horas”, karena semua hal yang dikerjakan dan diperjuangkan hingga merasa damai – sejahtera – dan nyaman “tinggal” dan “bersekutu” di dalam kebersamaan orang Batak (diaspora), sesungguhnya merupakan komitmen yang membuat mereka berbeda dengan suku-suku lainnya yang ada di Indonesia (“eksklusif positif”41). HLL merupakan disiplin Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan untuk “menginspirasi”42 suku-suku rakyat Indonesia lainnya dengan harapan

mampu memberi sumbangan untuk persatuan dan kesatuan serta menopang dan mewarnai pembangunan yang berlangsung (baca: disiplin dan kepatuhan ber-Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Orang Batak melalui HLL dapat membangun karakter yang mengutamakan keselamatan di Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. HLL mengingatkan bahwa pengidentifikasian akan orang Batak yang orangnya kasar, bicaranya keras, dan tukang berkelahi akan segera luntur – hilang karena “lambang peran” patuh Perundang-undangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu diwujudkan di mana pun mereka berada. HLL mengarahkan suatu sikap yang membangun harmonisasi (keserasian) di mana pada dasarnya orang Batak dapat mudah mencapainya (kutipan dari pendapat E.M. Bruner, antropolog peneliti budaya Batak). HLL adalah disiplin (kepatuhan) yang menekankan kekuatan unsur budaya dan menjadi sumbangan bagi perkembangan sosial politik bangsa, mengingat keresahan dan bahaya-bahaya hingga lakalintas yang sangat memprihatinkan semua masyarakat Indonesia saat ini.43

41 ESS.

42 “Menginspirasi”. Bukan hal yang sulit untuk didengar kalau begitu banyak putra-putri (anak dan boru) Batak telah menjadi inspirasi di negeri ini seperti K.M. Sinaga, pendiri Bumi Asih Jaya itu, dan masih banyak lagi (ada sekita 108 tokoh-tokoh inspirasi dari Batak), lih. dan bc. E.T. Siahaan (2012), 23-25. Termasuk di dalamnya adalah Butet Manurung, pendiri Sokola Rimba di Bukit Dua Belas, Jambi itu (80-82). Juga lih. dan bc., B. Manurung (2013), i-340.

(15)

Atas nama kemanusiaan (band. Isu Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan “KPKC” atau Justice, Peace, and Integrity of Creation “JPIC”), “Hari Lalu Lintas Nasional” seharusnya sudah ada, mengingat tingginya angka kematian di jalan raya padahal pemerintah atas nama stakeholders yang bertanggungjawab telah membangun disiplin agar setiap warganya patuh dalam Perundang-Undangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.44 Masyarakat Batak Toba memiliki Hukum Adat Batak

Toba yang sangat luas cakupannya (sifatnya bisa dihubungkan dengan jaman dan hukum-hukum yang sedang ditegakkan), adalah perihal: perdamaian, ketertiban, dan kesejahteraan umum. Diharuskan untuk menghindari segala bentuk perselisihan, menganggu ketenteraman umum, melanggar peraturan-peraturan, pelanggaran-pelanggaran yang mengganggu kesejahteraan umum45, dan hukum-hukum yang sudah

sangat klasik itu tidak akan pernah mengeksepsi (menolak) Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sudah disosialisasikan sejak lima (5) tahun yang lalu hingga sekarang (No. 22 Tahun 2009). Hal-hal yang ditekankan di sana adalah Negara bertanggungjawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah yang meliputi perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Di sana ada penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional dengan pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan kota serta kabupaten. Penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan langsung pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Hukum, dan atau Masyarakat.46 Demikianlah HLL mengedukasi Disiplin atau Kepatuhan Ber’Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan dalam konteks budaya yang berefleksi dari “Horas”. Orang Batak dalam sejarahnya, bahwa setiap melakukan perjalanan sehingga harus berpisah dalam waktu dekat atau lama, dan pertemuan karena perjalanan

44 Lih. dan band. Seri Hidup Baru 5 (2001), 287-289. 45 J.G. Vergouwen (1986), 392-418.

(16)

(perpisahan) dalam waktu yang lama tidak bertemu, biasanya (dulu) selalu mengucapkan kalimat berikut ini: “Horas Tondi Madingin, Pir tondi matogu” artinya adalah, “Semoga roh kita kuat dan tetap teguh”.47 HLL mengkontekstualkan kembali

harapan dan doa-doa keselamatan berwarna sastra dan budaya Batak ini kembali mengingat upaya-upaya dari Pemerintah agar terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Terwujudnya Etika ber’Lalu Lintas dan Budaya Bangsa, dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.48

HLL membangun karakter, kesan, dan lambang yang bertitik-tolak dari kepatuhan di mana nilai-nilai kemanusiaan tercapai karena HLL mengembangkan dan menyumbangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan khususnya dalam konteks bangsa yaitu sesama masyarakat Indonesia.

IV. Kesimpulan

Horas Lalu Lintas (HLL) mengangkat nilai-nilai yang mengutamakan dan menempatkan manusia dan keselamatannya di atas segala-galanya. Keselamatan dalam makna kata “Horas” dan Keselamatan dalam tujuan dan pencapaian lahirnya Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sehingga mengedukasi setiap masyarakat agar mengenali jati dirinya dan melihat nilai-nilai keberanan dan manfaat dari semua itu dalam kehidupan sebagai suku bangsa yang terpanggil untuk menjadi inspirasi dan memberi sumbangan positif melalui kepatuhan dan disiplin yang jauh di ke dalaman dan pemaknaan budaya telah terkandung dan ketika digali ke kedalamannya ternyata menjadi “emas-tua-murni” dalam membangun kehidupan yang selamat, aman, nyaman, sejahtera, teguh, kuat, tertib, dan membawa kebahagiaan karena tetap menjunjung keadilan, perdamaian, dan keutuhan sesama ciptaan (harmoni hidup). Cita-cita mengalami dan menjalani Lalu Lintas dan

(17)

Angkutan jalan dengan pesan “Horas” adalah impian dan identitas dari setiap masyarakat yang datang dari satu pulau yang dihuni oleh suku Batak dan dari pulau tersebut generasi-generasi selanjutnya (hingga sekarang) terus ber-migrasi karena hidup dan kehidupan yang berdinamika dan maju untuk lebih baik (pengabdian melalui ilmu dan talenta dari semua putra-putri yang sangat mencintai tanah leluhur dan adat istiadatnya).

V. Kepustakaan (Bibliography)

Dakung, S. (1982). Ulos. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan.

Fitriyah, L. & Jauhar, M. (2014). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Harahap, S.E. (1960). Perihal Bangsa Batak. Jakarta: Balai Pustaka.

Kartono, K. (2014). Kenakalan Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Kasmir, (2012). Kewirausahaan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Malau, G.G., dkk. (2000). Budaya Batak. Jakarta: Yayasan Bina Budaya Nusantara

dan Taotoba Nusabudaya.

Manurung, B. (2013). Sokola Rimba. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Marbun, M.A. & Hutapea, I.M.T. (1987). Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai

Pustaka.

Togar, N. (2006). Batak Toba di Jakarta. Medan: Bina Media.

Sarumpaet, J. (1995). Kamus Batak-Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Seri Hidup Baru 5. (2000). Buku Pegangan Bagi Promotor Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan. Yogyakarta: Kanisius.

(18)

Dunia). Jakarta: Seni Jurnal Publication.

Simanjuntak, B.A. (1986). Pemikiran Tentang Batak. Medan: Universitas HKBP

Nomensen.

Sinamo, N. (2014). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Situmorang, J. (1965). Penuntun Adat Praktis. Pematang Siantar: Tanpa Nama

Penerbit. Siantar: Tanpa Nama Penerbit.

Sudarsono. (2012). Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.

Sugiya, A. & Ratnawati, S. (Eds.). (2013). Buku Pintar Kompas 2012. Jakarta: Buku

Kompas.

Sugiya, A. & Ratnawati, S. (Eds.). (2014). Buku Pintar Kompas 2013. Jakarta: Buku

Kompas.

Tampubolon, H. (1986). Ulos Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Vergouwen, J.G. (1986). Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka

Azet.

Walgito, B. (2011). Teori-teori Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi.

Referensi

Dokumen terkait

dalam analisis ini didapatkan dari frekuensi data curah hujan yang tersedia dengan menggunakan metode partial duration seriesi atau pemilihan data curah hujan dengan nilai

Pendapat ini juga diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh salah satu caleg dari partai Gerindra Rheka Khomeyna, sebagai orang baru dalam suatu politik dan partai,

Maka definisi konsepsioanl dari penelitian ini adalah kinerja pegawai SAMSAT dalam pemberian pelayanan publik pada kantor SAMSAT Pembantu Samarinda Seberang dimana

Kanit Reskrim Kompol guruh mengatakan, malam itu anggota berhasil menangkap dua tersangka penjambret yang sempat diamuk massa.”Mereka sudah berulangkali melakukan penjambretan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jika penempatan femtocell tersebar ke seluruh daerah cakupan, maka seluruh area mendapatkan kuat sinyal yang baik

Data yang dikirimkan akan langsung menuju terminal yang dimaksud tanpa harus melewati terminal-terminal dalam jaringan, atau akan di-routing-kan ke head end

26 dalam masa menyusui mendapat dukungan sosial yang baik maka ibu akan merasa sangat terbantu sehingga ibu dapat memutuskan untuk menyusui. Pengambilan keputusan merupakan salah

Pengaruh kualitas terhadap kepuasan konsumen (Y) berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kualitas pelayanan (X 1 ) dan tarif (X 2 ) secara bersama-sama memiliki