• Tidak ada hasil yang ditemukan

JEJAK HALLIDAY DALAM LINGUISTIK KRITIS D (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JEJAK HALLIDAY DALAM LINGUISTIK KRITIS D (1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

JEJAK HALLIDAY DALAM LINGUISTIK KRITIS

DAN ANALISIS WACANA KRITIS

Anang Santoso

Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Negeri Malang

Abstract: Halliday has been inspirational. Among his seminal linguistic concepts are the notions of language as social semiotics and language as action. The for-mer refers to the idea that linguistic forms encode the world which socially con-structed. As such, linguistic studies include the issues of 1) text, 2) context, 3) regis-ter, 4) code, 5) lingual system, and 6) social structure. The latter suggests the idea that linguistic theorization should be attempted in view of the world of praxis; lin-guistics should be socially accountable. These two concepts central to Hallidayan linguistics in turn have been influential to development of critical linguistic theories and critical discourse analysis.

Keywords: functional-systemic linguistics, critical linguistics, critical discourse analysis.

Sebuah forum keilmuan berlabel Seminar dan Workshop Linguistik Fungsional Siste-mik digelar di Jakarta pada 9 10 Novem-ber 2006. Dilihat dari labelnya, forum keil-muan tersebut diselenggarakan un-tuk men-gapresiasi karya-karya sang begawan lin-guistik fungsional-sistemik yang amat ma-shur, yakni M.A.K Halliday. Pelbagai kertas kerja dipresentasikan untuk mendalami pi-kiran-pikiran Halliday yang sudah dipapar-kannya dalam pelbagai buku dan artikel. Menurut pandangan penulis, apa yang su-dah banyak dihasilkan oleh Halliday seha-rusnya memperoleh tempat yang layak da-lam dunia linguistik Indonesia, termasuk di dalamnya adalah aplikasinya sebagai tata bahasa pendidikan. Jumlah karya Halli-day yang mencapai 100 publikasi ketika didaf-tar pada tahun 1989 oleh Hasan & Martin

menunjukkan begitu serius dan concern-nya Halliday terhadap pelbagai persoalan keba-hasaan. Pikiran-pikiran Hal-liday banyak dikutip dalam karya-karya linguistik, sosi-olinguistik, psiksosi-olinguistik, etnsosi-olinguistik, analisis wacana, pengajaran bahasa, dan peme-rolehan bahasa kedua.

Halliday merupakan nama besar dalam bidang linguistik, khususnya kutub linguis-tik yang memandang bahasa sebagai feno-mena sosial. Banyak karya linguistik yang merasa tidak lengkap dan merasa tidak

(2)

wacana kritis, misalnya, begitu terinspirasi oleh panda-ngan Halliday itu.

Tulisan ini memfokuskan pada dua pandangan Halliday yang terkenal, yakni bahasa sebagai semiotika sosial dan li-nguistik sebagai tindakan . Kedua pandang-an itu pada tahap selpandang-anjutnya telah membe-rikan pengaruh yang amat kuat dalam lin-guistik kritis karya-karya Fowler (1985; 1986; 1995) dan terhadap analisis wacana kritis, khususnya pada karya-karya Fairc-lough (1989; 1995) dan van Dijk (1985).

BAHASA SEBAGAI SEMIOTIKA SOSIAL

Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang me-nentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi penga-laman manusia, yakni segi struktur sosial.

Dalam berbagai tulisannya, Halliday se-lalu menegaskan bahwa bahasa adalah pro-duk proses sosial. Seorang anak yang bela-jar bahasa dalam waktu yang sama belabela-jar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena baha-sa yang vakum sosial, tetapi ia selalu ber-hubungan erat dengan aspek-aspek sosial. Dalam proses sosial itu, menurut Halliday, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis tempat realitas itu dikodekan. Selanjutnya, Halliday (1978:1) merumuskan bahwa language is a shared

meaning potential, at once both a part of experience and an intersubjective interpre-tation of experience . Dalam komunikasi,

berdasar-kan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu, masing-masing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian, makna akan selalu bersifat ganda.

Formulasi bahasa sebagai semiotik so-sial berarti menafsirkan bahasa dalam kon-teks sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam terminologis semiotis se-bagai sebuah sistem informasi . Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu be-risi teks atau wacana , yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam kon-teks interpersonal. Mengkaji bahasa haki-katnya mengkaji teks atau wacana.

Konteks tuturan itu sebuah konstruk semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang memungkinkan partisipan memprediksikan fitur-fitur register yang berlaku untuk me-mahami orang lain. Melalui tindakan pe-maknaan (act of meaning) sehari-hari, ma-syarakat memerankan struktur sosial, mene-gaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sis-tem nilai dan pengetahuan yang dibagi. Ka-jian bahasa sebagai semiotik sosial dalam pandangan Halliday (1977:13 41; 1978:108 126) mencakup sub-subkajian: (1) teks, (2) trilogi konteks situasi (medan wacana, pelibat wacana, dan modus waca-na), (3) register, (4) kode, (5) sistem lingual, yang mencakup komponen ideasional, in-terpersonal, dan tekstual, serta (6) struktur sosial.

Teks

(3)

menggunakan bahasa; apa saja yang dikata-kan atau ditulis; dalam konteks yang opera-sional (operational context) yang dibedakan dari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978:109). Teks berkaitan den-gan apa yang secara aktual dilakukan ,

dimaknai , dan dikatakan oleh masyara-kat dalam situasi yang nyata.

Dalam rumusan yang lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilih-an sempilih-antis (sempilih-antic choice) dalam kon-teks sosial, suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan atau tulis (Sutjaja, 1990:74). Semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks. Terkait de-ngan teks, Halliday memberikan beberapa penjelasan berikut.

Pertama, teks adalah unit semantis.

Menurut Halliday (1978:135), kualitas teks-tur tidak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal itu secara esensial, salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak dapat meru-muskan bahwa teks itu lebih besar atau le-bih panjang daripada kalimat atau klausa. Ditegaskan oleh Halliday (1978:135) dalam kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih me-rupakan realisasi teks daripada merupa-kan sebuah teks tersebut. Sebuah teks tidak tersusun dari kalimat-kalimat atau klausa, tetapi direalisasikan dalam kali-mat-kalimat.

Kedua, teks dapat memproyeksikan

makna kepada level yang lebih tinggi. Me-nurut Halliday (1978:138), sebuah teks se-lain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiolo-gis, psikoanalitis, dan sebagainya yang

di-miliki oleh teks itu. Level-level yang lebih rendah itu memiliki kekuatan untuk mem-proyeksikan makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday diberi istilah la-tar depan (foregrounded).

Ketiga, teks adalah proses

sosioseman-tis. Halliday (1978:139) berpendapat bahwa dalam arti yang sangat umum sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, se-buah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang se-dang saling dipertukarkan. Anggota masya-rakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui tindak-tanduk pemaknaan antara individu bersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus-menerus disusun dan dimodifikasi.

Fitur esensial sebuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi perjuangan semantis (semantic

contest) antara individu-individu yang

terli-bat. Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada haki-katnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.

Keempat, situasi adalah faktor penentu

teks. Menurut Halliday (1978:141), makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertu-karkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungan-nya. Secara tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa makna adalah sistem sosial . Peru-bahan dalam sistem sosial akan direfleksi-kan dalam teks. Situasi adirefleksi-kan menentudirefleksi-kan bentuk dan makna teks.

Konteks Situasi

(4)

memahami teks dengan sebaik-baiknya, di-perlukan pemahaman terhadap konteks situ-asi dan konteks budayanya. Dalam pandan-gan Halliday (1978:110), konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan wa-cana, (ii) pelibat wawa-cana, dan (iii) modus wacana.

Medan wacana (field of discourse) me-rujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk mengana-lisis medan, kita dapat mengajukan perta-nyaan what is going on, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.

Ranah pengalaman merujuk kepada

ke-transitifan yang mempertanyakan apa yang

terjadi dengan seluruh proses , partisi-pan , dan keadaan . Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera di-capai. Tujuan itu bersifat amat konkret. Tu-juan jangka panjang merujuk pada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang le-bih besar. Tujuan tersebut bersifat lele-bih ab-strak.

Pelibat wacana (tenor of discourse) me-rujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat, kita dapat mengajukan pertanyaan who is taking part, yang menca-kup tiga hal, yakni peran agen atau masya-rakat, status sosial, dan jarak sosial.

Peran terkait dengan fungsi yang dija-lankan individu atau masyarakat. Status ter-kait dengan tempat individu dalam masya-rakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait den-gan tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki ja-rak. Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula perma-nen.

Modus wacana (mode of discourse) me-rujuk pada bagian bahasa yang sedang di-mainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan.

Un-tuk menganalisis modus, pertanyaan yang dapat diajukan adalah what s role assigned

to language, yang mencakup lima hal, yakni

peran bahasa, tipe interaksi, medium, salu-ran, dan modus retoris.

Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas: bisa saja bahasa bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wa-jib/penyokong/tambahan. Peran wajib terja-di apabila bahasa sebagai aktivitas keselu-ruhan. Peran tambahan terjadi apabila baha-sa membantu aktivitas lainnya. Tipe inte-raksi merujuk pada jumlah pelaku: monolo-gis atau dialomonolo-gis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan: lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaima-na teks itu dapat diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada pera-saan teks secara keseluruhan, yakni persu-asif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.

Register

Istilah register kali pertama digunakan dalam pengertian keberagaman teks . Re-gister merupakan konsep semantis yang da-pat didefinisikan sebagai suatu susunan makna yang dihubungkan secara khusus dengan susunan situasi tertentu dari medan, pelibat, dan sarana (Halliday & Hasan, 1992:53).

Terdapat dua hal pokok dalam penger-tian register. Pertama, register disamakan dengan gaya (style), yakni veriasi dalam tuturan atau tulisan seseorang. Gaya umum-nya bervariasi dari yang bersifat sangat akrab sampai yang amat formal menurut jenis situasi, orang, atau pribadi yang dituju, lokasi, topik yang didiskusikan, dan seba-gainya. Kedua, register adalah variasi tutu-ran yang digunakan oleh kelompok tertentu yang biasanya memiliki pekerjaan yang sa-ma atau kepentingan yang sasa-ma.

(5)

makna-makna tertentu. Ciri-ciri bentuk lek-sikon, gramatis, dan fonologis tertentu men-jadi petunjuk suatu register tertentu. Regis-ter politik, misalnya, memiliki karakRegis-teristik yang membedakan dengan register akade-mik. Register kedokteran memiliki karakte-ristik yang membedakan dengan register hukum. Register tertentu memiliki karakte-ristik yang membedakan dengan register lainnya.

Kode

Kode merupakan prinsip organisasi se-miotik yang mengatur pilihan makna oleh penutur dan penafsiran pendengar (Halli-day, 1977:22). Istilah kode yang digunakan Halliday senada dengan kode yang diguna-kan dalam kajian-kajian Bernstein. Dalam sosiolinguistik, misalnya, kode digunakan untuk memberikan nama umum kepada se-mua penggunaan ragam, dialek, dan bahasa dalam komunikasi.

Menurut Halliday (1978:111), kode di-aktualisasikan dalam bahasa melalui re-gister. Kode menentukan orientasi semantis penutur dalam konteks sosial tertentu. Kode bahasa yang digunakan dalam berkomuni-kasi dapat digolongkan menjadi dua: (i) kode lengkap dan (ii) kode terbatas.

Sistem Lingual

Sistem lingual (linguistic system) terdiri atas tiga tingkatan: (i) semantik, (ii) leksi-kogramatis, dan (iii) fonologis dengan me-nempatkan sistem semantis menjadi perha-tian utama dalam konteks sosiolingual (Halliday, 1978:111). Penekanan pada as-pek semantis ini memberikan pengertian bahwa kajian semiotik sosial ini lebih beru-pa kajian fungsional dariberu-pada kognitif . Dalam pandangan fungsional, sistem se-mantis berkaitan dengan tiga fungsi bahasa, yakni (i) ideasional, (ii) interpersonal, dan (iii) tekstual.

Komponen ideasional merujuk pada ke-kuatan makna penutur sebagai pengamat

(Halliday, 1978:112). Hal itu merupakan fungsi isi bahasa atau bahasa sebagai

a-bout something. Komponen itu

menginfor-masikan bahwa melalui bahasa seorang pe-nutur mengodekan pengalaman kulturalnya dan pengalaman individu sebagai anggota dari budaya tertentu. Dalam komponen ideasional tersebut, bahasa memiliki fungsi representasi. Bahasa digunakan untuk me-ngodekan (encoding) pengalaman manusia tentang dunia. Bahasa digunakan untuk membawa gambaran realitas yang ada di sekitar manusia.

Komponen interpersonal merujuk pada kekuatan makna penutur sebagai penye-lundup yang ikut campur (Halliday, 1978:112). Hal itu merupakan fungsi parti-sipasi bahasa atau bahasa sebagai doing

something. Dalam komponen interpersonal,

bahasa memiliki fungsi interpersonal. Baha-sa digunakan untuk mengodekan interaksi dan menunjukkan bagaimana kita menda-patkan proposisi-proposisi tertentu. Dengan demikian, bahasa berfungsi mengodekan makna-makna tentang sikap, interaksi, dan relasi timbal balik.

Komponen tekstual merujuk pada keku-atan pembentukan teks (text-forming) penu-tur yang membuat teks itu menjadi relevan (Halliday, 1978: 112). Komponen tekstual menyediakan tekstur yang membuat perbe-daan antara bahasa yang diperlakukan bebas konteks dengan bahasa yang dioperasional-kan dalam lingkungan konteks situasi. Da-lam komponen tekstual, bahasa mempunyai

fungsi tekstual . Bahasa digunakan untuk mengorganisasikan makna-makna pengala-man dan interpersonal kita ke dalam bentuk yang linear dan koheren.

Struktur Sosial

(6)

makna-makna itu dipertukarkan. Kelompok sosial sangat menentukan bentuk-bentuk karakteristik konteks situasi. Sebagai con-toh, relasi antara status dan peran pelibat secara jelas akan menghasilkan struktur so-sial tertentu, dapat berupa struktur soso-sial yang koordinatif-egalitarian atau subordina-tif-berjenjang. Pola-pola lingual yang di-gunakan sebagai sarana retoris menunjuk-kan ciri sarana wacana yang diasosiasimenunjuk-kan dengan strategi .

Struktur sosial masuk melalui pengaruh hierarki sosial. Menurut Halliday (1978) struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi nyata me-lalui keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis. Dalam penggunaan bahasa, misalnya, tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam rangka mewujudkan ketaksaan, pertetangan atau kebencian, ketidaksempurnaan, keti-daksamaan, serta perubahan sistem sosial dan struktur sosial.

LINGUISTIK SEBAGAI TINDAKAN Pokok pikiran penting kedua dari karya-karya Halliday adalah pandangannya ten-tang linguistik sebagai tindakan dan seca-ra lebih spesifik linguistik sebagai sebuah bentuk tindak politis . Terkait dengan ini, apa dan siapa Halliday dapat dipahami dari pernyataan Hasan & Martin (1989:4) bahwa

perhaps more clearly than any other as-pect of his work it illustrates his concern with linguistics as a form of social action his thinking is for doing . Pandangan

Halli-day itu dipengaruhi oleh dua hal, yakni (1) keterlibatan aktifnya dalam penelitian lin-guistik dan (2) keterlibatan aktifnya dalam gerakan politik kiri ketika menjadi maha-siswa pada awal tahun 1950-an.

Pengaruh pertama, yakni keterlibatan-nya dalam gerakan pendidikan yakni pe-ngajaran bahasa Inggris sebagai bahasa ke-dua dan bahasa ibu telah melahirkan gra-matika yang relevan untuk kepentingan pengajaran, yakni teori skala dan katego-ri . Publikasinya yang menjadi legenda sampai sekarang, yakni Introduction to

Functional Grammar juga merupakan

res-ponnya terhadap tuntutan terhadap kehadi-ran gramatika yang cocok untuk meng-analisis teks lisan dan tulisan dalam konteks pendidikan.

Pengaruh kedua, yakni pelbagai keterli-batan Halliday dalam gerakan sosial-politis telah membawanya ke dalam perumusan teori bahasa yang dapat melayani kebutuhan praktis itu. Bagi Halliday, sebuah linguistik tentu saja harus dapat dipertanggungjawab-kan secara sosial. Dengan demikian, sebuah bentuk bahasa akan melayani fungsi peng-gunaan bahasa, bentuk ilmu bahasa juga melayani fungsi penggunaannya.

Dalam wawancara dengan Herman Par-ret, Halliday (1978) menerima pandangan bahwa linguistik itu menjadi linguistik ins-trumental , yakni kajian bahasa untuk me-mahami sesuatu yang lain. Tidak ada kon-tradiksi antara linguistik instrumental de-ngan linguistik autonom . Linguistik ins-trumental adalah kajian bahasa untuk me-mahami sesuatu yang lain, misalnya sistem sosial. Linguistik autonom adalah kajian bahasa untuk memahami sistem lingual itu sendiri.

Sebuah linguistik instrumental memiliki relevansi karakteristik dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam linguistik instrumental, juga dikaji hakikat bahasa sebagai feno-mena keseluruhan. Tampaknya, pandangan tersebut untuk mempertegas model instru-mental yang sudah dikemukakan sebelum-nya dalam buku Explorations in the

(7)

JEJAK HALLIDAY DALAM LINGUISTIK KRITIS

Linguistik kritis (critical linguistics) merupakan kajian ilmu bahasa yang bertu-juan mengungkap relasi-relasi antara kuasa tersembunyi (hidden power) dan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Fowler sang pelopor secara terang-terangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguis-tik ini. Untuk menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak semata-mata deskriptif.

Linguistik kritis amat relevan diguna-kan untuk menganalisis fenomena komuni-kasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya ketidaksetaraan relasi antar-partisipan, seperti komunikasi dalam poli-tik, relasi antara atasan-bawahan, komuni-kasi dalam wacana media massa, serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam poli-tik gender. Menurut Fowler (1996:5), model linguistik itu sangat memerhatikan penggu-naan analisis linguistik untuk membongkar

misrepresentasi dan diskriminasi dalam

pelbagai modus wacana publik. Be-berapa pandangan Halliday yang berpengaruh ter-hadap pengembangan linguistik kritis dipa-parkan berikut.

Pandangan tentang Sifat Instrumental dalam Linguistik

Pandangan instrumental Halliday men-jadi landasan pengembangan linguistik kri-tis. Linguistik kritis lahir dari tulisan-tulisan dalam Language and Control (Fowler et al., 1979) yang di dalamnya berisi sejumlah de-skripsi linguistik instrumental. Istilah lin-guistik instrumental dimunculkan sebagai penjabaran pandangan Halliday tentang konsep instrumental dalam linguistik fungsional-sistemik. Menurut Fowler (19-96), linguistik fungsional-sistemik mempu-nyai dua pengertian: (1) linguistik

fungsion-al berangkat dari premis bahwa bentuk ba-hasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan (2) linguistik fungsional berang-kat dari pandangan bahwa bentuk linguistik akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu. Linguistik seperti juga bahasa memiliki fungsi-fungsi berbeda dan tugas-tugas ber-beda. Dengan demikian, dalam aplikasinya, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, kajian bahasa haruslah berfungsi untuk memahami sesuatu yang lain.

Linguistik kritis memberikan landasan yang kokoh untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata antara lain dalam politik, media massa, komunikasi multikultural, pe-rang, iklan, dan relasi gender. Fowler sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang dirancang untuk (i) memperoleh atau menemukan ideologi yang dikodekan secara implisit di belakang proposisi yang jelas (overt propositions), dan (ii) mengamati ideologi secara khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler, 1996:3). Piranti-piranti untuk menganalisis-nya adalah seleksi gabungan dari kategori deskriptif yang sesuai dengan tujuannya, khususnya struktur-struktur yang diidentifi-kasikan Halliday sebagai komponen idea-sional dan interpersonal.

Pandangan instrumental Halliday juga tampak pada pandangan Fowler tentang fungsi klasifikasi bahasa. Dunia tempat hidup manusia bersifat kompleks dan secara potensial membingungkan (Fowler, 1986: 13). Menghadapi dunianya yang kompleks, manusia melakukan proses kategorisasi sebagai bagian dari strategi umum untuk menyederhanakan dan mengatur dunianya itu. Manusia tidak menggunakan secara langsung dunia objektif, tetapi meng-hubungkannya melalui sistem klasifikasi dengan menyederhanakan fenomena objek-tif dan membuatnya menjadi sesuatu yang dapat dikelola.

(8)

bersifat alamiah (natural). Untuk selanjut-nya, anggota masyarakat memperlakukan-nya sebagai asumsi-asumsi sebuah kebe-naran yang tanpa pembuktian serta mem-percayainya sebagai akal sehat atau pen-getahuan umum (common-sense). Semua-nya dipandang sebagai sebuah kebenaran begitu saja. Kata-kata seperti pandangan dunia , teori , hipotesis , atau ideologi sering dianggap sebagai akal sehat. Pada-hal, menurut Fowler (1986:18), semua kata-kata seperti itu adalah distorsi . Kata-kata-kata itu lebih merupakan sebuah interpretasi atau representasi daripada sebuah refleksi. Im-plikasi dari penggunaan kata dan istilah yang penuh dengan akal sehat itu membuat masyarakat menjadi begitu percaya bahwa teorinya tentang cara dunia bekerja adalah refleksi alamiah , bukan sebagai refleksi kulturalnya .

Menurut Fowler (1986:19), bahasa ada-lah medium efisien dalam pengodean kate-gori-kategori sosial. Bahasa tidak hanya menyediakan kata-kata untuk konsep-konsep tertentu, bahasa juga mengkristali-sasikan dan menstabilimengkristali-sasikan ide-ide itu. Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih menciptakan sebuah jaring makna yang mendorong ke arah sebuah perspektif tertentu. Jaring makna itu meru-pakan sebuah ideologi atau teori dari penuturnya yang tentu saja bukan beru-pa kategori alamiah. Jaring makna lebih me-rupakan kategori kultural.

Pandangan tentang Pengaruh Hierarki Sosial terhadap Struktur Sosial

Menurut Halliday (1978), struktur so-sial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi nyata melalui kegan-jilan dan kekacauan dalam sistem se-mantis. Dalam penggunaan bahasa politik, misalnya, tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam rangka mewujudkan ketaksaan,

perten-tangan atau kebencian, ketidaksempurnaan, ketidaksamaan, serta perubahan sistem so-sial dan struktur soso-sial.

Dalam interaksi yang nyata sehari-hari, keganjilan dan kekacauan dalam sistem se-mantis itu menjadi nyata. Para linguis kritis percaya bahwa komunikasi yang tercipta akibat kekacauan itu adalah relasi komuni-kasi yang timpang, di mana para partisipan komunikasi tidak memiliki fungsi dan akses yang sama. Beberapa tokoh linguistik kritis, seperti Fowler (1985; 1986; 1996), Kress (1985), Sykes (1985), West & Zimmerman (1985), dan Birch (1996) memandang bah-wa fenomena komunikasi dan interaksi yang nyata lebih banyak diwarnai oleh adanya fenomena-fenomena ketidak-teraturan , kesenjangan , ketidakseim-bangan , perekayasaan , dan ketidakne-tralan dari isu-isu ketidakadilan dalam gen-der, politik, ras, media massa, kekuasaan, dan komunikasi lintas budaya. Wacana yang lahir lebih banyak berkutat dengan persoalan sosial-politik dan jauh mening-galkan wacana-wacana akademis yang

ideal . Bahkan, wacana yang tampaknya seperti biasa-biasa saja misalnya ka-mus ternyata adalah wacana tidak adil (unjust discourse).

Untuk memahaminya perlu paradigma kritis . Analisis linguistik belaka diyakini tidak dapat mengungkapkan signifikansi kritis. Menurut Fowler (1986:6), hanya ana-lisis kritis yang merealisasikan teks seba-gai modus wacana serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan dapat mela-kukannya. Linguistik kritis mengarahkan teori bahasa ke dalam fungsi yang sepenuh-nya dan dinamik dalam konteks historis, sosial, dan retoris.

(9)

linguistik digunakan untuk menyistematisa-sikan dan mentransformamenyistematisa-sikan realitas. Oleh karena itu, dimensi kesejarahan, struktur sosial, dan ideologi adalah sumber utama pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka kerja kritisisme linguistik (Fowler, 1986:8).

Pandangan tentang Teks adalah Proses Sosiosemantis

Halliday (1978:139) berpendapat bahwa sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis me-lalui makna-makna yang berupa sistem so-sial yang sedang saling dipertukarkan. Ang-gota masyarakat adalah seorang pemakna. Dalam pertukaran makna itu, terjadi per-juangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena si-fatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demi-kian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.

Jejak pandangan Halliday tersebut dapat dilacak pada pandangan Menz dan Birch tentang pilihan bahasa. Menurut mereka,

makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik, tetapi diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif (communicative struggle) dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis (Birch, 1996:65). Merujuk pada pandangan ini, aktor yang memproduksi teks bukanlah individu yang merdeka , tetapi ia merupa-kan individu yang diatur oleh dimensi-dimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif. Individu-individu sering ber-ada di bawah kesber-adaran dalam melakukan pilihan bahasa itu.

Senada dengan pandangan Menz, me-nurut Birch (1996:67), pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Ada kekuatan di luar individu yang ikut

menen-tukan bentuk bahasa tertentu yang akan di-gunakan. Hal itu sering terjadi secara bawah sadar. Implikasinya adalah bahwa masyara-kat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan

(infe-rior-superior) melalui sistem strategi sosial

yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, atu-ran, subordinasi, solidaritas, kohesi, antago-nisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari kontrol terhadap masyarakat.

Konsep sosiosemantis di atas juga dapat dilacak pada pandangan Fowler (1986:27) tentang ketidaknetralan kode kebahasaan karena menjalankan fungsi representasi. Kode kebahasaan atau lingual tidak meref-leksikan realitas secara netral. Kode lingual itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek wacana. Wacana tertentu selalu membentuk teori tentang bagaimana dunia itu disusun. Hal itulah yang disebut pandangan dunia atau ideologi . Bahasa tidak hanya sebagai pengetahuan yang internal dan pasif. Seba-liknya, bahasa adalah aktivitas yang dibawa dalam berbicara, menyimak, menulis, dan membaca yang aktual dan intensif setiap hari. Dalam konteks itu, peringatan Fowler perlu dicamkan, yakni akal sehat itu bukan se-suatu yang alamiah, tetapi produk dari konvensi sosial . Oleh karena itu, akal sehat itu perlu dikritisi.

(10)

dengan rumusan Halliday bahwa bahasa melayani ekspresi, bahasa memiliki repre-sentasi, atau bahasa memiliki fungsi idea-sional tempat penutur atau penulis mewu-judkan pengalaman dari dunia nyata ke da-lam bahasa. Pengada-laman manusia, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita butuhkan selain sudah dikodekan dalam sumber mak-na yang bersifat persomak-nal, juga produk dari posisi kita dalam relasi-relasi sosioekono-mis.

Fowler (1986) selalu mempertahankan tesisnya bahwa teks merupakan realisasi sebuah modus wacana, biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks yang dihasilkan oleh peng-hasil teks sebagai individu bukanlah peng-hasil dari keseluruhan individu itu. Teks yang dihasilkan mungkin saja berasal dari waca-na praada (baca: sebelumnya) yang itu se-mua berakar pada kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol pengha-sil teksnya. Sebuah teks yang lahir mungkin saja hasil dari suatu perjuangan di antara banyak tangan penghasil wacana itu.

Dengan demikian, kajian bahasa haki-katnya adalah kajian kewacanaan yang ber-sifat historis. Sistem bahasa merupakan ba-gian yang integral dari struktur dan proses sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan. Sebuah tuturan politik oleh seorang pemimpin partai, mi-salnya, bukanlah teks yang vakum sosial. Sebaliknya, teks tuturan itu dibentuk oleh sebuah proses yang rumit dan panjang da-lam pertarungan sosial. Banyak tangan yang ikut campur menentukan bentuk dan isi teksturnya. Kajian terhadap teks-teks ba-hasa bukan semata-mata untuk kajian teks itu sendiri yang amat terbatas. Akan tetapi, kajian teks adalah kajian kewacanaan yang bersifat sosiosemantis dengan mengikutser-takan dimensi kritis, yakni politis, ideologis, dan kultural tentang bagaimana masyarakat dan institusi membuat makna melalui teks.

Pandangan tentang Kesatuan Teks de-ngan Konteksnya

Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan kon-teks budaya (Butt et al., 1999:11). Konkon-teks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun ling-kungan tempat teks itu diproduksi (di-ucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pe-mahaman terhadap konteks situasi dan kon-teks budaya.

Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan yang nya-ta lebih dari sekadar sebuah teks yang di-bangun bersama-sama dengan konvensi da-sarnya, tetapi lebih banyak berupa waca-na dari yang sudah dilahirkannya itu. Fow-ler membedakan konsep teks dan waca-na . Wacawaca-na dibangun dari teks dan

konteks . Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluru-han unit-unit komunikasi yang dilihat seba-gai struktur sintaksis dan semantik yang ko-heren yang dapat diucapkan atau ditulis. Dalam pandangan kritis, teks dipandang se-cara dinamis sebagai komunikasi interper-sonal dalam konteks. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wa-cana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masya-rakat yang memahami teks.

JEJAK HALLIDAY DALAM ANALISIS WACANA KRITIS

Analisis wacana kritis (critical

dis-course analysis) adalah analisis bahasa

(11)

bahasa semata-mata. Dalam AWK, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan baha-sa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bu-kan untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa baha-sa itu dipergunakan untuk tujuan dan prak-tik tertentu, termasuk di dalamnya prakprak-tik kekuasaan.

AWK berkembang dalam tradisi lin-guistik madzab Eropa-Kontinental. Pusat-pusat perkembangannya antara lain di Pran-cis, Inggris, Belanda, Jerman, Austria, dan Australia. Beberapa nama dapat disebut se-bagai pengembang bidang kajian itu, antara lain Fairclough, van Dijk, Kress, dan Wo-dak. Dalam beberapa karyanya, Fairclough (1989; 1995), misalnya, menyebut bahwa teorinya adalah gabungan dari linguistik fungsional-sistemik Halliday, linguistik Fowler, dan teori sosial baru Foucault. Pen-garuh pandangan Halliday terhadap AWK dipaparkan berikut.

Pandangan tentang Proyeksi Teks kepa-da Level yang Lebih Tinggi

Menurut Halliday (1978:138), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonolo-gis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesa-straan, sosiologis, psikoanalitis, dan seba-gainya yang dimiliki oleh teks itu. Pilihan terhadap struktur lingual tertentu, misalnya, dapat ditafsirkan kepada persoalan-persoalan yang lebih besar.

Jejak pandangan Halliday itu dapat di-lacak pada pandangan van Dijk tentang ha-kikat wacana sebagai gejala dari persoalan yang lebih besar. Menurut van Dijk (1985:7), fitur-fitur wacana hanyalah men-jadi gejala (symptoms) dari persoalan-persoalan yang lebih besar, seperti ketida-kadilan, perbedaan kelas, gender, rasisme, kekuasaan, dan dominasi yang melibatkan

lebih dari hanya sekadar teks dan tuturan. Persoalan-persoalan itu sering memuncul-kan wacana yang timpang atau wacana ti-dak adil, di mana antara penghasil teks de-ngan konsumen teksnya tidak memiliki re-lasi yang seimbang. Dengan demikian, menganalisis kata, frasa, kalimat, dan teks yang dihasilkan oleh seorang tokoh dapat mengungkap persoalan-persoalan yang le-bih besar dan mendasar, misalnya perjuan-gan menaturalisasikan ideologi tertentu.

Pandangan tentang Wacana Sebagai Tindakan

Halliday berpandangan bahwa lingu-istik pada hakikatnya adalah bentuk tinda-kan dan secara lebih spesifik sebagai sebuah bentuk tindak politis (Hasan & Martin, 1989:4). Mengkaji bahasa hakikatnya ada-lah mengkaji tindak berbahasa. Pandangan Halliday itu dipengaruhi oleh dua hal, yakni (1) keterlibatan aktifnya dalam penelitian linguistik dan (2) keterlibatan aktifnya da-lam gerakan politik kiri ketika menjadi ma-hasiswa pada awal tahun 1950-an.

(12)

Pandangan tentang Peran Konteks da-lam Produksi dan Interpretasi Wacana

Dalam pandangan Halliday, teks selalu dilingkupi oleh dua konteks, yakni konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Hal itu berarti bahwa teks akan selalu menyatu dengan konteksnya, baik dalam pembentukannya maupun dalam proses pemahamannya. Pandangan itu se-lanjutnya berpengaruh terhadap cara pan-dang terhadap wacana.

Dalam paradigma kritis, wacana dipro-duksi, dimengerti, dan ditafsirkan dalam konteks tertentu. Wacana adalah teks dalam konteks. Titik perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Bahasa selalu berada dalam konteks. Tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, antarteks, situasi, dan se-bagainya.

Dalam AWK, kajian wacana tidak di-pahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan hanya untuk memperoleh gambaran dari aspek ke-bahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa baha-sa itu dipergunakan untuk tujuan dan prak-tik tertentu, termasuk di dalamnya prakprak-tik kekuasaan.

Pandangan Halliday tentang konteks dapat dilacak pada pokok pikiran bahwa wacana adalah produk historis. Dalam para-digma kritis, wacana ditempatkan dalam konteks kesejarahan tertentu. Wacana selalu berada pada ruang waktu tertentu dan akan selalu berhubungan dengan waktu lainnya. Analisis terhadap bahasa politik pasca-Orde Baru, misalnya, akan selalu mempertanya-kan (i) bagaimana situasi politik yang se-dang terjadi, (ii) mengapa wacana tertentu itu yang berkembang, dan sebaliknya men-gapa wacana yang lain tidak berkembang, (iii) mengapa istilah reformasi dan reformis begitu berkembang serta memperoleh nilai

positif, dan mengapa istilah status quo men-jadi jelek dan memperoleh apresiasi negatif, dan sebagainya (Santoso, 2000 dan 2003).

Pandangan Halliday juga dapat dilacak pada pokok pikiran bahwa wacana hakikat-nya adalah pertarungan kekuasaan. Dalam paradigma kritis, setiap wacana yang mun-cul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi me-rupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Wacana sesepele apa pun adalah bentuk pertarungan kekuasaan itu. Dengan demi-kian, setiap analisis wacana selalu dikaitkan dengan dimensi-dimensi kuasa itu. Tugas analis adalah mengkritisi kekuasaan yang tersembunyi dalam teks-teks bahasa itu.

Pandangan Halliday juga dapat dilacak pada pokok pikiran bahwa wacana hakikat-nya adalah praktik ideologi. Dalam pandan-gan kritis, wacana dipandang sebagai prak-tik ideologi, atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi yang berada di balik penghasil teksnya akan selalu mewarnai bentuk wacana tertentu. Penghasil teks yang berideologi liberalisme atau sosialisme ten-tu akan menghasilkan wacana yang me-miliki karakter sendiri-sendiri.

(13)

Pandangan tentang Hubungan Dialektis antara Struktur Mikro dan Makro

Halliday (1977; 1978) berpendapat bahwa bahasa sangat terkait dengan satu segi yang penting dalam pengalaman manu-sia, yakni segi struktur sosial. Secara tegas, Halliday merumuskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Pandangan Halliday itu semakin diperjelas dan dieksplisitkan oleh Fairclough (1995), yakni pandangan-nya tentang hubungan timbal balik antara struktur mikro yakni teks dan struktur makro yakni aspek sosial dan budaya yang bersifat determinatif.

Pendekatan kritis memiliki dasar teore-tis dalam memandang hubungan timbal ba-lik antara peristiwa mikro (tindak verbal) dan struktur-struktur makro yang men-gondisikan dan menghasilkan peristiwa mi-kro itu. Pendekatan kritis menolak pengha-lang yang kaku antara kajian mikro (tem-pat kajian wacana merupakan bagian di da-lamnya) dan kajian makro. Dengan dialek-tis antara makro dan mikro dalam kajian-nya, analisis wacana kritis dapat mengung-kap naturalisasi-naturalisasi yang terjadi serta membuat secara jelas determinasi-determinasi sosial dan pengaruh wacana bagi partisipan.

Asumsi-asumsi yang menjadi dasar di-pakainya pendekatan kritis dalam analisis wacana adalah (1) interaksi verbal sebagai modus aksi sosial , dan seperti modus aksi sosial lainnya mempersyaratkan rentangan struktur yang direfleksikan dalam dasar pengetahuan yang meliputi struktur sosial, tipe-tipe situasi, kode-kode bahasa, norma-norma penggunaan bahasa dan (2) struktur-struktur itu tidak hanya dipersyarati oleh aksi dan memerlukan kondisi untuk aksi, tetapi juga memproduksi aksi, atau aksi me-reproduksi struktur yang dalam istilah Gid-dens disebut dengan dualitas struktur , yakni adanya saling pengaruh antara aktor dan struktur itu.

Pandangan tentang Kajian Bahasa Haki-katnya adalah Kajian terhadap Trilogi Teks Konteks Situasi Konteks Bu-daya yang Saling Terkait

Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan kon-teks budaya (Butt et al., 1999:11). Mengkaji bahasa secara fungsional pada hakikatnya mengkaji tiga aspek yang saling terkait, yakni teks, konteks situasi (context of

situa-tion), dan konteks budaya (context of cul-ture). Dalam teks, selalu terkandung unsur

tekstur dan struktur. Oleh Butt et al. (1999:12), kajian Halliday itu digambarkan berikut.

Gambar 1 Model Linguistik Fungsional-Sistemik Halliday

Keterangan: 1: teks

2: konteks situasi 3: konteks budaya

Pandangan Halliday tersebut semakin dieksplisitkan oleh Fairclough dalam me-mandang wacana dan analisis wacana. Wa-cana dalam pandangan Fairclough harus dilihat secara simultan sebagai tiga serang-kai yang dialogis (i) teks-teks bahasa, baik lisan atau tulisan, (ii) praksis kewacanaan, yaitu produksi dan interpretasi teks, dan (iii)

praksis sosiokultural, yakni

perubahan-per-ubahan masyarakat, institusi, kebudayaan, dan sebagainya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur itu menurut Fairclough disebut dengan di-mensi wacana . Menganalisis wacana seca-ra kritis hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral.

3

(14)

14 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008

Ketiga dimensi itu sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dimensi wacana dan prosedur

analisis wacana kritis digambarkan oleh Fairclough (1995) sebagai berikut.

Dimensi Wacana Dimensi Analisis Wacana

Gambar 2 Model Analisis Wacana Kritis Fairclough

(Sumber: Fairclough, 1995:98)

Dari Gambar 1 dan 2 tersebut, dapat di-pahami bahwa (1) kajian teks dalam pan-dangan Halliday dan Fairclough adalah ta-hap awal memahami penggunaan bahasa, (2) kajian konteks situasi dalam pandangan Halliday oleh Fairclough dijabarkan ke da-lam proses produksi dan interpretasi teks, dan (3) kajian konteks budaya dalam pan-dangan Halliday dan Fairclough diterje-mahkan ke dalam praksis sosiokultural wa-cana.

PENUTUP

Paparan di atas dapat memberikan pe-mahaman bahwa apa yang sudah dikemu-kakan Halliday pada tahun 1960 dan 1970-an masih begitu kental mewarnai teori lin-guistik dan teori wacana pada tahun 1980 dan 1990-an, bahkan tahun-tahun sesudah-nya. Pandangan Halliday tentang bahasa sebagai semiotik sosial dan bahasa seba-gai tindak sosial politik dapat dilacak apli-kasi dan implementasinya pada linguistik kritis Fowler dan analisis wacana kritis Fairclough. Dengan demikian, pengakuan akademik melalui seminar, lokakarya, sim-posium, dan sesrawungan ilmiah lainnya sudah pada tempatnya dipersembahkan ke-pada Halliday.

Pada masa-masa yang akan datang, ke-giatan sejenis dalam rangka pendalaman kajian bahasa sebagai fenomena sosial

diharapkan dapat memberikan tambahan dan penyempurnaan kajian bahasa yang le-bih dahulu mapan dalam dunia linguistik Indonesia, yakni kajian bahasa sebagai fe-nomena psikologis . Tentu saja, pelbagai kertas kerja dan hasil-hasil seminar tidak akan memiliki arti apabila tidak dikomuni-kasikan kepada komunitas yang lebih luas, khususnya komunitas linguistik Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN

Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cul-tural Process. Dalam James, J.E. (Ed.),

The Language-Culture Connection (hlm.

64 85). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.

Butt, D., Fahey, R., Spinks, S., & Yallop, C. 1995. Using Functional Grammar: An

Explorer s Guide. Sydney: Macquary

University.

Crystal, David. 1991. A Dictionary of

Li-nguistics and Phonetics. Oxford: Basil

Blackwell Ltd.

Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limi-ted.

Fairclough, N. 1995. Critical Discourse

Analysis: The Critical Study of Langu-age. Harlow-Essex: Longman Group

Li-mited.

Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis

Proses produksi

Deskripsi

(analisis teks)

Interpretasi

(15)

Volume 4: Discourse Analysis in Society

(hlm. 61 82). London: Academic Press. Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism.

Ox-ford: Oxford University Press.

Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coult-hard, M. (Eds.), Texts and Practices:

Reading in Critical Discourse Analysis

(hlm. 3 14). London: Routledge. Halliday, M.A.K. 1977. Language as Social

Semiotic: Towards as General Socio-linguistic Theory. Dalam Makkai, A., Makkai, V.B., & Heilmann, L. (Eds.),

Linguistics at the Crossroads (hlm. 13

41). Padova: Tipografia-La Garangola. Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social

Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London:

Ed-ward Arnold.

Halliday, M.A.K. 1985/1994. An

Introduc-tion to FuncIntroduc-tional Grammar. London:

Edward Arnold Publishers Ltd.

Halliday, M.A.K. & Hasan, R. 1992.

Baha-sa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Ba-hasa dalam Pandangan Semiotik Sosial.

Terjemahan oleh Barori Tou. Yog-yakarta: Gajah Mada University Press. Hasan, R. & Martin, J.R. Introduction.

Da-lam Hasan, R. & Martin, J.R. (Eds.), 1989. Language Development: Learning

Language, Learning Culture (Meaning and Choice in Language: Studies for Mi-chael Halliday) (hlm. 1 17). Norwood-New Jersey: Ablex Publishing Corpo-ration.

Kress, G. 1985. Ideological Structures in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.),

Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm.

27 42). London: Academic Press. Santoso, A. 2000. Paradigma Kritis dalam

Kajian Kebahasaan. Bahasa dan Seni:

Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Peng-ajarannya, 28(2): hlm. 127 146.

Santoso, A. 2003. Bahasa Politik Pasca

Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama

Widya Sastra (WWS).

Sutjaja, IG.M. 1990. Perkembangan Teori M.A.K. Halliday. Dalam Kaswanti Pur-wo, B. (Ed.), PELLBA 3: Pertemuan

Li-nguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Ke-tiga (hlm. 59 89). Yogyakarta: PE-NERBIT KANISIUS.

Sykes, M. 1985. Discrimination in Discou-rse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook

of Discourse Analysis Volume 4: Dis-course Analysis in Society (hlm. 83

101). London: Academic Press.

van Dijk, T. 1985b. Introduction: The Role of Discourse Analysis in Society. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of

Discour-se Analysis Volume 4: DiscourDiscour-se Analy-sis in Society (hlm. 1 8). London: Aca-demic Press.

West, C. & Zimmerman, D.H. 1985. Gen-der, Language, and Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of

Discour-se Analysis Volume 4: DiscourDiscour-se Analy-sis in Society (hlm. 103 124). London: Academic Press.

Gambar

Gambar 1 Model Linguistik Fungsional-Sistemik Halliday
Gambar 2 Model Analisis Wacana Kritis Fairclough(Sumber: Fairclough, 1995:98)

Referensi

Dokumen terkait

Jib faktor Hngkungan organisasi kurang menunjang, individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran yang memadai dengan tingkat kecerdasan emosi yang baik akan tetap dapat

pembangunan tahun berikutnya. e) Menyepakati daftar kegiatan prioritas pembangunan Provinsi dan sumber pendanaannya. f) Membagi peserta ke dalam beberapa kelompok berdasarkan

Kemampuan logam induk dan logam pengisi untuk berfusi tanpa menyebabkan suatu efek kimia yang buruk merupakan hal yang penting dalam hubungannya dengan weld ability..

29 Paragraf 5 Pasal 33 (2014) tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan, menjelaskan bahwa entitas harus memebentuk cadangan kerugian penurunan nilai atas

Penggunaan logam silinder dengan perbandingan diameter pada penyempitan tabung resonator 0,54 dapat mengurangi kehilangan energi 0,2 watt (Tijani et al 2002),

Gambar 2.15.. Merupakan perangkat pasif yang berfungsi sebagai pencabang pada jaringan koaksial, pada prinsipnya mempunyai fungsi yang sama dengan splitter namun

Dari penjelasan di muka masalah penelitian yang dapat dikemukakan adalah: “Peningkatan kemampuan membaca kalimat dengan aksara Lampung melalui penerapan model

Penelitian ini dilakukan empat tahap, yaitu pengumpulan bahan, isolasi minyak atsiri daun sirih merah dengan destilasi air, fraksinasi minyak atsiri dengan