commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit HIV/AIDS merupakan sebuah wabah epidemi yang kian
tahun makin banyak merenggut korban jiwa. Penyakit epidemi ini mulai
muncul keberadaannya di dunia pada tahun 1981 di Los Angeles, Amerika
Serikat. Sedangkan keberadaan epidemik Penyakit Aids di Indonesia pertama
kali muncul di wilayah Bali pada tahun 1987 (Toha Muhaimin: 2009).
Jika dilihat dari tahun kemunculannya maka penyakit ini tidak bisa
dibilang penyakit baru. AIDS (Acquired Immunodeficiency Sydrome atau
Acquired Immune Deficiency Sydrome ) merupakan penyakit mematikan,
yang memiliki gejala penurunan imunitas seseorang hingga akhirnya
menyebabkan kematian. Munculnya penyakit ini berasal dari Virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang menyerang sel darah putih (sel CD4)
sehingga mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan tubuh. Hilangnya atau
berkurangnya daya tahan tubuh membuat si penderita mudah sekali terjangkit
berbagai macam penyakit termasuk penyakit ringan sekalipun.
Sejak kemunculannya jumlah penderita pengidap penyakit mematikan
ini terus meningkat. Hingga tahun 2010, jumlah penderita di dunia sudah
tembus mencapai angka 34 juta jiwa (berkisar antara 31,6 juta jiwa sampai
commit to user
yang berjumlah sekitar 28,6 juta jiwa (berkisar antara 26,7 juta jiwa sampai
30,9 juta jiwa). Sedangkan jumlah angka kematian di dunia akibat penyakit
ini mencapai 1,8 juta jiwa (www.who.int/2012/02/28).
Keberadaan HIV/AIDS di Indonesia berbanding lurus dengan yang
terjadi di dunia. Data Kementrian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah
kasus HIV hingga Maret 2013 mencapai angka 103.759 kasus. Sementara
untuk kasus Aids hingga Juni 2012 terjadi 43.347 kasus (Kementrian
Kesehatan 2013). Berikut ini adalah sepuluh provinsi dengan jumlah
kumulatif kasus HIV/AIDS (1987-Juni 2012).
Tabel 1.1 Sepuluh provinsi dengan jumlah kumulatif kasus Aids terbanyak.
Provinsi Jumlah Kasus
Papua 7.795
Jawa Timur 6.900
DKI Jakarta 6.299
Jawa Barat 4.131
Bali 3.344
Jawa Tengah 2.990
Kalimantan Barat 1.699
Sulawesi Selatan 1.467
Banten 885
Riau 859
commit to user
Tabel 1.2. Sepuluh provinsi dengan jumlah kumulatif kasus HIV terbanyak.
Provinsi HIV
D.K.I Jakarta 23.792
Jawa Timur 13.599
Papua 10.881
Jawa Barat 7.621
Bali 6.819
Sumatera Utara 6.781
Jawa Tengah 5.021
Kalimantan Barat 3.724
Kep. Riau 3.176
Banten 2.761
Sumber: Data HIV/AIDS Kemenkes per Desember 2012
Pada data triwulan keempat 2012, Komisi Penanggulangan Aids
Provinsi Jawa Tengah merilis data terbaru kasus kumulatif HIV dan AIDS di
20 kota besar di Jawa Tengah. Pada data tersebut, Kota Semarang menjadi
kota dengan kasus HIV dan AIDS tertinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari
commit to user
tersebut dapat dilihat dari data dua tahun sebelumnya kasus kumulatif
HIV/AIDS yang diterbitkan oleh KPAD Jawa Tengah berikut ini.
Gambar 1.2 Kasus Kumulatif HIV dan Aids di 20 Besar Kota di Jawa Tengah sejak Tahun 1993 sampai Desember 2011
K.
K. SmgK. SkaByms Clcp Pati Jpr Smg Kdl Tgl Tmg Grbg Btg K. SltgKbmn Dmk Srg RmbgK. Tgl Wnsb Kryr
commit to user
Peningkatan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS juga terjadi di Kota
Semarang. Sebelumnya, dari tahun 1993 hingga 2011 terdapat 212 kasus
AIDS dan 693 kasus HIV dan terjadi peningkatan 110 kasus AIDS dan 81
kasus HIV. Peningkatan yang cukup signifikan ini semakin menekankan
bahwa penanggulangan terhadap HIV/AIDS merupakan suatu seruan yang
harus segera dilakukan.
Sejak awal munculnya, peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS
disebabkan penularan virus HIV yang dapat ditularkan melalui berbagai
macam cara, yakni dengan lewat darah, melalui transfusi darah dan
penggunaan jarum suntik di kalangan pengguna narkotika; lewat cairan mani
dan cairan vagina, melalui hubungan seks penetratif tanpa menggunakan
pengaman (kondom); lewat air susu ibu (ASI), melalui pemberian ASI oleh
ibu yang mengidap HIV positif dan melahirkan lewat vagina.
Di Kota Semarang sendiri, peningkatan kumulatif kasus HIV
berdasarkan kelompok risiko didominasi oleh pelangan pekerja seks (41%),
selanjutnya pasangan dengan risiko tinggi (19%), wanita pekerja seks (13%),
pengguna napza suntik (4%), waria (2%), warga binaan pemasyarakatan
(1%), lelaki seks lelaki (1%). Sedangkan peningkatan kumulatif kasus AIDS
berdasarkan faktor risiko penularan didominasi oleh heteroseksual (81%),
kemudian pengguna napza suntik (8%), biseksual (3%), homoseksual (2%),
dan perinatal (2%). (Sumber: Komisi Penanggulangan Aids Kota Semarang
commit to user
Data perkembangan jumlah kumulatif kasus HIV berdasarkan
kelompok risiko menunjukkan bahwa penyebaran virus HIV didominasi oleh
kelompok pelanggan pekerja seks dan pada data perkembangan jumlah
kumulatif kasus AIDS berdasarkan faktor penularan didominasi oleh
kelompok heteroseksual. Jika berdasarkan data di tersebut, peneliti meliihat
bahwa proses penyebaran HIV/AIDS di Kota Semarang lebih terkonsentrasi
pada Wanita Pekerja Seks (WPS) yang menyebarkan kepada pelanggan
mereka. Dalam kelanjutannya, peneliti ingin lebih menyoroti peran
stakeholders dalam penanggulangan HIV/AIDS pada penularan melalui
hubungan heteroseksual, dengan berfokus pada WPS yang berada di
Semarang. Dalam pengertiannya, WPS merupakan wanita yang secara
terbuka maupun tidak terbuka menjajakan seks, baik di jalanan maupun di
lokalisasi atau eks lokalisasi serta yang beroperasi secara terselubung sebagai
penjaja seks komersial seperti tempat-tempat hiburan; pramupijat/pramuria
bar/karaoke (Lokollo 2009:20)
Dari data dan fakta peningkatan kasus HIV/AIDS di atas
menunjukkan bahwa masalah penanggulangan penyakit Aids merupakan
masalah yang sangat krusial, yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia saja
melainkan di seluruh dunia. Masuknya penanggulangan terhadap penyakit
Aids dalam target Millenium Development Goals (MDGs) yang diserukan
oleh United Nation Development Program (UNDP) semakin menekankan
bahwa penanggulangan dan pemberantasan penyakit Aids harus semakin
commit to user
penyebaran serta membalikkan kecenderungannya pada 2015 (Stalker
2008:23)
Peningkatan jumlah kasus penderita HIV/AIDS di Kota Semarang
disinyalir karena masih awamnya pengetahuan masyarakat akan HIV/AIDS.
Hal ini bisa saja disebabkan karena Pemerintah Kota Semarang, dalam hal ini
Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Semarang, kurang gencar dalam
menyosialisasikan serta mengampanyekan bahayanya Aids. Namun
demikian, KPA Kota Semarang sebagai lembaga publik yang menangani
permasalahan HIV/AIDS juga tidak mungkin dapat bekerja sendirian.
Kewalahan yang dialami oleh KPA bersumber dari tingginya angka penderita
HIV/AIDS di Semarang.
Pada kenyataannya, pihak pemangku kepentingan dalam
penanggulangan penderita HIV/AIDS di Semarang tidak hanya dilakukan
oleh KPA Kota Semarang saja. KPA Kota Semarang sebagai lembaga
independen turut bekerja sama dengan berbagai elemen dan stakeholders lain.
Stakeholders lain yang menjadi mitra kerja KPA bisa saja lembaga publik
juga, lembaga swasta ataupun lembaga-lembaga non-profit.
Dalam Keputusan Walikota Semarang Nomor 443.22/97 tahun 2010
tentang Pembentukan Sekretariat Pelaksana dan Kelompok Kerja/Pokja
Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Semarang, kerjasama yang
dilakukan KPA sangat luas, dalam artian KPA melakukan kerjasama dengan
berbagai elemen SKPD dan stakeholders lainnya dalam melakukan tugasnya.
commit to user
kelompok kunci ODHA yang terdiri atas penggunan narkotika jarum suntik
(penasun), wanita pekerja seks, ibu rumah tangga, narapidana di lembaga
permasyarakatan, dan lain sebagainya.
Dalam penanggulangan HIV/AIDS terdapat tiga pilar utama atau tiga
stakeholders utama dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota Semarang,
yaitu KPA, Dinas Kesehatan dan LSM Peduli Aids Kota Semarang.
Dikatakan tiga pilar utama karena tiga stakeholders inilah yang fokus dalam
penanggulangan HIV/AIDS di Kota Semarang, termasuk dalam
penanggulangan HIV/AIDS bagi Wanita Pekerja Seks (WPS).
Dalam penelitian ini, fokus utama penanggulangan HIV/AIDS
ditujukan kepada Wanita Pekerja Seks (WPS) dan melihat kerjasama yang
luas antara KPA dengan berbagai stakeholders yang terdapat pada SKPD
Kota Semarang, maka peneliti memfokuskan pada tiga pilar tersebut.
Pemilihan tiga pilar ini berdasasrkan Keputusan Walikota Semarang Nomor
443.22/97 yang berisi tentang kelompok kerja (pokja) dalam penanggulangan
HIV/AIDS bagi WPS. Pada keputusan tersebut dijelaskan bahwa KPA
merupakan tumpuan atau koordinator dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Dinas Kesehatan berfokus pada pemberian pelayanan kesehatan. LSM Griya
Asa mewakili LSM yang ada di Kota Semarang karena memang fokus
penanggulannya adalah pada WPS dan sesuai dengan kelompok kerja (pokja)
Surveilans dan Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) dengan
commit to user
Kolaborasi yang terjalin antara KPA, LSM peduli Aids dan Dinas
Kesehatan merupakan sebuah hal yang sangat penting yang menjadi titik
tumpuan dalam penanggulangan HIV di Kota Semarang. KPA sebagai
koordinator membutuhkan laporan dan data-data yang ada di lapangan yang
berasal dari LSM, yang memang berhubungan langsung dengan WPS. Tindak
lanjut dari kegiatan yang dilakukan oleh LSM nantinya akan dilakukan oleh
pihak Dinas Kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
umumnya dan WPS khususnya sehingga keberadaan HIV/AIDS di Kota
Semarang dapat segera ditanggulangi.
Dalam penyelenggaraan kegiatannya, setiap stakeholders memiliki
peran yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Peran yang
dilakukan saling mengait antara penggunaan dari hak dan kewajiban.
Sebagaimana Susanto (1985:75) menyatakan bahwa role atau peranan
merupakan dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban atau
juga bisa disebut status obyektif. Peranan atau status kait mengkait, yaitu
karena status merupakan kedudukan yang memberikan kewajiban sedangkan
kedua unsur ini tidak akan ada artinya jika tidak dipergunakan. Selain itu,
Soerjono Soekamto (1990:268) juga menekankan bahwa peranan (role)
merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila ia menjalankan hak
dan kewajibannya, maka ia menjalankan peranan.
Dari definisi peranan di atas, KPA yang memiliki kedudukan sebagai
lembaga publik memiliki tugas mengontrol dan melakukan koordinasi kepada
commit to user
HIV/AIDS. Dalam menjalankan tugasnya, KPA berdasar dan berpegang pada
Keputusan Walikota Semarang Nomor 443.22/97 Tentang Pembentukan
Sekretariat Pelaksana Dan Kelompok Kerja/Pokja Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Kota Semarang.
Pemangku kepentingan berikutnya dalam penanggulangan HIV/AIDS
bagi wanita pekerja seks di Kota Semarang ialah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Peduli Aids. Di lingkungan Kota Semarang terdapat
berbagai LSM yang secara khusus menangani ODHA. Bagi WPS, maka LSM
yang menangani penanggulangan HIV/AIDS secara khusus ialah LSM Griya
Asa. LSM ini berada di tengah-tengah Resosialisasi Sunan Kuning, sehingga
penjangkauan terhadap wanita pekerja seks dapat dilakukan secara langsung.
Pihak pemangku kepentingan yang terakhir ialah Dinas Kesehatan
Kota Semarang. Dinas Kesehatan memiliki peranan dalam pemberian
pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang terkena HIV/AIDS melalui
rumah sakit yang ada di Kota Semarang. Pelayanan tersebut dapat berupa
VCT (Voluntary Counseling and Testing) atau layanan konseling dan testing
sukarela, dimana mencakup konseling pre-tes, tes HIV dan konseling
post-tes.
Setiap stakeholders menjalankan peranannya masing-masing., namun
tidak berarti mereka menjalankan peranannya hanya sendirian saja.
Dibutuhkan kolaborasi yang baik dari setiap stakeholders untuk
menanggulangi kasus penderita HIV/AIDS yang semakin tinggi di Kota
commit to user
pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Semarang sesuai dengan
Keputusan Walikota Semarang Nomor 443.22/97.
Penjelasan di atas merupakan penjelasan mengenai keadaan dan
peningkatan kasus HIV/AIDS, serta stakeholders yang terkait dalam
penanganannya. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti akan menganalisis
peran yang dilakukan dari setiap stakeholders dan kolaborasi yang terjadi di
dalamnya. Stakeholders yang akan dianalisis oleh peneliti tiga pilar utama
dalam penanggulangan HIV/AIDS bagi WPS, yaitu KPA, LSM Griya Asa
dan Dinas Kesehatan.
B. Rumusan Masalah
Pada penelitian ini, peneliti merumuskan beberapa masalah untuk
dijawab, yaitu:
1. Bagaimana peran dari masing-masing stakeholders yang terlibat
dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota Semarang?
2. Bagaimanakah kolaborasi yang terjalin di antara masing-masing
stakeholders dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota
Semarang
3. Adakah hambatan dalam melakukan kolaborasi di antara
masing-masing stakeholders dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota
Semarang?
C. Tujuan Penelitian
commit to user
a. Untuk mengetahui bagaimana peran yang dilakukan
stakeholders terkait, dalam penanggulangan kasus
HIV/AIDS di Kota Semarang.
b. Untuk mengetahui bagaimana kolaborasi yang terjadi
antar stakeholders.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi
stakeholders dalam melaksanakan kolaborasi.
2. Tujuan Fungsional
Memberikan masukan yang bermanfaat bagi Dinas atau Instasi
terkait khususnya Komisi Penanggulangan Aids Kota Semarang
dalam penanggulangan tingginya kasus HIV/AIDS yang terjadi di
Kota Semarang dengan melakukan kolaborasi, dengan
stakeholders lain yang terkait di dalamnya
3. Tujuan Individual
Sebagai persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, yaitu:
1. Memberikan masukan dalam upaya perbaikan kinerja dan
kolaborasi pada setiap stakeholders.
2. Memberikan pengenalan dan informasi kepada masyarakat
commit to user
terlibat dalam penanggulangan tingginya angka penderita Aids di
Kota Semarang.
3. Dapat digunakan sebagai referensi dalam menganalisis peran
stakeholders pada bidang lainnya, serta dapat digunakan sebagai