FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUPTUR PERINEUM DI
PUSKESMAS PURI KABUPATEN MOJOKERTO
Dian Irawati
Prodi Kebidanan, STIKES Majapahit email: dian.irawati80@gmail.com
Abstract
A perineal tear is when the skin and/or muscles in the perineum are injured during birth. 2.9 million maternity mothers around the world had perineal tears during 2009. Anggraeni (2016) showed that 60% of mothers in RB Lilik Sidoarjo had perineal tears. Complications of perineal tears are postpatum haemorrhage, infection, fistula, hematoma and intercourse disorders. This study aimed to determine the relationship of parity, distance pregnancy, and infant weight with the incidence of perineum tears at Puri Health Center in 2017.Type of research is analytic observational with cross sectional design. The sample in this study was parturient in Puri Health Center, 29 respondents taken by accidental sampling. Instrument of study was checklist and data were analyzed by chi square test. Chi square results showed that the relationship between parity and perineal tears has p value of 0.36, pregnancy distance with perineal tears has p value of 0.03, whereas the infant weight to the occurrence of rupture uteri has p value of 0.002. Conclusion in this research is there was no relation between parity with perineal tears incidence and there was correlation between pregnancy distance and infant weight with incidence of perineal tears at Puri Puskesmas Mojokerto.
Keywords: factors, perineal tears
1. PENDAHULUAN
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indicator pencapaian derajat kesehatan ibu. Semakin rendah AKI maka semakin tinggi derajat kesehatan ibu suatu negara. Menurut definisi WHO “kematian ibu adalah kematian parempuan saat hamil atau dalam waktu 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan”(Prawirohardjo, 2013).
AKI di Indonesia pada tahun 2012 masih jauh dari target MDG’s yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan target SDG’s dalam kesehatan ibu adalah mengupayakan AKI menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup. (Kemenkes RI, 2014)
Penyebab tingginya AKI di Indonesia adalah perdarahan, hipertensi, infeksi, dan penyebab lain. (Kemenkes, 2014). Sedangkan penyebab terjadinya perdarahan adalah atonia uteri, rupture perineum, dan sisa plasenta (Sumarah, 2009).
Rupture perineum merupakan kejadian robeknya otot perineum yang sering terjadi selama kala II persalinan. Sebanyak 2.9 juta ibu bersalin di seluruh dunia mengalami
rupture uteri selama tahun 2009. Penelitian yang dilakukan Anggraeni (2016) menunjukkan bahwa 60% ibu bersalin di BPM Ny Lilik Surabaya mengalami rupture perineum.
Penyebab terjadinya rupture perineum antara lain dari faktor ibu yang terdiri dari paritas, jarak kelahiran, cara meneran yang tidak tepat, dan umur ibu. Faktor janin yang terdiri dari berat badan bayi baru lahir dan presentasi. Faktor persalinan pervaginam terdiri dari ekstraksiforceps, ekstraksi vakum, trauma alat dan episiotomi, kemudian faktor penolong persalinan yaitu pimpinan persalinan yang tidak tepat (Nasution, 2011)
Ruptur perineum merupakan terjadinya perlukaan (robek) pada otot perineum selama proses persalinan kala II dan dapat berulang pada persalinan berikutnya. Perlukaan pada perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa meluas bila persalinan teralu cepat dan ukuran bayi yang semakin besar (Prawitasari dkk, 2015).
Akibat langsung dari ruptur perineum
adalah dapat terjadi perdarahan. Kesalahan dalam menjahit akan menimbulkan
vagina menjadi longgar sehingga akan menimbulkan keluhan dalam hubungan seksual (Manuaba, 2010).
Upaya yang dapat dilakukan dalam menurunkan kejadian rupture perineum antara lain dengan senam hamil dan pertolongan persalinan yang aman. Senam hamil dapat dilakukan mulai kehamilan 28 minggu dapat membantu untuk melenturkan otot perineum dan membantu proses pernafasan sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian rupture pada perineum.
Berdasarkan latar belakang tesebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian rupture perineum di Puskesmas Puri Kabupaten Mojokerto.
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui adanya hubungan antara paritas dengan kedian rupture perineum, hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian rupture perineum, dan hunbungan antara berat badan bayi dengan kejadian rupture perineum.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGANHIPOTESIS 2.1. Pengertian
Perineum merupakan bagian dari otot bawah panggul yang berada antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis. (Wiknjosastro, 2007) Rupture perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan episiotomy (Prawiroharjo, 2007). Robekan atau laserasi pada perineum terjadi pada hampir semua persalinan anak pertama dan dapat berulang pada persalinan berikutnya.
Rupture perineum secara spontan dapat terjadi di serviks, vagina, genitalia bagian luar, otot perineum hingga anus. Robekan biasanya diawali di bagian tengah dan melebar apabila kepala bayi lahir terlalu cepat. (POGI dan JPKNR-KR, 2017)
2.2.Klasifikasi Ruptur Perineum
1) Derajat I: luasnya robekan hanya sampai mukosa vagina, komisura posterior tanpa mengenai kulit perineum. Rupture perineum derajat I biasanya tidak memerlukan penjahitan.
2) Derajat II: robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan otot perineum. Ruptur perineum derajat II memerlukan penjahitan dengan menggunakan teknik penjahitan perineum. 3) Derajat III: robekan yang terjadi
mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum hingga otot sfingter ani.
a) IIIa : mengenai sfingter ani eksternum dibawah 50 %
b) IIIb: mengenai sfingter ani eksternum lebih dari 50%
c) III c: mengenai sfingter ani internum. Ruptur perineum derajat III memerlukan penjahitan khusus yang dilakukan oleh dokter spesialis. Jika terjadi robekan perineum derajat III di Puskesmas, komisura posterior, kulit perineum, otot sfingter ani sampai ke dinding depan rektum. Penjahitan rupture perineum derajat IV harus dilakukan oleh dokter spesialis, seperti halnya rupture perineum derajat III. (POGI & JPKNR-KR, 2017 dan Wiknjosastro, 2007)
2.3.Penanganan Ruptur Perineum Penanganan ruptur jalan lahir adalah
1) Melakukan episiotomy untuk mencegah luka yang robek dan pinggir luka yang tidak rata dan kurang bersih pada beberapa keadaan tertentu misalnya tafsiran berat badan janin lebih dari 4000 gr, perineum kaku, dan mempercepat kala II.
Dengan memberikan anastesi lokal pada ibu saat penjahitan laserasi, dan mengulangi pemberian anestesi jika masih terasa sakit. Penjahitan dimulai satu cm dari puncak luka. Penjahitan dimulai sebelah dalam ke arah luar, dari atas hingga mencapai bawah laserasi. 3) Memberikan antibiotik yang cukup.
(POGI & JNPK-KR, 2017)
2.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ruptur Perineum
1) Faktor ibu
Faktor ibu yang dapat mempengaruhi rupture perineum adalah paritas, jarak kelahiran, cara meneran yang tidak tepat, dan umur ibu. (Wiknjosastro, 2006) 2) Faktor janin
Faktor janin yang dapat mempengaruhi robekan perineum adalah berat badan janin dan presentasi.
3) Faktor persalinan
Faktor persalinan yang dapat mempengaruhi robekan perineum adalah persalinan dengan bantuan alat, misalnya persalinan dengan ekstraksi vakum, ekstraksi forceps, dan episiotomy. (Mochtar, 2010)
4) Faktor penolong
Penolong persalinan yang kurang cakap dalam memantau proses persalinan dapat menambah risiko terjadinya robekan perineum. (Nasution, 2011)
2.5.Komplikasi Ruptur Perineum 1) Perdarahan
2) Infeksi 3) Fistula 4) Hematoma
5) Gangguan Kenyamanan Hubungan Seksual
2.6.Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat hubungan antara paritas dengan
kejadian rupture perineum
2) Terdapat hubungan antara jarak kelahiran dengan kejadian rupture perineum
3) Terdapat hubungan antara berat badan bayi dengan kejadian rupture perineum.
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional
dengan pendekatan metode cross sectional
(potong lintang). Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik non random sampling dan cara yang digunakan adalah accidental sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu bersalin spontan di PONED Puskesmas Puri Kabupaten Mojokerto selama bulan Februari – Mei 2017, sebanyak 29 responden. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari observasi langsung pada responden dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari rekam medik ibu bersalin di PONED Puskesmas Puri Kabupaten Mojokerto. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan checklist. Variabel bebas (independent) dalam penelitian adalah paritas, jarak kehamilan, dan berat badan bayi. Sedangkan variable tergantung (dependent) dalam penelitian ini adalah rupture perineum. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat yang dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi, dan analisa bivariat yang digunakan untuk mengetahui apakah terdapat suatu hubungan antara dua variabel. Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Umum
1) Usia responden
Gambar 1. Distribusi Frekuensi Usia Responden di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017
0%
86%
14% < 20 tahun
20 - 35 tahun
Berdasarkan Gambar 1 dapat
diketahui
bahwa
sebagian
besar
responden berusia 35 tahun. Usia
20-35 tahun merupakan usia reproduksi
sehat bagi perempuan dan merupakan
usia yang ideal dalam merencanakan
kehamilan tetapi tetap harus mengatur
jarak kehamilan agar tidak terjadi
komplikasi pada ibu dan janin jika jarak
kehamilan terlalu dekat.
2) Pendidikan responden
Gambar 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017
Berdasarkan Gambar 2 dapat
disimpulkan bahwa lebih dari 50%
responden berpendidikan menengah.
3) Pekerjaan responden
Gambar 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017.
Berdasarkan Gambar 3 dapat
diketahui bahwa mayoritas responden
tidak bekerja.
4.2. Data Khusus
1) Kejadian Ruptur Perineum
Gambar 4. Distribusi Frekuensi Ruptur Perineum di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017
Berdasarkan Gambar 4 dapat
diketahui bahwa lebih 50% responden
tidak mengalami rupture perineum.
Rupture perineum merupakan kejadian
robeknya otot perineum selama proses
persalinan. Robekan biasanya terjadi di
serviks,
vagina
sampai
ke
otot
perineum. Sebagian ibu melahirkan
pasti akan mengalami rupture perineum,
baik yang spontan maupun dengan cara
episiotomy. Semakin besar ukuran
kepala
bayi
dan
semakin
cepat
keluarnya kepala dari jalan lahir maka
robekan akan semakin lebar. Rupture
perineum sering kali menyebabkan
perdarahan pasca persalinan. (Fraser
dan Cooper, 2009)
2) Paritas
Gambar 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Paritas di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017. 28%
69%
3% Pendidikan
Dasar
Pendidikan Menengah
Pendidikan Tinggi
7%
93%
Bekerja
Tidak Bekerja
48% 52%
Terjadi Robekan Perineum
Tidak Terjadi Robekan Perineum
41%
59%
Primigravida
Berdasarkan Gambar 5 di atas dapat
diketahui bahwa lebih dari 50%
responden adalah ibu multigravida.
Multigravida adalah ibu yang lebih dari
satu kali melahirkan.
3) Jarak Kehamilan
Gambar 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jaran Kehamilan di Puskesmas Puri 2017
Berdasarkan Gambar 6 di atas dapat
diketahui bahwa lebih dari 50%
responden memiliki jarak kehamilan ≥ 5
tahun.
4) Berat Badan Bayi
Gambar 7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Berat Badan Bayi di Puskesmas Puri 2017
Berdasarkan gambar 7 di atas dapat
diketahui
bahwa
sabagian
besar
responden melahirkan bayi dengan berat
kurang dari 4000 gram.
4.3. Analisis Bivariat
1) Hubungan Paritas dengan Keadian Ruptur Perineum
Tabel 1. Hubungan Paritas dengan Kejadian Ruptur Perineum di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017
Paritas Ruptur Perineum P value Tidak
Ruptur
Ruptur
Primigravida 5 7 0.36 Multigravida 10 7
Total 15 14
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa hasil tabulasi silang antara paritas dan
kejadian rupture perineum menunjukkan
hasil uji statistic chi square memiliki hasil p
value 0.36 (p > 0.05). Berdasarkan hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara paritas dengan kejadian
rupture uteri. Hal ini sesuai dengan penelitian
Prawitasari dkk (2015), bahwa tidak terdapat
hubungan antara paritas dengan kejadian
rupture perineum. Hasil yang berbeda
dikemukakan oleh hasil penelitian yang
dilakukan Suryani (2013) bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara paritas dan
kejadian rupture perineum. Penelitian Elisa
(2016) dan Pratami & Kuswanti (2015) juga
menunjukkan adanya hubungan antara
paritas dengan kejadian rupture perineum.
Rupture perineum merupakan kejadian
robeknya jalan lahir terutama otot perineum
selama proses persalinan. Ada beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
rupture pada perineum salah satunya adalah
paritas. Namun dalam penelitian ini, paritas
tidak memiliki hubungan yang bermakna
dengan kejadian rupture uteri. Tidak semua
ibu primipara akan mengalami rupture
perineum. Hal ini disebabkan perbedaan
elastisitas otot perineum pada ibu bersalin.
Semakin elastis otot perineum, maka
kejadian rupture perineum akan semakin
kecil.
Elastisitas perineum tersebut dapat
ditingkatkan selama akhir kehamilan dengan
melakukan senam hamil ataupun yoga hamil
34%66% < 5 tahun
≥ 5 tahun
76%
24% < 4000
untuk membantu meregangkan otot dasar
panggul. Sehingga otot dasar panggul
maupun perineum akan mudah meregang
selama proses persalinan.
2) Hubungan Jarak Kehamilan dengan Kejadian Ruptur Perineum
Tabel 2. Hubungan Jarak Kehamilan dengan Kejadian Ruptur Perineum di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017
Jarak Kehamilan
Ruptur Perineum P value
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui
bahwa responden dengan jarak kehamilan
lebih dari sama dengan 5 tahun lebih banyak
mengalami rupture uteri dibandingkan
dengan responden yang memiliki jarak
kehamilan kurang dari 5 tahun. Hasil analisis
statistic dengan menggunakan uji chi square
dapat diketahui bahwa nilai p value sebesar
0.03 (p<0.05). Hal ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara jarak anak dengan kejadian
rupture uteri.
Hasil penelitian di atas sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana
(2013) bahwa jarak kehamilan berhubungan
dengan kejadian rupture perineum. Tetapi
hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan Prawitasari dkk
(2015) yang menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara jarak kehamilan dengan
kejadian rupture uteri.
Jarak anak yang ideal untuk menjaga
kesehatan ibu dan anak adalah 2-5 tahun.
Jarak yang ideal tersebut akan memberikan
kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan
berkembang dengan lingkungan dan gizi
yang optimal. Pengaturan jarak kehamilan
yang ideal juga akan berdampak terhadap
kesehatan ibu. Kesehatan reproduksi ibu
akan mengalami pemulihan yang optimal
jika jarak kehamilan tidak teralu dekat. Akan
tetapi jika jarak terlalu jauh atau teralu lama
juga kurang bagus bagi kesehatan ibu. Hal
ini dapat terlihat dari hasil penelitian bahwa
ibu dengan jarak anak ≥ 5 tahun lebih banyak
mengalami rupture perineum.
3) Hubungan Berat Badan Bayi dengan Kejadian Ruptur Uteri
Tabel 3. Hubungan Berat Badan Bayi dengan Kejadian Ruptur Perineum di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017
Berat Badan Bayi
Ruptur Perineum P value