• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUPTUR PERINEUM DI PUSKESMAS PURI KABUPATEN MOJOKERTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUPTUR PERINEUM DI PUSKESMAS PURI KABUPATEN MOJOKERTO"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUPTUR PERINEUM DI

PUSKESMAS PURI KABUPATEN MOJOKERTO

Dian Irawati

Prodi Kebidanan, STIKES Majapahit email: dian.irawati80@gmail.com

Abstract

A perineal tear is when the skin and/or muscles in the perineum are injured during birth. 2.9 million maternity mothers around the world had perineal tears during 2009. Anggraeni (2016) showed that 60% of mothers in RB Lilik Sidoarjo had perineal tears. Complications of perineal tears are postpatum haemorrhage, infection, fistula, hematoma and intercourse disorders. This study aimed to determine the relationship of parity, distance pregnancy, and infant weight with the incidence of perineum tears at Puri Health Center in 2017.Type of research is analytic observational with cross sectional design. The sample in this study was parturient in Puri Health Center, 29 respondents taken by accidental sampling. Instrument of study was checklist and data were analyzed by chi square test. Chi square results showed that the relationship between parity and perineal tears has p value of 0.36, pregnancy distance with perineal tears has p value of 0.03, whereas the infant weight to the occurrence of rupture uteri has p value of 0.002. Conclusion in this research is there was no relation between parity with perineal tears incidence and there was correlation between pregnancy distance and infant weight with incidence of perineal tears at Puri Puskesmas Mojokerto.

Keywords: factors, perineal tears

1. PENDAHULUAN

Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indicator pencapaian derajat kesehatan ibu. Semakin rendah AKI maka semakin tinggi derajat kesehatan ibu suatu negara. Menurut definisi WHO “kematian ibu adalah kematian parempuan saat hamil atau dalam waktu 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan”(Prawirohardjo, 2013).

AKI di Indonesia pada tahun 2012 masih jauh dari target MDG’s yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan target SDG’s dalam kesehatan ibu adalah mengupayakan AKI menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup. (Kemenkes RI, 2014)

Penyebab tingginya AKI di Indonesia adalah perdarahan, hipertensi, infeksi, dan penyebab lain. (Kemenkes, 2014). Sedangkan penyebab terjadinya perdarahan adalah atonia uteri, rupture perineum, dan sisa plasenta (Sumarah, 2009).

Rupture perineum merupakan kejadian robeknya otot perineum yang sering terjadi selama kala II persalinan. Sebanyak 2.9 juta ibu bersalin di seluruh dunia mengalami

rupture uteri selama tahun 2009. Penelitian yang dilakukan Anggraeni (2016) menunjukkan bahwa 60% ibu bersalin di BPM Ny Lilik Surabaya mengalami rupture perineum.

Penyebab terjadinya rupture perineum antara lain dari faktor ibu yang terdiri dari paritas, jarak kelahiran, cara meneran yang tidak tepat, dan umur ibu. Faktor janin yang terdiri dari berat badan bayi baru lahir dan presentasi. Faktor persalinan pervaginam terdiri dari ekstraksiforceps, ekstraksi vakum, trauma alat dan episiotomi, kemudian faktor penolong persalinan yaitu pimpinan persalinan yang tidak tepat (Nasution, 2011)

Ruptur perineum merupakan terjadinya perlukaan (robek) pada otot perineum selama proses persalinan kala II dan dapat berulang pada persalinan berikutnya. Perlukaan pada perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa meluas bila persalinan teralu cepat dan ukuran bayi yang semakin besar (Prawitasari dkk, 2015).

Akibat langsung dari ruptur perineum

adalah dapat terjadi perdarahan. Kesalahan dalam menjahit akan menimbulkan

(2)

vagina menjadi longgar sehingga akan menimbulkan keluhan dalam hubungan seksual (Manuaba, 2010).

Upaya yang dapat dilakukan dalam menurunkan kejadian rupture perineum antara lain dengan senam hamil dan pertolongan persalinan yang aman. Senam hamil dapat dilakukan mulai kehamilan 28 minggu dapat membantu untuk melenturkan otot perineum dan membantu proses pernafasan sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian rupture pada perineum.

Berdasarkan latar belakang tesebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian rupture perineum di Puskesmas Puri Kabupaten Mojokerto.

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui adanya hubungan antara paritas dengan kedian rupture perineum, hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian rupture perineum, dan hunbungan antara berat badan bayi dengan kejadian rupture perineum.

2. KAJIAN LITERATUR DAN

PEGEMBANGANHIPOTESIS 2.1. Pengertian

Perineum merupakan bagian dari otot bawah panggul yang berada antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis. (Wiknjosastro, 2007) Rupture perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan episiotomy (Prawiroharjo, 2007). Robekan atau laserasi pada perineum terjadi pada hampir semua persalinan anak pertama dan dapat berulang pada persalinan berikutnya.

Rupture perineum secara spontan dapat terjadi di serviks, vagina, genitalia bagian luar, otot perineum hingga anus. Robekan biasanya diawali di bagian tengah dan melebar apabila kepala bayi lahir terlalu cepat. (POGI dan JPKNR-KR, 2017)

2.2.Klasifikasi Ruptur Perineum

1) Derajat I: luasnya robekan hanya sampai mukosa vagina, komisura posterior tanpa mengenai kulit perineum. Rupture perineum derajat I biasanya tidak memerlukan penjahitan.

2) Derajat II: robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan otot perineum. Ruptur perineum derajat II memerlukan penjahitan dengan menggunakan teknik penjahitan perineum. 3) Derajat III: robekan yang terjadi

mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum hingga otot sfingter ani.

a) IIIa : mengenai sfingter ani eksternum dibawah 50 %

b) IIIb: mengenai sfingter ani eksternum lebih dari 50%

c) III c: mengenai sfingter ani internum. Ruptur perineum derajat III memerlukan penjahitan khusus yang dilakukan oleh dokter spesialis. Jika terjadi robekan perineum derajat III di Puskesmas, komisura posterior, kulit perineum, otot sfingter ani sampai ke dinding depan rektum. Penjahitan rupture perineum derajat IV harus dilakukan oleh dokter spesialis, seperti halnya rupture perineum derajat III. (POGI & JPKNR-KR, 2017 dan Wiknjosastro, 2007)

2.3.Penanganan Ruptur Perineum Penanganan ruptur jalan lahir adalah

1) Melakukan episiotomy untuk mencegah luka yang robek dan pinggir luka yang tidak rata dan kurang bersih pada beberapa keadaan tertentu misalnya tafsiran berat badan janin lebih dari 4000 gr, perineum kaku, dan mempercepat kala II.

(3)

Dengan memberikan anastesi lokal pada ibu saat penjahitan laserasi, dan mengulangi pemberian anestesi jika masih terasa sakit. Penjahitan dimulai satu cm dari puncak luka. Penjahitan dimulai sebelah dalam ke arah luar, dari atas hingga mencapai bawah laserasi. 3) Memberikan antibiotik yang cukup.

(POGI & JNPK-KR, 2017)

2.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ruptur Perineum

1) Faktor ibu

Faktor ibu yang dapat mempengaruhi rupture perineum adalah paritas, jarak kelahiran, cara meneran yang tidak tepat, dan umur ibu. (Wiknjosastro, 2006) 2) Faktor janin

Faktor janin yang dapat mempengaruhi robekan perineum adalah berat badan janin dan presentasi.

3) Faktor persalinan

Faktor persalinan yang dapat mempengaruhi robekan perineum adalah persalinan dengan bantuan alat, misalnya persalinan dengan ekstraksi vakum, ekstraksi forceps, dan episiotomy. (Mochtar, 2010)

4) Faktor penolong

Penolong persalinan yang kurang cakap dalam memantau proses persalinan dapat menambah risiko terjadinya robekan perineum. (Nasution, 2011)

2.5.Komplikasi Ruptur Perineum 1) Perdarahan

2) Infeksi 3) Fistula 4) Hematoma

5) Gangguan Kenyamanan Hubungan Seksual

2.6.Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat hubungan antara paritas dengan

kejadian rupture perineum

2) Terdapat hubungan antara jarak kelahiran dengan kejadian rupture perineum

3) Terdapat hubungan antara berat badan bayi dengan kejadian rupture perineum.

3. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional

dengan pendekatan metode cross sectional

(potong lintang). Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik non random sampling dan cara yang digunakan adalah accidental sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu bersalin spontan di PONED Puskesmas Puri Kabupaten Mojokerto selama bulan Februari – Mei 2017, sebanyak 29 responden. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari observasi langsung pada responden dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari rekam medik ibu bersalin di PONED Puskesmas Puri Kabupaten Mojokerto. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan checklist. Variabel bebas (independent) dalam penelitian adalah paritas, jarak kehamilan, dan berat badan bayi. Sedangkan variable tergantung (dependent) dalam penelitian ini adalah rupture perineum. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat yang dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi, dan analisa bivariat yang digunakan untuk mengetahui apakah terdapat suatu hubungan antara dua variabel. Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Umum

1) Usia responden

Gambar 1. Distribusi Frekuensi Usia Responden di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017

0%

86%

14% < 20 tahun

20 - 35 tahun

(4)

Berdasarkan Gambar 1 dapat

diketahui

bahwa

sebagian

besar

responden berusia 35 tahun. Usia

20-35 tahun merupakan usia reproduksi

sehat bagi perempuan dan merupakan

usia yang ideal dalam merencanakan

kehamilan tetapi tetap harus mengatur

jarak kehamilan agar tidak terjadi

komplikasi pada ibu dan janin jika jarak

kehamilan terlalu dekat.

2) Pendidikan responden

Gambar 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017

Berdasarkan Gambar 2 dapat

disimpulkan bahwa lebih dari 50%

responden berpendidikan menengah.

3) Pekerjaan responden

Gambar 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017.

Berdasarkan Gambar 3 dapat

diketahui bahwa mayoritas responden

tidak bekerja.

4.2. Data Khusus

1) Kejadian Ruptur Perineum

Gambar 4. Distribusi Frekuensi Ruptur Perineum di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017

Berdasarkan Gambar 4 dapat

diketahui bahwa lebih 50% responden

tidak mengalami rupture perineum.

Rupture perineum merupakan kejadian

robeknya otot perineum selama proses

persalinan. Robekan biasanya terjadi di

serviks,

vagina

sampai

ke

otot

perineum. Sebagian ibu melahirkan

pasti akan mengalami rupture perineum,

baik yang spontan maupun dengan cara

episiotomy. Semakin besar ukuran

kepala

bayi

dan

semakin

cepat

keluarnya kepala dari jalan lahir maka

robekan akan semakin lebar. Rupture

perineum sering kali menyebabkan

perdarahan pasca persalinan. (Fraser

dan Cooper, 2009)

2) Paritas

Gambar 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Paritas di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017. 28%

69%

3% Pendidikan

Dasar

Pendidikan Menengah

Pendidikan Tinggi

7%

93%

Bekerja

Tidak Bekerja

48% 52%

Terjadi Robekan Perineum

Tidak Terjadi Robekan Perineum

41%

59%

Primigravida

(5)

Berdasarkan Gambar 5 di atas dapat

diketahui bahwa lebih dari 50%

responden adalah ibu multigravida.

Multigravida adalah ibu yang lebih dari

satu kali melahirkan.

3) Jarak Kehamilan

Gambar 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jaran Kehamilan di Puskesmas Puri 2017

Berdasarkan Gambar 6 di atas dapat

diketahui bahwa lebih dari 50%

responden memiliki jarak kehamilan ≥ 5

tahun.

4) Berat Badan Bayi

Gambar 7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Berat Badan Bayi di Puskesmas Puri 2017

Berdasarkan gambar 7 di atas dapat

diketahui

bahwa

sabagian

besar

responden melahirkan bayi dengan berat

kurang dari 4000 gram.

4.3. Analisis Bivariat

1) Hubungan Paritas dengan Keadian Ruptur Perineum

Tabel 1. Hubungan Paritas dengan Kejadian Ruptur Perineum di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017

Paritas Ruptur Perineum P value Tidak

Ruptur

Ruptur

Primigravida 5 7 0.36 Multigravida 10 7

Total 15 14

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui

bahwa hasil tabulasi silang antara paritas dan

kejadian rupture perineum menunjukkan

hasil uji statistic chi square memiliki hasil p

value 0.36 (p > 0.05). Berdasarkan hasil

tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara paritas dengan kejadian

rupture uteri. Hal ini sesuai dengan penelitian

Prawitasari dkk (2015), bahwa tidak terdapat

hubungan antara paritas dengan kejadian

rupture perineum. Hasil yang berbeda

dikemukakan oleh hasil penelitian yang

dilakukan Suryani (2013) bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara paritas dan

kejadian rupture perineum. Penelitian Elisa

(2016) dan Pratami & Kuswanti (2015) juga

menunjukkan adanya hubungan antara

paritas dengan kejadian rupture perineum.

Rupture perineum merupakan kejadian

robeknya jalan lahir terutama otot perineum

selama proses persalinan. Ada beberapa

faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

rupture pada perineum salah satunya adalah

paritas. Namun dalam penelitian ini, paritas

tidak memiliki hubungan yang bermakna

dengan kejadian rupture uteri. Tidak semua

ibu primipara akan mengalami rupture

perineum. Hal ini disebabkan perbedaan

elastisitas otot perineum pada ibu bersalin.

Semakin elastis otot perineum, maka

kejadian rupture perineum akan semakin

kecil.

Elastisitas perineum tersebut dapat

ditingkatkan selama akhir kehamilan dengan

melakukan senam hamil ataupun yoga hamil

34%

66% < 5 tahun

≥ 5 tahun

76%

24% < 4000

(6)

untuk membantu meregangkan otot dasar

panggul. Sehingga otot dasar panggul

maupun perineum akan mudah meregang

selama proses persalinan.

2) Hubungan Jarak Kehamilan dengan Kejadian Ruptur Perineum

Tabel 2. Hubungan Jarak Kehamilan dengan Kejadian Ruptur Perineum di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017

Jarak Kehamilan

Ruptur Perineum P value

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui

bahwa responden dengan jarak kehamilan

lebih dari sama dengan 5 tahun lebih banyak

mengalami rupture uteri dibandingkan

dengan responden yang memiliki jarak

kehamilan kurang dari 5 tahun. Hasil analisis

statistic dengan menggunakan uji chi square

dapat diketahui bahwa nilai p value sebesar

0.03 (p<0.05). Hal ini dapat ditarik

kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara jarak anak dengan kejadian

rupture uteri.

Hasil penelitian di atas sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana

(2013) bahwa jarak kehamilan berhubungan

dengan kejadian rupture perineum. Tetapi

hasil penelitian ini berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan Prawitasari dkk

(2015) yang menyimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara jarak kehamilan dengan

kejadian rupture uteri.

Jarak anak yang ideal untuk menjaga

kesehatan ibu dan anak adalah 2-5 tahun.

Jarak yang ideal tersebut akan memberikan

kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan

berkembang dengan lingkungan dan gizi

yang optimal. Pengaturan jarak kehamilan

yang ideal juga akan berdampak terhadap

kesehatan ibu. Kesehatan reproduksi ibu

akan mengalami pemulihan yang optimal

jika jarak kehamilan tidak teralu dekat. Akan

tetapi jika jarak terlalu jauh atau teralu lama

juga kurang bagus bagi kesehatan ibu. Hal

ini dapat terlihat dari hasil penelitian bahwa

ibu dengan jarak anak ≥ 5 tahun lebih banyak

mengalami rupture perineum.

3) Hubungan Berat Badan Bayi dengan Kejadian Ruptur Uteri

Tabel 3. Hubungan Berat Badan Bayi dengan Kejadian Ruptur Perineum di Puskesmas Puri, Februari – Mei 2017

Berat Badan Bayi

Ruptur Perineum P value

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui

bahwa responden yang tidak mengalami

rupture perineum seluruhnya melahirkan

bayi dengan berat < 4000 gram. Hasil

analisis statistic dengan uji exact fisher

memiliki nilai p value sebesar 0.002 (p<

0.05), sehingga dapat ditarik kesimpulan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara berat badan bayi dengan kejadian

rupture perineum.

Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Prawitasari dkk (2015), Anggraeni (2016),

dan Sulistyani (2016) yang mengemukakan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara berat badan bayi dengan kejadian

rupture perineum. Tetapi hasil penelitian ini

berbeda dengan hasil penelitian Endriani dkk

(2012) yang menunjukkan tidak ada

hubungan antara berat badan bayi dengan

kejadian rupture uteri.

Berat badan bayi yang besar (≥ 4000

gram) disertai dengan ukuran tubuh lebih

besar. Ukuran bayi yang besar tersebut akan

menyebabkan jalan lahir akan lebih teregang

dan mengalami robekan karena tidak mampu

menahan besarnya janin selama proses

persalinan. Berat badan bayi yang berlebih

juga akan meningkatkan risiko macet bahu

yang

pada

akhirnya

akan

semakin

(7)

5.

KESIMPULAN

Kesimpulan penelitian ini adalah:

Tidak terdapat hubungan antara paritas

dengan kejadian rupture perineum di

Puskesmas Puri

Terdapat

hubungan

antara

jarak

kehamilan dengan kejadian rupture perineum

di Puskesmas Puri

Terdapat hubungan antara berat badan

bayi dengan kejadian rupture uteri di

Puskesmas Puri

REFERENSI

1.

Anggraeni. 2016. Hubungan Berat

Bayi dengan Robekan Perineum pada

Persalinan Fisiologis di RB Lilik

Sidoarjo. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 9.

(1): 91-97.

2.

Elisa, Endah, dan Yuniarti. 2016.

Hubungan antara Berat Badan Bayi

Baru Lahir dengan Kejadian Rupture

Perineum Pada Ibu Bersalin Spontan

di Bidan Praktik Mandiri (BPM)

Endang

Minaharsi,

Amd.Keb

Ngemplak Simongan Semarang Barat

Tahun 2015. Jurnal Bidan. 2. (2):

23-30.

3.

Endriani, Rosidi, dan Andarsari. 2013.

Hubungan Umur, Paritas, dan Berat

Bayi Lahir dengan Kejadian Laserasi

Perineum di Bidan Praktek Swasta Hj.

Sri Wahyuni, S.SiT Semarang Tahun

2012. Jurnal Unimus. 84-89.

4.

Fraser DM dan Cooper MA. 2009.

6.

Manuaba, I.A Chandranita, dkk. 2010.

Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan

dan KB

.

Jakarta: EGC.

7.

Mochtar. Sinopsis Obstetri Fisiologi

Patologi. 3

rd

Edition. Jakarta: ECG;

2010

8.

Nasution N. 2011. Faktor-faktor yang

Berhubungan

dengan

Terjadinya

Ruptur Perineum pada Ibu Bersalin Di

RSU Dr.Pirngadi Medan Periode

Januari-Desember 2007: J kesehatan.

I. (2)

9.

Oxorn William. 2010. Ilmu Kebidanan

Patologi dan Fisiologi Kebidanan.

Yokyakarta: Andi Offset.

10.

POGI dan JNPK-KR. 2017. Buku

Acuan Asuhan Persalinan Normal.

Jakarta: JNPK-KR.

11.

Prawirohardjo

S.

2008.

Ilmu

Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

12.

Wiknjosastro. 2007. Ilmu Bedah

Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

13.

Pratami

dan

Kuswanti.

2015.

Hubungan Paritas Dengan Derajat

Ruptur Perineum Pada Ibu Bersalin

Normal Di Puskesmas Tegalrejo

Yogyakarta.

Jurnal

Kesehatan

Samodra Ilmu. 5. (1): 17-24.

14.

Prawitasari, dkk. 2015. “

Penyebab

Terjadinya

Ruptur Perineum

pada

Persalinan Normal di RSUD Muntilan

Kabupaten Magelang”. Jurnal Ners

dan Kebidanan Indonesia. 3. (2):

76-81.

15.

Rosdiana. 2013. Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Terjadinya Ruptur

Perineum pada Ibu Bersalin Normal di

Puskesmas

Pelayanan

Obstetri

Neonatal Emergency Dasar (Poned)

Darul Imarah Aceh Besar (Skripsi).

Banda Aceh: Program Studi D-IV

Kebidanan STIKES U’budiyah.

16.

Sulistiyani. 2016. Hubungan Antara

Berat Badan Bayi Baru Lahir Dengan

Kejadian Rupture Perineum Pada Ibu

Bersalin Spontan Di Bidan Praktik

Mandiri (BPM) Endang Minaharsi,

Amd.Keb

Ngemplak

Simongan

Semarang Barat

Tahun 2015 (Karya

Tulis Ilmiah). Ungaran: Akademi

Kebidanan Ngudi Waluyo.

17.

Sumarah Dkk. 2009. Perawatan Ibu

Bersalin

.

Yokyakarta: CV Fitramaya.

18.

Suryani. 2013. Faktor-Faktor yang

(8)

Gambar

Gambar 1. Distribusi Frekuensi Usia
Gambar 3. Distribusi
Tabel 1. Hubungan
Tabel 3. Hubungan Berat Badan Bayi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, kejadian rupture perineum lebih banyak terjadi pada ibu yang melahirkan dengan berat badan lahir bayi normal sesuai dengan tabel

Sehingga tidak selalu paritas merupakan penyebab dari terjadinya ruptur perineum spontan pada primigravida, karena ruptur perineum spontan bisa terjadi juga oleh faktor

Hubungan berat badan lahir dengan kejadian ruptur perineum pada persalinan normal di RB Harapan Bunda di Surakarta 2011.. Metode Penelitian Kebidanan &amp; Teknik

Hasil penelitian ini cukup relevan dengan penelitian yang dilakukan Lis Suwarni (2003) yang berjudul Hubungan Paritas Dengan Ruptur Perineum Spontan Pada Penatalaksanaan Kala

Sehingga tidak selalu paritas merupakan penyebab dari terjadinya ruptur perineum spontan pada primigravida, karena ruptur perineum spontan bisa terjadi juga oleh faktor

Jumlah kejadian rupture perineum pada ibu bersalin normal di Puskesmas Tegalrejo Yogyakarta 2015 dalam penelitian ini sebanyak 95 orang sebagian besar terjadi pada rupture

Jumlah kejadian rupture perineum pada ibu bersalin normal di Puskesmas Tegalrejo Yogyakarta 2015 dalam penelitian ini sebanyak 95 orang sebagian besar terjadi pada

Baik ibu primipara maupun multipara dari 9 artikel yang telah dianalisis menggunakan kata kunci rupture perineum, paritas, serta obstetric anal sphincter ijuries dari beberapa jurnal