• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adat Istiadat dan Upacara Perkawinan Pad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Adat Istiadat dan Upacara Perkawinan Pad"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

3

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan Pada

Masyarakat Kabupaten Aceh Besar

A. Adat Pergaulan Muda-Mudi

(3)

pergaulan pemuda-pemudi secara bebas. Apabila seseorang datang bertamu ke sebuah rumah, ia tidak boleh masuk ke rumah tersebut apabila suaminya tidak ada di rumah. Bahkan tamu tadi dilarang masuk ke dalam pekarangan rumah.

Apalagi untuk menjumpai seorang gadis, biasanya seorang laki-laki yang hendak bertamu terlebih dahulu ia melihat apakah suami yang punya berada di rumah. Apabila ternyata ada, yamu sejak masuk pekarangan rumah ia memberitahukan lebih dahulu dengan membuat-buat batuk agar wanita di depan rumah dapat masuk ke dalam. Karena biasanya seorang wanita dilarang duduk dengan tamu.

(4)

perkawinan. Orang tua tinggal merestui apa yang diingini anaknya.

B. Adat dan Upacara Perkawinan

Saat peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga merupakan suatu yang berkesan bagi seseorang atau masyarakat. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia hampir dipastikan mempunyai adat dan upacara yang berkaitan dengan perkawinan. Masa ini disebut masa perkawinan yang ditandai dan diawali dengan adanya upacara perkawinan. Bentuk-bentuk upacara perkawinan antara daerah satu dengan daerah lain tidaklah sama. Pada umumnya orang-orang menggunakan adat dan tata cara perkawinan yang sesuai dengan daerah asalnya masing-masing, kendatipun orang tersebut mungkin tinggal di daerah lain atau kota lain. Hal tersebut bisa terjadi karena masing-masing suku bangsa di dunia, telah menciptakan suatu aturan yang mengatur perkawinan ini secara turun-temurun.

1. Adat Sebelum Perkawinan.

(5)

a. Tujuan perkawinan menurut adat.

Perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang bersifat naluriah bagi setiap makluk hidup. Pada dasarnya perkawinan berfungsi untuk mengatur kelakuan manusia dan kebutuhan biologisnya, untuk menyambung keturunan. Agar semuanya dapat berjalan dengan baik dan selaras dengan keinginan manusia, maka dibuatlah bermacam-macam aturan yang kemudian menjadi adat tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Koentjaraningrat (1990: 103) mengatakan sebagai berikut,

(6)

merupakan alasan dari perkawinan. Sungguhpun demikian, lepas dari apapun juga, maksud dan alasan dari perkawinan, perbuatan sex selalu termaktub di dalamnya".

Masyarakat Aceh Besar dalam menyelenggarakan perkawinan mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi kebutuhan biologis.

2. Untuk melaksanakan perintah agama.

3. Untuk memenuhi adat.

4. Tujuan yang bersifat ekonomi.

5. Tujuan untuk mempererat tali silaturrohmim dan memperluas jaringsan keluarga serta kekerabatan antara dua keluarga yang melakukan hubungan perkawinan.

6. Tujuan untuk mencari ketenangan hidup.

b. Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh.

(7)

Masyarakat Aceh Besar, yang pada umumnya beragama Islam, sangat mematuhi ajaran Islam tentang perkawinan. Karenanya, perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak saudara laki-laki-laki-laki ayahnya yang perempuan tidak boleh terjadi karena menurut Islam orang tersebut bersaudara. Di samping itu, perkawinan dengan saudara kandung sendiri sangat dilarang dan tidak dapat dibenarkan menurut agama, sedangkan perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang seagama. Kawin dengan orang sekampung (satu rukun tetangga) walaupun dibolehkan, tetapi dianggap kurang baik karena sekampung biasanya tinggal berdekatan sekali. Hal ini seolah-olah sudah tidak ada pergaulan yang luas dengan kampung-kampung lain atau seolah-olah kurang laku sehingga terpaksa mengawini orang yang tinggal di sebelahnya sebagai tetangga dekatnya.

Pembatasan jodoh lainnya sangat berhubungan dengan kepercayaan. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa masyarakat Aceh Besar menganut agama Islam yang fanatik. Perkawinan dengan orang di luar agama Islam (tidak seiman) sangat dilarang dan dianggap membuat aib atau malu keluarga dan seluruh kampung, kecuali jika yang dikawini itu seorang muallaf (telah mengucapkan kalimat syahadat). Biasanya, sanksi yang diberikan, orang yang bersangkutan tidak diakui lagi oleh orang tua dan keluarganya serta dikucilkan dari kehidupan masyarakat.

(8)

dijumpai pula perkawinan-perkawinan yang menjadi preferensi umum (marriage preferences). Maksudnya, perkawinan yang diharapkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Perkawinan semacam ini dianggap sebagai perkawinan yang ideal.

Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Aceh Besar adalah perkawinan yang dilakukan dengan orang yang kedudukannya setara atau seimbang. Perkawinan yang setara kedudukannya itu di lingkungan masyarakat Aceh Besar bukan berarti keduanya harus berasal dari keturunan bangsawan, tetapi dapat saja mereka yang akan melangsungkan perkawinan berasal dari orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam hal kemampuan sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, kebanyakan mereka mencari jodohnya di lingkungan orang-orang yang sama-sama senasib, sepertinya perkawinan antara orang yang berpendidikan tinggi dengan orang yang berpendidikan tinggi pula, orang dari klas menengah dengan orang yang berasal dari klas yang sama. Perkawinan ini juga sangat ditentukan oleh akhlak dari masing-masing calon pengantin. H.T. Ubit (Laka Kec. Ingin Jaya, 1992: 2) menyatakan bahwa

(9)

nanti diharapkan mendapat rumah tangga yang sakinah. Dalam rangka memenuhi apa yang dimaksud di atas, dalam memilih judo tersebut sangat diperhatikan hal-hal seperti yang sederajat, seagama, yang cantik rupa, yang taat beribadah, yang berharta, dan yang berbudi pekerti baik”.

Perkawinan dengan saudara sepupu, walaupun boleh dilakukan menurut agama Islam, tetapi jarang dilakukan oleh orang-orang Aceh Besar, karena dianggap terlalu dekat atau dianggap sebagai saudara sendiri (kerabat sendiri).

c. Bentuk Perkawinan.

Pada dasarnya hanya ada satu bentuk perkawinan yang terpuji menurut adat yaitu perkawinan dengan peminangan, terutama bagi para gadis dan jejaka. Pihak keluarga pria mengirim utusan sebagai wakil orang tuanya untuk meminang anak gadis dari keluarga lain. Pinangan dilakukan secara adat. Jika sudah ada kata sepakat, maka ditentukan oleh kedua belah pihak hari pelaksanaan perkawinan bertempat di rumah orang tua gadis, yang dipimpin oleh keuchik atau pemangku adat. Setelah perkawinan selesai, untuk sementara pengantin bertempat tinggal di rumah orang tua dara baro.

(10)

tidak seagama, bertabiat buruk atau tidak sopan, baik pria maupun gadis, sedangkan keduanya sudah saling mencintai dan sudah memutuskan untuk kawin. Secara diam-diam keduanya melarikan diri ke tempat lain untuk menghadap kadli/pegawai Kantor Urusan Agama agar mau menikahkan mereka. Sesuai dengan perintah agama, keduanya harus dinikahkan, agar tidak berbuat zina. Masyarakat tidak mempermasalahkan orang yang kawin lari karena tidak melanggar ketentuan agama. Hanya saja, untuk sementara waktu keduanya belum direstui oleh orang tua kedua belah pihak. Apabila mereka sudah mempunyai anak, hidup bahagia, dan datang kepada orang tua masing-masing untuk meminta maaf, mereka akan direstui sebagai suami-istri. Perkawinan ini jarang terjadi dan tidak dilazimkan oleh adat.

Kawin gantung, seperti pada beberapa suku bangsa lainnya, tidak begitu dikenal pada masyarakat masyarakat Aceh Besar karena dianggap suatu hal yang kurang layak. Menurut H. T. Ubit (Laka Kec. Ingin Jaya, 1992: 1) menyatakan bahwa

“Bagi orang Aceh yang kawin dibawah umur, dianggap suatu hal yang kurang layak di mata adat, maka perkawinan yang demikian disebut kawin gantung”.

(11)

dan hubungan kekerabatan. Anak-anak mereka dapat dididik/dirawat seperti anak sendiri dan keguyuban dapat pula terjaga seperti sedia kala.

d. Syarat-Syarat Kawin

Sebelum melakukan perkawinan, seseorang terlebih dahulu harus memenuhi syara-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat kawin dalam agama Islam, di antaranya harus ada wali, ada yang menerima nikah, ada saksi dan mahar. Dengan kata lain, perkawinan Islam yaitu suatu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan, disaksikan oleh sedikit-dikitnya dua orang di mana ijab-kabul (aanbodaanname) disebutkan dan mas kawin ditentukan (Soekanto, 1981: 116). Di samping itu terdapat pula syarat-syarat perkawinan dalam bentuk adat, seperti yang dikatakan Koentjaraningrat (1990: 103) sebagai berikut,

"...perkawinan itu merupakan suatu peristiwa sosial yang luas, maka orang yang mengambil inisiatif (biasanya dari pihak laki-laki) untuk kawin harus memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat untuk kawin itu, yang dapat dilihat dalam adat-istiadat berbagai suku bangsa di dunia, bisa berupa tiga macam, yaitu: (a) mas kawin atau bride price, (b) pencurahan tenaga untuk kawin atau bride-service, (c) pertukaran gadis atau bride exchange".

(12)

kawin atau mahar. Syarat-syarat lain yang menentukan seseorang boleh melakukan perkawinan yaitu orang tersebut harus sudah dewasa. Di Aceh Besar, pemuda dianggap dewasa, jika sudah berumur 18-22 tahun atau sudah akil baliq (sweat dream). Biasanya, dalam umur ini, pemuda-pemuda Aceh melakukan perkawinan untuk pertama kalinya, sedangkan gadis dianggap sudah dewasa jika sudah berumur 16-20 tahun atau sudah mendapatkan haid pertama. Inisiatif untuk melakukan perkawinan datangnya dari pihak pemuda, sedangkan wanita hanya menerima saja. Dalam hal ini timbul istilah kon mon mita tima yang artinya bukanlah sumur mencari timba, tetapi sebaliknya. Menurut masyarakat Aceh Besar pada umumnya, sebelum melakukan perkawinan, orang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Sudah dapat membaca Al-Qur'an dengan lancar. Orang akan malu, jika pada malam bulan Ramadlan (Puasa) tidak dapat turut serta dalam pengajian Al-Qur'an yang disebut meudaruih atau tadarus.

2. Dapat mengerjakan sembahyang lima waktu, sembahyang Jum'at, sembahyang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha (Hari Raya Haji). Begitu juga perintah-perintah agama Islam lainnya. Ia juga harus mengetahui kewajiban-kewajiban agama yang menyangkut perkawinan.

3. Mengetahui adat sopan-santun dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat.

(13)

atau keluarga sebagai syarat untuk melangsungkan perkawinan anaknya baik pria atau wanita.

Persyaratan terakhir untuk sahnya perkawinan, di samping harus ada wali juga harus ada taklik. Taklik artinya ikrar yang harus diucapkan oleh pria waktu dinikahkan oleh wali. Sedangkan wali ini ada dua macam, yaitu wali nazab dan wali hakim. Wali nazab adalah orang tua (ayah kandung) dari dara baro dan wali hakim adalah orang lain yang dikuasakan untuk menikahkan (keuchik

atau pegawai KUA).

Sebelum perkawinan dimulai, antara orang-orang tua dari kedua belah pihak mengadakan pembicaraan non-formal. Setelah ada kata sepakat, orang tua pihak laki-laki secara resmi mengutus seseorang yang dituakan untuk mewakili sebagai seulangke. Jabatan seulangke ini dahulu dianggap terpandang, karena orangnya di samping harus tahu adat-istiadat, harus tahu pula hukum-hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan.

Sebelum seulangke tersebut diutus ke pihak wanita, keluarga dari pihak pria berusaha untuk melakukan pengamatan yang dalam bahasa Aceh disebut phaj. Phaj ini dilakukan agar perkawinannya kelak berbahagia. Jika menurut pengamatan phaj tersebut dinyatakan tidak akan dapat berbahagia, maka perlu diadakan perubahan nama dari pihak pria atau dari pihak wanita. Jika hal ini tidak mendapat persetujuan dari pihak keluarga wanita, maka perkawinan dibatalkan.

(14)

melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan aturan dalam agama Islam di mana pihak pengantin laki-laki diharuskan membayar sejumlah uang kepada calon istrinya. Jiname (mas kawin atau uang mahar) tersebut kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan keluarganya. Pada masa pertunangan biasanya pihak orang tua si jejaka membawa emas 1 atau dua mayam sebagai tanda pertunangan dan tidak jarang pula juga dibawa 1 stel pakaian dan panganan. Masa pertunangan inilah nantinya yang apabila si perjaka menarik diri, maka mas yang dibawa tersebut hilang (hangus) dan apabila pihak si gadis menarik diri, maka mas tanda pertunangan tersebut dikembalikan dengan ganda dua (2 x) (Imeum Aceh Besar Bekerja sama dengan LPPM. Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 2001). Ketentuan ini hampir dilaksanakan di setiap kecamatan di Kabupaaten Aceh Besar.

Jumlah jiname tersebut biasanya ditentukan menurut jumlah jiname dari kakak-kakaknya yang terdahulu. Apabila anak yang akan dinikahkan itu anak pertama, maka ukuran jiname menurut kebiasaan yang berlaku dalam kerabat yang disesuaikan dengan tingkat sosial ekonominya. Biasanya jiname1 berkisar dari 5 sampai

1 Pada zaman Kerajaan Aceh dahulu besarnya jiname untuk

seorang gadis, ditentukan menurut tingkat dan kedudukannya dalam masyarakat. Sebagai contoh, misalnya:

1. Untuk putri Sultan sebesar 1.000 ringgit.(Alfian, 1977: 123). 2. Anak perempuan dari seorang tuanku sebesar 500 ringgit Aceh

(sekati emas).

(15)

dengan dua puluh lima mayam2 mas 24 karat. Emas 24

karat adalah emas 90 % sampai 97 %.

Saat ini penentuan jiname tidak lagi dengan jumlah ringgit, tetapi telah diganti dengan sejumlah emas atau dengan uang yang diukur dengan harga emas. Bahkan ada pula golongan orang-orang kaya tertentu yang jinamenya

hanya berwujud kitab suci Al-Qur'an dan seperangkat kelengkapan shalat. Besarnya jiname antardaerah tidak sama. Misalnya, di daerah Kecamatan Leupung, besarnya jiname untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah 8 – 12 mayam emas dan 15-20 mayam emas untuk orang mampu.

e. Cara Memilih Jodoh.

Memilih jodoh tidak dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang bersangkutan, tetapi oleh orang tuanya. Di

lain-lain yang sederajat, sebesar 100 ringgit Aceh (4 bungkal emas).

4. Anak perempuan dari orang pertengahan, seperti imeum, Keuchik, Teungku Meunasah dan sebagainya ditentukansebesar 50 ringgit Aceh (2 bungkal emas).

5. Mas kawin dari anak perempuan yang sangat miskin orang tuanya adalah satu atau dua tahil (the). Sedangkan besarnya

jiname (mahar) untuk wanita janda, ditentukan menurut kesepakatan kedua belah pihak (di bawah tangan).(Hoesin, 1978: 45).

2 Mayam adalah ukuran mas untuk orang Aceh. Satu mayam

(16)

lingkungan masyarakat masyarakat Aceh Besar, pada prinsipnya tidak ada media pergaulan formal yang mempertemukan antara pria dan wanita, apalagi yang mengarahkan mereka ke perkawinan. Jika pemuda dan pemudi telah pantas untuk kawin, maka orang tualah yang berperan dalam mencarikan jodoh anak-anaknya. Konsepsi dasar pola berpikir masyarakat Aceh Besar tentang perkawinan lebih banyak tertuju pada pihak laki-laki. Jika seorang laki-laki telah cukup umur, tingkah lakunya sudah dewasa, sudah dapat berusaha sendiri, dan memiliki pengetahuan dalam pergaulan dengan lingkungannya, maka orang tuanya berkewajiban mencarikan jodoh anaknya.

Seseorang yang akan mencarikan jodoh anaknya, terlebih dahulu ia akan mengundang kawom untuk

duekpakat (musyawarah). Apabila duekpakat telah ada kesesuaian untuk meminang seorang gadis, maka ditugaskan seorang seulangke (utusan) untuk menyampaikan maksud kepada pihak laki-laki. Untuk ini,

seulangke sering menggunakan pantun-pantun tradisi dengan kata-kata yang halus, sopan dan hormat. Apabila maksud lamaran itu ditolak, biasanya orang tua si gadis memberikan alasan yang halus pula supaya pihak laki-laki tidak tersinggung. Apabila lamaran itu diterima, biasanya orang tua si gadis meminta tempo sekitar tiga hari untuk

(17)

rumah si gadis untuk meminang. Begitu pula pihak keluarga si gadis telah menanti atas kedatangan peminangan tersebut. Rombongan yang menanti itu terdiri dari keuchik, dan beberapa orang yang dirasa perlu diundang. Setelah disampaikan maksud kedatangan rombongan oleh keuchik atau seulangke yang disertai dengan

bate sirih pertunangan, dulang berisi pakaian dan alat-alat rias wanita, serta sebentuk perhiasan emas diserahkan kepada keluarga si gadis. Benda-benda ini disebut dengan tanda kong haba. Setelah menerima benda-benda ini pihak keluarga si gadis tidak dibenarkan menerima lamaran orang lain. Apabila ketentuan ini dilanggar pihak keluarga gadis akan didenda secara adat sebanyak dua kali lipat dari

tanda kong haba yang harus dikembalikan kepada pihak keluarga laki-laki.

Pada hari peminangan tersebut di atas, diadakan pula perikatan janji mengenai:

1. Jumlah jiname (mahar atau mas kawin).

2. Tahap-tahap proses yang harus dilalui seperti (a) tunangan; (b) nikah gantung; (c) nikah pulang terus (Alfian, 1978: 134)

(18)

adakalanya diberikan setengah dahulu, dan adakalanya pula diberikan sekaligus pada saat akad nikah.

Sedangkan nikah gantung hampir sama dengan pertunangan. Bedanya calon suami-istri tidak diikat oleh pertunangan, tetapi diikat oleh akad nikah. Calon suami-istri belum boleh bergaul dahulu sebelum masa peresmian dilakukan seperti juga dalam masa pertunangan di atas. Nikah gantung ini dilakukan biasanya karena calon istri belum dewasa atau masih sangat muda. Kawin gantung ini di masyarakat Aceh Besar sudah jarang dilakukan.

Nikah pulang terus adalah suatu sistem perkawinan yang paling lazim dilakukan dewasa ini di Aceh Besar. Akad nikah dilakukan pada saat peresmian perkawinan. Dengan demikian suami-istri dapat terus tinggal bersama untuk membina rumah tangga. Sistem perkawinan ini tidak banyak melalui tahap-tahap, karena tidak melalui pertunangan, dan perkawinan dahulu, kemudian baru pulang. Dengan demikian biaya pernikahan relatif dapat ditekan.

2. Upacara dan Pesta Perkawinan. a. Upacara Sebelum Perkawinan

(19)

upacara-upacara peminangan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu.

b. Acara perkenalan sebelum perkawinan (Cah rot) Pada zaman dahulu umumnya tidak terdapat perkenalan antara pemuda dan gadis sebelum mereka kawin. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa pria atau wanita yang akan kawin tidak diberi tahu lebih dahulu. Fischer (1954: 80) mengatakan bahwa pilihan kawin berlangsung di luar pemuda-pemudi itu sendiri. Hal ini terlihat pada masa sebelum kemerdekaan, bahwa pemuda Aceh terpisah dengan pemudi dalam adat pergaulannya. Pemuda biasanya bergaul bersama pemuda dalam wadah kelompok-kelompok tertentu, seperti kesenian, olah raga dan berburu. Pemudi mempunyai pula kelompok tersendiri, biasanya kelompok ini sibuk untuk mempelajari bermacam-macam ketrampilan. Kesibukan ini biasa dilakukan pada rumah-rumah janda tua, seperti belajar menganyam tikar dan lain-lain kepandaian putri. Di bidang kesenian merupakan kelompok tersendiri seperti kelompok tari pho, laweut ratep meuseukat dan lain-lain.

(20)

demikian, acara perkenalan sebelum perkawinan dilangsungkan hampir tidak ada. Pemuda dan pemudi menerima apa adanya yang disodorkan oleh orang tuanya dalam menjodohkan anak-anaknya.

Cah rot ini dimulai dengan mencari info oleh ibu si pemuda atau melalui orang yang dipercayakan. Cara penjajakan (mencari tahu ini), ibu si pemuda atau utusan ibunya mendatangi salah seorang famili dekat. Biasanya juga seorang perempuan untuk menyampaikan atau bertanya-tanya apakah si anak dara tersebut sudah ada yang empunya. Maksudnya apakah sudah dijodohkan dengan seorang pemuda atau belum. Jika belum, dia akan mengemukakan maksudnya, yaitu kalau mungkin dijodohkan dengan si pemuda yang dimaksud. Kalau aba-aba yang dibawa oleh si penghubung tadi disambut baik akan disampaikan kepada orang tua si anak perempuan, maka acara cah rot ini selesai. Selanjutnya adalah acara

meulakee (LAKA Kec. Leupung, 2002: 6)

Dewasa ini di kalangan orang tua tidak lagi dapat memaksakan kehendaknya seperti dulu. Pemuda dan pemudi sudah boleh mencari jodohnya sendiri sesuai dengan keinginannya dalam perkawinan. Orang tua tinggal merestui apa yang diingini anaknya.

c. Masa Peminangan (meulakee)

(21)

langkah, hari ke dua jatuh pada rezeki, hari ketiga jatuh pada pertemuan (peuteumuen), hari keempat jatuh pada hari maut dan seterusnya berulang kembali seperti tersebut. Hari yang baik menurut perkiraannya itu adalah rezeki atau hari peuteumuen. Orang Aceh mengetahui dengan baik bahwa langkah, rezeki, pertemuan dan maut berada dalam tangan Allah. Namun mereka selalu berusaha supaya mereka mendapat kebajikan di dunia dan akhirat.

Ketika melamar, seulangke mempergunakan kata-kata yang telah lazim menurut tradisi yang maksudnya kira-kira: "Hamba datang mengunjungi tuan, disebabkan Teuku A telah meminatnya. Beliau mohon supaya tuan dapat menerima anaknya yang laki-laki sebagai pelayan tuan. Jawaban dari ayah wanita : "Itu tidak patut, karena kami orang miskin". Seulangke mendesaknya dan pada penghabisan ayah wanita itu memberikan jawaban. "Segala pembicaraan tuan ingin kami memenuhinya. Kami yang sebenarnya mempunyai rendah kebangsaan dan dalam penyelesaian urusan banyak dijumpai kekurangan. Karena itu hamba tidak tahu, bagaimana seharusnya diberikan jawabannya."

Setelah lamaran itu diterima oleh ayah si gadis dengan persetujuan ibunya, seulangke itu kembali pada ayah si pria yang hendak kawin dan melaporkan bahwa lamaran telah berhasil baik. Selanjutnya, ia mengundang ayah pemuda itu bersama-sama dia mengunjungi keuchik

(22)

bertunangan (peukong haba/narit) sebagai hadiah pertunangan.

Sebelum mereka memulai urusan itu, orang tua dari pemuda meminta izin pada keuchik dan teungku meunasah

untuk dapat melakukan perkawinan. Orang tua dari anak dara pun melakukan hal yang sama, yaitu setelah diterimanya kunjungan pertama dari tuan seulangke.

Perkawinan menurut adat Aceh Besar, dahulu kala bukan hanya urusan famili yang berkepentingan, tetapi juga urusan kampungnya. Keuchik mempunyai hak untuk melarang berlangsungnya perkawinan seorang pemuda ke kampung lain, jika jumlah gadis-gadis yang belum menikah jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pemudanya.

Susunan pembicaraan antara orang tua gadis dengan keuchiknya: Barusan A seulangke sudah datang untuk menyampaikan kata-kata dari teuku B (ayah dari pria yang akan kawin) yaitu meminta anak kami untuk beliau. Hal inilah kami ceritakan kepada teuku keuchik ? Jawaban

keuchik: "Apa yang dapat saya campuri dalam hal itu. Terserahlah kepada tuan sendiri untuk memikirkan yang baik tentang anak itu."

d. Bawaan Hadiah Pertunangan.

(23)

dapat digeser pada tanggal 22. 3 Biasanya yang membawa

tanda tunangan bukan orang yang menjadi famili dari pemuda yang bersangkutan, tetapi keuchik, teungku meunasah dan beberapa orang tua dari kampung pemuda itu serta seulangke. Tanda konghaba ini diterima oleh keuchik, teungku imum/meunasah dari kampung si gadis.

Selain dari tanda kong haba (pertunangan), dibawa serta sirih yang sudah disusun (ranub dong) yang terdiri dari sirih, pinang dan telur ayam/itik yang sudah dimasak

(geureuboih) dan dicelup dengan warna merah, hijau dan lain-lain serta dipermainkan kertas tipis-tipis beraneka ragam. Tanda kong haba itu di antaranya yaitu satu mayam

emas, kain sarung, kain baju, kain selendang, masing-masing satu helai. Saat ini, barang-barang itu ditambah jenisnya, di antaranya slof, sabun mandai, minyak wangi dan lain-lain. Selain itu, dibawa pula satu talam/baki telur ayam/bebek rebus yang telah diberi warna dan disertakan pula karangan bunga kenanga, seumanga.

Bawaan itu kemudian dibalas oleh pihak calon dara baro dua atau tiga talam/hidang penganan (halwa Meusekat) yang yang diikuti oleh satu talam kecil sirih tersusun (renubgapu). Kemudian naik ke rumah (ek u rumoh) dipersilahkan oleh pihak dara baro. Ranub dong yang dibawa pihak linto, untuk sementara disisihkan. Orang-orang yang mengantar linto laki-laki dan wanita-wanita sebagai besan, ketika hampir tiba di rumah dara baro, dijemput dan

3 Di Kecamatan Kuta Cotglie biasanya acara pertunangan ini

(24)

ditunggui oleh pihak dara baro, laki dijemput oleh laki-laki dan besan dijemput oleh wanita.

Para tamu kemudian diberi sirih oleh pihak dara baro

yang sudah tersedia di dalam cerana. Seorang yang dituakan dari pihak pengantin laki-laki berbicara dalam bahasa Aceh yang maksudnya bahwa mereka datang menghadap teuku keuchik, teungku meunasah dan orang-orang tua kampung setempat untuk menyerahkan pengantin laki-laki (linto), dengan menanyakan, apakah mereka itu bersedia menerimanya. Secara berkelakar, pertanyaan itu dijawab oleh orang yang dituakan dari pihak dara baro. Setelah mengobrol, akhirnya diterima.

Keuchik meunasah dan beberapa orang tua yang mewakili calon linto mengantarkan tanda kong haba ke rumah dara baro yang telah ditunggu pula oleh keuchik meunasah dan beberapa orang tua dari kampungnya. Kemudian salah seorang dari pihak calon linto yang mengantar tanda kong haba, mengambil tanda pertunangan, misalnya sebentuk cincin mas atau tusuk sanggul, perhiasan rambut (bungong preuek) dan menyerahkannya kepada calon dara baro, sambil mengatakan bahwa barang-barang tersebut adalah tanda pertunangan.

Biasanya pertemuan mengenai penyerahan tanda

(25)

rata-rata 6 bulan atau 1 tahun (sesuai kesepakatan kedua belah pihak).

Jika pertunangan itu diputuskan oleh pihak dara baro, oleh uleebalang ia dikenakan hukuman denda yang harus diberikan kepada kepala adat. Ada juga yang diselesaikan secara di bawah tangan dan disaksikan oleh

keuchik. Pihak dara baro harus mengembalikan tanda pertunangan senilai dua kali lebih banyak.

e. Upacara Peresmian Perkawinan.

Beberapa hari sebelum diadakan peresmian perkawinan4, kerabat kedua belah pihak tampak sibuk

mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan upacara. Oleh karena itu masa peresmian sering pula disebut dengan

meukeureuja. Tempat-tempat menerima tamu dibuat dimuka rumah yang disebut dengan seung (tenda). Dapur untuk memasak dibuat dibelakang atau di samping rumah, agar jangan kelihatan oleh tamu-tamu undangan.

Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca

(berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan

4 Waktu yang baik untuk melaksanakan upacara peresmian

(26)

di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara

meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian5 seperti tari rabana, hikayat, pho, silat,

dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).

Setelah tiba saat hari pesta, kerbau atau lembu telah disembelih pada menjelang subuh, untuk menerima (persiapan) tamu-tamu undangan dan sanak keluarga yang datang. Sanak keluarga biasanya sudah berkumpul di rumah, beberapa hari sebelum pesta dilangsungkan. Tamu-tamu undangan lainnya pagi sampai petang. Tamu-Tamu-tamu yang termasuk kawom membawa beberapa macam hadiah yang akan dipersembahkan kepada kerabatnya yang akan naik ranjang pengantin. Hadiah-hadiah tersebut ada yang berupa sebentuk cincin, atau kalung dari emas, ada pula yang membawa kambing dan lain-lain kebutuhan untuk pesta. Barang-barang bawaan ini disebut dengan bungong jaroi. Tamu-tamu undangan biasanya membawa uang yang diisi dalam sampul, kemudian diberikan kepada pengantin melalui panitia pesta.

Setelah selesai menerima tamu-tamu undangan di rumah masing-masing, maka pada malamnya akan dilanjutkan dengan upacara intat linto (antar pengantin laki-laki ke rumah dara baro (pengantin perempuan). Pakaian kebesaran adat Aceh menghiasi linto baro. Baju dan celana panjang berpola hitam di atasnya dililit dengan kain sarung, sebilah rencong di pinggang dan kupiah meukeutop,

5 Pada saat ini bentuk kesenian yang disajikan masyarakat dalam

(27)

merupakan pakaian kebesaran adat perkawinan Aceh. Setelah selesai linto baro berpakaian, ia diiringi oleh rombongan dengan dipayungi oleh teman-teman sejawatnya, menuju ke rumah dara baro. Rombongan dipimpin oleh keuchik (Kepala Kampung) dan teulangkee. Turut pula rombongan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang penting seterti untuk membawa barang-barang yang akan dipersembahkan kepada dara baro. Barang-barang bawaan ini disebut dengan peuneuwoi. Barang-barang ini biasanya dimasukkan ke dalam sebuah

dulang. Dalam dulang ini berisi beberapa salin pakaian seperti baju, selendang, kain panjang dan sarung, selop jenis pakaian dalam dan alat-alat rias wanita. Di samping

dulang pakaian ini terdapat pula sebuah dulang lagi yang berisi jenis makanan-makanan seperti roti kaleng, pisang, gula dan lain-lain lagi. Kadang-kadang ada yang disertai lagi dengan sebuah bibit kelapa atau sebatang tebu yang masih berdaun, sebagai simbolik bahwa perkawinan itu sebagai seorang petani yang menanam tumbuh-tumbuhan yang mengharap akan hasilnya.

Beberapa meter menjelang rombongan tiba di rumah

(28)

menyambut rombongan linto baro sering dipertunjukkan silat 6 antara satu pihak dengan pihak yang lain.

Pada saat seupeuk breuh padee tadi, bersama dengan kata-kata sapa linto (selamat datang) dengan kata-kata berirama petatah-petitih yang mengandung nasihat dan puji kepada linto baro. Kemudian linto baro dibimbing oleh salah seorang wanita tua untuk dibawa ke ruang muka, sebelum linto baro duduk di pelaminan. Tempat duduk sementara di ruang muka ini, sudah disediakan sebuah

tilam (kasur) bersulam benang emas, bantal dan kipas terletak di sampingnya.

Rombongan linto yang perempuan langsung masuk ke kamar pengantin, dan yang laki-laki diterima dalam sebuah seung (tenda) di muka rumah. Tidak berapa lama kepada rombongan dipersilahkan makan. Kepada kerabat

linto baro yang terdekat, dan teman-temannya yang memayungi tadi diberikan hidangan khusus yang ditempatkan di dalam dulang. Hidangan ini disebut dengan nama idang bu bisan. Kata bisan adalah untuk panggilan antara mertua dengan mertua. Idang bu bisan yang diberikan oleh pihak dara baro, adalah hidangan khusus kepada ibu linto baro (Alfian, 1977: 102).

Setelah rombongan selesai makan, maka diadakan acara pernikahan (meugatieb/meunikah). Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah

dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jiname (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan

(29)

selanjutnya kadli membaca do'a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli

mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.

Acara pernikahan seperti di atas dilakukan dalam bentuk perkawinan nikah pulang terus. Namun dalam bentuk perkawinan nikah gantung, bukan dilakukan pada saat peresmian. Nikah pulang terus seperti yang sering dilakukan oleh masyarakat Aceh, biasanya dilakukan di rumah dara baro. Setelah selesai acara nikah, linto baro

dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro

telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro

memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).

Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng

(disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak

(30)

menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga pengantin, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.

Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Dan linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula

linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.

f. Upacara Intat Dara Baro.

Proses upacara intat dara baro (antar pengantin perempuan) ke rumah linto baro, mempunyai pola yang sama pada seluruh masyarakat Aceh Besar. Hanya ada perbedaan di segi istilah-istilah, dan bawaan yang akan dipersembahkan kepada pihak pengantin laki-laki atau pengantin perempuan, tampaknya saling lengkap-melengkapi.

Proses upacara intat dara baro masyarakat Aceh Besar pada umumnya dilakukan setelah tiga hari, bahkan ada yang setelah tujuh hari selesai malam pengantin. Keluarga pihak linto baro kembali mengutuskan teulangke ke pihak

dara baro untuk menyampaikan keputusan penjemputan

(31)

maka teulangke kembali untuk menyampaikan saat waktu menerima dara baro. Sejak saat itu kedua belah pihak sudah sibuk sekali dengan persiapan-persiapan untuk keperluan upacara tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan dengan mengiringi dara baro dan linto baro

menuju ke rumah pihak pengantin laki-laki. Rombongan ini terdiri dari sanak keluarga, jiran setempat dan kawan-kawannya. Biasanya rombongan ini semuanya perempuan, kecuali seorang teulangkee dan beberapa orang kawannya untuk keperluan tertentu seperti untuk mengangkat barang bawaan dara baro kepada mertuanya.

Kedua mempelai linto baro dan dara baro berpakaian adat lengkap seperti pakaian pada hari upacara pengresmian dahulu. sepanjang jalan ia dipayungi oleh teman-teman sebayanya secara bergantian. Kedatangan rombongan ini sudah ditunggu di pekarangan rumah oleh beberapa wanita. Mereka disuguhi dengan batil sirih

sebagai tanda penerimaan tamu. Kemudian tamu tersebut dipersilakan naik ke rumah pada ruang pengantin. Linto baro dan dara baro langsung dipersilakan duduk di atas pelaminan persandingan, seperti pada upacara peresmian (Alfian, 1977: 140).

Setelah selesai acara makan rombongan, salah seorang di antara mereka menyerahkan secara adat semua bawaan tadi dalam sebuah dulang kepada pihak mertua.

(32)

kerabat dan jiran setempat. Barang-barang bawaan ini biasanya dibagi-bagi kepada kerabatnya dan jiran. Terlebih dahulu oleh orang-orang tua menaksirkan jumlah harga barang-barang tersebut. Karena rombongan dara baro

pulang nanti, mertuanya akan mengembalikan dulang tadi dengan mengisi uang sejumlah dari harga bawaan tadi atau paling sedikit setengah dari harga bawaan tersebut. Uang pembalasan dulang ini sudah menjadi adat, kalau tidak demikian akan timbul malu di pihak keluarga pengantin laki-laki.

Kedua mempelai kemudian di peusunteng

(dipersunting) dengan menepung tawari, ketan kuning dan memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumetuk. Acara ini dimulai oleh ibu mertua dan kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh kerabatnya serta jiran-jiran setempat yang datang. Ketika dara baro melakukan seumah jaro tuan (sembah mertua), ia akan diberikan uang atau sebentuk emas oleh mertuanya. ada kalanya pula turut diberikan barang-barang pecah belah. Barang-barang pecah pelah yang diberikan tersebut di antaranya yaitu dua buah piring, satu buah mangkuk (tempat nasi), dua buah sendok, satu buah tempat cuci tangan, dan satu buah cawan (tempat sayur). Barang-barang ini disebut dengan

peunulang.

Setelah selesai upacara, semua rombongan dara baro

(33)

g. Peusijuek Dara baro.

Sebelum melakukan pengandaman, dara baro yang berkepentingan ditepung tawari peusijuek. Cara peusijuek, diretik atas orang atau barang yang bersangkutan dengan tepung tawar yang dicampuri air dingin, kemudian ditaburi beras-padi. Peretikan dengan tepung tawar diselenggarakan dengan pohon-pohon kecil tertentu yaitu si dingin (sisijuek) dan manek manoe yang ditambahi dengan sejenis rumput yang disebut naleuengsambo.

Alat pengandaman dara baro dan bahan-bahan untuk

peusijue diletakkan dalam dua talam. Dalam talam pertama berisi beras dan talam kedua berisi padi. Kemudian kedua

talam itu ditaruh cawan (mangkok) dengan tepung tawar dan satu berkas pokok si dingin, maneukmanoe dan

naleungsambo. Pada talam yang lain ditaruh kelapa muda yang terbelah, pisau cukur, gunting, minyak wangi, dua butir telur, kayu cendana dan sedikit celak (seureuma) untuk menghitamkan bulunya.

Sebelum peusijuek dimulai, terlebih dahulu harus mengucapkan bismillahirohmanirrohim. Setelah pekerjaan mengandam selesai, para tamu yang duduk bersama-sama di serambi belakang, secara bergantian mengambil ketan kuning dan meletakkan pada telinga dara baro yang kemudian disambut dara baro dengan sembah sambil menerima hadiah dari para tamu. Acara ini disebut

(34)

1. Talam mengandung makna bahwa orang yang dipeusijuek tetap bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkan.

2. Clok (calok) mengandung makna bahwa orang yang dipeusijuek itu tetap berada dalam lingkungan keluarga yang di lingkungan keluarga (persatuan) dan berhemat.

3. Tudung saji (sangee) mengandung makna diharapkan untuk mendapatkan perlindungan dari Allah swt dari segala tipu daya yang menyesatkan.

4. Beras padi mengandung makna bahwa orang dipeusijuek semakin tua semakin berilmu, juga merupakan makan pokok atau benih untuk menghasilkan.

5. Tepung tawar mengandung makna bahwa tepung berwarna putih merupakan perlambang kebersihan dan kesejukan jiwa bagi orang yang dipeusijuek.

6. On manek-mano mengandung makna bahwa sesuai dengan deretan bunga diharapkan digalang persatuan dan kesatuan serta keteraturan.

7. On sijuek mengandung makna obat penawar/ kesejukan meresap kalbu.

(35)

9. Bu leukat mengandung makna zat perekat, pelambang sebagai daya tarik untuk tetap meresap dalam hati orang yang dipeusijuek semua ajaran dan nasihat ke jalan yang diridhai oleh Allah swt.

3. Poligami

Perkawinan yang mengalami kebahagiaan ialah perkawinan yang mana istri sanggup memberikan semua kebutuhan suami dan sanggup mengatur rumah tangga. Kekurangan-kekurangan yang ada pada istri seperti pemboros, tidak pandai memasak, mencuci, bergaul, mengurus anak, tidak sanggup melayani suami dalam segi seksual, tidak tahu kebersihan, biasanya salah satu kekurangan yang dimiliki istri, sudah menjadi penyebab bagi suami untuk kawin lagi (berpoligami). Istri kedua juga masih memiliki salah satu atau beberapa kekurangan tersebut di atas, suami kawin lagi untuk ketiga kalinya demikian seterusnya. Dengan perkataan lain yang disebut nasib baik dalam rumah tangga belum tercapai, selama itu pula suami belum berhenti kawin untuk kedua, ketiga. Bahkan ada juga yang memiliki istri sampai empat orang.

(36)

Pada umumnya orang yang melakukan poligami adalah golongan Tuanku, Cut, Meurah, uleebalang, ulama besar dan orang-orang yang mempunyai gelaran (ureueng meunama). Orang-orang kaya ada juga yang kawin lebih dari seorang. Orang Aceh Besar dulu mengawinkan anak perempuannya kepada orang-orang besar tersebut untuk menjadi istri kedua, ketiga atau keempat karena mereka adalah orang terpandang dan ini berarti menaikkan status sosialnya di masyarakat.

Istri kedua, ketiga atau keempat yang dikawini oleh orang-orang besar tersebut letak kampungnya berjauhan dengan kampung madunya. Dengan demikian, kebanyakan istri-istri ini tidak mengikuti suaminya. Uleebalang atau

keujreun yang kawin di luar daerahnya tidak dapat tinggal-bersama-sama dengan istri mudanya. Ia harus selalu berada di lingkungan di mana ia bekerja dan biasanya ditemani istri pertama, sedangkan istri kedua dan seterusnya hanya digilir saja pada hari-hari tertentu. Kebanyakan famili-famili sultan, uleebalang atau keujreun dan pembesar-pembesar lain memilih istri kedua dan ketiga dari golongan terpandang pula seperti misalnya anak gadis panglima perang, panglima kaum dan orang kaya.

(37)

yang murah dan anak-anak yang banyak serta bahagia. Seorang istri atau suami baru akan kawin lagi bila suami atau istri sudah meninggal dan sudah mencapai lebih satu tahun. Melakukan penyimpangan dari ketentuan tersebut memungkinkan pengurangan nilai pribadi seseorang dalam masyarakat.

4. Adat Menetap Setelah Perkawinan

Biasanya setelah menikah linto baro tinggal di rumah orang tua dara baro sampai saatnya mempunyai anak satu atau dua orang. Selama berada di rumah mertuanya linto baro harus taat dan tunduk apa yang berlaku di lingkungan istrinya sehingga kadang-kadang memberi kesan bahwa kehidupannya kurang ada kebebasan. Untuk keluar dari ikatan keluarga istrinya ini linto baro berusaha sekuat tenaga untuk dapat membangun rumah sendiri di tempat lain. Untuk usaha ini kadang-kadang linto baro mendapat bantuan dari orang tuanya atau juga dari mertuanya sehingga dapat membangun rumah sendiri.

Selama ikut orang tuanya masalah belanja dan kebutuhan hidup suami isteri yang baru menikah tersebut berusaha memisahkan diri atau tidak tergantung pada kebutuhan orangtua dara baro. Pemisahan belanja ini pada masyarakat masyarakat Aceh Besar disebut pumeukléh. Masa goh pumeukléh biasanya diakhiri dengan mengadakan kenduri pemisahan. Pada kenduri pumeukléh itu, orangtua

(38)

Setelah bersantap bersama ayah dari dara baro itu menceritakan maksudnya kepada keuchik dan mereka yang hadir dengan ucapan sebagai berikut,

"Sebabnya saya undang tuan-tuan teuku keuchiek, teungku dan orang-orang tua karena ingin memberitahukan bahwa anak saya bernama A sekarang sudah saya pisahkan (pumeukléh) harap agar hal ini diketahui tuan-tuan. Seterusnya kepadanya saya berikan, misalnya satu pasang gelang kaki suasa seberat 6 bungkal, satu petak sawah yang letaknya di... dan watasnya..., satu pasang subang emas permata intan" (Hoesin, 1978: 55).

Semua barang-barang ini diperlihatkan kepada hadirin sebagai bukti tanggung jawab orang tua terhadap anak dan menantunya. Walaupun sebagai penegasan, ayah dari dara baro tersebut kadang juga memberi rumah yang didiami seluruhnya atau sebagian sesuai dengan kemampuan. Rumah yang menurut adat kelak menjadi hak anak perempuan jika orangtua meninggal sering kali diserahkan lebih dulu kepada anaknya jika anak dan menantunya bersedia menanggung masa tuanya sampai saatnya meninggal. Pemberian semacam ini disebut peunulang. Sebagai penutup, ayah dara baro mengatakan bahwa keinginannya itu supaya hadirin mengetahuinya. Harta pemberian itu (areuta peunulang) menjadi hak milik istri

(dara baro) yang dinamai areuta tuha (harta warisan).

(39)

kepada ahli waris yang berhak menerima pusaka dari orang-orang yang mati itu. Harta yang diperoleh bersama-sama suami-isteri jika mereka bercerai, akan dibagi sesuai dengan adat setempat yaitu setengah atau sepertiga dan sebagainya sesuai dengan kesepakatan.

Jika suami meninggal pemberian orangtua tidak dapat diwariskan kepada isterinya, tetapi kembali kepada orangtua atau saudara kandungnya. Jika sudah punya anak, harta tersebut jatuh kepada anaknya.

5. Perceraian

Adanya campur tangan orangtua dalam perjodohan anak seringkali menimbulkan adanya kawin paksa. Kawin paksa ini terjadi jika menurut pandangan orangtua, anaknya bakal hidup bahagia bersama gadis pilihannya. Namun kadang-kadang pilihan orang tua tersebut terpaksa diterima walaupun tidak dicintainya sehingga dalam perjalanan hidupnya perkawinan tersebut tidak bahagia. Hal ini menyebabkan terjadinya perceraian.

Seorang anak gadis dapat juga dipaksa kawin dengan seorang laki-laki oleh orangtuanya, jika orang tua itu merasa bahwa anaknya akan memperoleh kesenangan dan kesejahteraan dalam hidupnya nanti. Sebelum menerima lamaran, orang tua itu melakukan pemeriksaan terhadap calon menantunya, agar tidak terjadi penyesalan.

(40)

suaminya kawin lagi, maka ia berhak meminta pasah kepada kadli-Uleebalang dengan perantaraan teungku meunasah. Kadli kemudian berusaha menjernihkan dan merukunkan kembali hubungan suami-istri tersebut. Namun jika sudah tidak dapat didamaikan lagi, barulah pasah/pisah dilakukan.

Sebaliknya, talak juga dapat berasal dari pihak suami kepada istrinya. Hal ini dapat terjadi jika istrinya sudah tidak setia, curang, atau berbuat serong. Kadli juga berperan untuk mendamaikan, tetapi jika si suami sudah patah arang dan tidak cinta lagi pada istrinya, sudah hilang semangatnya yang dalam istilah Aceh disebut ka pajoh ek teulheue yang artinya sudah termakan cirik berandang, maka mau tidak mau perceraian harus dilakukan. Dalam hal istri tidak setia lagi dan telah mengkhianati perkawinan sehingga tidak dapat dimaafkan, maka suami dapat mentalak istrinya.

Mengenai talak ini ada tiga jumlahnya, talak satu, talak dua dan talak tiga. Jika suami menjatuhkan talak satu atau talak dua, maka mereka masih bisa rujuk kembali, setelah melewati masa idah selama 3 bulan 10 hari. Rujuk dapat terjadi, setelah kedua belah pihak merasa menyesal atas keputusannya untuk bercerai dan mempertimbangkan baik buruknya terhadap kelangsungan hidup anak-anak hasil perkawinannya. Jika sudah diberikan talak tiga, maka keduanya sudah tidak dapat lagi rujuk kembali.

Cara mentalakkan istrinya sambil memberikan satu atau dua atau tiga pinang masak dengan mengucapkan

(41)

satu, talak dua dan talak tiga gata sah sedara donya akherat, artinya kau sah saudara dunia dan akherat. Pihak istri kemudian memberitahukan perceraian itu kepada teungku meunasah dan keuchik dari kampungnya, dengan membawa pinang sebagai tandanya (Hoesein, 1978: 57).

Ada juga perceraian yang terjadi, tidak dengan memberikan pinang pada istrinya, tetapi dengan memberikan surat talak (surat taleuek), yang dialamatkan kepada teungku meunasah, keuchik dan orang-orang tua kampung dari istrinya.

Perceraian seringkali terjadi disebabkan ketidakharmonisan hubungan suami-istri tersebut. Hal ini dapat terjadi karena salah satu atau keduanya mengkhianati atau tidak bertanggungjawab sebagai suami-istri. Kadang-kadang juga karena salah satu di antara pasangan suami-istri ada yang mandul, maka menyebabkan mereka tidak dikaruniai anak yang diidam-idamkannya. Jika keretakan hubungan suami-istri ini sudah di ambang pintu, maka famili dari kedua belah pihak,

keuchik, teungku meunasah, dan orang-orang tua kampung yang diberi tahu, berusaha mendamaikan perselisihan suami-istri tersebut. Jika usaha perdamaian ini tidak berhasil, maka perceraian terpaksa dilakukan.

6. Rujuk

(42)

syarat si wanita sudah melewati masa idah selama 100 hari sejak diceraikan oleh suaminya. Jika mantan suaminya ingin mengunjungi istrinya dan rujuk kembali sesudah masa idah, maka keduanya harus menikah lagi.

Ketika keduanya melangsungkan perkawinan lagi, tidak ada upacara khusus. Rujuk biasanya terjadi setelah pendekatan antara kedua belah pihak, sesudah bercerai beberapa waktu merasa dingin kemarahannya dan menyesal akan kekhilafannya, serta teringat anak dan sebagainya sehingga suami ingin kembali dan si istri mau pula menerima mantan suaminya.

Rujuk hanya bisa dilakukan sebanyak dua kali talak. Sesudah talak yang ketiga, tidak boleh kembali lagi kepada istrinya yang sudah diceraikan. kalau ingin kembali sesudah itu maka si istri harus kawin lagi dengan orang lain dan setelah bercerai baru dapat dinikahi oleh bekas suaminya.

(43)

Referensi

Dokumen terkait

Panaek Gondang merupakan salah satu ritual yang menjadi bagian dari seluruh rangkaian upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing,jika perkawinan tersebut..

Pada masyarakat Aceh besar telah terjadi perubahan dalam beberapa aspek proses penyelenggaraan sistem perkawinan, namun peran wanita dalam mempertahankan nilai-nilai perkawinan

Bukti atau fakta lain yang jelas berbeda bagi kedua generasi dalam menghadiri upacara perkawinan adat Yogyakarta adalah busana pakaian yang dikenakan orang tua atau sesepuh

Pertama, dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian antaraa pria dan wanita aaagar dapat melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu[6]

Jika diperhatikan pencatatan perkawinan Adat Dayak Ngaju di lembaga adat dari era adat tradisional hingga seperti sekarang, nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat Dayak

Penulis mengangkat judultersebut, karena melihat sebagian fenomena budaya yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Piyeung Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai Persyaratan ini pada perkawinan adat masyarakat Samin sudah dipenuhi karena perkawinan menurut adat

Nasi sampek telah menjadi tradisi wajib bagi masyarakat kampung Ampalu yang melakukan proses perkawinan, karena memandang nasi sampek itu sangat berarti bagi seseorang, seandainya nasi