Kelaparan dan Penipuan
Cerita Kelaparan Massal Menunjukkan Bagaimana Liputan Media dan Pemerintah Daerah di Papua
Bobby Anderson
Aslinya diterbitkan di Inside Indonesia 117, Jul-‐Sep 2014,
http://www.insideindonesia.org/feature-‐editions/famine-‐and-‐fraud
'Jalan Raya' dari Sorong ke Tambrauw | Bobby Anderson
Pada April 2013 dilaporkan 95 masyarakat asli Papua meninggal dunia akibat kelaparan di Kecamatan Kwoor, Kabuapten Tambrauw, Papua Barat. Sebanyak 533 orang lainnya dalam kondisi gawat dan dirawat di Rumah Sakit. Banyak orang telah meninggal sejak Desember 2012 dan banyak korban terkonsentrasi di desa-‐desa terpencil Tambraw seperti Baddei (atau Bakdei), Jokbi Joker (atau Jokjoker), dan Kasyefo.
terkaya di dunia. Walaupun sebagian besar populasi Tambrauw terkonsentrasi pada dan hidup dari laut, desa-‐desa yang dilaporkan terpapar bencana kelaparan berada di belakang pantai, dengan jarak sekitar enam jam sampai tiga hari berjalan kaki dari Kampung Kwoor. Cerita ini lalu beresonansi: ini menjadi indikasi dari bagaimana pandangan Pemerintah Indonesia terhadap warga asli yang hidup di wilayah paling timur dan paling tertinggal. Dan bagi banyak orang, ini menjadi bukti untuk mendukung bahwa genosida sedang terjadi di Tanah Papua.
Cerita tentang bencana kelaparan menambah kekuatiran saat ada berita bahwa dua aktivis Papua, yohanis Mambrasar dan ayahnya, Hans, ditahan di kota Tambrauw, Sausapor, karena mengumpulkan jenazah dari warga desa di sana, yang tampaknya tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Komisi Hak Azasi Manusia melaporkan bahwa kedua orang tersebut diinterogasi selama berjam-‐jam tentang aktivitas separatis di daerah tersebut dan kondisi genting dikeluarkan oleh AHRC. Hal implisit dari berita ditahannya dua orang ini ada dua: bahwa kelaparan telah semakin menyebar dari laporan pertama, dan bahwa pemerintah setempat berupaya menutup-‐nutupinya.
Setelah beberapa minggu perhatian ditujukan pada kelaparan oleh beberapa media, cerita ini kemudian menghilang dari perederan – satu contoh lagi dari kekerasan struktural yang ditujukan bagi masyarakat Papua oleh negara, sementara para aktivis pemberani berupaya membuka tabir kejahatan menghilang akibat ditahan polisi.
Insiden ini bahkan menjadi lebih penting karena bencana kelaparan yang dimaksudkan sebenarnya tidak terjadi.
Asal mula cerita
Cerita bencana kelaparan di Kwoor pertama kali dipublikasikan di Suara Papua, sebuah provider berita online. Berita tersebut ditulis Oktovianus Pogau dan sumbernya attributed dengan koalisi terbesar Indoensia untuk masyarakat asli, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Cerita ini dipilih begitu saja dan didiseminasikan oleh para aktivis termasuk dari Australia West Papua Association, Free West Papua Campaign, West Papua Media, ETAN, dan kelompok-‐kelompok lainnya, dan segera menjadi perhatian dan diliput oleh Suara Pembaruan, Radio New Zealand International, Scoop, Jakarta Post, the Jakarta Globe, Kompas, Waspada dan media Indonesia lainnya.
Sebuah tugu tua ‘ABRI Masuk Desa’ di Kwoor, didirikan Juli 1993 | Bobby Anderson
Saat cerita kelaparan ini pertama kali dilaporkan, cerita ini tampaknya cukup masuk akal. Keamanan pangan adalah salah satu isu di Papua dan pernah terjadi situasi darurat yang signifikan, terutama di dataran tinggi, mulai dari pertengahan 1990 hingga 2005 yang membutuhkan perhatian dari luar. Di daerah dataran tinggi yang lebih terpencil dimana saya pernah berkunjung, saya terus melihat tanda-‐tanda anak yang kurang gizi dan pertumbuhan terhambat. Hal yang tidak biasa tentang Tambrauw adalah bahwa ini adalah daerah pesisir, dan daerah yang tergolong terpencil, walaupun sulit diakses, tetap dapat dijangkau dengan berjalan kaki dalam hitungan hari. Bagaimana, kemudian, orang-‐orang bisa mati kelaparan di sana?
Pada April 2014, di hari yang sama dimana seorang teman dengan koneksi ke aktivits kemerdekaan di Selandia Baru mengingatkan sayat tentang cerita ini – saya menghubungi dua lembaga sukarelawan bidang pendidikan dan kesehatan yang berbasis di Sorong. Kedua lembaga ini memiliki beberapa program dan staff di Tambrauw. Saya telah bekerja dengan lembaga-‐lembaga ini dalam beberapa proyek layanan di tahun 2012, dan saya mengetahui bagaimana mereka sangat passionate mengadvokasi hak-‐hak rakyat Papua. Ini adalah kelompok yang berupaya menyediakan layanan kesehatan di tempat di mana layanan yang sama tidak disediakan oleh Pemerintah.
Sebuah pasar di Kwoor, dibangun dan dilupakan | Bobby Anderson
Meninggalkan perbukitan dan masuk ke daerah pesisir, kami menemukan jalan yang mengerikan, di satu sisinya masih ada hutan, namun di sisi lainnya dipenuhi tanaman merambat. Jauh di bawah, deburan ombak membuat kami berdebar dan terjaga sepanjang malam meski berada setengah mil dari pantai. Sausapor dapat dicapai lima jam dari Sorong. Tempat ini mungkin yang paling suram di Papua, dibangun di sekitar landasan udara Amerika yang dibuat pada akhir Perang Dunia II, dengan beberapa jalan dan toko yang sudah tutup. Dua jam dari tepi kota Sausapor terletak Kwoor.
Kampung Kwoor, ibukota kecamatan di mana layanan publik semestinya tersedia dan paling professional, terdapat sekolah dasar yang sebagian besar kaca jendelanya sudah pecah. Ada juga sebuah sekolah menengah, yang dikelola oleh yayasan swasta, masih berfungsi. Dari tulisan di papan tulis, tampaknya saat itu para siswa sedang belajar tentang peran Indonesia di ASEAN – pelajaran yang mungkin ditujukan untuk mengajarkan aspek positif tentang negara yang hilang dari hidup mereka.
Tanda-‐tanda proyek pembangunan yang gagal sebelumnya sangat banyak: sarana MCK tanpa air, tangki air yang rusak, generator yang tak berfungsi, pasar tradisional yang tak berdinding dan kemudian dijadikan tempat parker sepeda motor; dan seterusnya. Pusat birokrasi Kwoor ditandai dengan buruknya layanan, PNS yang mangkir, dan gedung-‐gedung pemerintah yang kosong: ketidakamanan yang muncul dengan terlalu sedikitnya kehadiran negara.
Di sebelah timur Kwoor, terletak beberapa desa yang pernah menjadi bagian dari Kampung kekurangan protein, namun saya masih bisa bertahan hidup dengan memakan buah, umbi-‐ umbian, dan air. Ancaman terbesar bisa datang dari pemilik kebun yang buah dan umbinya sebagai daerah pemekaran adalah kelemahan terbaiknya. Meskipun sudah mulai ditebang, hutan Tambrauw masih cukup lebat, di dalamnya hidup banyak babi hutan, kangguru pohon, dan tikus besar yang dianggap lezat. Masih ada lagi singkong, talas, sagu, dan ubi jalar pada daerah-‐daerah yang lebih tinggi, juga ada pisang, papaya, buah merah (yang berbentuk seperti wortel besar) dan buah-‐buahan lainnya.
bencana kelaparan diduga terjadi pada tahun 2012 dan 2013) diperlukan waktu lebih sebulan bagi seseorang yang kelaparan untuk sampai pada kematian.
Selama masa kelaparan, orang lanjut usia dan anak muda adalah golongan pertama yang menyerah, diikuti oleh orang dewasa yang akan mengalami kematian berdasarkan kondisinya sebelum terpapar kelaparan dan tergantung pada cadangan otot dan lemaknya. Dalam teori, 90 orang yang diduga meninggal di Kwoor pastinya adalah orang-‐orang yang paling lemah. Mereka mungkin telah ditinggalkan secara massal oleh orang-‐orang yang lebih kuat untuk mencari lokasi lain bersama dengan beberapa orang yang mampu dibawa serta. Bahkan beberapa minggu dalam kondisi kelaparan seperti itu, orang terkuat saja yang bisa mencapai pesisir, menyeret atau menggendong anggota keluarga mereka yang lebih lemah beserta anak-‐anak. Begitu mereka mencapai pantai, berita tentang kehadiran mereka pastilah menyebar melalui kamera HP, SMS, dan gerakan kemanusiaan di Sausapor dan Sorong. Sebuah cerita seperti yang dipublikasikan Suara Papua pastinya akan menjadi awal dari berita besar.
Kondisi seperti kelaparan massal, di tanah yang kaya, adalah hal yang mustahil kecuali orang-‐orang sengaja tidak diberi makan karena sumber makanannya ditahan. Walaupun demikian, menahan sumber pangan bukanlah hal yang mudah karena, tidak seperti beras, makanan di sana tidak disimpan di antara musim panen dan waktu konsumsi. Satu-‐satunya cara adalah dengan menahan orang di daerah yang tidak memungkinkan bagi orang untuk meramu. Sebuah contoh buruk pernah terjadi di bawah militer Indonesia, terjadi di Lalerek Mutin, Timor Timur pada tahun 1983 sehingga dugaan kelaparan menjadi lebih masuk akal bagi mereka yang melihat Papua dalam bingkai genosida – hal yang lebih disukai oleh para pendukung kemerdekaan. Kita sering mengasosiasikan genosida dengan gambaran struktur fisik seperti kamp atau lapangan tandus yang dikelilingi kawat berduri. Di Papua, gambaran seperti ini, tentu saja tidak masuk akal.
Caption foto: ‘Jalan’ yang semakin menyempit di menuju timur dari Kwoor | Bobby Anderson
Ihwal Cerita yang Bertentangan
Kepala adat Desa Baddei – satu dari beberapa desa yang disebut dalam berita di Suara Papua – masih kesal dengan berita kelaparan, seperti halnya banyak orang Papua yang saya temui di Kwoor dan Sausapor. Namun Kepala Baddei tidak tau bahwa cerita itu disambut hangat di luar negeri atau digunakan sebagai bukti anekdot mengenai kejahatan Pemerintah Indonesia terhadap masyarakatnya. Sebaliknya, ia dan yang lain percaya bahwa tuduhan itu diciptakan secara sengaja untuk mendiskreditkan Kepala Distrik Tambrauw, Gabriel Asem, dan struktur partai Golkar setempat.
segera menyediakan layanan yang diperlukan di daerah terpencil seperti yang disebut dalam cerita tersebut. Sama halnya dengan di dataran tinggi Papua, orang-‐orang sakit atau bahkan anak-‐anak yang mau ke sekolah – harus berjalan keluar dari daerah-‐daerah ini dan mencari layanan di berbagai tempat dimana jalan benar-‐benar dapat diakses.
Puskesmas di Sausapor mempertahankan penggunaan helikopter untuk keadaan darurat di daerah-‐daerah terpencil ini, namun hal ini pun tidak efektif: tidak ada radio SSB atau jangkauan sinyal telepon genggam di daerah yang disebut mengalami kelaparan, dan karenanya berita tentang orang yang sakit di daerah-‐daerah tersebut biasanya disampaikan dari mulut ke mulut, pertama ke Kampung Kwoor, lalu ke Sausapor. Dalam berbagai mengunjungi desa-‐desa yang disebut dalam berita Suara Papua.
Sebuah tim kecil menuju ke Sausapor dan menggunakan helikopter Pemerintah Distrik untuk mencapai desa-‐desa di mana diduga terjadi kelaparan. Tim ini pergi sejauh mungkin hingga ke batas pantai untuk menghitung bila ada makam dan mengunjungi anggota keluarga dari mereka yang diduga telah meninggal dunia. Sementara tim ini menemukan kurangnya pelayanan publik, mereka juga menemukan kenyataan bahwa tidak ada satupun bukti kematian akibat kelaparan. Lembaga ini menuliskan dalam laporan mereka yang telah didiseminasikan ke Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Nasional, tidak lebih dari itu.
berperilaku seperti raja kecil. Beberapa teman di Yogyakarta, Jakarta, dan Makassar bisa percaya pada laporan tentang adanya musibah kelaparan tersebut sebab mereka yakin pemerintah Indoensia sudah sangat rusak.
Namun para pengamat Indonesia, mereka yang peduli terhadap Papua dan masyarakat Papua dan masyarakat Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk curiga dan kritis. Cerita ini tidak benar. Apapun tujuan fiksi ini – apakah itu untuk mendukung tuduhan genosida dan kemerdekaan Papua, atau untuk mendiskreditkan pemimpin lokal – kesemuanya telah melemahkan tujuan tersebut. Tak satupun dari tuduhan tersebut bisa meningkatkan pelayanan kesehatan. Lebih jauh pemerintah Indonesia sendiri tidak memberi reaksi atau sanggahan terhadap apa yang sebenarnya sudah diketahui tidak benar. Laporan yang dibuat oleh badan PBB sepertinya telah dimasukkan ke kantor Wakil Presiden. Kenapa tidak didorong lebih jauh lagi?
Reportase ceroboh dan tak diverifikasi ini kerap kali dibenarka, setelah diekspose, sebagai sebuah perangkat yang berfungsi untuk menangkap insiden-‐insiden lain yang belum pernah dilaporkan. Papua memiliki banyak sekali cerita yang dabaikan, dan tentang kelaparan, dengan kasus yang diverifikasi terakhir terjadi pada tahun 2006. Penulis telah melihat beberapa kasus salah gizi di dataran tinggi pada tahun 2011 dan 2012. Namun menyebaran fiksi tidak patut dilakukan.
Banyak sekali daerah di Papua yang masih tetap terpencil. Di luar kota-‐kota, pelayanan pendidikan dan kesehatan masih sangat minim, begitu pula dengan jaringan komunikasi, jangkauan sinyal telepon dan jalur jalan yang dapat dilewati. Berbagai cerita muncul dari berbagai penjuru – tentang perkelahian antar suku, kedaruratan bencana, penyakit. Kurangnya pembangunan menghalangi cerita-‐cerita ini tersebar lebih cepat dan akurat adalah tanggung jawab dari pemerintah nasional dan lokal. Dan untuk hal itu mereka pantas dikecam. Namun cerita-‐cerita itu tidak perlu sengaja diciptakan untuk mengkritik pemerintah. Di Papua, terdapat cukup banyak kebenaran untuk dipilih tanpa harus menggunakan fiksi.
-‐-‐
Informasi Lebih Lanjut: