• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 215/PID.B/2013/PN.KLD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 215/PID.B/2013/PN.KLD)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR 215/PID.B/2013/PN.KLD)

Ellyzabet Berliana, Eko Raharjo, Rinaldy Amrullah email: (ellyzabetberliana@ymail.com)

Abstrak

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana.Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka sangat diperlukan kehadiran benda-benda yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, benda-benda tersebut disebut sebagai “Barang Bukti”. Permasalahandalampenelitianiniyaitubagaimanakah kedudukan Barang Bukti dalam proses peradilan pidana dankeabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD.

Pendekatan masalah yang digunakan adalahpendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, sedangkan sumber data yang digunakan bersumber pada data primer dan data sekunder. Responden sebanyak 4 orang, yakni : 1 orang Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, 1 orang Jaksa Kejaksaan Negeri Kalianda, 1 orang Penyidik Kepolisian Sektor Tegineneng, 1 orang Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun penelitian lapangan kemudian diprosesdan dianalisis secara kualitatif.

(2)

Berdasarkan penilaian hakim mengenai keabsahan barang bukti, hakim cenderung menilai sah tidaknya barang bukti melihat dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa yang saling memiliki keterkaitan. Saran dalam penelitian ini: (1) kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana, sebaiknya lebih diperjelas melalui peraturan yang mengaturnya, sehingga dalam pelaksanaannya untuk upaya pembuktian, tidak ada lagi kesenjangan. (2) keabsahan barang bukti berdasarkan penilaian hakim, hendaknya hakim bisa lebih cermat dalam menilai keabsahan barang buktibukan hanya meyakinkan keyakinannya saja, tetapi juga harus memikirkan kerugian pihak korban, dan memikirkan keadilan bagi terdakwa dalam memutus perkara.

(3)

JURIDICAL ANALYSIS OF THE USE OF

EVIDENCE TO PROVE THE CRIME OF THEFT WITH VIOLENCE (THE STUDY OF DECISION No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD)

Ellyzabet Berliana, Eko Raharjo, Rinaldy Amrullah email: (ellyzabetberliana@ymail.com)

ABSTRACT

Proof of the validity of the alleged actions of defendant who do actionwas indicted is the the most important part in the criminal procedure. For the important of proof that, therefore indispensable of the objects which is associated with a crime, the objects are called as evidence. The problems are: How are the position of the evidence in the process of criminal justice and How is the validity of evidence by the judge to give the decision of case No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD.

Approach matter used in this research are Juridical Normative and Juridical Empirical Approach, meanwhile data sources used are from primary data and secondary data. The number of respondents as many as four people, they are: 1 Judge of Kalianda District Court, 1 Prosecutor of District Attorney of Kalianda, 1 Investigator of Tegineneng Sector Police Department, 1 Criminal Department of Law Faculty Lecturer of Lampung University. All results wich was collected from literature and field research. Then the data processed and analysed with qualitative way.

(4)

that take care of that, so in the implementation to efforts substantiation, there is no more inequity. (2) The validity of evidence based on the assessment of the judge, the judge should be more careful in assessing the validity of the evidence is not just convincing his confidence course, but they should also consider disadvantages of the offering and pondered his righteousness to a defendant in deciding the case.

(5)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.1

Berkaitan dengan pembuktian Hukum Acara Pidana mengenal

asas-asas yang menjadi dasar

pemeriksaan, yaitu asas praduga tak bersalah dan asas kebenaran materiil. Hal ini menjadi dasar pemeriksaan karena untuk melindungi hak asasi manusia yang dimiliki setiap orang.2

Setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu, asas ini disebut asas praduga tak bersalahmenjunjung tinggi hak asasi manusia.

Istilah barang bukti di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tidak ditafsirkan secara eksplisit dalam Pasal 1, tetapi istilah barang bukti terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 181.Barang bukti juga dikenal dengan istilah benda sitaan

1

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 249

2

Tri Andrisman,2010, Hukum Acara Pidana, Bandarlampung, Penerbit Universitas Lampung, hlm. 14

karena barang bukti diperoleh melalui proses penyitaan oleh penyidik, yang berfungsi untuk kepentingan pembuktian dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan.3

Barang-barang yang bisa dilakukan penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan atau pembuktian, menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP adalah :

a. Benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana;

b. Benda-benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; c. Benda yang dipakai

menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau

diperuntukan melakukan tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai

bahan pembuktian guna

menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.4

Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara material barang bukti seringkali sangat berguna bagi

3

Barang Bukti, http://repository.usu.ac.id , diakses pada [04/09/2014]

4

Hari Sasangka dan Lily Rosita,2003.Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana.

(6)

Hakim untuk menyandarkan keyakinannya.5

Pada kasus dengan Nomor Putusan 215 /Pid.B /2013/PN.KLD, penulis ingin melakukan penelitian terhadap putusan tersebut, dimana diketahui bahwa dalam kasus tersebut terdakwa bernama Rifai dan rekannya Herdian (Daftar Pencarian Orang) melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah Tegineneng, Lampung Selatan. Terdakwa Rifai beserta rekannya berhasil merampas satu unit sepeda motor jenis Honda Beat dengan Nomor Polisi BE 7642 FQ tahun 2011 berserta Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), 2 buah

Handphone dan sejumlah uang milik

korban. Terdakwa didakwa dengan Pasal 365 ayat (1) dan (2) ke-1, 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kejanggalan dalam kasus ini yaitu pada barang bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Barang bukti tersebut adalah dua buahpelat Nomor Polisi BE 7642 FQ dan dua buah baju, satu baju bermotif kotak-kotak warna hitam dan satu kaos berwarna coklat. Barang bukti ini dirasa belum kuat untuk membuktikan perkara tersebut. Penilaian Hakim terhadap keabsahan barang bukti dinilai kurang memenuhi unsur-unsur pembuktian dalam menyamakan pelat Nomor Polisi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan keterangan saksi. Hal ini yang ingin diteliti oleh penulis, dengan judul “ Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana (2) Bagaimana keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD.

C. Metode Penelitian

Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab permasalahan di atas yaitu, pendekatan yuridis normatif, dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer, dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, dan studi lapangan. Data-data tersebut lalu dilakukan pengolahan melalui tahap editing, evaluasi, klasifikasi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah tersebut kemudian disajikan dalam bentuk uraian, yang lalu diinterpretasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Barang Bukti Dalam Proses Persidangan

(7)

hal tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal lain di KUHAP, maka barang bukti memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya pembuktian. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai kedudukan barang bukti, perlu mengetahui perbedaan barang bukti dengan alat bukti.

Dilihat dari perumusan Pasal 1 butir 16 dan beberapa pasal di KUHAP sebagaimana diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa benda sitaan yang berstatus sebagai barang bukti tersebut adalah berfungsi untuk pembuktian. Namun apabila dikaitkan dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah sebagaimana sah meskipun sama-sama memiliki fungsi dalam upaya pembuktian.

Misalnya dalam perkara pencurian apabila benda sitaan atau barang bukti dari hasil kejahatan yang berupa perhiasan cincin, gelang dan kalung diajukan di sidang pengadilan maka sesuai dengan Pasal 181 KUHAP, hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal barang bukti itu. Jika perlu barang bukti itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.Apabila atas pertanyaan hakim ketua sidang, terdakwa dan saksi memberikan keterangan bahwa mereka mengenal barang bukti tersebut disertai penjelasan yang berkaitan dengan barang bukti maka

barang bukti tersebut telah berubah menjadi keterangan saksi ( Pasal 184 ayat (1) huruf a ) dan keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat (1) huruf e ).6Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa barang bukti secara yuridis formal tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah, namun dalam proses praktik hukum atau praktik peradilan, barang bukti tersebut dapat berubah dan berfungsi sebagai alat bukti yang sah, 7 tergantung pada siapa keterangan mengenai barang bukti tersebut dimintakan.

Jika mempelajari keseluruhan pasal-pasal dalam KUHAP, barang bukti memiliki kedudukan yang sangat penting, tidak hanya sebagai tambahan dari alat bukti yang sah dan memperkuat keyakinan hakim dalam memutus perkara saja. Dilihat dalam putusan pemidanaan yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b,c,d,e,f,g,h,i,j,k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Dari rumusan Pasal tersebut diatas, menjelaskan bahwa selain benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, artinya ada pula benda yang disita yang termasuk alat pembuktian. Pada pasal ini istilah benda yang disita merupakan barang bukti.

Setelah menganalisa beberapa pasal-pasal dalam KUHAP terkait pembuktin, memperjelas pentingnya

6Ibid,

hlm. 34

(8)

kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana, bahwa barang bukti tidak hanya berfungsi sebagai tambahan alat bukti yang sah, serta untuk keyakinan hakim semata, tetapi dalam hal putusan apabila tidak ada barang bukti yang dihadirkan meskipun sudah terpenuhinya syarat pembuktian dalam sidang, putusan hakim bisa batal demi hukum.

B.Keabsahan Barang Bukti oleh Hakim dalam Memutus Perkara No. 215/ Pid.B/2013/PN.KLD

Pada kasus yang diteliti penulis, jaksa penuntut umum menghadirkan barang bukti berupa dua buah pelat Nomor Polisi BE 7642 FQ dan dua buah baju milik terdakwa. Terfokus pada barang bukti pelat Nomor Polisi tersebut, dirasa belum cukup kuat dalam pembuktian.

Fransisca, mengatakan bahwa barang bukti pelat Nomor Polisi yang berdiri sendiri tanpa adanya barang bukti pendukung lain seperti STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) yang menunjukan keaslian pelat tersebut, jadi pelat nomor polisi yang berdiri sendiri tidak memiliki kekuatan pembuktian.

Idealnya menurut beliau, dalam pembuktian pada kasus pencurian sepeda motor, seharusnya barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan adalah sepeda motor serta surat-surat terkait kepemilikan sepeda motor tersebut, dimana barang bukti itu dikuatkan dengan nomor rangka mesin yang terdapat pada bagian mesin sepeda motor yang kemudian harus dicocokan

dengan surat-surat tanda kepemilikan sepeda motor tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa beban pembuktian pada hakikatnya dilaksanakan oleh “penyidik” yang berupaya maksimal untuk mengumpulkan alat bukti dan barang bukti yang sah yang selanjutnya diteliti oleh penuntut umum.Mencari barang bukti yang selengkap-lengkapnya sudah menjadi tanggungjawab penyidik untuk upaya pembuktian.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 yang mengatakan bahwa Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Pelat Nomor Polisi yang tidak dikeluarkan oleh Korlantas Polri dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku.

Keaslian pelat nomor polisi sangatlah penting baik dalam berkendara di

jalan raya maupun untuk

kepentingan pembuktian dalam perkara pidana. Khusus dalam hal pembuktian, pelat nomor polisi sebagai barang bukti pada perkara pidana pencurian sepeda motor yang dilakukan terdakwa Rifai dan rekan-rekanya (DaftarPencarianOrang), harus dapat dibuktikan keasliannya dalam persidangan.

(9)

upaya-upaya seperti mengukur dan menyamakan pelat nomor polisi dengan ketentuan yang diatur undang-undang.

Pelat nomor polisi sebagai barang bukti tidak dapat berdiri sendiri, karena apabila pelat tersebut berdiri sendiri tanpa ada barang bukti lain atau alat bukti yang mendukung keaslian pelat tersebut dalam peradilan tidaklah memiliki kekuatan pembuktian. Keaslian pelat nomor polisi dapat didukung oleh adanya Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), yang dicocokan dengan pelat tersebut, maka dapatlah diketahui keaslian dari pelat tersebut. Menurut pendapat Siti Yuristia Akuan, bahwa barang bukti dikatakan sah apabila memiliki keterkaitan terhadap tindak pidana yang sedang diproses dalam peradilan, ketika para saksi dan terdakwa dapat mengenali dan memberikan keterangan, maka barang bukti tersebut dianggap sudah layak atau sah. Karena pada dasarnya beban pembuktian terdapat pada penyidik Kepolisian, penyidik dianggap lebih mengerti keaslian dari barang bukti pelat nomor polisi. Pada saat dipersidangan keaslian itu akan terungkap melalui keterangan saksi-saksi dan terdakwa.

Hakim dalam mempertimbangkan suatu perkara pidana harus dapat mengeksplor lebih luas dan lebih dalam lagi dalam pembuktian. keterangan saksi dan keterangan terdakwa saja belum cukup untuk memperoleh kebenaran materiil dalam persidangan.

Pasal 189 ayat (4) KUHAP, Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. Hal ini untuk menghindari penyelundupan orang-orang yang benar-benar bersalah. Seandainya keterangan terdakwa mempunyai kekuatan mengikat dan menentukan, akan banyak terjadi penyelewengan hukum dalam bentuk menjatuhkan pidana kepada orang bukan pelaku tindak pidana.Keterangan saksi-saksi pun demikian, meskipun saksi-saksi telah disumpah sebelum memberikan keterangan, tetapi untuk menghindari kesalahan dalam menjatuhkan pidana ada baiknya hakim perlu untuk menilai keabsahan barang bukti yang

dihadirkan dalam

persidangan.Seperti contoh kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh Anjar Andreas Lagaronda di Palu Sulawesi Tengah.

Pada contoh kasus tersebut, saksi Briptu Ahmad Rusdi Harahap memberikan keterangan bahwa benar Anjar Andreas Lagaronda yang mencuri sandal miliknya, dan dia juga mengakui bahwa barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan yaitu sepasang sandal jepit adalah miliknya yang dicuri Anjar Andreas Lagaronda.Pada contoh kasus ini hakim berusaha membuktikan keaslian dari sepasang sandal jepit itu adalah milik saksi korban. Hakim

berupaya dan menyuruh

(10)

Upaya-upaya yang seperti itulah yang diperlukan hakim dalam pembuktian untuk meyakinkan ia dalam mempertimbangkan putusan, menggali kebenaran lebih dalam, melalui pembuktian tidak hanya terbatas pada keterangn saksi-saksi dan keterangan terdakwa.

III. SIMPULAN

Berdasarkanhasilpenelitiandanpemba

hasan yang

dilakukanpenulisdapatditariksimpula nbahwa :

Kedudukan barang bukti, memiliki kedudukan yang setara dengan alat bukti. Meskipun barang bukti bukan merupakan alat bukti yang sah (tercantum dalam Pasal 184 KUHAP ) atau tidak sama dengan alat bukti yang sah tetapi sama-sama memiliki fungsi dalam upaya pembuktian. Dilihat dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No. 215/ Pid.B/2013/PN.KLD. Pada kasus yang diteliti penulis, barang bukti yang dihadirkan berupa dua buah pelat Nomor Polisi BE 7642 FQ dan dua buah baju milik terdakwa. Terfokus pada barang bukti pelat Nomor Polisi tersebut, dirasa belum cukup kuat.Hakim dalam menilai keaslian barang bukti tersebut tidak terbatas pada keterangan yang diberikan saksi-saksi dan keterangan terdakwa saja (Pasal 189 ayat (4)). Hal ini untuk menghindari penyelundupan orang-orang yang benar-benar bersalah. Seandainya

keterangan terdakwa mempunyai kekuatan mengikat dan menentukan, akan banyak terjadi penyelewengan hukum dalam bentuk menjatuhkan pidana kepada orang bukan pelaku tindak pidana

DAFTAR PUSTAKA Buku/Literatur :

Andrisman Tri. 2010.Hukum Acara Pidana.

Bandarlampung.Universitas Lampung

Hamzah Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafik

SasangkaHari,Lily Rosita.

2003.Hukum Pembuktian

dalam Perkara Pidana.

Bandung .Mandar Maju

Penelusuran Internet :

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengukuran dapat diterima karena penyimpangan hasil pengukuran yang digambarkan dengan nilai standar deviasi cukup kecil yaitu 1,07% untuk sampel uji 1 dan 1,49% untuk

Isi pesan yang disampaikan PT Djarum me- lalui kegiatan KLM adalah ajakan kepada masyarakat untuk bersama-sama terlibat aktif dalam melakukan konservasi lereng Gunung

lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan menjadi.. kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai

‘I have matter here that will vindicate John the moment it is seen by the right people, and make Ned Kelley a wanted man.’.. Jane

Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai coklat.Wikipedia Jadi rancangan wisata edukasi kakao adalah proses merancang fasilitas yang melibatkan

Kemudian pada motif yang sama juga terdapat 18 orang (36%) yang menyatakan pendapatnya bahwa mereka membaca surat kabar karena untuk mencari informasi-informasi aktual

Jika Anda login ke Windows dengan menggunakan user administrator, mudah bagi Anda untuk menjalankan berbagai macam aplikasi. Bagaimana jika Anda masuk sebagai user biasa dan

2. Al-mashlahah al-mulghah , yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentang dengan ketentuan