• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Provinsi Papua Barat merupakan provinsi pemekaran dari Provinsi Papua memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Di sisi lain, memiliki ratusan suku bangsa/klen yang hidup terpencil mulai dari wilayah pantai, dataran rendah seperti sungai dan rawa, selanjutnya naik ke lembah hingga pegunungan. Keanekaragaman sumber daya tersebut telah mewarnai pola kehidupan masyarakat di sana, terutama yang tinggal di wilayah pegunungan seperti Suku Arfak yaitu bercocok tanam sebagai mata pencaharian pokok mereka, selain meramu dan berburu di hutan.

Pembangunan pertanian sudah berlangsung cukup lama di Kabupaten Manokwari, namun kegiatan pertanian tradisional masih dominan, yakni berpola subsisten -- hasilnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam keluarga, dan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga itu sendiri. Inovasi pertanian bagi masyarakat Papua Barat masih bertujuan non ekonomi. Inovasi yang datang dari luar sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan, namun bagi petani Arfak hanya diadopsi sebagian dan sementara setelah itu mereka kembali ke cara semula, selalu dicurigai mengganggu sistem norma lama yang sudah mereka anut secara turun temurun.

Pembangunan pertanian terlambat bukan berarti tanpa solusi, karena proses regenerasi dan didorong oleh pengaruh kemajuan jaman, pada suatu saat secara evolusi masyarakat Papua Barat pasti akan mengalami perubahan, yaitu melalui perencanaan pembangunan yang sesuai dengan karakter wilayah dan sosial budaya masyarakatnya. Karena pengaruh arus modern, nilai-nilai sosial primitif lambat laun akan menyesuaikan diri dengan kemampuan yang mereka miliki. Nilai-nilai sosial dalam masyarakat petani primitif, menurut Mosher (1983:47-48), adalah upaya mempertahankan diri dari bencana kelaparan dan malapetaka lainnya. Artinya, masyarakat pedesaan memiliki energi sosial kreatif sebagai daya internal (kearifan lokal) dalam bentuk gagasan, idaman, dan persaudaraan untuk mempertahankan diri menghadapi pengaruh lingkungan yang ekstrim bila terjadi kekurangan pangan (Saefuddin, et al., 2003:22).

Inovasi seharusnya mampu beradaptasi dengan sistem pengetahuan dan teknologi setempat atau inovasi dikembangkan dari dalam masyarakat itu sendiri. Padu-selaras antara inovasi dengan sistem pengetahuan lokal menciptakan masyarakat yang dewasa yaitu

(2)

masyarakat yang berhasil mengatasi tantangan dan masalah sendiri dari luar lingkungannya.

Kendala yang dihadapi dalam penerapan pembangunan di Papua Barat adalah disebabkan oleh kondisi geografis yang luas, terisolir dan kurangnya sarana infrastruktur, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), dan diversitas (keanekaragaman) budaya yang membentuk perilaku berpola yang beraneka pula. Transportasi untuk mengangkut produksi pertanian dari pedalaman ke pasar hanya dilakukan oleh pesawat terbang atau berjalan kaki seharian untuk bisa mencapai ruas jalan raya menuju kota kecamatan atau kabupaten. Mereka membawa hasil kebun berupa wortel, kentang, ubi jalar, ubi kayu, keladi, pisang dengan menggunakan noken (tas berbentuk jaring) yang digantung di atas kepala. Di pasar mereka membeli bahan makanan seperti minyak goreng, garam, gula, tembakau, pinang, siri, dan bibit.

Di sisi lain, tenaga penggerak pembangunan seperti penyuluh kesulitan mencapai wilayah pedalaman, sehingga mereka kebanyakan tinggal di kota. Pemerintah telah melakukan program Transmigrasi Nasional dan Lokal yaitu mendatangkan penduduk dari luar Papua kemudian dimukimkan bersama dengan penduduk lokal dengan harapan terjadi alih informasi, pengetahuan, dan ketrampilan cara bertani pada dua budaya tersebut. Kenyataan yang terjadi adalah masyarakat lokal kembali ke pemukiman semula dengan anggapan cara pertanian sawah orang “Jawa” rumit dan sulit dipraktekkan di lahan yang mereka miliki.

Karakteristik permasalahan di atas bukan hanya berlaku di Papua, tetapi umumnya yang memiliki wilayah terpencil yang disebut pedalaman. Suatu hal yang menarik dikaji untuk dijadikan prototype pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penggerak pembangunan pertanian di Papua Barat atau wilayah pedalaman lainnya adalah keberadaan Suku Besar Pedalaman Arfak di Kabupaten Manokwari, Wilayah “Kepala Burung”, Provinsi Papua Barat. Sebagai suku asli yang dominan jumlahnya dibanding suku-suku lain (dari dalam dan luar Papua Barat), memiliki tingkat ekonomi dan taraf pendidikan yang relatif rendah sehingga dianggap sulit berpartisipasi dalam pembangunan.

Semenjak Orde Reformasi bergulir kemudian lahirnya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maka konsekuensinya pembangunan harus didasarkan pada kondisi obyektif wilayah atau kawasan yang bersangkutan. Kondisi obyektif itu meliputi keadaan alam dan manusia yang tinggal di sana, karena daerah itu akan dijadikan tempat

(3)

pelaksanaan program pembangunan. Selama ini pemahaman terhadap kondisi lokal terutama tentang sosial budaya kurang diperhatikan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan pembangunan. Pembangunan fisik dan ekonomi yang digunakan selama ini hanya menghasilkan partisipasi semu dan menambah ketergantungan masyarakat terhadap bantuan dari pemerintah. Permasalahan tersebut di atas yang menyebabkan masyarakat Papua Barat masih tergolong sangat terbelakang dibanding dengan provinsi lainnya di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka pada masa mendatang penerapan pembangunan melalui diseminasi/penyuluhan teknologi inovasi lebih dahulu mengetahui nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dan menemukan pengetahuan serta teknologi lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat sehingga mampu memadu-padankan menjadi teknologi tepat guna bagi masyarakat Papua Barat khususnya masyarakat Arfak di Manokwari.

Masalah Penelitian

Terdapat dua gejala yang dijadikan dasar masalah dalam penelitian ini yaitu masalah filosofis dan masalah kebijakan pembangunan pertanian terutama pertanian tanaman pangan jenis ubi-ubian sebagai sumber makanan pokok dan tanaman sayur-sayuran sebagai mata pencaharian utama bagi masyarakat lokal Papua hingga saat ini.

Masalah filosofis adalah gejala yang tidak sesuai dengan nilai dan norma budaya setempat yaitu adopsi inovasi pertanian yang tidak sesuai dengan sosial budaya masyarakat Arfak. Banyak teknologi inovasi selama ini ditolak oleh petani/masyarakat Arfak karena tidak sesuai dengan pengetahuan dan teknologi mereka. Mengadopsi inovasi yang hampir sama dengan cara bertani yang dimiliki sebelumnya yaitu teknologi inovasi yang tidak melanggar etika, norma, peraturan, hukum dan aturan-aturan khusus yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat setempat.

Karakteristik ekologi tempat masyarakat hidup berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi, sosial-budaya penduduk di Papua, seperti orang Arfak banyak mendiami zona ekologi “Kaki-kaki Gunung” dan “Lembah-lembah Kecil” serta zona ekologi “Pegunungan Tinggi,” pertanian ladang berpindah dengan menanam ubi-ubian seperti ubi jalar dan keladi, dan meramu merupakan mata pencaharian pokok di samping beternak babi, berburu di hutan serta menangkap ikan di danau dan sungai. Secara alamiah orang Arfak menyesuaikan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki dengan lingkungan ekologi dalam

(4)

bentuk nilai budaya dan norma (kebiasaan, peraturan, dan adat istiadat). Penyuluhan tanpa melihat nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal yang menyebabkan penyuluhan terhambat.

Banyak inovasi teknologi yang ditolak atau tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada pada masyarakat Arfak, disebabkan para peneliti dan penyuluh kurang dapat memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat itu sendiri. Namun dalam perkembangannya, justru membalik menuding masyarakat Arfak yang konservatif sebagai penyebab rendahnya tingkat adopsi teknologi ataupun gagalnya pembangunan di Papua. de Boef et al. (1993:206) membantah bahwa gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka konservatif, tetapi lebih dikarenakan rancang-bangun teknologi anjuran yang bersifat top-down tersebut tidak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat tani.

Di sisi lain Pemerintah sebagai pembuat kebijakan selalu melihat adanya gejala-gejala yang tidak diinginkan menghambat terjadinya adopsi teknologi inovasi. Penyuluh pertanian ketika melakukan kegiatan di lapangan, kesulitan “menembus” ranah sosial budaya yang penuh dengan perilaku masyarakat Arfak. Inovasi teknologi yang disuluh oleh penyuluh Pemerintah, akulturasi melalui transmigran dan stakeholder lainnya sangat sulit diadopsi oleh masyarakat Arfak karena dinilai rumit dan tidak memperlihatkan hasil secara langsung. Hal ini didasarkan pada pengalaman yang dimilikinya, karena itu sulit bagi masyarakat Arfak memahami pesan-pesan para agen pembangunan tentang hal yang tidak ada dalam bingkai acuan mereka, misalnya tentang budidaya pertanian sawah dan berladang menetap. Masyarakat Arfak sangat curiga terhadap setiap orang atau inovasi yang datang dari luar kelompok adat mereka. Perlu ada bukti atau jaminan yang meyakinkan bahwa teknologi inovasi tersebut tidak merusak sistem norma lama. Masalah itu akan lebih berat apabila agen pembangunan menggunakan bahasa atau lambang abstrak yang sulit mereka mengerti. Masyarakat Arfak lebih mudah dikumpulkan oleh pastur/pendeta dan kepala suku, daripada oleh aparat pemerintah. Kondisi demikian menggambarkan pembangunan pertanian berjalan lamban di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Pemerintah melalui paradigma lama pendekatan top-down telah melakukan kebijakan pembangunan seperti “Operasi Koteka,” agar masyarakat di pedalaman mau melepaskan koteka dan menggunakan pakaian. Membasmi “Tanaman Racun” yang dapat digunakan

(5)

untuk saling bunuh antar penduduk. Mengganti tradisi “Perang Suku” menjadi pertunjukan seni-budaya sebagai paket wisata, dan adat istiadat lain yang dianggap menghambat

pembangunan. Kenyataannya, pada masa transisi budaya tradisional ke modern justru memunculkan masalah baru: masyarakat lokal menjadi apatis dan fatalistis, sangat

bergantung kepada bantuan pemerintah. Hal tersebut di atas yang menyebabkan kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Pegunungan Tengah Papua pada Desember 2005 lalu, karena masyarakat mulai meninggalkan cara bertani tradisional yang dimiliki, sementara teknologi inovasi modern belum diadopsi secara bijaksana.

Beberapa kasus tersebut dapat diindikasikan bahwa pada masa-masa lalu sudah ada cara efektif untuk mengatasinya yaitu dengan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Namun demikian, pengatahuan lokal tidak selalu dipercaya akan mampu mengatasi masalah sehingga dijadikan rujukan atau dengan kata lain masih mengandung kesalahan, seperti: perladangan berpindah, penggembalaan babi secara bebas, dan berburu yang cenderung merusak lingkungan.

Diharapkan dalam penelitian ini dapat ditemukan strategi dan pola yang tepat dalam melaksanakan penyuluhan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Untuk menjawab aneka hambatan adopsi inovasi teknologi pertanian pada masyarakat Arfak, maka dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(1) Mengapa proses inovasi pertanian berjalan lamban pada petani Arfak?

(2) Mengapa mereka mau dan mampu mempertahankan inovasi, pengetahuan dan teknologi pertanian yang digunakan saat ini?

(3) Bagaimana sikap dan perilaku petani Arfak terhadap inovasi dan penyuluhan pertanian yang diterima selama ini?

(4) Apakah petani Arfak memiliki sistem pengetahuan dan teknologi lokal (local wisdom) yang mendukung pembangunan pertanian?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengungkap:

(1) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi pertanian masyarakat Arfak.

(6)

(2) Faktor nilai-nilai sosial budaya yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi pertanian.

(3) Sikap petani Arfak terhadap inovasi pertanian dan kegiatan penyuluhan yang mereka terima selama ini.

(4) Sistem pengetahuan dan teknologi pertanian lokal yang mendukung dan menghambat usaha tani pada masyarakat Arfak.

Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan dalam pengembangan teori maupun praktis bagi pihak terkait, yakni untuk kepentingan:

(1) Pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan dengan pendekatan multi disiplin ilmu sosial (sosiologi, psikologi, komunikasi, antropologi) dengan ilmu alam (pertanian/etnobotani, ekologi, lingkungan), guna menuntaskan permasalahan Pembangunan Sumberdaya Daya Manusia (PSDM).

(2) Menambah khasanah ilmiah tentang keberadaan Suku Besar Pedalaman Arfak di Manokwari, Papua Barat yaitu terdokumentasinya nilai-nilai sosial budaya dan pengetahuan-teknologi lokal (indigenous knowledge) atau lebih dalam disebut kearifan lokal (local wisdom).

(3) Pemerintahan Daerah Papua Barat dan Kabupaten Manokwari dalam menentukan kebijakan pembangunannya melakukan penyesuaian inovasi yang akan diterapkan terhadap kondisi sosial budaya, pengetahuan dan teknologi lokal, sehingga mengecilnya ketidaksesuaian (disonansi), menemukan teknologi yang lebih tepat guna; (4) Pemerintahan Nasional dapat merencanakan pengembangan ketahanan pangan

berdasarkan sumber daya dan kearifan lokal yang berakar dalam masyarakat, termasuk dalam pengembangan komoditas bahan makanan pokok menjadi komoditas unggulan yang kompetitif baik di pasar lokal maupun global.

(5) Sebagai alternatif model bagi wilayah lain yang memiliki kondisi geografis dan karakter sosial budaya yang hampir sama dengan Papua untuk mengembangkan nilai sosial budaya yang berorientasi ke masa depan, dan sebaliknya berusaha merubah budaya yang menghambat menjadi perilaku masyarakat yang siap dan mampu menghadapi tantangan pembangunan (modernisasi dan globalisasi).

(7)

(6) Agen perubahan khususnya penyuluh pembangunan dapat menemukan model penyuluhan berbasis karakteristik masyarakat dan ilmu pengetahuan lokal.

Definisi Istilah

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat dengan memfokuskan pada petani suku pedalaman Arfak. Di dalam operasional penelitian menggunakan istilah-istilah yang dijadikan sebagai peubah untuk keperluan pengukuran maupun untuk memperjelas pengertian atau konsep baru yang ditemukan dalam penelitian ini. Berkaitan dengan keperluan pengukuran dan dukungan konsep-konsep, maka digunakan istilah-istilah yang didefinisikan sebagai berikut:

(1) Adopsi inovasi pertanian adalah keputusan petani untuk menerima gagasan, informasi, dan pengetahuan yang dianggap baru dalam rangka menjalankan kegiatan usaha tani yang baik.

(2) Suku Besar Pedalaman Arfak adalah sekumpulan suku Hatam, Meyakh, Sougb (Manikon/Mantion) dan Moile yang tinggal di sekitar pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Mereka biasa disebut masyarakat Arfak atau dalam penyebutan sehari-hari “Orang Arfak.”

(3) Kebutuhan belajar (learning need) adalah keinginan yang dirasakan dan dinyatakan, baik lisan maupun tulisan tentang tingkat pengetahuan, keterampilan, dan atau sikap yang dimiliki selama ini dibanding dengan tingkat pengetahuan, keterampilan, dan atau sikap yang harus dipenuhi melalui kegiatan belajar.

(4) Nilai-nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam pikiran masyarakat Arfak mengenai hal-hal yang mereka anggap paling bernilai dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman tertinggi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya. Penelitian ini menggunakan kerangka konsep yang dikembangkan oleh antropologi Clide Kluckhon dan F.L Strodtbeck (Koentjaraningrat, 2004) yaitu:

(a) Hakekat hidup manusia adalah pandangan hidup masyarakat Arfak, bahwa hidup suatu hal yang buruk, menerima apa adanya atau menggembirakan.

(b) Hakekat dari karya manusia adalah masyarakat Arfak tentang bekerja sebagai sesuatu yang memberikan kedudukan terhormat dan menghargainya.

(c) Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu adalah pandangan bahwa masa lalu, masa depan atau waktu sekarang adalah waktu yang terpenting.

(8)

(d) Hakekat dari kedudukan manusia dengan alam sekitarnya adalah masyarakat Arfak memandang alam ini sebagai sesuatu yang potensial dan dapat memberikan kehidupan, sebagai suatu yang harus dipelihara, atau suatu yang sakral dan maha dahsyat sehingga manusia itu pada hakekatnya hanya bisa pasrah dan menerima sebagaimana adanya.

(e) Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya adalah memandang bahwa hubungan vertikal, horizontal, atau mandiri secara individual antara manusia dengan sesamanya adalah amat penting.

(5) Sikap terhadap penyuluhan adalah kecenderungan memberikan penilaian atau respon masyarakat Arfak yang didasari oleh pengetahuan, perasaan dan motif mereka terhadap kegiatan penyuluhan dan perilaku penyuluh itu sendiri.

(6) Karakteristik Masyarakat Arfak adalah kondisi atau ciri-ciri yang dimiliki oleh masyarakat Arfak dalam melakukan kegiatan pertanian yaitu ciri-ciri dalam bentuk: sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi.

(a) Karakteristik sosial ekonomi (eksternal) adalah bentuk-bentuk kegiatan yang mampu mendapatkan manfaat atau meningkatkan kondisi sosial dan ekonominya. • Tingkat pendidikan adalah tingkat dimana responden pernah mengikuti proses

belajar mengajar di pendidikan formal dan nonformal, yang dikategorikan rendah-sedang-tinggi.

• Pengalaman bertani adalah lama waktu responden melakukan kegiatan bertani sampai saat ini yang dihitung dengan tahun, berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi akan diperoleh klasifikasi menjadi sedikit-sedang-banyak. • Status sosial adalah predikat yang dicapai atau disandang oleh responden di

dalam kelompok kegiatan pertanian sehingga mampu mempengaruhi lingkungannya, yang dikategorikan rendah-sedang-tinggi.

• Luas kepemilikan lahan adalah jumlah hamparan lahan yang digunakan oleh responden dalam berusaha tani, baik lahan milik sendiri, lahan sewa, bagi hasil. Pengukurannya dalam hektar, berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi akan diperoleh klasifikasi menjadi sempit-sedang-luas.

• Pendapatan adalah jumlah penghasilan responden, baik yang berasal dari kegiatan bercocok tanam ubi-ubian maupun tanaman lainnya yang dinyatakan

(9)

dalam rupiah. Berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi yang diperoleh akan diklasifikasikan menjadi rendah-sedang-tinggi.

• Ketersediaan sarana adalah kemudahan memperoleh bahan dan alat yang dibutuhkan oleh responden dalam mengadopsi inovasi bercocok tanam ubi-ubian yaitu tepat waktu dan jumlah. Indikatornya adalah (a) adanya sarana sesuai dengan jumlah dan waktu dibutuhkan, dan (b) keterjangkauan harga. Hasil pengukuran diklasifikasikan menjadi rendah-sedang-tinggi.

(b) Karakteristik individu adalah sifat-sifat pribadi (internal) atau ungkapan kepribadian (psikologi) yang muncul ketika melakukan hubungan dengan anggota kelompoknya.

• Empati adalah kesediaan untuk merasakan sesuatu atau hal-hal yang dirasakan pada diri orang lain misalnya kepada anggota keluarga atau anggota kelompoknya. Rasa empati diukur dari kepedulian responden terhadap masalah yang dihadapi oleh anggota kelompok taninya yaitu simpati, biasa, dan tidak mau tahu.

• Rasionalitas adalah kemampuan seorang untuk memahami keadaan dan mengendalikan dirinya; berpikir dan berbuat tanpa terlalu dikuasai perasaan secara berlebihan; mampu menghindarkan diri dari perbuatan yang hanya mengandalkan kekuatan fisik. Sikap rasionalitas ini diukur dari kemampuan analisis selanjutnya menyimpulkan permasalahan yang dihadapinya yaitu baik-sedang-buruk.

• Sikap mau ambil resiko adalah keberanian bertindak, mengambil keputusan tanpa terlalu banyak minta pertimbangan dengan anggota kelompoknya dengan sudah memikirkan akibatnya, yaitu diukur dari keberanian bertindak seperti: berani, ragu-ragu, dan diam.

• Optimis adalah sikap selalu berpandangan baik dalam menghadapi semua hal, tidak menyerah dengan kondisi negatif yang dihadapi oleh responden dan selalu menanggapi dengan sikap positif. Optimisme diukur melalui ungkapan keluhan yaitu besar-sedang-kecil.

• Keinovatifan dalam bekerja adalah dimensi relatif seseorang lebih awal atau akhir menerapkan inovasi bercocok tanam ubi-ubian dibanding dengan

(10)

anggota kelompok tani lainnya, yang dapat digolongkan menjadi: inovator, pelopor, pengikut dini, pengikut akhir dan kolot.

• Sikap terhadap perubahan adalah keinginan yang kuat untuk mau belajar dan memanfaatkan hal baru untuk kegiatan pertanian yang dilakukan, diukur dengan tingkat menerima dan menolak inovasi dari luar.

(c) Karakteristik komunikasi adalah ciri-ciri eksternal responden dalam hal melakukan interaksi, komunikasi, dan mencari informasi dalam rangka kebutuhan kegiatan usaha taninya: (1) Hubungan dengan agen pembaharu, (2) Keterdedahan media massa, (3) Komunikasi sesama petani.

• Hubungan dengan agen pembaharu adalah frekuensi mengunjungi atau bertemu sumber informasi seperti penyuluh, produsen saprodi, tokoh agama, tokoh adat. Hasil pengukuran dikategorikan dalam rendah, sedang, tinggi. • Keterdedahan media massa adalah frekuensi memanfaatkan media massa

seperti radio, televisi, dan koran. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.

• Komunikasi sesama petani adalah frekuensi kegiatan bertemu sesama petani membicarakan masalah pertanian yang dihadapinya. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.

(6) Atribut inovasi adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh inovasi bercocok tanam ubi-ubian menurut pandangan responden yang berhubungan dengan tahapan keputusan proses inovasi yang terdiri dari:

(a) Keuntungan relatif adalah tingkatan dimana penerapan inovasi kepada masyarakat Arfak lebih menguntungkan dari pada sebelum penerapannya. Indikatornya adalah (1) jumlah biaya yang dibutuhkan, (2) tingkatan resiko kegagalan yang dirasakan, (3) jumlah tenaga yang dibutuhkan, (4) jumlah waktu yang dibutuhkan, dan (5) tingkat keuntungan ekonomis. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.

(b) Kesesuaian (kompatibilitas) adalah sejauh mana inovasi bercocok tanam ubi-ubian sesuai dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman dan kebutuhan responden. Indikatornya adalah: (1) kesesuaian inovasi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, (2) kesesuaian inovasi dengan ketrampilan yang dimiliki responden,

(11)

dan (3) kesesuaian inovasi dengan kebutuhan responden. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi tidak sesuai, kurang sesuai dan sesuai.

(c) Kerumitan (kompleksitas) adalah tingkat keadaan inovasi bercocok tanam ubi-ubian dianggap sulit/tidak untuk dipahami dan diterapkan. Indikatornya adalah (1) tingkat kesulitan responden dalam memahami, (2) tingkat kesulitan responden dalam menerapkan inovasi. Hasil pengukuran dikategorikan sulit, kadang-kadang sulit dan tidak sulit.

(d) Kemungkinan dapat dicoba (triabilitas) adalah tingkat inovasi bercocok tanam ubi-ubian mudah dicoba. Indikatornya adalah mudah tidaknya inovasi tersebut dicoba oleh responden. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi tidak mudah, sebagian mudah, semua mudah.

(e) Kemudahan diamati (observabilitas) adalah kemudahan penerapan, diamati/dilihat hasil inovasi bercocok tanam ubi-ubian oleh responden. Indikatornya adalah (1) mudah tidaknya responden mengamati, melihat proses atau hasil inovasi, dan (2) mudah tidaknya hasil inovasi dikomunikasikan kepada orang lain. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi tidak mudah, kadang-kadang mudah, dan mudah.

(f) Ketersediaan bahan dan alat inovasi adalah siap dan tersedianya bahan dan alat inovasi di tempat tinggal petani.

(7) Saluran komunikasi inovasi adalah alat atau media yang digunakan oleh penyuluh yang digunakan ketika melakukan penyuluhan bercocok tanam sehingga bisa diterima oleh responden misalnya (1) melalui kegiatan pertemuan di ruangan kelas, (2) langsung di kebun, (3) di rumah responden, dan lewat media massa radio. Hasil pengukuran menjadi tidak pernah, kadang-kadang dan sering pada masing-masing media.

(8) Proses adopsi inovasi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai seseorang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan hal baru tersebut). Penerimaan atau penolakan suatu inovasi ialah keputusan yang dibuat oleh seseorang dan memerlukan jangka waktu tertentu.

(9) Tahapan keputusan adopsi inovasi bercocok tanam adalah proses mental yang dilalui responden dalam mengadopsi inovasi yang terdiri tahap: pengetahuan, persuasi, dan tahap keputusan.

(12)

(a) Tahap pengetahuan adalah tingkatan responden membuka diri terhadap keberadaan inovasi dan memperoleh beberapa pengetahuan tentang inovasi bercocok tanam ubi-ubian dan fungsinya. Hasil pengukuran diklasifikasikan menjadi rendah, sedang dan tinggi.

(b) Tahap persuasi adalah tingkatan responden membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai inovasi bercocok tanam ubi-ubian. Hasil pengukuran diklasifikasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.

(c) Tahap keputusan adalah tingkatan responden dalam situasi menetapkan pilihan menerima atau menolak inovasi bercocok tanam ubi-ubian.

(10) Pengetahuan dan teknologi lokal pertanian masyarakat Arfak adalah hasil olah pikir dalam bentuk seperangkat pengetahuan dan teknologi bercocok tanam yang diciptakan, dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Arfak dari generasi ke generasi untuk digunakan sebagai penopang kehidupan sehari-hari.

(11) Perladangan berpindah (shifting cultivation) adalah suatu sistem pertanian yang mumnya berlangsung di Papua Barat dengan ciri-ciri: membuka lahan pertanian dengan melakukan pembakaran dan ditanami tanaman secara tidak berkesinambungan, jangka pendek, berrotasi secara bergiliran, menggunakan teknik budidaya tradisional, hasilnya untuk kebutuhan sendiri (subsisten).

Referensi

Dokumen terkait

Proses internalisasi nilai-nilai multikultural pada peserta didik di SD Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: a)

36 Dalam perkembangan sejarahnya, hingga kini mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki hak dan kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh penambahan gel lidah buaya (Aloe vera) terhadap karakteristik sabun cair

Dari hasil pengujian KBM menunjukkan untuk metode refluks pada bakteri uji Escherichia coli adalah 0,2 %, pada metode soxhlet dan maserasi yaitu pada konsentrasi 0,4 %,

Berdasarkan hasil peneltian maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: dalam menerapkan metode Struktur Analitik Sintetik (SAS) pembelajaran membaca permulaan dengan

Apabila grafik harga indeks saham tersebut menunjukkan bahwa harga-harga batas atas yang terjadi secara berturut-turut akan selalu lebih rendah dari harga yang terjadi sebelumnya,

eye catching, packaging design and price ; variasi rasa dengan food additive, taste of product, color of product ; warna sesuai rasa dengan food additive ; warna produk dan.. taste

Tujuan Pengembangan Perangkat Lunak Aplikasi Augmented Reality Book pengenalan gedung Universitas Pendidikan Ganesha merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk