• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PURI AGUNG SINGARAJA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PURI AGUNG SINGARAJA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA SASTRA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PURI AGUNG SINGARAJA SEBAGAI DAYA

TARIK WISATA SASTRA

Nyoman Dini Andiani, Ni Made Ary Widiastini, Nyoman Trisna Herawati

1,2

Jurusan Perhotelan (DIII), 3Jurusan Akuntansi (S1) Universitas Pendidikan Ganesha

Email: demeilovedini@gmail.com

Abstrak

Adapun tujuan penelitian ini adalah pengembangan Puri Agung Singaraja sebagai daya tarik wisata sastra, yaitu melalui identifikasi potensai utama Puri Agung serta dilanjutkan dengan mengkemas karya-karya sastra sebagai daya tarik wisata sastra. Adapun beberapa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah kurangnya pemahamanyang ada terhadap potensi yang dimiliki oleh Puri Agung Singaraja,yang mengakibatkan pengembangannya sebagai daya tarik wisata budaya belum dapat terlaksana secara optimal. Pada penelitian ini, khusus dikaji potensi utama dan potensi pendukung yang dapat dimanfaatkan oleh Puri Agung Singaraja sebagai daya tarik wisata budaya. Pada penelitian ini ditemukan karya sastra Anak Agung Pandji Tisna merupakan potensi utama yang dapat dimanfaatkan oleh puri dalam mengembangkan dirinya sebagai daya tarik wisata, yakni wisata sastra. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawan cara serta studi pustaka. Hasil penelitian menunjukan bahwa dikenalnya karya-karya sastra Anak Agung Pandji Tisna seperti Sukreni Gadis Bali, I Swasta Setahun di Bedahulu dan Ni Rawit Ceti Penjual Orang, telah membuat orang khususnya sastrawan dan pelajar tertarik untuk mempelajarinya. Sehingga dengan demikian, konsumen yang berkunjung ke puri tidak saja wisatawan namun juga para akademisi yang ingin mempelajari sastra khususnya karya sastra yang diwariskan oleh raja Buleleng terakhir yakni Anak Agung Pandji Tisna. Adapum luaran pada penelitian ini selain potensi utama dan potensi pendukung yang telah di identifikasi juga menghasilkan brosur yang memuat berbagai potensi Puri Agung Singaraja yang unik, khususnya karya-karya sastra yang telah dikenal luas. Dengan demikian diharapkan melalui penelitian ini, pengembangan Puri Agung Singaraja sebagai daya tarik wisata sastra yang memuat unsur budaya dapat berjalan secara optimal.

Kata Kunci: Puri Agung Singaraja, daya tarik wisata, sastra, Anak Agung Pandji Tisna

Abstract

Puri Agung Singaraja was the regency of Buleleng administration during the royal era. Nowadays the castle has been developed as one of the cultural tourist attraction in Buleleng regency. However, the castle development as a cultural tourist attraction cannot be optimally implemented because of the lack aware of the potential owned by Puri Agung Singaraja. This research specifically examined the major potential and supporting potential that can be exploited by Puri Agung Singaraja as a cultural tourist attraction. A literature from Anak Agung Panji Tisna was found as a major potential that can be utilized by the castle in developing itself as a tourist attraction, the tourist literature. Famous literary works of Anak Agung Panji Tisna such as Sukreni Gadis Bali, I Swasta Setahun di Bedahulu and Ni Rawit Ceti Penjual Orang, has made people especially writers and students interested in learning it. This condition can be used as an opportunity for Puri Agung Singaraja to develop itself as a literary tourist attraction by gathering the literary works that can be used to attract tourists. Thus, people who visit the castle are not only tourists but also academics who want to study literature, especially literature that are passed by the last king of Buleleng, Anak Agung Pandji Tisna. This research also developed a brochure that contains a unique variety of Puri Agung Singaraja potential, specifically the works of literature that has been widely known. It is hoped that through this research, the development of Puri Agung Singaraja as a cultural tourist attraction may be optimized.

Keywords: Puri Agung Singaraja, tourist attraction, literature, Anak Agung Pandji Tisna

PENDAHULUAN

Puri Agung Singaraja secara eksplisit mengembangkan dirinya sebagai daya tarik wisata pada tahun 2006 setelah dilakukan renovasi puri pada tahun 2004 atas dana yang diterima oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, pelebon raja terakhir (Anak Agung Panji Tisna) pada tahun 2005 serta dijadikannya Puri Agung

Singaraja sebagai tempat pertemuan para raja di Indonesia tahun 2005. Terbukanya Puri Agung Singaraja sebagai tempat tujuan wisata di kabupaten Buleleng tidak lepas dari aplikasi teori fungsionalisme struktural. Meminjam gagasan Talcot Parson tentang fungsionalisme struktural, dapat dipahami bahwa Puri Agung Singaraja sebagai suatu sistem sosial akan melakukan berbagai perubahan untuk mempertahankan dirinya

(2)

(Wirawan, 2012:26), yakni menjadikan dirinya sebagai ruang terbuka bagi wisatawan. Dalam hal ini Puri Agung Singaraja juga memerlukan masukan finansial dengan tujuan agar bisa bertahan bahkan eksis dibandingkan dengan puri-puri lainnya yang ada di daerah tersebut. Meskipun menghadapi berbagai permasalahan baik internal maupun eksternal, namun Puri Agung Singaraja hingga saat ini masih tetap ada dan dapat dikunjungi oleh siapapun khususnya wisatawan.

Puri Agung Singaraja yang berlokasi cukup jauh dari pusat kunjungan wisatawan yakni Bali Selatan, tentu harus memperhatikan dengan baik potensi atau modal budaya yang dimilikinya untuk dikemas dan dikembangkan sebagai atraksi wisata budaya. Sebagai daya tarik wisata yang terletak di Bali Utara, Puri Agung Singaraja harus mampu memahami kebutuhan wisatawan serta trend pariwisata yang berkembang. Berbekal modal budaya yang kuat yakni sejarah puri, benda peninggalan kerajaan dan terpublikasikannya Anak Agung Panji Tisna sebagai Sastrawan Angkatan Pujangga Baru -1930, seharusnya Puri Agung Singaraja mampu memanfaatkan potensi dan modal dirinya sebagai kawasan wisata budaya yang patut dikunjungi oleh wisatawan, khususnya yang memiliki motivasi untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan suatu daerah.

Pengembangan puri sebagai tempat tujuan wisata dan media pelestarian budaya suatu daerah tentu akan memberikan berbagai manfaat atau implikasi baik sosial, ekonomi dan budaya. Meminjam gagasan Munandar (2005:2) yang menyatakan bahwa puri yang awalnya memang merupakan pusat seni dan kebudayaan, merupakan hal yang tidak dapat dibantahkan. Khusus pada Puri Agung Singaraja, potensi karya sastra yang dihasilkan oleh Anak Agung Panji Tisna sebagai raja Buleleng terakhir serta keturunannya sesungguhnya merupakan modal utama bagi pengembangan puri sebagai daya tarik wisata sastra yang mana karya novel tentang Sukreni Gadis Bali, I Swasta Setahun di Bedahulu, dan cerita lainnya dapat dikemas menjadi daya tarik wisata, bahkan konsumennya tidak hanya wisatawan namun juga siswa dan mahasiswa yang mempelajari sastra.

Karya sastra sebagai potensi utama perlu mendapat perlakuan yang khusus dalam mengemas potensi tersebut menjadi

peluang sekaligus kekuatan bagi pengembangan Puri Agung Singaraja sebagai tempat tujuan wisata. Karya sastra sebagai keunggulan puri merupakan aset yang patut dipertahankan sekaligus dilestarikan. Dipertahankan oleh pihak puri, sehingga keturunan puri patut memahami isi karya tersebut yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan serta memberikan ruang khusus bagi karya-karya tersebut. Sedangkan dilestarikan, pihak puri dapat mengemas potensi ini menjadi wisata sastra yakni menjadikan Puri Agung Singaraja sebagai media pembelajaran tentang sastra, khususnya novel dan berbagai cerita yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Tulisan ini, khusus memaparkan tentang potensi sastra sebagai potensi utama dalam mengembangan puri menjadi tempat tujuan wisata, yakni wisata sastra.

METODE

Tulisan ini menjelaskan tentang pengembangan Puri Agung singaraja sebagai tempat tujuan bagi wisatawan atau konsumen umum yang ingin belajar tentang sastra khususnya novel atau cerita yang memiliki nilai-nilai kehidupan. Pada penelitian ini dilakukan wawancara mendalam terhadap pihak puri serta berbagai pihak yang terkait, dan studi pustaka untuk memahami potensi puri serta strategi yang dapat ditempuh oleh Puri Agung Singaraja untuk menjadikan dirinya sebagai tempat tujuan wisata. Data yang dperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif dan disajikan dengan cara informal dalam bentuk deskriptif – naratif.

PEMBAHASAN

RASIONAL PURI AGUNG SINGARAJA MEMBUKA DIRI SEBAGAI DAYA TARIK WISATA

Puri sebagai sistem sosial tidak bisa melepaskan dirinya dari ciri khas sistem sosial (Ritzer, 2012) yang menjelaskan bahwa sistem mempunyai properti aturan dan saling ketergantungan, sistem akan berusaha mengarahkan dirinya kearah keseimbangan, dan sistem cenderung memelihara diri dan mengubah sistem dari dalam. Memahami hal tersebut, maka jelas dapat dipahami alasan puri mengubah dirinya menjadi ruang publik yang dalam hal ini adalah sebagai tempat tujuan wisata yang menyuguhkan atraksi berupa unsur-unsur kebudayaan. Hal ini tidak lepas dari manfaat yang akan diharapkan tercapai yakni manfaat ekonomis, sosial dan budaya.

(3)

Dalam sistem sosial, individu menduduki suatu tempat (status) dan bertindak sesuai dengan norma dan aturan (Wirawan, 2012:51), maka dalam tindakannya puri senantiasa memperhatikan stratifikasi sosial yang berlaku (Wirawan, 2012:53) sehingga puri tetap berada pada posisi atas sekalipun telah mengubah dirinya menjadi ruang publik. Untuk mencapai tujuannya yakni menjadi media pelestarian budaya Bali bahkan menjadi pusat kebudayaan suatu daerah, puri pun menerapkan teori AGIL yang dikemukakan Parsons dengan cermat, dimana dalam integration puri senantiasa melakukan koordinasi atau kesesuaian bagian-bagian dari sistem sehingga seluruhnya menjadi fungsional (Wirawan, 2012:26).

Berubahnya sistem kepemerintahan di Indonesia yang menjadi negara republik, secara langsung telah mengambil alih kekuasaan para raja-raja termasuk di Bali sebagai pemimpin rakyat. Kekuasaan puri yang dipersempit lagi setelah adanya land reform yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Kalo, 2004), pada akhirnya juga memengaruhi jumlah pendapatan yang diperoleh puri setiap periodenya untuk mengumpulkan kekayaan karena lahan sebagian besar diambil oleh negara dan setiap masyarakat diberikan hak dengan jumlah tertentu. Hilangnya otoritas puri dan berkurangnya lahan yang dikuasai oleh puri. mengakibatkan keuangan puri pun mengalami penurunan. Namun kebutuhan hidup yang tetap bahkan bertambah, membuat pihak puri harus jeli dan cermat melihat peluang untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan. Menjadikan puri dan

palebahan yang ada di dalamnya sebagai

tempat bagi wisatawan pun menjadi pilihan (Widiastini, 2008). Puri harus melakukan banyak perubahan dalam dirinya apabila ia ingin tetap bisa bertahan bahkan eksis, sehingga menjadikan dirinya sebagai daya tarik wisata pun menjadi pilihan yang tepat terlebih di dukung dengan potensi sumber daya manusia dan sumber daya budaya yang telah dimilikinya.

Puri dalam mengembangkan dirinya sebagai daya tarik wisata bahkan menjadi media pelestarian seni budaya melakukan berbagai analisis, mulai dari memahami potensi yang dimiliki puri, melakukan analisa terhadap kebutuhan pasar yang dalam hal ini adalah wisatawan dan melakukan manajemen pengelolaan terhadap sumber daya yang tersedia dengan baik. Dengan melakukan riset kualitatif untuk memahami kebutuhan tindakan dan perilaku konsumen

(wisatawan) dan membeli dan mengkonsumsi produk (Suprapti, 2010:22), pengelola puri bisa tahu apa yang bisa dikembangkan guna mendapatkan masukan finansial baik bagi dirinya maupun masyarakat yang diajaknya bekerjasama. Sehingga dengan melakukannya secara rinci, maka manfaat ekonomis, sosial dan budaya pun dapat dihasilkan.

Puri ketika menjadikan dirinya sebagai tempat tujuan wisata, selain mempertahkan segala sesuatu yang telah dimiliki di dalamnya, juga memberikan peluang bagi kesenian yang ada di sekitarnya untuk bertahan dan berkembang. Hal yang paling banyak ditemukan adalah adanya pementasan seni tari dan seni musik di areal puri pada waktu-waktu tertentu. Dengan demikian selain dapat menghibur wisatawan yang berkunjung juga memberikan manfaat berupa masukan finansial bagi kelompok atau sekaa

kesenian tersebut, sehingga kesenian-kesenian yang ada dapat dipertahan hingga saat ini. Meminjam pemikiran Marx (Suyatno, 2013:17-22) tentang modal, dalam hal ini puri dipercaya sebagai pihak yang dapat membantu masyarakat untuk melestarikan seni budayanya sekaligus mendapatkan manfaat ekonomis dari tampil sebagai penari di puri. Dengan demikian pengembangan puri sebagai destinasi wisata budaya tidak semata-mata hanya mampu memberikan kontribusi positip bagi dirinya sendiri, namun juga mampu memberikan manfaat ekonomi, sosial dan budaya terhadap lingkungan masyarakat yang ada disekitarnya.

STRATEGI PENGEMBANGAN PURI AGUNG SINGARAJA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA

Kode Etik Pariwisata Dunia pasal 4 ayat (2) mennyebutkan bahwa kegiatan dan kebijakan pariwisata wajib diarahkan dalam rangka penghormatan terhadap warisan kekayaan seni, arkeologi, dan budaya yang harus dilindungi dan diserahkan kepasa generasi penerus (Prasiasa,2013:52). Puri Puri Agung Singaraja memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata budaya. Untuk memahami model pengembangan puri sebagai daya tarik wisata budaya maka pada penelitian ini beberapa aspek yakni : (1) potensi yang dimiliki oleh puri dan lingkungan sekitarnya; (2) manajemen pengeloaan puri yang meliputi struktur kerja, pemanfaatan sumber daya yang dimiliki, operasional dan pengelolaan keuangan; (3) sistem informasi

(4)

dan pemasaran. Tiga hal ini dianggap penting untuk dikaji dengan dasar pemikiran bahwa puri dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata apabila puri didukung oleh pihak puri, pemerintah, pelaku pariwisata dan lingkungan sekitar puri. Berdasarkan temuan di lapangan, selain mengalami masalah internal juga kurang mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah daerah. Minimnya dana dan kurang pahamnya sistem jaringan puri terhadap pihak yang bisa diajak kerjasama dalam mengembangkan puri sebagai daya tarik wisata budaya, menyebabkan Puri Agung Singaraja kurang berkembang hingga saat ini.

Puri Agung Singaraja yang letaknya sangat strategis yakni dilalui oleh wisatawan yang datang ke Buleleng melalui pintu selatan, seharusnya dapat menjadi objek yang selalu dikunjungi oleh setiap wisatawan. Menurunnya aktivitas paket city tour yang sempat berjalan baik di tahun 2006 menyebabkan puri semakin dilupakan, padahal di depan puri telah jelas terdapat plang yang menyatakan bahwa puri adalah salah satu daya tarik wisata di kabupaten Buleleng. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor yakni kurangnya daya tarik wisata yang disuguhkan pihak puri kepada konsumen. Kurangnya daya tarik wisata tersebut disebabkan karena pihak puri kurang memahami potensi yang dimilikinya, sehingga perlu dilakukan komunikasi dengan berbagai pihak yang mampu memberikan sumbang pemikiran dalam mengembangkan Puri Agung Singaraja sebagai daya tarik wisata.

Puri dalam mengembangkan dirinya sebagai daya tarik wisata budaya harus mampu memenuhi kebutuhan wisatawan berupa atraksi wisata yang menarik.Untuk itu, perlu adanya pemanfaatan dan pengemasan modal-modal budaya yang dimiliki oleh puri untuk bisa menjadikan dirinya sebagai daya tarik wisata di Kabupaten Buleleng khususnya dan Bali umumnya. Dalam mengemas potensi yang dimiliki pihak puri harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Bentuk model pengembangan puri dapat diperlihatkan pada model berikut.

Bagan 1. Model Pengembangan Puri Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya

Bagan 1 diatas, dapat dijelaskan bahwa pihak puri hendaknya melakukan komunikasi dengan berbagai pihak yang mampu membantu pengembangan puri sebagai daya tarik wisata di Kabupaten Buleleng, sehingga modal-modal yang dimiliki puri dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mengembangkan puri sebagai daya tarik wisata. Pada konteks ini, peninggalan Anak Agung Pandji Tisna sebagai raja Buleleng terakhir sesungguhnya merupakan potensi utama puri dalam menjadikan dirinya sebagai tempat yang patut untuk dikunjungi oleh wisatawan. Berbagai karya sastra yang dikenal hingga mancanegara, merupakan modal besar yang dapat dimanfaatkan oleh pihak puri untuk memperkenalkan Puri Agung Singaraja sebagai daya tarik wisata edukasi sastra.

SASTRA DAN SENI POTENSI UTAMA PURI SEBAGAI DAYA TARIK WIISATA

Anak Agung Pandji Tisna, sosok yang berperan penting dalam duni pendidikan dan seni yang berkembang di Kabupaten Buleleng. Berbagai Karya Sastra pun dilahirkannya dan membuat nama Buleleng dikenal hingga ke mancanegara. Sebuah prestasi yang mengagumkan. Menjadi pribadi yang cerdas tidak lepas dari pendidikan dan pergaulan yang ditekuni oleh Anak Agung Pandji Tisna, sehingga meskipun beliau tidak tamat di MULO (setara dengan Sekolah Menengah Pertama) berbagai karya dapat dihasilkan dengan baik. Mampunya Anak Agung Pandji Tisna menghasilkan karya-karya yang baik, tidak lepas dari kemampuannya dalam memahami berbagai bahasa sehingga memudahkannya memperoleh berbagai informasi baik dari media cetak dan eletronik yang pada saat itu banyak menggunakan bahasa asing. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gorda (2006: 7) sebagai berikut:

“Meskipun ia tidak tamat di MULO Batavia, namun banyak pengalaman yang sangat penting dan tinggi

(5)

nilainya yang diperoleh selama mengikuti pendidikan. Di Lembaga pendidikan tersebutlah, Pandji Tisna remaja bergaul dengan berbagai kalangan remaja priyayi dan orang-orang asing terutama Belanda di samping bangsa Eropa lainnya. Suasana pergaulan yang demikian itu merupakan suasana yang sangat kondusif bagi Pandji Tisna untuk menekuni selain bahasa Belanda, juga bahasa Inggris, Jerman, dan bahasa Perancis (Gorda, 2006: 7)” Berdasarkan kutipan di atas, maka tidak mengerankan jika Anak Agung Pandji Tisna mampu melahirkan karya-karya sastra yang dikenal hingga ke mancanegara, bahkan sebagai beliau dimasukkan sebagai penulis Pujangga Baru. Wawasan yang luas tentang kehidupan sosial, budaya, ekonomi hingga politik telah membuat Anak Agung Pandji Tisna mampu menulis berbagai novel yang fenomenal, dan menarik untuk dibaca hingga saat ini. Karya-karya sastra yang telah dihasilkan oleh Anak Agung Pandji Tisna sebagai raja Buleleng terakhir inilah yang merupakan potensi utama bagi Puri Agung Singaraja dalam mengembangkan dirinya sebagai daya tarik wisata.

Sukreni Gadis Bali, Ni Rawit Ceti Penjual Orang dan I Swasta Setahun di Bedahulu, Novel Peninggalan Anak Agung Pandji Tisna yang mendunia

Sangat pantas jika Anak Agung Pandji Tisna mendapat gelar sastrawan Pujangga Baru. Karena kemampuannya yang luar biasa beliau telah berhasil melahirkan tiga karya yang dikenal sejak tahun 1930-an hingga saat ini, bahkan novelnya masih sering dipelajari oleh berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Karya sastra yang diwariskan oleh Anak Agung Pandji Tisna sesungguhnya merupakan potensi utama dalam pengembangan puri sebagai daya tarik wisata budaya dengan mengkhususnya diri pada pengembangan daya tarik wisata sastra. Dalam hal ini, wisata sastra yang dimaksud adalah menjadikan puri sebagai media pembelajaran sastra yang unik dengan memadukan kegiatan pariwisata di dalamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Ryan dalam Pitana dan Gayatri (2005: 67) yang mengemukakan bahwa salah atu faktor pendorong bagi seseorang untuk melakukan perjalanan wisata adalah

educational opportunity yang bertujuan

untuk mempelajari sesuatu atau seseorang.

Pada konteks ini, Anak Agung Pandji Tisna merupakan sosok yang patut dipelajari baik kisah perjuangannya menjadi seorang sastrawan maupun karya sastra yang dipelajarinya.

Pengembangan puri sebagai daya tarik wisata sastra dan dijadikan sebagai media pembelajaran tentang sastra khususnya bertujuan untuk mengulas karya-karya Anak Agung Pandji Tisna maupun tulisan keluarga puri lainnya yang dianggap menarik untuk dipelajari. Hal ini sesuai dengan gagasan Bourdieu yang menekankan pentingnya ranah dan modal dalam melakukan suatu praktik(Takwin, 2009: xx – xxi). Puri Agung Singaraja sebagai ranah yang tepat dijadikan sebagai media pembelajaran sastra karena Anak Agung Pandji Tisna sebagai sastrawan pertama di Bali merupakan raja Buleleng yang dahulu tinggal di puri tersebut, sedangkan karya-karya sastranya merupakan modal intelektual sekaligus modal budaya yang dapat dijadikan daya tarik wisata.

Tradisi Magoak-goakan, Representasi Perjuangan Raja Buleleng Pertama “Ki Barak Panji”

Magoak-goakan adalah seni permainan burung gagak, sebuah permainan yang dipolitisasi oleh Ki Barak Panji yang ingin memekarkan daerah kekuasaannya. Di Desa Panji, Ki Barak Panji membentuk pasukan yang dikenal dengan sebutan Truna Goak dengan anggota sebanyak 2000 orang. Pasukan yang terdiri dari perwira pilihan ini dipimpin oleh Ki Gusti Tamblang Sampun dengan wakil pimpinan Ki Gusti Made Batan. Dengan bantuan Truna Goak, dan putra-putra kerajaan, Ki Barak Panji berhasil menguasai Kerajaan Blambangan. Sehingga dengan melihat tarian Magoak-goakan tersebut, maka akan teringat pula Raja Buleleng pertama yakni Ida Anak Agung Anglurah Pandji Sakti yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Barak Pandji Sakti.

Supada (2013) menjelaskan sejarah Tradisi Magoak-goakan yang dimainkan pada saat ngembak geni (sehari setelah perayaan hari raya Nyepi) yang di lakukan oleh masyarakat Desa Panji sebagai berikut: “Tradisi Magoak-goakan berasal dari Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Permainan ini diperkirakan sudah ada pada masa pemerintahan Ki

(6)

Gusti Ngurah Panji Sakti di Buleleng. Konon kemunculan permainan tradisional ini dilatarbelakangi persoalan politik berkaitan dengan kekuasaan raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti ke Blambangan Jawa Timur. Diceritakan Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti hendak mau menyerang ke Blambangan, pada saat itulah Ki Tamblang Sampun mendapat perintah dari I Gusti Anglurah Panji untuk memanggil seluruh anggota laskar Taruna Goak untuk berkumpul di halaman Puri Panji. Acara dimuali dengan upacara ritual dan disusul pementasan tarian “Baris Goak” yang ditarikan oleh 20 orang anggota pasukan. Setelah itu dimulailah permainan

“Magoak-goakan” yaitu permaionan

“Madangdang-dangdangan” , yaitu permainan saling isi mengisi keinginan sadrasa antara anggota dalam permainan (Supada, 2013:hal 2-3)”

Dengan demikian, tradisi tarian

magoak-goakan merupakan seni budaya yang

diwariskan oleh pihak Puri Agung Singaraja yakni raja Buleleng pertama, yang tentunya juga merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata budaya. Beberapa hasil karya sastra tersebut bisa dikemas sebagai daya Tarik wisata sastra yang menarik bagi pangsa pasar minat khusus. Pengemasan produk karya sastra tersebut bias dituangkan dalam media promosi yaitu brosur.

PENUTUP

Puri Agung Singaraja sebagai salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Buleleng sesungguhnya memiliki potensi budaya yang besar, khas dan unik. Potensi tersebut yakni sastra dan seni budaya yang dimiliki oleh generasi puri terdahulu yang diwariskan tidak saja kepada pihak puri namun juga kepada masyarakat Buleleng. Karya sastra dan permainan

Magoak-goakan yang dihasilkan atas kreatifitas raja

Buleleng dan keturunannya sesungguhnya dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata yang unik dan tidak tersaingi oleh puri lainnya di Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Gorda, I Gusti Ngurah. 2006. Biografi Anak

Agung Pandji Tisna Raja Buleleng, Budayawan, Pendidik dan Pelopor

Pariwisata. Denpasar: Astabrata

Bali

Kalo, Syafrudin. 2004. Pencetus Timbulnya

Sengketa Pertanahan Antara

Masyarakat Versus Perkebunan di

Sumatra Timur Dari Jaman

Kolonial Sampai Reformasi.

Fakultas Hukum Pidana. Fakultas Hukum. Universitas Sumatra Utara. USU Digital Library.

Munandar, A.A. 2005. Istana Dewata Pulau

Dewata Makna Puri Bali Ke 14 –

19. Jakarta: Komunitas Bambu

Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005.

Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta:Andi

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari

Sosiologi Klasik sampai

Perkembangan Terakhir

Postmodern. ( Saut Pasaribu, Rh.

Widada, Eka Adunigraha Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Supada, I Nyoman Buda. Tradisi

Magoak-goakan di Desa Pakraman Panji,

Kecamatan Sukasada, kabupaten

Buleleng (Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna). Tesis. Institut Hindu Dharma

Negeri Denpasar

Takwin, Bagus. 2009. “Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-Usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner Dalam Ilmu Sosial”. Dalam Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Cris Wilkes. (Habitus X

Modal) + Ranah = Praktik

Pengantar Paling Komprehensif

Kepada Pemikiran Pierre

Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.

Hal xx-xxi

Wirawan, I.B. 2012. Teori-Teori Sosial

Dalam Tiga Paradigma Fakta Sosial, Definisi Sosial & Perilaku Sosial. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Internet:

Hendri Pradiyanto. 2011. Analisis Novel “Sukreni Gadis Bali”.

http://imtciputat.wordpress.com/2011/0 4/24/analisis-novel-sukreni-gadis-bali/

Artawan , Gde. 2008. “Yang Feminis dan Humanis

Mengenang Seabad A.A. Panji Tisna”.

http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/ 2008/2/17/ce2.html.,

Referensi

Dokumen terkait

“Perbandingan Rerata Pengetahuan Guru Dan Murid Sekolah Menengah Atas Dan Kejuruan Tentang Kekerasan Anak Di Sekolah Sebelum Dan Setelah Seminar Pemberdayaan Usaha

36 1=jamak benar, alasan salah 0=tidak menjawab/salah disertai alasan jawaban 14 C3 Menentukan peran manusia dalam mengatasi pencemaran lingkungan 3 (3=jamak benar dan alasan

Surat tersebut dilengkapi dengan peta skala 1 : 100.000 yang telah ditandatangani oleh petugas/pejabat yang berwenang.. Terdapat Surat Keputusan Bupati

Upaya dan langkah-langkah peran ASEAN dalam penanganan konflik laut China Selatan terkait perebutan kepulauan Spartly dan Paracel sudah dilakukan oleh ASEAN denagn

Dapat disimpulkan bahwa jumlah ALTB pada peternakan ayam pedaging di Desa Mengesta Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan di tempat minum ayam sebanyak 389,78

“Bahwasanya Syariat Islam itu baik dan sangat baik bagi pribadi saya sendiri, kenapa, karena keterkaitannya dengan agama Buddha, ajaran Buddha itu mengatakan bahwasanya

dibagikan guru. Siswa belajar membaca kartu yang berisi tanda waqaf dan wasal. Setiap siswa dapat memberi komentar kartu yang telah di terima. Guru bertanya tentang kesulitan

(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemberlakuan SNI Ampul Gelas dan Vial Gelas untuk Obat Suntik secara Wajib kepada Pelaku