• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BATANG LADA MENGHADAPI ISU PEMBATASAN RESIDU PESTISIDA 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BATANG LADA MENGHADAPI ISU PEMBATASAN RESIDU PESTISIDA 1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BATANG

LADA MENGHADAPI ISU PEMBATASAN

RESIDU PESTISIDA

1)

Deciyanto Soetopo

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Jalan Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111, Telp. (0251) 8313082, 836194; Faks. (0251) 8336194 e-mail: puslitbangbun@litbang.deptan.go.id

Diajukan: 27 Oktober 2011; Disetujui: 24 Januari 2012

1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 6 September 2010

di Bogor.

ABSTRAK

Lampong Black Pepper dan Muntok White Pepper merupakan dua trademark unggulan ekspor lada Indonesia yang sudah dikenal sejak zaman Belanda. Komoditas ini setiap tahun mampu menghasilkan devisa negara sekitar satu triliun rupiah. Namun, daya saing produk ekspor pertanian sangat bergantung pada penanganan negara produsen terhadap isu pasar internasional, seperti batas maksimum residu pestisida pada produk ekspor pertanian. Penanganan isu tersebut berkaitan dengan pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida kimiawi. Pengelolaan terhadap penggerek batang lada (PBL) Lophobaris piperis Marsh. merupakan salah satu yang menjadi perhatian karena tingginya intensitas dan luasnya serangan hama PBL, dan masih adanya ketergantungan petani terhadap penggunaan insektisida. Teknologi pengendalian PBL untuk menekan penggunaan insektisida kimiawi telah dikembangkan, meliputi penggunaan varietas toleran serta pengendalian secara mekanis dan fisik, kultur teknis, hayati, dan pengendalian secara kimiawi yang ramah lingkungan. Penerapan teknologi berbasis pada aras pengambilan keputusan, meliputi pola fluktuasi populasi hama, ambang kendali hama, dan sistem kepakaran pengendalian PBL dengan pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dampak positif tidak langsung dari pengendalian PBL dengan basis tersebut, baik dari sisi kesehatan maupun lingkungan, merupakan indikator keberlanjutan. Hal ini tercermin pada terpeliharanya flora dan fauna pada ekosistem pertanaman lada, termasuk musuh alami hama, dan terhindarnya konsumen dan produsen lada dari bahaya penggunaan insektisida. Teknologi pengendalian PBL harus secara konsisten disertai dengan: (1) pemantauan dan penekanan penggunaan insektisida; (2) pemanfaatan aras pengambilan keputusan; (3) penerapan PHT; dan (4) secara terus-menerus menyampaikan pemahaman pengendalian hama PBL yang ramah lingkungan kepada pihak terkait.

Kata kunci: Lada, Lophobaris piperis, pengendalian hama terpadu, batas maksimum residu

ABSTRACT

Pepper Stemborer Control Facing an Issue of Maximum Residue Limits of Pesticide

Lampong Black Pepper and Muntok White Pepper had been famous trademark of Indonesian pepper since Dutch colonial era. These product exports gained approximately US$100 million/year. However,

(2)

competitiveness of the products depends on how to face the actual issue in the international market, such as maximum residue limits (MRLs) of pesticide on agricultural export products which are related with pest and disease control by chemical pesticides. Pepper stemborer (Lophobaris piperis Marsh.) control obtained attention due to its high intensity and broad infestation in Indonesia pepper plantation, as well as high frequency of insecticide use to control pest by farmers. Technology for stemborer control has already been developed to fullfill consumers need, those are tolerant variety, mechanical and physical control, cultivation, biocontrol, and ecofriendly treatment of chemical insecticide. The implementations are based on control treatment determination system, include pepper stemborer fluctuation population model, pepper stemborer control threshold, and system of expert pepper stemborer control, directed by integrated pest management (IPM) approach. Indirectly benefit of the pepper stemborer control technologies will affect good pepper ecosystem (flora and fauna) and community health (producers and consumers) as sustainable indicators. The technologies should be implemented consistently by (1) monitoring and reducing insecticide use; (2) using system of control treatment determination; (3) IPM implementation and (4) continuously giving ecofriendly pepper stemborer control direction to every people to whom related with.

Keywords: Pepper, Lophobaris piperis, integrated pest management, maximum residue limits

PENDAHULUAN

Lada (Piper nigrum Linn.) merupakan komoditas ekspor tradisional yang 95% ditanam dengan sistem perkebunan rakyat, dengan total area lebih dari 120.000 ha. Sentra utama produksi lada meliputi Lampung, Bangka, dan Kalimantan Timur (Deptan 2008). Lampong Black Pepper dan Muntok White Pepper merupakan dua

trademark unggulan lada Indonesia.

Komoditas ini menghasilkan devisa ne-gara sekitar US$100 juta/tahun. Sebagai penghasil lada dunia, Indonesia pada Perang Dunia II menduduki peringkat pertama, tetapi saat ini tersaingi oleh Vietnam, negara produsen baru yang produksi ladanya dua kali produksi Indonesia (IPC 2008).

Permasalahan yang dihadapi usaha tani lada di Indonesia cukup klasik, terutama rendahnya produktivitas, besar-nya kehilangan hasil karena hama dan penyakit, serta pendapatan yang tidak menentu karena harga lada yang sangat fluktuatif. Kehilangan hasil akibat se-rangan hama dan penyakit diperkirakan

antara 20-50% dari total hasil lada setiap tahun (Rothschild 1968; Kalshoven 1981). Upaya pengendalian hama dan pe-nyakit lada perlu mendapat perhatian, terutama oleh para pengemban kepen-tingan, karena petani masih mengandalkan pestisida kimiawi. Petani harus diberi keyakinan bahwa pestisida kimia bukan satu-satunya sarana produksi untuk menekan risiko kehilangan hasil, apalagi harga pestisida kimia semakin mahal.

Hama dan penyakit utama tanaman lada di Indonesia yaitu penggerek batang lada (Lophobaris piperis Marsh.), pengisap buah (Dasynus piperis China), perusak bunga (Diconocoris hewetti Dist), pe-nyakit busuk pangkal batang

(Phytoph-thora capsici), penyakit kuning, dan

penyakit velvet. Penggerek batang lada (PBL) dikenal sebagai hama yang memiliki daerah serangan yang luas dan dapat menyebabkan kematian tanaman (Deci-yanto 1983; Deci(Deci-yanto dan Suprapto 1996a; Ditjenbun 2005). Makalah ini menguraikan hasil penelitian pengen-dalian dan pengembangan aras keputusan pengendalian PBL, dengan harapan dapat

(3)

ikut memberikan kontribusi dalam meng-hadapi isu pembatasan residu pestisida pada produk lada.

STATUS HAMA PBL DAN ISU PEMBATASAN RESIDU PESTISIDA

Pemahaman tentang hama PBL dan re-sidu pestisida diperlukan dalam pengen-dalian yang ramah lingkungan. Penelitian terhadap PBL dimulai oleh peneliti Belanda yang melakukan deskripsi dan mempela-jari bioekologi dan perilaku PBL (Marshall 1927; van der Vecht 1940; Kalshoven 1981).

Hama PBL tergolong ke dalam ordo Coleoptera. Siklus hidup hama ini dimulai dari stadia telur, larva, pupa, dan dewasa. Serangga dewasa mudah dikenali karena memiliki alat pada mulutnya yang meman-jang seperti belalai. Larvanya hidup dalam jaringan batang tanaman. Telur PBL biasanya diletakkan pada batas ruas tanaman atau pada bekas pangkasan batang atau cabang lada. Serangga ini mampu melengkapi siklus hidupnya pada potongan batang atau cabang tanaman lada (Deciyanto et al. 1993; Taufiq et al. 1997).

Berbagai stadium PBL selalu dijumpai di lapangan dengan proporsi yang berbeda. Serangan larva umumnya terjadi pada awal musim hujan dan populasi hama sangat rendah pada musim kemarau (Deciyanto dan Suprapto 1996a). Hama ini hidup dan berkembang sangat baik pada pertanaman lada yang ditanam dengan menggunakan tanaman penegak yang percabangannya jarang dipangkas (Asnawi et al. 1988). PBL umumnya menyerang spesies tanaman dari keluarga Piperaceae, seperti lada, sirih, dan cabai jawa.

Kerusakan Akibat Serangan PBL

Hama PBL terdapat hampir di seluruh daerah lada di Indonesia, dengan serang-an tertinggi di Kalimserang-antserang-an Timur dserang-an Lampung (Deciyanto 1983; Deciyanto dan Suprapto 1996a; Ditjenbun 2005), dan juga di Serawak, Malaysia (Kueh 1979). PBL dapat menyerang tanaman sejak di pembibitan hingga tanaman produktif. Serangga dewasa makan dan merusak bunga, buah, batang, dan daun muda. Larva menggerek batang dan cabang, yang menyebabkan kematian tanaman di bagian atas gerekan. Serangan larva pada satu batang utama dapat mengakibatkan ke-hilangan hasil 43%, sedangkan serangan lanjut pada batang utama menyebabkan kematian tanaman (Deciyanto et al. 1986).

Isu Pembatasan Residu Pestisida

Bahaya residu pestisida pada bahan pangan, termasuk lada, semakin menjadi perhatian dunia. Terlebih lada merupakan bagian penting dari menu sebagian masakan di dunia. Residu pestisida ber-sifat toksik dan dapat berakumulasi dalam jaringan organ tubuh manusia, sehingga konsentrasinya pada tingkat tertentu pada bahan pangan dapat berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup (Oreopoulou et al. 2009).

Komisi Kesehatan dan Perlindungan Konsumen Eropa pada tahun 2005 telah menerbitkan peraturan batas maksimum residu pestisida pada berbagai produk pertanian, yang diberlakukan pada tahun 2008 (European Commission 2008). Per-aturan tersebut hingga kini terus menjadi isu dalam berbagai pertemuan lada inter-nasional (Jahn 1995; IPC 1996; Paulus 2005).

(4)

Perhatian Indonesia terhadap bahaya pestisida tercermin dari terbitnya Inpres No. 7/1973 tentang Peraturan Perizinan Penggunaan, Pendistribusian, dan Pe-nyimpanan Pestisida untuk Pertanian dan Kesehatan. Selain itu, Inpres No. 3/1986 juga melarang peredaran 57 jenis pestisida kimiawi. Pada tahun 1976 pemerintah meluncurkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada komoditas pertanian, meskipun pada lada baru diterapkan pada tahun 1998 (Deciyanto et al. 1998, 1999a; Trisawa dan Laba 2005).

Dalam mengantisipasi isu pembatasan residu pestisida, Badan Litbang Pertanian telah melakukan pemantauan status residu insektisida pada produk lada di Bangka (Deciyanto et al. 1999a, 2000; Wiratno 2008). Petani lada di Bangka umumnya membudidayakan lada secara intensif dengan input tinggi dan menggunakan penegak mati, seperti di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Di Bangka, 86% petani lada secara rutin menggunakan insektisida kimiawi untuk mengendalikan hama utama, 92% melakukannya dengan cara menyemprot, tetapi 77% petani kurang memahami bahaya insektisida (Wiratno 2008). Terdapat enam bahan aktif insektisida yang beredar di Bangka, yaitu benomil, karbofuran, fention, fenitrotion, permetrin, dan deltametrin. Namun, sejauh ini hasil laboratorium tidak mengindi-kasikan adanya residu insektisida pada produk lada yang melebihi batas ambang standar FAO (Sivadasan 1999).

TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA PBL

Komponen teknologi pengendalian PBL yang tersedia saat ini adalah: (1) peng-gunaan varietas toleran; (2) pengendalian

secara mekanis dan fisik; (3) kultur teknis; (4) pengendalian secara hayati; dan (5) pengendalian secara kimiawi (Mustika et

al. 1997; Deciyanto 2005; Trisawa dan

Laba 2005).

Pengendalian dengan Varietas Toleran

Melalui seleksi telah diperoleh varietas lada toleran PBL, yakni Natar-1 yang juga berproduktivitas tinggi (Deciyanto et al. 1984; Deciyanto 1992). Varietas ini secara genetis mampu bertahan dari serangan hama tanpa melewati batas ambang ekonomi. Natar 1 telah banyak ditanam petani di daerah pengembangan lada yang mengalami serangan berat PBL, seperti Kabupaten Lampung Utara. Bahkan varietas ini juga telah diuji untuk me-ngendalikan serangan PBL di Malaysia (Anuar 1993).

Pengendalian secara Mekanis dan Fisik

Berdasarkan perilaku dan biologi hama, pengendalian PBL dapat dilakukan dengan memotong dan memusnahkan bagian tanaman lada terserang larva. Potongan tersebut harus dibakar agar larva tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya (Deciyanto 2005). Selain itu, serangga PBL dewasa dapat dengan mudah ditangkap dan dibunuh karena perilakunya yang seolah-olah mati ketika terganggu. Secara tradisional, pengasapan pada pertanaman lada juga dipercaya mampu mencegah serangan PBL. Teknik ini layak terus dikembangkan sebagai kearifan lokal. Pelaksanaan pengendalian secara meka-nis dan fisik relatif mudah, dan dapat

(5)

dilakukan bersamaan dengan aktivitas pemeliharaan tanaman.

Pengendalian secara Budi Daya

Pengaturan kultur teknis yang secara tidak langsung berperan dalam pengendalian hama PBL adalah pemangkasan tanaman penegak lada untuk memperoleh 75% intensitas cahaya. Cara ini selain dapat mengoptimalkan produksi lada, juga berpengaruh negatif bagi kehidupan serangga PBL dewasa yang tidak menyukai sinar matahari langsung (Asnawi et al. 1988; Taufiq et al. 1997). Pemangkasan bunga lada pada masa pertumbuhan vegetatif dan panen serentak yang dapat mengurangi ketersediaan makanan bagi hama, juga merupakan tindakan budi daya yang penting dalam pengendalian PBL. Demikian juga pemupukan berimbang, selain meningkatkan kesehatan tanaman juga dapat mempercepat penyembuhan kembali tanaman yang terserang hama.

Pengendalian secara Hayati

Beberapa musuh alami parasitoid larva PBL telah diidentifikasi, yakni Spathius piperis,

Euderus sp., Dinarmus coimbatorensis,

dan Eupelmus curculionis (Asnawi et al. 1988; Deciyanto 1992). Pada kondisi umum di lapangan, musuh alami tersebut mampu menekan populasi PBL hingga 37% (Deciyanto dan Suprapto 1992, 1996b; Trisawa et al. 2005).

Pengembangan berbagai teknik kon-servasi parasitoid diharapkan mampu meningkatkan peran musuh alami dalam pengendalian PBL. Teknik yang telah dikembangkan adalah dengan cara pe-nyiangan terbatas, penanaman tanaman

penutup tanah Arachis pentoi, serta sis-tem tanam campuran lada-kopi (Suprapto 2000; Laba dan Trisawa 2006).

Pada kebun lada yang ditanami A.

pentoi, tingkat parasitisasi S. piperis pada

larva PBL berkisar antara 25-50% (Su-prapto dan Kasim 1989; Su(Su-prapto 2000; Laba et al. 2004). A. pentoi juga memiliki multifungsi dan sudah banyak dikem-bangkan di Lampung Utara dan Kalimantan Barat. Sementara itu, sistem tanam cam-puran lada-kopi mampu meningkatkan populasi parasitoid hama lada sampai 40% (Suprapto dan Kasim 1989; Laba dan Trisawa 2006). Ketersediaan nektar dari bunga A. pentoi dan tanaman kopi di sekitar pertanaman lada dapat membantu keberadaan, perkembangan populasi, dan aktivitas parasitoid PBL.

Penggunaan teknik konservasi tersebut secara sendiri maupun kombinasi diha-rapkan dapat meningkatkan keseimbangan hayati pada ekosistem pertanaman lada, sehingga serangan PBL dapat terkendali secara alamiah dan optimal tanpa pesti-sida. Hal ini tentu akan lebih efektif apabila dipadukan dengan teknik lain yang men-dukung, seperti pemangkasan tanaman penegak lada.

Musuh alami PBL yang lain adalah laba-laba predator, yang sarang jaringnya mampu menutupi permukaan kanopi dan melindungi buah dan bunga lada dari serangan serangga dewasa PBL (Hanafi 1993; Deciyanto et al. 1995). Oleh karena itu, upaya menekan penggunaan insek-tisida dapat dilakukan dengan memelihara peran dan keberadaan musuh alami PBL.

Penggunaan jamur sebagai pengendali hama lada juga telah diteliti (Suprapto et

al. 1991; Deciyanto et al. 1999b). Jamur

yang paling potensial sebagai pengendali PBL adalah Beauveria bassiana. Apli-kasinya pada kepadatan konidia 108/ml

(6)

menyebabkan kematian PBLdewasa sampai 50%. Formulasi B. bassiana yang lebih efektif dan efisien untuk pengendalian PBL di lapangan sedang dikembangkan. Peluang pengembangan lebih lanjut sangat terbuka, karena tersedianya koleksi isolat B. bassiana yang memadai di berbagai balai penelitian di lingkup Badan Litbang Pertanian. Pengendalian hama dengan jamur sangat prospektif pada ekosistem perkebunan, mengingat eko-sistem ini sangat stabil (Lacey et al. 2001).

Pengendalian dengan Insektisida

Penggunaan insektisida kimiawi untuk mengendalikan PBL merupakan langkah terakhir. Apabila insektisida terpaksa diperlukan, diharapkan lebih menguta-makan pemanfaatan bahan aktif alami, seperti ekstrak biji mimba, bengkuang, dan akar tuba (Deciyanto 1989). Ekstrak bengkuang 20 g/100 l dan ekstrak biji mimba 5% efektif terhadap imago PBL (Rumbaina dan Martono 1988; Deciyanto 1994). Beberapa bahan insektisida alami seperti akar tuba banyak terdapat di Bangka, Lampung, dan Kalimantan Barat (Wiratno 2008), tetapi penggunaannya masih terbatas.

Jika pengendalian PBL secara kimiawi terpaksa menjadi pilihan, hendaknya dila-kukan secara bijak dengan memanfaatkan informasi pola fluktuasi populasi dan ambang kendali PBL (Deciyanto 1989; Jahn 1995). Pilihan jenis insektisida kimiawi yang tepat juga harus memerhatikan cara kerja dan lamanya efek residu (Deciyanto dan Wiratno 1990; Deciyanto dan Siswanto 1994).

Aplikasi bahan kimia secara terbatas untuk mencegah peletakan telur PBL juga dapat dilakukan melalui pengolesan pada

luka bekas pangkasan tanaman. Penutupan luka pangkasan dengan ter dapat menekan serangan PBL sampai 65%, sedangkan pengolesan luka pangkasan dengan insektisida mampu menekan serangan 6-18% (Suprapto dan Martono 1989).

ARAS KEPUTUSAN PENGENDALIAN DAN INDIKATOR

KEBERLANJUTAN Aras Keputusan Pengendalian

Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengendalian PBL telah dikem-bangkan tiga aras keputusan, yakni: (1) penetapan pola fluktuasi populasi sebagai dasar aplikasi komponen teknologi pe-ngendalian, yang terdiri atas penggunaan varietas toleran, teknik mekanis/fisik, perlakuan budi daya, dan insektisida; (2) penetapan ambang kendali sebagai dasar pelaksanaan pengendalian; dan (3) sistem kepakaran sebagai dasar penetapan waktu dan cara pengendalian (Deciyanto et al. 1986; Deciyanto 1989, 2005).

Pola fluktuasi populasi PBL meng-gambarkan tingkat proporsi setiap stadia PBL setiap bulan dalam setahun. Teknik pengendalian yang tepat dapat ditetapkan atas dasar tingkat proporsi stadia yang menjadi prioritas untuk dikendalikan pada saat tersebut (Deciyanto 1989). Misalnya, apabila sangat diperlukan, insektisida butiran hanya digunakan pada saat proporsi stadia larva PBL tinggi, yaitu di Bangka pada bulan November dan Maret, yang tercatat sebagai awal dan akhir musim hujan. Penyemprotan insektisida atau aplikasi jamur sebaiknya hanya dilakukan pada saat proporsi serangga dewasa PBL tinggi, yakni antara Desember-Januari. Penggunaan varietas toleran,

(7)

pengenda-lian secara budi daya, dan konservasi musuh alami dapat diterapkan pada per-tanaman lada sepanjang tahun. Kom-binasi berbagai teknik yang kompatibel diharapkan mampu mengendalikan PBL secara optimal.

Ambang kendali sebagai acuan waktu pengendalian PBL secara kimiawi di-tetapkan apabila ditemukan lebih dari dua cabang buah sekunder terserang larva PBL atau ditemukan lebih dari dua serangga dewasa PBL (Deciyanto et al. 1986). Hasil penelitian menunjukkan, serangan larva pada lebih dari dua cabang buah sekunder akan diikuti oleh serangan pada satu batang utama, yang dapat menimbulkan kerusakan tanaman 44%. Pada kondisi demikian, pada satu tanaman produktif umumnya ditemukan lebih dari dua serangga dewasa PBL.

Sistem kepakaran hama adalah sistem yang digunakan sebagai alat untuk memadukan antara kualifikasi kondisi pertanaman, lingkungan, dan hama dengan komponen teknik pengendalian hama (Norton 1991). Sistem ini dikem-bangkan untuk memudahkan pihak yang berkepentingan dalam menetapkan teknik pengendalian yang diperlukan (Deciyanto 2005). Pada tanaman lada dengan sistem pertanaman ekstensif, dengan ciri input rendah, teknik pengendalian PBL yang mutlak diperlukan adalah pengaturan budi daya, pengendalian secara hayati, dan penggunaan varietas toleran.

Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

PHT identik dengan pendekatan ekologi secara komprehensif untuk mengendali-kan hama dan penyakit pertanian, yang programnya telah ditetapkan melalui

Inpres No. 3/1986 dan Peraturan Peme-rintah No. 12/1992. Pendekatan ini ditujukan untuk mendorong perhatian masyarakat terhadap kualitas lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Melalui PHT, petani diharapkan mam-pu menjadi pakar di bidangnya dan mampu mengambil keputusan yang te-pat dalam menjalankan usaha taninya (Deciyanto et al. 2000). Pembelajaran dari PHT meliputi cara praktis pengendalian hama yang tidak merusak agroekosistem. Hal ini bermanfaat bagi upaya pening-katan pengetahuan dan keterampilan petani, peningkatan sosial-ekonomi lada, peningkatan partisipasi petani melalui pembelajaran lapangan, peningkatan pengelolaan agribisnis, dan menghindari residu pestisida pada produk lada (Ditjenbun 2005).

Pada periode 1998-2005, target peme-rintah dalam pelaksanaan PHT lada meliputi: (1) 50.000 petani peserta sekolah lapang di provinsi utama penghasil lada, yakni Bangka dan Lampung; (2) 5.000 pekerja lapang; (3) 20 pelatihan bagi petugas; (4) pelatihan petani oleh petani; dan (5) promosi kebijakan (Ditjenbun 2005). Namun, efektivitas dan implemen-tasi program ini belum maksimal seperti yang diharapkan (Deciyanto et al. 1999a).

Indikator Keberlanjutan Pengendalian PBL

Pengendalian hama tanpa insektisida kimiawi merupakan usaha mengendalikan populasi dan serangan hama, dengan sasaran menekan kehilangan hasil sekali-gus mengedepankan aspek ekologi dan sosial-ekonomi petani. Dalam hal ini, produk pertanian dengan “label ekologi” menjadi sangat penting (Untung dan

(8)

Sudomo 1997). Karena itu, rendahnya populasi PBL dan tingkat kerusakan akibat serangan PBL, kecilnya kehilangan hasil, tidak adanya tingkat residu insektisida yang melebihi ambang batas ketetapan FAO, tidak ditemukannya penolakan ekspor produk karena kandungan residu insektisida, akan menjadi indikator penting keberlanjutan pengendalian hama PBL (Wikipedia 2010).

Dampak positif tidak langsung dari pengendalian PBL berbasis indikator tersebut, baik dari segi lingkungan, kesehatan maupun ekonomi, dapat men-jadi ukuran keberlanjutan (Untung dan Sudomo 1997). Hal ini dapat tercermin dari terpeliharanya flora dan fauna dalam ekosistem lada, termasuk parasitoid, predator, dan mikroba bermanfaat, serta terhindarnya masyarakat dari bahaya akibat penggunaan insektisida (Deciyanto 2005; Laba dan Trisawa 2006).

ARAH DAN STRATEGI PENGENDALIAN PBL

Mengacu pada status hama PBL dan residu pestisida, teknologi pengendalian, aras keputusan pengendalian, dan indikator keberlanjutan, sudah saatnya menen-tukan arah dan strategi pengendalian hama untuk mempertahankan daya saing produk lada Indonesia di pasar dunia.

Arah Pengendalian

Pengendalian hama yang tidak menim-bulkan residu kimiawi pada produk merupakan bagian dari proses penting yang harus menjadi prioritas dalam menghadapi pembatasan residu pestisida. Komponen utama teknologi pengendalian

hama PBL secara berkelanjutan harus diarahkan pada penggunaan varietas tahan hama PBL dan pengendalian secara hayati. Dengan kemajuan teknologi saat ini, walaupun terdapat keterbatasan sumber genetik pada tanaman lada di Indonesia, tetap terbuka kemungkinan pengembangan varietas tahan yang lebih dari sekedar toleran melalui bioteknologi.

Strategi Pengendalian

Pengendalian PBL terkait dengan isu pem-batasan residu pestisida sebagai bagian dari pengelolaan hama terpadu memer-lukan strategi: (1) pendekatan holistik dalam kerangka kesatuan ekosistem; (2) pemanfaatan dan pengintegrasian meka-nisme alami dalam proses produksi; (3) perpaduan berbagai teknologi pengenda-lian; (4) peningkatan keragaman hayati dalam ekosistem; (5) penekanan penggu-naan bahan kimia berbahaya; (6) pening-katan sumber daya manusia dan dukungan kelembagaan; (7) penerapan prinsip kemitraan yang bertanggung jawab; dan (8) dukungan penelitian dan pengem-bangan spesifik lokasi dan agroekosistem (Deciyanto et al. 2000). Penerapan pe-ngendalian PBL memerlukan konsistensi implementasi yang meliputi: (1) peman-tauan dan penekanan penggunaan pesti-sida kimiawi pada area pertanaman lada; (2) pemanfaatan aras pengambilan kepu-tusan; dan (3) penerapan PHT (Norton 1991). Strategi yang tidak kalah penting adalah secara terus-menerus memasya-rakatkan pemahaman tentang pentingnya implementasi pengendalian hama yang ramah lingkungan kepada semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam menghadapi pembatasan residu pestisida pada produk pertanian.

(9)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Berbagai teknologi pengendalian PBL berwawasan lingkungan telah dihasilkan melalui penelitian, meliputi penggunaan varietas toleran, pengendalian secara mekanis dan fisik, perlakuan budi daya, pengendalian hayati, dan pengendalian dengan insektisida. Implementasi teknik pengendalian PBL yang optimal sangat dimungkinkan melalui aras pengambilan keputusan yang telah diformulasikan ber-dasarkan pola fluktuasi populasi, ambang kendali, dan sistem kepakaran PBL. Prog-ram PHT pada tanaman lada, termasuk PBL, yang telah dicoba diimplementasi-kan pemerintah pada tahun 1999-2004 di Lampung perlu terus ditingkatkan.

Implikasi Kebijakan

Kebijakan pemerintah yang konsisten dalam program pengendalian hama lada ramah lingkungan dapat meningkatkan kepedulian petani lada terhadap ling-kungan dan kesehatan konsumen, meningkatkan kepercayaan dunia terhadap produk lada Indonesia yang memiliki

eco-labeling, dan menjaga brand image dan

daya saing lada Indonesia di pasar dunia. Percepatan penerapan PHT untuk pe-ngendalian PBL dalam skala luas di tingkat petani dapat dilakukan melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) PBL. Dukungan pemerintah dalam memfasilitasi pelaksanaan SL-PHT PBL sangat diperlukan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dapat menjadi ujung tombak Badan Litbang Pertanian di daerah bersama Dinas Perkebunan setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Anuar, A.M. 1993. Study on the relative suitability of selected pepper varieties as host for the pepper weevil,

Lopho-baris piperis MRSHL. p. 172-180. In

M.Y. Ibrahim, C.F.J. Bong, and I.B. Ipor (Ed.). The Pepper Industry: Problems and prospects. Universiti Pertanian Malaysia, Bintulu Campus, Serawak, Malaysia.

Asnawi, Z., P. Wahid, dan E. Karmawati. 1988. Pengaruh jenis tiang panjat terhadap populasi hama utama lada. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri 13(3-4): 57-60.

Deciyanto, S. 1983. Penyebaran kumbang moncong lada (Lophobaris piperis Marsh.) di Lampung. hlm. 422-424. Prosiding Kongres Entomologi II. Perhimpunan Entomologi Indonesia, Jakarta.

Deciyanto, S., S. Sosromarsono, S. War-doyo, dan Sugiharso. 1984. Preferensi makan dan peneluran serta biologi

Lophobaris piperis pada tiga varietas

lada. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri 9(50): 29-36.

Deciyanto, S., M. Iskandar, dan A. Munaan. 1986. Preferensi larva penggerek batang (Lophobaris piperis Marsh.) dan kehilangan hasil pada tanaman lada. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Entomologi Perkebunan Indo-nesia, Medan, 22-24 April 1986. Per-himpunan Entomologi Indonesia Cabang Medan.

Deciyanto, S. 1989. Pengendalian hama utama lada secara terpadu di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8(3): 69-74.

Deciyanto, S. dan Wiratno. 1990. Efikasi dan pengaruh residu insektisida endo-sulfan, permethrin dan fenitrothion

(10)

terhadap serangga dewasa Lophobaris

piperis Marsh. Bulletin Penelitian

Tanaman Rempah dan Obat 5(2): 115-120.

Deciyanto, S. 1992. Kemungkinan peman-faatan varietas dan musuh alami pada pengendalian hama lada. Simposium Pengendalian Hama Terpadu, Suka-mandi, 3-4 September 1992. Per-himpunan Entomologi Indonesia, Bandung.

Deciyanto, S. and Suprapto. 1992. Research progress on important insect pest of black pepper in Indonesia. p. 224-237. Proceeding of International Workshop on Pepper Diseases, Lampung, 3-5 December 1992. Research Institute for Spice and Medicinal Crops, Bogor. Deciyanto, S., I.M. Trisawa, dan T.

Handayani. 1993. Pengaruh diameter dan panjang potongan batang lada terhadap biologi penggerek batang lada (Lophobaris piperis Marsh., Curculionidae, Coleoptera). Bulletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 8(1): 17-23.

Deciyanto, S. 1994. Studi kemungkinan biji mimba (Azadirachta indica) sebagai insektisida dan bahan repelent untuk penggerek batang lada (Lophobaris

piperis Marsh.). Prosiding Simposium

VIII Bahan Obat Tradisional, Bogor, 24-25 November 1994.

Deciyanto, S. dan Siswanto. 1994. Tok-sisitas methidation dan fenthion terhadap serangga dewasa penggerek batang lada. Bulletin Penelitian Ta-naman Rempah dan Obat 9(2): 121-128. Deciyanto, S., Wiratno, and Z. Asnawi. 1995. Preliminary study on the existence of spider web on black pepper and its role. J. Spice Med. Crops Res. 3(2): 31-36.

Deciyanto, S. dan Suprapto. 1996a. Hama penggerek batang lada dan cara pengendaliannya. hlm. 153-163. Dalam Monograf Tanaman Lada. Balai Pene-litian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Deciyanto, S. and Suprapto. 1996b. Natural enemies of pepper pest in Indonesia and its research progress. Peppertech Meeting, Sarawak, Malaysia, 24 July 1996. International Pepper Community. Deciyanto, S., P. Wahid, D. Manohara, and A. Dhalimi. 1998. Adoption of a good agricultural practice to prevent con-tamination on pepper: An Indonesian experience. Int. Pepper News Bull. 22(3-4): 39-42.

Deciyanto, S., C. Indrawanto, dan I W. Laba. 1999a. Dampak pestisida ter-hadap musuh alami dan analisa residu pada pertanaman dan produk lada. Laporan Teknis Kegiatan Penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 1998/1999. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Deciyanto, S., I.M. Trisawa, dan T.E. Wahyono. 1999b. Viabilitas spora serta pengaruh konsentrasi dan umur biakan spora Beauveria bassiana terhadap kematian Lophobaris piperis Marsh. Lokakarya dan Seminar Nasional Pengendalian Hayati, Yogyakarta, 12-13 Juli 1999.

Deciyanto, S., A. Dhalimi, and Siswanto. 2000. Pesticide residue on black pepper, present status and strategy to solve its problem in Indonesia. Pepper News 25(2-3): 8-12.

Deciyanto, S. 2005. Expert system for pepper stemborer control. J. Pepper Ind. Focus Pepper 2(2): 61-69.

(11)

Deptan (Departemen Pertanian). 2008. Statistik Pertanian. Deptan, Jakarta. 303 hlm.

Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perke-bunan). 2005. Laporan Luas Serangan Hama dan Penyakit pada Triwulan Per-tama. Ditjenbun, Jakarta.

European Commission. 2008. Implemen-tation of Reg. (EC) No. 396/2005 of Maximum Residue Level of Pesticide. Health and Consumer Protection, Directorate General of European Commision. 14 pp.

Hanafi, S. 1993. Spiders on Piper nigrum L. in the Pepper Industry, Problems and Prospects. University Pertanian Malaysia, Bintulu Campus, Serawak, Malaysia. p. 181-192.

IPC (International Pepper Community). 1996. Increasing competitiveness of the pepper industry through improving quality. Report of the 21st Peppertech

Meeting, Kuching, Sarawak, Malaysia, 22 July 1996.

IPC (International Pepper Community). 2008. Statistics of Black Pepper by Country (prodexarea): Area, produc-tion, export, import of black pepper. IPC, Jakarta.

Jahn, K.G. 1995. Pepper Quality Require-ments Today and Tomorrow. Studies in Trade and Investment “Towards A More Vibrant Pepper Economy”, United Nations, Economic and Social Commission for Asia and Pacific. p. 193-208.

Kalshoven, L.G..E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Rev. & Trans. by P.A. van der Laan. Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta. 701 pp.

Kueh, T.K. 1979. Pests, Diseases and Disorders of Black Pepper in Sarawak. Department of Agriculture, Sarawak, Kuching. 68 pp.

Laba, I W., D. Kilin, W.R. Atmadja, I.M. Trisawa, T. Djuwarsa, D. Manohara, dan Ahyar. 2004. Pengaruh penutup tanah Arachis pentoi terhadap musuh alami hama utama lada. Laporan Hasil Penelitian 2003. Proyek PHT Per-kebunan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. 15 hlm. Laba, I W. dan I.M. Trisawa. 2006.

Pengelolaan ekosistem untuk pengen-dalian hama lada. Perspektif 5(2): 86-97.

Lacey, L.A., R. Frutos, H.K. Kaya, and P. Vails. 2001. Insect pathogen as biological control agents: Do they have future. Biol. Control 21: 230-248. Marshall, G.A.K. 1927. New injurious

Curculionidae (Col.). Bull. Entomol. Res. 17(3): 199-218.

Mustika, I., D. Manohara, dan S. Deciyanto. 1997. Pedoman Pengen-dalian Hama Terpadu Perkebunan− Lada. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Tanaman Industri, Bogor. hlm. 70-80.

Norton, G.A. 1991. Decision tools for pest management – Philosophy, concepts and technique. p. 9-22. Progress Report of Rice Integrated Pest Management Network. Swiss Development Coopera-tion (SDC) and InternaCoopera-tional Rice Research Institute.

Oreopoulou, V., D. Lembesi, C. Dimakou, T. Tsironi, S. Paulin, R. Lake, John-Erik Haugen, C. von Holst, and M. Thomas. 2009. Food Quality and Safety Issues in the Priority Areas within MoniQA. Quality Assurance and Safety of Crops & Foods. Blackwel Publishing Ltd. Paulus, A. 2005. Pepper and Pepper

Research in Serawak. Agricultural Research Centre, Semongok, Malaysia. 6 pp.

(12)

Rothschild, G.H.L. 1968. Notes on

Dico-nocoris hewetti (Dist.) (Tingidae), a

pest of pepper in Sarawak (Malaysian Borneo). Bull. Entomol. Res. 58(1): 107-118.

Rumbaina, D. dan Martono. 1988. Uji efikasi biji bengkuang (Pachyrrhizus

erosus Urb.) terhadap hama penggerek

batang lada. Sub-Balittro, Natar. Sivadasan, C.R. 1999. Pesticide residue in

food. Int. Pepper News Bull. 26(3-4): 52-58.

Suprapto dan Martono. 1989. Populasi hama alami penggerek batang pada tanaman lada. Bulletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 4(1): 6-1. Suprapto dan R. Kasim. 1989.

Pengenda-lian secara biologi penggerek batang dan penyakit busuk pangkal batang lada. Seminar Bulanan, Juli 1989. Sub-Balittro, Natar.

Suprapto, R. Kasim, D. Rumbaina, dan Martono. 1991. Uji efikasi cendawan

Beauveria spp. terhadap penggerek

batang (Lophobaris piperis Marsh.). Seminar Bulanan, April 1991. Sub-Balittro, Natar.

Suprapto. 2000. Manfaat penggunaan

Arachis pintoi terhadap

perkem-bangan musuh alami organisme peng-ganggu utama tanaman lada. hlm. 1-12. Makalah Workshop Nasional Pengen-dalian Hayati OPT Tanaman Perke-bunan, Bogor, 15-17 Februari 2000. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Natar.

Taufiq, E., S. Deciyanto, dan A. Alwi. 1997. Pengaruh jenis makanan dan inten-sitas cahaya terhadap perkembangan penggerek batang lada. hlm. 189-197.

Prosiding Seminar Nasional Per-himpunan Entomologi Indonesia, Tantangan Entomologi pada Abad XXI. Perhimpunan Entomologi Indo-nesia Cabang Bogor, Bogor.

Trisawa, I.M. dan I W. Laba. 2005. Hama utama tanaman lada dan pengen-daliannya. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 17(2): 58-70.

Trisawa, I.M., I W. Laba, dan W.R. Atmadja. 2005. Arthropoda yang ber-asosiasi pada ekosistem tanaman lada. Jurnal Entomologi Indonesia 2(1): 10-18.

Untung, K. dan M. Sudomo. 1997. Pengelo-laan serangga secara berkelanjutan. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Simpo-sium Entomologi Pengelolaan Serang-ga secara Berkelanjutan, Universitas Padjadjaran, Bandung, 24-26 Juni 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia, Bandung. 397 hlm.

van der Vecht, J. 1940. De Kleine Pepersnuitkever (Lophobaris piperis Marsh.). Landbouw 16(6): 323-366. Wikipedia. 2010. The Free Encyclopedia.

En.wikipedia. org/wiki/environmental indicators. Last modified 31 January. h t t p : / / e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / enviromental indicator.

Wiratno. 2008. Effectiveness and Safety of Botanical Pesticides Applied in Black Pepper (Piper nigrum) Plantations. Proefschrift ter verkrijging van de graad van doctor op gezag van de rector magnificus van Wageningen Universiteit. 126 pp.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat memilih salah satu atau gabungan dari beberapa media, bergantung pada tujuan yang akan dicapai, pesan yang disampaikan dan teknik yang dipergunakan, karena

Kepentingan pemilik merek untuk tidak diganggu gugat dalam menjalin hubungan baik dengan para konsumen melalui pemakaian suatu merek tertentu dan untuk memperoleh langganan tetap

Berdasarkan hasil temuan lapangan bahwa dari delapan (8) SD Inti di UPTD Pendidikan Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, kesemuanya telah memiliki sarana dan

Dikaitkan dengan faktor-faktor yang diwujudkan dalam unsur-unsur elemen pembentuk ruang, seperti pola penataan perabot, pemilhan material lantai, dinding, dan

Sementara kreativitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran B iologi di MAS Muta’allimin masih kurang disebabkan oleh penerapan media yang kurang bervariasi, sehingga

Sistem Konferensi Nirkabel DICENTIS umum (lihat gambar berikut dan penomoran pada halaman berikutnya) terdiri atas Wireless Access Point (1) (termasuk adapter catu daya)

pertanian maka total penyerapan tenaga kerja meningkat. Indeks gini di dearah pertanian terjadi penurunan sebesar 0,0002%, karena share PDRB pertanian terhadap total

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan dan hidayat-Nya sehingga Tugas Akhir yang berjudul “ MENGHITUNG BEBAN KEBUTUHAN WATER CHILLER DI SEBUAH