• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN INTERPOL DALAM MEMBERANTAS SINDIKAT CYBERSEX DI FILIPINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN INTERPOL DALAM MEMBERANTAS SINDIKAT CYBERSEX DI FILIPINA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 3, Tahun 2015, hal. 25-29 Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi

PERAN INTERPOL DALAM MEMBERANTAS

SINDIKAT CYBERSEX DI FILIPINA

2012-2014

Bagus Wahyu R.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Jalan Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Kotak Pos 1269 Website: http://www.fisip.undip.ac.id Email: fisip@undip.ac.id

Abstract

Various cybersex actions undertaken by syndicate in Philippines are international crimes which have threatened international peace and security. Cybersex, which is part of cybercrime, becomes severe problem in Philippines because it has harmed many people in the state and even in other countries. This condition raised the president of Philippines, Benigno Aquino III’s concern, thus enacted law to criminalize cybersex in Cybercrime Prevention Act of 2012. Responding to the law, The Philippine National Police (PNP) applies various rules to combat the cybersex syndicate, in cooperation with other national polices under INTERPOL. This undergraduate thesis aims to seek the role of INTERPOL towards the cybersex in Philippines. This is an analythical descriptive research using liberalism and differential association theory to analyze the data founded by employing literature study method. The result of this research shows that INTERPOL lead the operations to combat cybersex syndicate in Philippines.

Keywords: Cybersex, Sextortion, Global Child Cybersex, INTERPOL, Philippines

1. Pendahuluan

Kelahiran teknologi informatika yang demikian pesat, mampu melahirkan internet sebagai sebuah fenomena dalam kehidupan manusia. Kehadiran internet telah memberikan banyak kemudahan bagi setiap orang. Pada perkembangannya, ternyata penggunaan internet juga mempunyai sisi negatif. Internet mempengaruhi bentuk tindakan kejahatan, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial dan perilaku kejahatan yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi. Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini disebut sebagai cybercrime.

Bisnis prostitusi merupakan bisnis yang selalu ada dan bisa dijumpai hampir di seluruh penjuru dunia. Meskipun demikian, bisnis ini ilegal di beberapa negara. Pelaku bisnis prostitusi pada era globalisasi semakin cerdas dalam memanfaatkan peluang. Berkaitan dengan kemajuan teknologi dan informasi, serta hadirnya internet dan kemudahan bertransaksi jarak jauh memunculkan sebuah inovasi baru yakni cybersex atau prostitusi di dunia maya. Namun, cybersex ini banyak disalahgunakan sehingga

(2)

memunculkan kejahatan. Kejahatan cybersex dalam aspek cybercrime merupakan bagian dari bentuk illegal contents1 dan infringement of privacy2.

Filipina merupakan negara dengan tingkat prostitusi terbesar kedua di Asia (www.liveandinvestoverseas.com). Isu mengenai tingginya angka prostitusi di Filipina mulai terkuak pada tahun 2010, dan sampai sekarang bisnis tersebut semakin meningkat (www.humantrafficking.com). Dengan melihat perkembangannya, dapat dikatakan bahwa cybersex merupakan salah satu bentuk inovasi bisnis prostitusi di Filipina dan kehadirannya semakin berkembang pesat.

Cybersex yang merupakan bagian dari cybercrime merupakan ancaman terhadap keamanan global yang hanya dapat diatasi dengan tindakan yang terkoordinasi dari penegak hukum dan industri swasta. Cybercrime menunjukkan salah satu kondisi yang kompleks dan penting untuk dilakukannya suatu kerja sama internasional. Kerja sama yang erat dengan semua sektor yang merasakan dampaknya, termasuk akademisi dan industri swasta, sangatlah penting untuk mengembangkan strategi global cybersecurity yang sesungguhnya.

INTERPOL berusaha untuk menjadi leading sector dan coordinator dalam memerangi cybercrime melalui pembentukan INTERPOL Global Complex for Innovation (IGCI). Kunci dari komponen penelitian dan pengembangan fasilitas mutakhir dari IGCI adalah INTERPOL Digital Crime Centre (IDCC). IDCC akan memainkan peran penting dalam menjaga dunia maya bebas dari semua jenis kegiatan kriminal.

Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini antara lain: pertama, untuk mengetahui macam, jenis, dan cara kerja dari bisnis cybersex di Filipina. Kedua, mengetahui dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi sebagai dampak dari globalisasi khususnya dalam area cybercrime. Ketiga, mengetahui gambaran mengenai ancaman yang ditimbulkan dari bisnis cybersex, dan keempat, mengetahui peran dari INTERPOL dalam upaya memberantas sindikat bisnis cybersex di Filipina.

Kerja sama antar kepolisian berbagai negara di bawah naungan INTERPOL tentu sangat sesuai dengan konsep teori liberalisme. Fokus analisis dari teori liberalisme adalah individu dan kolektifitasnya: negara, perusahaan, oganisasi, asosiasi dan sebagainya (Viotti & Kauppi, 1997:7). Dari sinilah maka didirikan berbagai organisasi internasional dengan tujuan untuk menciptakan perdamaian dengan cara aman dan tanpa adanya perang yang menyebabkan banyak kerugian.

Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan teori asosiasi differensiasi. Teori tersebut digunakan untuk menjelaskan dan membuktikan bahwa kasus dari bisnis cybersex di Filipina merupakan suatu bentuk tindakan yang dipelajari melalui asosiasi dengan orang yang sudah berbuat jahat. Selain dipelajari, bisnis cybersex di Filipina juga memiliki motif. bagi para pelaku, motif ekonomi merupakan motif utama. Sedangkan bagi para penikmat, kepuasan pribadi atau bahkan rasa ingin tahu merupakan motif bagi mereka.

Metode dalam penulisan penelitian ini menggunakan teknik analisis data sistem kualitatif. Sistem kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang berbentuk kata-kata frasa, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan angka-angka. Dengan demikian hasil penelitian ini berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, menganalisis, dan menafsirkan (Satoto 1992:15).

                                                                                                                         

1 Illegal contents merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang hal yang

tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

(3)

2. Pembahasan

2.1 Bisnis Cybersex di Filipina

Lembaga Studi Independen Social Weather Station pada tahun 2010, menyebutkan bahwa setengah penduduk Filipina hidup dalam kemiskinan yakni berkisar 9,4 juta keluarga. Selain itu, upah minimum harian di Filipina hanya sekitar 7 USD. Namun, meski tergolong sebagai negara miskin, teknologi informasi dan komunikasi di Filipina sudah berkembang dengan sangat baik. Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, dan penggunanya yang semakin banyak, telah membuat Filipina berada pada peringkat ke-6 sebagai negara pengguna internet terbanyak se-Asia pada tahun 2014. Dari sisi kultur budaya, masyarakat Filipina memiliki paras rupawan (merupakan negara bekas jajahan Spanyol) yang membuat masyarakat Filipina mendapat julukan sebagai Latinas Asia. Selain itu, masyarakat Filipina juga menguasai bahasa inggris dengan baik. Faktor-faktor tersebutlah yang kemudian menjadi penyebab munculnya bisnis cybersex di Filipina.

Bisnis cybersex di Filipina telah berkembang pesat dalam lima tahun terakhir. Faktor pendorong berkembangnya bisnis cybersex di Filipina, yaitu keberadaan pelanggan luar negeri yang luas dan relatif kaya. Meskipun demikian, kondisi ekonomi yang relatif kaya juga tidak sepenuhnya membuat seseorang menjadi konsumen bisnis cybersex. Untuk menjadi pelanggan bisnis cybersex, seseorang harus mampu menguasi teknologi informasi serta internet yang didasari dengan rasa ingin tahu.

Tarif rata-rata untuk aksi cybersex tersebut berkisar antara 20 – 100 USD, di mana sangat jauh bila dibandingkan dengan upah harian pekerja di Filipina yang hanya sebesar 7 USD. Semakin terangkat ke permukaan, bisnis cybersex justru semakin berkembang dengan munculnya berbagai inovasi. Inovasi tersebut antara lain munculnya fenomena global child cybersex dan kejahatan sextortion.

Global child cybersex merupakan bisnis prostitusi dengan menggunakan anak-anak di bawah umur. Anak-anak tersebut direkrut oleh sindikat cybersex, dan bahkan beberapa di antaranya dipaksa oleh orang tua mereka untuk melayani kaum pedofilia dari berbagai negara. Di desa-desa atau kota-kota miskin di Filipina, jumlah anak (termasuk balita) yang dipaksa untuk melakukan cybersex semakin meningkat. The Dutch Advocate Group, Terre Des Hommes International Federation di Filipina mengestimasikan sekitar 100.000 anak menjadi korban eksploitasi seksual.

Sextortion merupakan salah satu aksi cybersex berupa modus penjebakan. Aksi sextortion berupa mengirimkan pesan ancaman atau blackmail kepada korbannya untuk memberikan sejumlah uang. Uang tersebut digunakan sebagai jaminan untuk tidak menyebarkan konten privasi sang korban. Sebelumnya, pelaku sextortion akan menjebak korban dengan membuat akun sosial media palsu dan kemudian berkenalan sampai akhirnya melakukan aksi cybersex, meski hanya sebatas chat sex. Korban yang tidak mau privasinya disebar, akhirnya harus membayar uang tebusan sekitar 500 – 15.000 USD.

Semakin maraknya aksi cybersex akhirnya menarik perhatian presiden Filipina, Benigno Aquino III. Hingga pada tanggal 12 September 2012, diresmikan sebuah hukum yang berfokus kepada pemberantasan dan pencegahan cybercrime bernama The Cybercrime Prevention Act of 2012. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka mulai tahun 2012, cybersex di Filipina dianggap sebagai aksi ilegal. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan National Bureau of Investigation dan The Philippine National Police (PNP) untuk mengatur unit cybercrime, yang dikelola oleh penyidik khusus yang bertanggung jawab akan secara eksklusif menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang.

Cybersex yang berupakan turunan dari cybercrime merupakan ancaman terhadap keamanan global yang hanya dapat di atasi dengan tindakan yang terkoordinasi dari penegak hukum dan industri swasta. Cybercrime menunjukkan salah satu kondisi yang

(4)

kompleks dan penting untuk dilakukannya suatu kerja sama internasional. Kerja sama yang erat dengan semua sektor yang merasakan dampaknya, termasuk akademisi dan industri swasta, sangatlah penting untuk mengembangkan strategi global cybersecurity yang sesungguhnya.

2.2 Peran INTERPOL dalam Memberantas Sindikat Cybersex

Peran INTERPOL dalam pemberantasan sindikat cybersex di Filipina sangat besar. INTERPOL menjadi pemimpin dari serangkaian operasi yang dilakukan bekerja sama dengan berbagai kepolisian dan lembaga sosial. Operasi yang dipimpin oleh INTERPOL yaitu Operation Strikeback. Operation Strikeback berlangsung dalam dua periode yang kemudian diberi nama Operation Strikeback I dan II. Persiapan operasi dilakukan mulai dari bulan November 2013 sampai Maret 2014.

Operation Strikeback I dilangsungkan pada tanggal 30 April dan 1 Mei 2014 di Kota Bicol, Bulacan, Laguna, dan Taguig City, Filipina. Operasi pertama ini menargetkan sindikat yang bermain di area sextortion. Dalam Operation Strikeback I, tim operasi (The Cybercrime Taskforce) berhasil menangkap sebanyak 58 tersangka dan menyita total 250 barang bukti.

Operation Strikeback II dilangsungkan pada tanggal 21 Agustus 2014 di Provinsi Bataan dan Bulacan, Filipina. Operasi kedua ini selain kembali berfokus kepada kasus sextortion, tim juga menargetkan pada kasus global child cybersex. Di akhir operasi, tim berhasil menangkap 43 tersangka, membebaskan lima anak dibawah umur, dan menyita 215 barang bukti. Para tersangka kemudian dibawa oleh Kepolisian Filipina untuk diadili sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Semua bentuk dan aksi dari INTERPOL dalam memimpin Operation Strikeback merupakan implementasi dari The Cybercrime Prevention Act of 2012. Undang-undang pemberantasan cybercrime yang diresmikan oleh Presiden Benigno Aquino III tersebut memiliki yurisdiksi ekstra teritorial: ketentuan-ketentuannya berlaku untuk semua warga negara Filipina terlepas dari tempat mereka tinggal. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan National Bureau of Investigation dan The Philippine National Police (PNP) untuk mengatur unit cybercrime, yang dikelola oleh penyidik khusus yang bertanggung jawab akan secara eksklusif menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang.

Selain melakukan Operation Strikeback demi memberantas sindikat cybersex, INTERPOL juga berinisiatif untuk mengidentifikasi pelanggan dari bisnis cybersex tersebut. Fokus utama yang menjadi perhatian INTERPOL yakni kaum pedofila dari seluruh dunia yang menjadi pelanggan dari bisnis global child cybersex. Demi mewujudkan hal tersebut INTEPOL bekerja sama dengan organisasi internasional yang berfokus pada hak anak, yakni Terre Des Hommes di Manila, Filipina.

Proyek yang dikerjakan oleh Terre Des Hommes bernama Sweetie. Sweetie sendiri merupakan gadis virtual berusia 10 tahun yang digunakan untuk Sting Operation atau operasi penjebakan kaum pedofilia. Sweetie terjun ke berbagai sistus prostitusi dan masuk ke dalam berbagai chat room untuk mencari kaum ‘predator’. Predator yang terpikat dengan Sweetie akan memulai chatting dan melakukan kesepakatan untuk pembayaran. Data yang didapat melalui akun Skype ataupun Western Union kemudian dikelola oleh tim Terre Des Hommes dan diserahkan kepada INTERPOL. INTERPOL akan mengirimkan seluruh data yang diterima kepada National Central Bureau negara yang terkait untuk melakukan investigasi lebih lanjut terkait penikmat bisnis global child cybersex di Filipina. 3. Kesimpulan

(5)

Setengah penduduk Filipina hidup dalam kemiskinan yakni berkisar 9,4 juta keluarga dengan upah minimum harian hanya sekitar 7 USD. Namun, meski tergolong sebagai negara miskin, teknologi informasi dan komunikasi di Filipina sudah berkembang dengan sangat baik. Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, dan penggunanya yang semakin banyak, telah membuat Filipina berada pada peringkat ke-6 sebagai negara pengguna internet terbanyak se-Asia pada tahun 2014. Dari sisi kultur budaya, masyarakat Filipina memiliki paras rupawan (merupakan negara bekas jajahan Spanyol) yang membuat masyarakat Filipina mendapat julukan sebagai Latinas Asia. Selain itu, masyarakat Filipina juga menguasai bahasa inggris dengan baik. Faktor-faktor tersebutlah yang kemudian menjadi penyebab munculnya bisnis cybersex di Filipina.

Bisnis cybersex di Filipina telah berkembang pesat dalam lima tahun terakhir. Faktor pendorong berkembangnya bisnis cybersex di Filipina, yaitu keberadaan pelanggan luar negeri yang luas dan relatif kaya. Meskipun demikian, kondisi ekonomi yang relatif kaya juga tidak sepenuhnya membuat seseorang menjadi konsumen bisnis cybersex. Untuk menjadi pelanggan bisnis cybersex, seseorang harus mampu menguasi teknologi informasi serta internet yang didasari dengan rasa ingin tahu.

Serangkaian operasi yang telah dilakukan oleh INTERPOL berjalan cukup efektif. Namun, terdapat beberapa kendala yakni masih banyak negara anggota INTERPOL yang tidak menyadari bahwa negara mereka merupakan sasaran dari sindikat cybersex. Banyak korban sextortion yang pasrah dengan tidak melaporkan kasus ini ke kepolisian dan terus membayar tebusan. Di sisi lain, munculnya situs prostitusi baru setiap waktu menjadi tantangan tersendiri bagi INTERPOL.

Daftar Pustaka

Child Exploitation. Dalam http://www.terredeshommes.org/causes/child-exploitation/. Diunduh pada tanggal 19 Juni 2015 pukul 14.35 WIB

Gema, Ari Juliano. 2013. Cybercrime: Sebuah Fenomena di Dunia Maya. Dalam http://interpol.go.id/kejahatan-transnasional/kejahatan-dunia-maya/89-cybercrime-sebuah-fenomena-di-dunia-maya.html. Diunduh pada 20 Mei 2014 pukul 19.15 WIB

Human Trafficking in Philippines. 2014. Dalam

http://humantrafficking.org/countries/philippines.html. Diunduh pada 20 Mei 2014 pukul 19.17 WIB

Legaspi, Amita. 2014. Interpol, PNP arrest 48 in global cybersex scam. Dalam http://www.gmanetwork.com/news/story/359279/news/nation/interpol-pnp-arrest-58-in-global-cybersex-scam. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2015 pukul 15.04 WIB McGuinness, Ross. 2013. Sweetie and Terre des Hommes: Is paedophile sting a new form

of vigilantism?. Dalam http://metro.co.uk/2013/11/06/sweetie-and-terre-des-hommes-is-paedophile-sting-a-new-form-of-vigilantism-4175616/. Diunduh pada tanggal 29 Juni 2015 pukul 16.27 WIB

Sunasuahdi. 2013. Cybercrime VS Cyberlaw Dalam Etika Profesi. Dalam http://satuetika.com/teori-cybercrime-dancyberlaw.html. Diunduh pada 26 Mei 2014 pukul 13.30 WIB

Republic Act No. 10175. Dalam http://www.gov.ph/2012/09/republic-act-no-10175/. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2015 pukul 15.07 WIB

The INTERPOL Global Complex for Innovation. Dalam http://www.interpol.int/about-interpol/the-interpol-global-complex-for-innovation. Diunduh pada tanggal 17 Juni 2015 pukul 15.38 WIB

Viotti, Paul R & Mark V Kauppi. 1997. International Relations Theory Fourth Edition. USA: Pearson Education

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak – Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur dalam tradisi lisan seni pertunjukan randai Minangkabau, kegiatan preservasi pengetahuan yang telah

Dalam pembelajaran matematika pokok bahasan pecahan dengan menggunakan pendekatan kontekstual guru matematika perlu memberikan penguasaan konsep antara sub pokok

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini

1) Analisis : Tahap analisis dilakukan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian berdasarkan teori yang telah dipelajari sebelumnya. Pada tahap ini

Sebarang kewujudan peruntukan atau perundangan pasti akan menimbulkan masalah samada masalah tersebut dianggap kecil, remeh atau masalah besar. Contohnya dengan penguatkuasaan

Dari paparkan di atas dapat dipahami bahwa ulama kontemporer adalah ulama yang memiliki pengetahuan, pemahaman dalam segala bidang keilmuan yang menggunakan

Melalui perbaikan proses pelaksanaan metode cooperative learning tipe index card match pada siklus II tersebut, motivasi belajar siklus II mencapai skor 137

artinya hipotesis diterima dan terdapat hubungan yang berarti antara power otot tungkai terhadap kecepatan tendangan sabit dalam olahraga pencaksilat pada siswa SMA